Sejarah pendidikan di Jepang: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Bot5958 (bicara | kontrib)
k Perbaikan untuk PW:CW (Fokus: Minor/komestika; 1, 48, 64) + genfixes
Xbypass (bicara | kontrib)
 
(Satu revisi perantara oleh satu pengguna lainnya tidak ditampilkan)
Baris 9:
==Abad ke-16==
{{see also|Perdagangan dengan Nanban}}
Pada abad keenam belas dan awal abad ketujuh belas, Jepang mengalami kontak yang intens dengan [[kekuatan besar]] Eropa. Misionaris [[Jesuit]], yang menemani pedagang [[Portugal|Portugis]], mengajarkan [[agama Kristen]] dan membuka sejumlah sekolah agama. Dengan demikian, siswa Jepang mulai belajar [[bahasa Latin]] dan [[musik klasik]] Barat, serta bahasa mereka sendiri.
 
==Zaman Edo==
Baris 16:
Ketika zaman Tokugawa dimulai, hanya sedikit orang biasa di Jepang yang bisa membaca atau menulis. Pada akhir zaman, pembelajaran telah menyebar luas. Pendidikan Tokugawa meninggalkan warisan yang berharga: populasi yang semakin melek huruf, ideologi [[meritokrasi|meritokratis]], dan penekanan pada disiplin dan kinerja yang kompeten. Di bawah kepemimpinan [[zaman Meiji|Meiji]] berikutnya, yayasan ini akan memfasilitasi transisi cepat Jepang dari negara masyarakat feodal ke negara modernisasi.<ref>R. P. Dore, The Legacy of Tokugawa Education," in Marius B. Jansen, ed., ''Changing Japanese attitudes toward modernization'' (1965) pp 99–131</ref>
 
Selama periode Tokugawa, peran banyak dari ''[[Samurai|bushi]]'', atau [[samurai]], berubah dari prajurit menjadi birokrat pemerintah, dan sebagai akibatnya, pendidikan formal dan literasi mereka meningkat secara proporsional. Kurikulum Samurai menekankan [[Moral|moralitas]] dan mencakup studi militer dan sastra. [[Klasik Tionghoa|Klasik Konfusianisme]] dihafal, dan membaca serta melafalkannya adalah metode belajar yang umum. Aritmatika dan [[kaligrafi]] juga dipelajari. Kebanyakan samurai bersekolah di sekolah yang disponsori oleh [[Han (Jepang)|han]] (domain) mereka, dan pada saat [[Restorasi Meiji]] tahun 1868, lebih dari 200 dari 276 han telah mendirikan sekolah. Beberapa samurai dan bahkan rakyat jelata juga menghadiri akademi swasta, yang sering mengkhususkan diri dalam mata pelajaran tertentu Jepang atau kedokteran Barat, ilmu militer modern, meriam, atau [[Rangaku]] (studi Belanda), sebagaimana [[studi Eropa]] disebut.
 
Pendidikan rakyat jelata umumnya berorientasi praktis, memberikan pelatihan dasar membaca, menulis, dan berhitung, menekankan [[kaligrafi]] dan penggunaan sempoa. Banyak dari pendidikan ini dilakukan di apa yang disebut sekolah kuil ([[terakoya]]), yang berasal dari sekolah Buddhis sebelumnya. Sekolah-sekolah ini bukan lagi lembaga keagamaan, dan pada tahun 1867, sebagian besar berlokasi di kuil-kuil. Pada akhir zaman Tokugawa, ada lebih dari 11.000 sekolah semacam itu, yang dihadiri oleh 750.000 siswa. Teknik pengajaran termasuk membaca dari berbagai buku teks, menghafal, sempoa, dan berulang kali menyalin [[karakter Tiongkok]] dan aksara Jepang.
Baris 34:
 
==1912 - 1945==
Pada awal abad ke-20, pendidikan di tingkat dasar [[Egalitarianisme|egaliter]] dan hampir universal, tetapi pada tingkat yang lebih tinggi itu multitrek, sangat selektif, dan [[elitis]]. Pendidikan [[Perguruan Tinggi]] sebagian besar terbatas pada beberapa [[Tujuh Universitas NasionalKekaisaran|universitas kekaisaran]], di mana pengaruh Jerman kuat. Tiga dari universitas kekaisaran menerima perempuan, dan ada sejumlah perguruan tinggi perempuan, beberapa cukup bergengsi, tetapi perempuan memiliki kesempatan yang relatif sedikit untuk memasuki pendidikan tinggi. Selama periode ini, sejumlah universitas didirikan oleh misionaris Kristen, yang juga berperan aktif dalam memperluas kesempatan pendidikan bagi perempuan, khususnya di tingkat menengah.
 
Setelah tahun 1919 beberapa universitas swasta menerima status resmi dan diberikan pengakuan pemerintah untuk program yang telah mereka lakukan, dalam banyak kasus, sejak tahun 1880-an. Pada tahun 1920-an, tradisi [[pendidikan liberal]] sebentar muncul kembali, khususnya di tingkat [[TK]], di mana metode [[Montessori]] menarik pengikut. Pada tahun 1930-an, pendidikan tunduk pada pengaruh [[militerisme|militer]] dan [[nasionalisme|nasionalistik]] yang kuat, di bawah [[Sadao Araki]].
Baris 43:
Pada tahun 1945 sistem pendidikan Jepang telah hancur, dan dengan kekalahan itu muncul banyak pemikiran sebelum perang yang didiskreditkan. Gelombang baru gagasan asing diperkenalkan selama periode pascaperang [[Pendudukan Jepang|pendudukan militer]].
 
Para pembuat kebijakan pendudukan dan [[Misi Pendidikan Amerika Serikat]], yang didirikan pada tahun 1946, membuat sejumlah perubahan yang bertujuan untuk mendemokratisasi pendidikan Jepang: melembagakan struktur kelas enam-tiga-tiga (enam tahun sekolah dasar, tiga tahun [[sekolah menengah pertama]], dan tiga tahun sekolah menengah atas) dan memperpanjang wajib belajar menjadi sembilan tahun. Mereka mengganti sistem sekolah menengah atas sebelum perang dengan sekolah menengah atas (sekolah menengah atas) yang komprehensif. Kurikulum dan buku pelajaran direvisi, kursus moral [[kokutai|nasionalistik]] dihapuskan dan diganti dengan [[ilmu sosial]], dewan sekolah yang dipilih secara lokal diperkenalkan, dan [[Serikat Guru Jepang|serikat guru]] didirikan.
 
Dengan dihapuskannya sistem pendidikan tinggi yang elitis dan bertambahnya jumlah institusi pendidikan tinggi, peluang untuk pendidikan tinggi semakin besar. Ekspansi dilakukan pada awalnya dengan memberikan status universitas atau [[perguruan tinggi]] kepada sejumlah institut teknik, sekolah normal, dan sekolah menengah lanjutan.