Chuo Sangi-In: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
(57 revisi perantara oleh 14 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{
[[Berkas:Soekarno shakes hand with Moichiri Yamamoto.jpg|jmpl|Soekarno sebagai ketua Chuo Sangi-In berjabat tangan dengan Kepala Urusan Dalam Negeri Jepang untuk Pendudukan Hindia Belanda Moichiri Yamamoto.]]
Pada 5 [[September]] 1943, ''Saiko Shikikan'' pada saat itu [[Kumaikici Harada]] mengeluarkan ''osamu seirei'' nomor 36 dan 37 tentang pembentukan Chuo Sangi In dan Chuo Sangi Kai. Adapun badan ini berada di bawah pengawasan ''Saiko Shikikan'' dan bertanggungjawab menjawab berbagai pertanyaan ''Saiko Shikikan'' dalam hal [[politik]] dan [[pemerintah]]an. Pimpinan pertama Chuo Sangi In adalah [[Ir. Soekarno]] yang didampingi dua orang wakil ketua, yaitu [[R.M.A.A. Kusumo Utoyo]] dan dr. [[Buntaran Martoatmojo]] yang diangkat melalui [[sidang]] Chuo Sangi In pertama pada 17 [[Oktober]] 1943. Secara umum, badan ini mirip dengan ''[[volksraad]]'' pada masa pendudukan [[Belanda]] sebelumnya, tapi tidak berwenang menentukan pemerintahan Indonesia secara utuh. Pada waktu itu penentuan dan kendali utama pemerintahan Indonesia harus atas persetujuan pemerintah pusat di [[Tokyo]].<ref name=":0">{{Cite book|url=https://books.google.co.id/books?id=jSfrShDefd8C&pg=PA245&dq=chuo+sangi+in&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwiyyoW0oKTrAhVu4nMBHYhtBkoQ6AEwAXoECAEQAg#v=onepage&q=chuo%20sangi%20in&f=false|title=Sejarah 2|publisher=Yudhistira Ghalia Indonesia|isbn=978-979-746-906-1|language=id}}</ref> ▼
== Pembentukan ==
▲Pada 5 [[September]] 1943, Panglima Tertinggi (最高指揮官, ''
== Identitas ==
== Anggota ==
Anggota Chuo Sangi In terdiri dari 23 orang yang diangkat [[panglima]] tertinggi (最高指揮官, ''Saiko Shikikan''), 2 orang dipilih Chuo Sangi Kai dan Dewan Pertimbangan Kotapraja (特別市参議会, ''Tokubetsu-shi Sangi-kai''), dan 2 orang diusulkan oleh negeri berkerajaan (公地, ''kooti'' atau ''koci'') ([[Solo]] dan [[Yogyakarta]]).<ref>{{Cite web|title=Organisasi Masa Bentukan Jepang di Indonesia|url=https://www.hariansejarah.id/2017/01/organisasi-masa-bentukan-jepang-di.html|website=Harian Sejarah|language=en|access-date=2020-08-29|archive-date=2020-09-26|archive-url=https://web.archive.org/web/20200926124550/https://www.hariansejarah.id/2017/01/organisasi-masa-bentukan-jepang-di.html|dead-url=yes}}</ref> Setiap anggota Chuo Sangi In berhak mendapat [[uang]] [[jabatan]] f.3600/tahun dan jika bersidang mendapatkan uang saku f.5/hari dan tunjangan untuk [[penginapan]] senilai f.30/malam.<ref>{{Cite book|last=Aqsha|first=Darul|date=2005|url=https://books.google.co.id/books?id=dleWlsGRsjAC&pg=PA76&dq=chuo+sangi+in&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwiyyoW0oKTrAhVu4nMBHYhtBkoQ6AEwA3oECAUQAg#v=onepage&q=chuo%20sangi%20in&f=false|title=Kiai Haji Mas Mansur, 1896-1946: perjuangan dan pemikiran|location=|publisher=Erlangga|isbn=978-979-781-145-7|pages=76|language=id|url-status=live}}</ref> Pada tanggal 15 [[November]] 1943, [[delegasi]] Chuo Sangi In yang terdiri dari Ir. Soekarno, [[Moh. Hatta]], dan [[Bagus Hadikusumo]] berangkat ke Jepang untuk memenuhi undangan [[Perdana Menteri]] [[Hideki Tojo|Tojo]]. Ketiga delegasi mendesak agar Indonesia bisa mengibarkan pusaka merah putih dan melantunkan [[lagu]] kebangsaan [[Indonesia Raya]]. Tapi, usulan itu ditangguhkan. Perdana Menteri Tojo tidak memberi janji dan jaminan karena belum tentu menang pada saat [[perang]] melawam [[sekutu]]. Pada tanggal 17 [[Juli]] 1944, kemunduran-kemunduran pasukan Jepang dan berbagai masalah politik lain membuat Perdana Menteri Tojo jatuh dan digantikan oleh [[
Pada tanggal 10 September 1944
▲Setiap anggota Chuo Sangi In mendapat [[uang]] [[jabatan]] f.3600/tahun dan jika bersidang mendapatkan uang saku f.5/hari dan tunjangan untuk [[penginapan]] senilai f.30/malam.<ref>{{Cite book|last=Aqsha|first=Darul|date=2005|url=https://books.google.co.id/books?id=dleWlsGRsjAC&pg=PA76&dq=chuo+sangi+in&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwiyyoW0oKTrAhVu4nMBHYhtBkoQ6AEwA3oECAUQAg#v=onepage&q=chuo%20sangi%20in&f=false|title=Kiai Haji Mas Mansur, 1896-1946: perjuangan dan pemikiran|publisher=Erlangga|isbn=978-979-781-145-7|language=id}}</ref> Pada tanggal 15 [[November]] 1943, [[delegasi]] Chuo Sangi In yang terdiri dari Ir. Soekarno, [[Moh. Hatta]], dan [[Bagus Hadikusumo]] berangkat ke Jepang untuk memenuhi undangan [[Perdana Menteri]] [[Tojo]]. Ketiga delegasi mendesak agar Indonesia bisa mengibarkan pusaka merah putih dan melantunkan [[lagu]] kebangsaan [[Indonesia Raya]]. Tapi, usulan itu ditangguhkan. Perdana Menteri Tojo tidak memberi janji dan jaminan karena belum tentu menang pada saat [[perang]] melawam [[sekutu]]. Pada tanggal 17 [[Juli]] 1944, kemunduran-kemunduran pasukan Jepang dan berbagai masalah politik lain membuat Perdana Menteri Tojo jatuh dan digantikan oleh [[Koisi]] sehari setelahnya. Tanggal 07 September 1944, Jepang semakin terdesak pada [[perang dunia II]] dan memberikan janji kemerdekaan kepada Indonesia. Janji Koiso ini membawa angin segar untuk perjuangan bangsa Indonesia.
▲Pada 10 September 1944, anggota Chuo Sangi In ditambah. Jumlah ''Saiko Shikikan'' yang tadinya beranggota 23 orang ditambah menjadi 28 orang. Lima orang anggota baru tersebut adalah [[R. Abikusno Cokrosuyoso]], R. [[Margono Joyodikusumo]], Mr. [[R. W. Sumanang]], Mr. R. [[Sujono]], dan R. [[Gatot Mangkuprojo]]. Setelah itu, pada tanggal 7 November 1944 anggota keseluruhan ditambah lagi menjadi 60 orang. Ada beberapa tokoh penting yang ikut masuk seperti [[Moh. Yamin]], Mr. [[J. Latuharhary]], [[Abdurrahman Baswedan]], dan seorang berkebangsaan [[Tiongkok]] [[Yap Cwan Bing]].<ref name=":0" />
== Persidangan ==
Chuo Sangi In
===Sidang pertama===
Sidang dimulai tanggal 16 sampai 20 Oktober 1943. Sidang pertama membentuk empat komisi (分科会, ''bunkakai''). Sidang ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan ''Saiko Shikikan'' tentang bagaimana cara yang paling tepat untuk memenangkan [[Perang Pasifik]]. ''Gunseikan'' dan para pejabat teras tentara Jepang ikut menghadiri dan melakukan fungsi pengawasannya selama sidang berlangsung.<ref>{{Cite book|last=Poesponegoro|first=Marwati Djoened|last2=Notosusanto|first2=Nugroho|last3=Pandji ;)|first3=Soejono ((Raden|last4=Leirissa|first4=Richard Z.|date=2008|url=https://books.google.com/books/about/Sejarah_nasional_Indonesia.html?id=bl1DzAEACAAJ|title=Sejarah nasional Indonesia: zaman Jepang dan zaman republik Indonesia (± 1942-1998). VI|location=|publisher=Balai Pustaka|isbn=|pages=24|language=id|url-status=live}}</ref> Jawaban dari persidangan ini berkaitan dengan pengerahan semua potensi [[kerja]] dan [[produksi]] untuk kepentingan [[perang]], terutama cara praktis memperkuat persiapan dalam menghadapi Perang Pasifik dengan meminta bantuan orang-orang dari [[Pulau]] [[Jawa]] dalam bentuk tenaga [[rakyat]] atau sumbangan [[sumber daya]] yang dimiliki.
Untuk mencari solusi dalam persidangan dibentuk empat ''bunkakai''. ''Bunkakai'' I merundingkan perlindungan dan memperkuat para [[prajurit]] [[PETA]]. ''Bunkakai'' II merundingkan pengerahan tenaga kerja untuk menghadapi perang. ''Bunkakai'' III merundingkan masalah penghidupan rakyat saat peperangan berlangsung. ''Bunkakai'' IV merundingkan cara memperbanyak hasil produksi dalam rangka menunjang kebutuhan Perang Pasifik. Langkah pertama yang dilakukan setelah perumusan hasil persidangan adalah memperkuat latihan [[militer]] prajurit PETA dan mengerahkan masyarakat supaya bekerja keras dalam masa peperangan. Jepang menyebutkan bahwa [[petani]] yang tidak menjadi prajurit atau [[tentara]], akan ditugaskan untuk kerja paksa romusha untuk memenuhi kebutuhan perang. Banyak kalangan masyarakat yang dikirim keluar Pulau Jawa, bahkan sampai ada yang keluar tanah Indonesia. Keberadaan pekerja ini tidak dapat dipastikan dan tidak tahu kapan kembali, karena dalam sistem kerja romusha tidak dipedulikan masalah ke[[sehat]]an dan ke[[sejahtera]]an.<ref name=":2" />
===
Sidang ini dilakukan tanggal 30 Januari sampai 3 Februari 1944. Sidang ini membahas pertanyaan ''Saiko Shikikan'' tentang cara praktis yang dilakukan oleh penduduk untuk menyempurnakan susunan kekuatan di Pulau Jawa yang sudah siap untuk memenangkan Perang Pasifik. Sidang ini membentuk dua ''Bunkakai''. ''Bunkakai'' I merundingkan cara memperkuat barisan tenaga rakyat untuk membela tanah air. Sedangkan ''Bunkakai'' II merundingkan memperbanyak bahan makanan selama peperangan berlangsung. Hasil persidangan kedua ini adalah harus ada gerakan untuk membantu prajurit PETA melawan Sekutu dan siap kapan saja menghalau serangan mendadak dari pasukan Sekutu. Atas dasar itu, pemerintah pendudukan Jepang membentuk ''[[Jawa Hokokai]]'', ''[[Heiho]], [[Tonarigumi]]'' dan ''[[Keibodan|Keibondan]]''. Sedangkan dalam rangka menambah hasil bumi atau [[pertanian]], pemerintah pendudukan Jepang mengharapkan petani memperhatikan kesuburan tanaman. Petani dituntut teliti melakukan pembasmian [[hama]], memberikan [[pupuk]] secara teratur, dan menjaga atau memperhatikan kesuburan tanah garapannya.<ref name=":2" />
=== Sidang ketiga ===
=== Sidang keempat ===
▲'''''Ketiga''''', sidang pada tanggal 7-11 Mei 1944, membicarakan “bagaimana cara menyadarkan seluruh penduduk akan kewajibannya serta mempergiat kerjasama dalam suasana persahabatan dengan tidak mengenal perbedaan bangsa, pekerjaan dan pangkat”.134Hasilnya adalah mendirikan koperasi di setiap daerah guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang membutuhkan modal usaha dan pertanian. Selain itu, Pemerintahan Jepang juga mengadakan beberapa kegiatan seperti olahraga, budaya, seni tradisional daerah guna menjalin rasa persatuan dan kesatuan alam setiap individu masyarakat Jawa dan Madura. Dalam persidangan yang ketiga ini, para anggota sidang juga mengusulkan supaya masyarakat dilatih menggunakan senjata api, namun dari pihak Jepang menolak karena ditakutkan nantinya akan berbalik arah melawan Jepang. Tetapi Jepang tidak membiarkannya. Masyarakat tetap dilatih militer dengan senjata alami, yaitu bambu runcing.
=== Sidang kelima ===
▲'''''Keempat''''', sidang pada tanggal 12-16 Agustus 1944, membicarakan usul ''Saiko'' ''Shikikan'' yaitu “tindakan apa yang akan dilakukan untuk meningkatkan tenaga kerja, pembelaan tanah air dan memperbanyak produksi”. Untuk menjawab dan merealisasikan usul di atas, maka dalam sidang yang ke IV ini dibentuk tiga ''Bunkakai''. ''Bunkakai'' I membahas masalah mempertinggi semangat bekerja. ''Bunkakai'' II membahas masalah mempertinggi efisiensi pekerja. ''Bunkakai'' III membahas masalah usaha menggandakan bantuan kepada kaum pekerja dan keluarganya. Dari persidangan yang ke-4, pemerintah Jepang memerintahkan terhadap tokoh-tokoh Indonesia untuk membentuk perserikatan perusahaan pengangkutan di setiap daerah yang berada di Jawa dan Madura, guna mengontrol dan mendata perdagangan yang ada di setiap daerah dan mendata jumlah barang yang dijual di bawah pengawasan ''Tonari Gumi''. Selain itu juga dilakukan pemberantasan terhadap pedagang gelap. Semua masyarakat tanpa terkecuali diharapkan bekerja, baik laki- laki dan perempuan tanpa terkecuali dan mereka akan didaftarkan sebagai anggota bekerja. Dalam masalah kemiliteran, Jepang akan melakukan pemeriksaan terhadap setiap anggota dan akan diperhatikan masalah makanan dan kesehatannya. Selain itu para prajurit juga akan dihormati sebagai pejuang. Dengan ini maka anggota dari ''Chuo Sangi-in'' berjumlah 48 anggota tetap, sehingga dapat diharapkan badan tersebut bisa bekerja dengan secara aktif dalam dunia pemerintahan. Kemudian pada tanggal 7 September 1944, perdana menteri Koiso mengumumkan “janji kemerdekaan di kemudian hari”.
=== Sidang keenam ===
▲'''''Kelima''''', sidang pada 11 September 1944, berdasarkan keputusan Maklumat No. 5 pada 8 September 1944 tentang panggilan Sidang Istimewa ''Chuo Saingi-in''. Pertanyaan yang diajukan oleh ''Saiko Shikikin'' adalah “bagaimanakah caranya masyarakat Indonesia membuktikan rasa terima kasih terhadap Jepang atas keputusan perkenan untuk merdeka pada suatu hari nanti dan bagaimanakah membangkitkan semangat juang masyarakat Indonesia untuk melawan Amerika dan Inggris ”. Dari persidangan kelima ini, Jepang meminta supaya masyarakat lebih progresif dalam mempersiapkan diri untuk perang. Jepang mengatakan bahwa jika suatu saat Jepang kalah dalam perang Asia Timur Raya, maka tidak akan ada kemerdekaan bagi Indonesia. Masyarakat harus giat dalam bekerja keras untuk kepentingan perang Pasifik. Maka dari itu masyarakat Indonesia harus memberikan semua kekayaannya untuk kepentingan perang Asia Timur Raya.
Sidang ini dilakukan pada 12 sampai 17 November 1944. Pembahasan sidang tentang cara memperoleh kemenangan dalam perang pasifik dengan cara sungguh-sungguh dan gemilang. Dalam perang harus ada kontribusi nyata dari tenaga penduduk Indonesia untuk mempertinggi derajat pribumi di mata dunia. Dalam persidangan dibentuk dua ''Bunkakai''. ''Bunkakai I'' membahas peningkatan kontribusi tenaga dari masyarakat di Pulau Jawa. ''Bunkakai'' II membahas cara memenangkan perang untuk meningkatkan derajat pribumi di mata dunia. Sidang ''Chuo Sangi-in'' yang ke-6, menekankan upaya-upaya yang harus ditempuh oleh masyarakat dalam pemenangan perang pasifik, di antaranya menghambat kekuatan Sekutu di [[Asia]] [[Timur]] dan memberantas orang- orang yang dianggap sebagai mata-mata Sekutu dengan memberikan latihan senjata api terhadap masyarakat Jawa dan Madura. Jepang juga menghalau pengaruh Sekutu pada masyarakat mulai dari pemerintahan tingkat atas sampai pada paling bawah di daerah-daerah.
Jepang juga diharapkan melakukan pelatihan rohani yang bertujuan memperkuat rasa kesatuan dan menebalkan rasa kebangsaan untuk mencapai cita-cita kemanangan perang. Pelatihan jasmani juga diperlukan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat Jawa dan Madura. Selain itu Jepang juga menekankan kepada masyarakat Indonesia untuk melaksanakan pelatihan pengetahuan dalam rangkan memberantas buta huruf. Struktur pelaksanaan dimulai dari setiap ''Shu'' dan kemudian bekerja sama dengan pemerintah pusat melalui ''Jawa'' ''Hokokai''. Dalam masalah perekonomian, Jepang menyuruh kepada masyarakat untuk meningkatkan hasil bumi dan membentuk koperasi pertanian bersama [[pangreh praja]] untuk mempererat hubungan dengan pabrik penggilingan padi.<ref name=":2" />
=== Sidang ketujuh ===
* Melakukan pemantauan terhadap setiap barang-barang kepentingan perang yang berada di
*
* Untuk masalah ''
* Masyarakat harus diberikan [[pendidikan]] melalui [[sekolah]] atau lembaga pendidikan lainnya untuk mempersiapkan masyarakat dalam menerima kemerdekaan secara utuh.
* Harus ada penggabungan dari kedua organisasi masyarakat Jawa dan Madura yang mewakili golongan nasionalis dan Islam yang diwujudkan melalui ''Jawa Hokokai'' dan [[Masyumi]].<ref name=":2" />
=== Sidang kedelapan ===
Sidang kedelapan dilakukan pada 18 sampai 21 Juni 1945. Pembahasan sidang ini tentang cara membangkitkan semangat juang rakyat untuk mempercepat kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang ini, Soekarno membentuk dua ''Bunkakai''. ''Bunkakai'' I membahas cara membangkitkan semangat rakyat agar mengerahkan seluruh tenaganya untuk kemerdekaan Indonesia. ''Bunkakai'' II
* Mengembangkan sifat keprajuritan.▼
* Membangkitkan rasa kekeluargaan dan persatuan bangsa.▼
* Menyerahkan
*
* Memperluas pergerakan tentara PETA dengan menyempurnakan latihan untuk menghadapi musuh dan perang [[gerilya]].▼
* Membangkitkan dan memperkuat usaha dalam segala bidang, seperti melatih para [[pemuda]] untuk ditempatkan dalam kota atau daerah, mengerahkan ahli [[ilmu]] [[pengetahuan]], [[filsafat]] dan kebudayaan [[Indonesia]] untuk memelihara benda-benda kebudayaan seperti [[museum]], [[perpustakaan]], arsip, kesenian, dan sebagainya, menyelenggarakan usaha pendidikan dan pengajaran, menyelenggarakan latihan [[politik]], misalnya pengetahuan tentang masalah kenegaraan, kemerdekaan, nasionalisme, dan lain-lain.<ref name=":2" />▼
==Pembubaran==
▲'''''Ketujuh''''', sidang pada 21-26 Februari 1945, berdasarkan Maklumat ''Saiko'' ''Shikikin'' Nomor I tanggal 10 Februari 1945 tentang panggilan Sidang 7 ''Chuoo Sangi-in'', pertanyaan yang diajukan adalah “bagaimana melaksanakan dengan cepat dan tepat pembaharuan penghidupan rakyat”. Alasan diajukannya pertanyaan ini adalah mengingat pentingnya usaha untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Hasil dari sidang yang ke-7 ini adalah mengharapkan kepada masyarakat Indonesia untuk siap menerima hidup baru dengan menebalkan rasa nasionalisme Tanah Air Indonesia dan semangat berjuang dengan ikhlas dan siap mati untuk agama dan Tanah Air Indonesia. Untuk mencapai itu semua maka yang harus dilakukan adalah:
Pada persidangan
▲* Melakukan pemantauan terhadap setiap barang-barang yang berada di daerah-daerah di Jawa dan Madura guna kepentingan perang,
▲* Hendaknya rakyat dilatih untuk selalu siap dan bersedia dalam menghadapi musuh yang akan datang dengan memberikan pelatihan penggunaan senjata dan strategi perang terutama ada barisan ''Seineidan, Keibondan, Suisintai,'' Hizbullah, dan prajurit propaganda lainnya,
▲* Untuk masalah ''Rhomusa'', setiap pekerja harus diberikan makanan yang secukupnya dan sewaktu-waktu juga dilakukan pemeriksaan kesehatan, sehingga hasil dari setiap pekerjaan akan memberikan kualitas yang baik dan memberikan tempat bekerja bagi wanita yang sesuai dengan kapasitasnya,
▲agar mengerahkan seluruh tenaganya untuk kemerdekaan Indonesia. ''Bunkakai'' II, membahas cara menjalankan latihan untuk memperkuat pembelaan dan penyempurnaan usaha dalam rangka persiapan kemerdekaan dengan secepat-cepatnya. Hasil dari persidangan ke-8 ini adalah mengadakan gerakan semangat yang di antaranya adalah:
▲* Memperkuat cinta Tanah Air;
▲* Mengembangkan sifat keprajuritan.
▲* Membangkitkan rasa kekeluargaan dan persatuan bangsa.
▲* Menyerahkan selekasnya kekuasaan pemerintah, baik di pusat maupun di daerah kepada tenaga Indonesia.
▲* Memperluas perkembangan masyarakat dalam bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya.
▲* Memperluas pergerakan tentara PETA dengan menyempurnakan latihan untuk menghadapi musuh dan perang gerilya.
▲* Membangkitkan dan memperkuat usaha dalam segala bidang, seperti melatih para pemuda untuk ditempatkan dalam kota atau daerah, mengerahkan ahli ilmu pengetahuan, filsafat dan kebudayaan Indonesia untuk memelihara benda-benda kebudayaan seperti museum, perpustakaan, arsip, kesenian, dan sebagainya, menyelenggarakan usaha pendidikan dan pengajaran, menyelenggarakan latihan politik, misalnya pengetahuan tentang masalah kenegaraan, kemerdekaan, nasionalisme, dan lain-lain.
▲Pada persidangan ''Chuo Sangi-in'' yang ke-8 ini, Sukarno memanfaatkan untuk membahas masalah yang harus dibahas oleh panitia kecil, kemudian Sukarno juga membentuk anggota panitia kecil yang biasa disebut dengan “panitia sembilan”. Panitia ini bertugas untuk membukukan rancangan undang-undang, termasuk juga Dasar Negara. Panitia sembilan dibentuk sebagai upaya untuk mempertemukan pandangan dari dua golongan yang berbeda, antara Nasionalis dan Islam. Panitia sembilan ini akhirnya berhasil merumuskan dan menyetujui rancangan Pembukaan UUD, yang nantinya ditandatangani oleh setiap anggota panitia sembilan pada 22 Juni 1945. Hasil perumusan UUD itu disebut dengan “Piagam Jakarta”. Setelah persidang Badan Penasehat Pusat/''Chuo Sangi-in'' ke-8 selesai, para anggotanya lebih disibukkan dengan persiapan kemerdekaan Indonesia. hingga pada akhirnya, setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, tak ada lagi usulan dari ''Saikho Sikikan'' untuk kepentingan perang Asia Timur Raya. maka berakhirlah Badan Penasehat Pusat/''Chuo Sangi-in'' tanpa ada pembubaran yang resmi.<ref>{{Cite book|last=Herkusumo|first=Arniati Prasedyawati|date=1984|url=https://books.google.co.id/books/about/Ch%C5%AB%C5%8D_Sangi_in.html?hl=id&id=W1YeAAAAMAAJ&output=html_text|title=Chūō Sangi-in: Dewan Pertimbangan Pusat pada masa pendudukan Jepang|publisher=Rosda Jayaputra|language=id}}</ref>
{{Reflist}}
== Pranala luar ==
*[https://www.youtube.com/watch?v=7p5zkRGPZmE Pembukaan Sidang Chuo Sangi-In Pertama]
▲== Referensi ==
[[Kategori:Sejarah Nusantara]]
[[Kategori:Pendudukan Jepang di Indonesia]]
|