Mardiker: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Relly Komaruzaman (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Turmadan (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
 
(33 revisi perantara oleh 17 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
[[Berkas:Mardijker detail churchill 1704.jpg|jmpl|Seorang Mardijker dan istrinya, detail, Churchill 1704.]]
'''De Mardijkers''' atau Portugis Hitam adalah sebutan untuk para bekas anggota tentara [[Portugis]] dan keturunan India, Portugis juga Budak keturunan Afrika di [[Batavia]] yang dibebaskan dari tawanan Belanda. Setelah beralih dari [[Katolik]] menjadi [[Protestan]], mereka ditempatkan di [[Kampung Tugu]], dewasa ini termasuk wilayah Kecamatan [[Koja, Jakarta Utara]], dengan jemaat dan gereja tersendiri, [[Gereja Tugu]], yang dibangun pertama kali pada tahun [[1661]]. Terdapat juga Mardijkers keturunan Filipina yang bermukim di Kelurahan [[Papanggo, Tanjung Priok, Jakarta Utara|Papanggo]].
'''Mardiker''' ([[bahasa Belanda]]: ''mardijkers'') adalah sebutan umum abad 17-18 untuk para bekas budak dari [[Asia]] atau [[Afrika]], yang telah dimerdekakan, dan kemudian bersama keturunannya mengikuti budaya penjajahnya. Dalam arti sempit, kaum mardiker merujuk pada sekelompok bekas tawanan perang yang diperoleh [[Belanda]] ([[VOC]]) hasil kemenangannya menduduki wilayah jajahan [[Portugis]] di Asia ([[India]], [[Melaka]]), yang kemudian dibawa ke [[Batavia]] dan dimerdekakan setelah memenuhi syarat tertentu. Di [[Jakarta]], keturunan kaum mardiker ini masih tersisa, di antaranya, di bilangan [[Kampung Tugu]], di wilayah [[Jakarta Utara]]. Kelompok ini juga dikenal dengan sebutan ''Portugis Hitam''.
 
== Etimologi ==
Mardijkers berpakaian seperti orang [[Portugis]] dan menggunakan [[bahasa Portugis-Kreol]]. Sampai abad 18 orang-orang Mardijkers masih tinggal di kampung-kampung di [[Batavia]].
Istilah Belanda ''mardijkers'' dipinjam dari istilah Portugis ''mardicas''; yang asalnya dari perkataan [[Sanskerta]] ''maharddhika'', yang berarti "kaya", "sejahtera", atau "hebat". Dalam [[bahasa Jawa]] lama (''merdika'', dan kata turunannya ''perdikan'') kata itu mengacu pada orang atau tempat yang dibebaskan dari perbudakan, kungkungan penguasaan, atau kewajiban membayar pajak.<ref name=hendrik>{{aut|Niemejer, H.}} (2012). ''Batavia: masyarakat kolonial Abad XVII''. Jakarta: Masup Jakarta. xiv+449 hlm. ISBN 978-602-96256-7-7.</ref>{{rp|33}} Makna serupa dimiliki oleh kata serapan dalam [[Bahasa Indonesia]] ''merdeka'', yakni bebas dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya.<ref>KBBI Daring: [https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/merdeka ''merdeka'']</ref>
 
Kaum mardiker semula merujuk pada kelompok budak dan tawanan perang tentara Portugis, terdiri dari warga setempat wilayah yang ditaklukkan, yang kemudian dimerdekakan dengan syarat mau memeluk agama [[Kristen]] ([[Katolik]]) dan bersedia menjadi [[milisi]].<ref>{{aut|Andaya, L.Y.}} (1999) [https://books.google.co.id/books?id=GIz4CDTCOwcC&pg=PA1#v=onepage&q&f=false "Interaction with the Outside World and adaptations in South Asian society 1500-1800"], <u>in</u> N. Tarling (Ed.) ''The Cambridge History of Southeast Asia'' vol. '''I'''(2) From c. 1500 to c. 1800: 1-57. Cambridge:Cambridge Univ. Press</ref>{{rp|20}} Pendekatan ini kemudian ditiru serta diterapkan oleh [[Spanyol]] dan [[Belanda]] di wilayah-wilayah jajahannya.
== Sejarah ==
Bangsa Portugis selain sebagai penjajah juga mempunyai misi religius dalam menyebarkan agama Katolik, yang memungkinkan mereka untuk berinteraksi sangat dekat dengan penduduk lokal, bahkan tidak ada masalah bagi mereka untuk melakukan perkawinan secara sah dan resmi di bawah gereja. Hal inilah yang mendorong terjadinya proses akulturasi budaya dengan para penduduk lokal, seperti halnya para keturunan Portugis yang ada di benua [[Amerika Selatan]]. Mereka terlahir sebagai "Mardijkers" atau Portugis Hitam, dengan memakai nama belakang atau marga Portugis dari pihak ayah mereka.
 
Setelah dibebaskan, kelompok warga ini lalu mengidentifikasi diri sebagai 'orang Portugis'; meskipun sesungguhnya tidak ada atau hanya sedikit darah Portugis yang mengalir di tubuhnya. Bukan hanya menganut agama bangsa penakluknya, mereka pun kemudian memakai nama, berbicara, berpakaian, dan bertingkah laku serta mengambil sebagian budaya Portugis. Secara umum, kelompok ini dikenal sebagai ''lusofon'' ([[:en:lusophone]]).<ref>{{aut|Irving, D.R.M.}} (2018) [https://books.google.co.id/books?id=X_U4DwAAQBAJ&pg=PA111#v=onepage&q&f=false "Music and cosmopolitanism in the early modern Lusophone World"], <u>in</u> F. Bethencourt (Ed.) ''Cosmopolitanism in the Portuguese-speaking World''. Leiden:Koninklijke Brill.</ref>{{rp|128-9}}
Setelah beberapa tahun lamanya mereka menetap di Batavia dengan status sebagai tawanan perang, lalu tahun 1661 pada masa [[Gubernur Jenderal]] [[Joan Maetsuycker]] yang berkuasa di Batavia dari tahun [[1653]]–[[1678]]. Atas persetujuan gereja Protestan Batavia dengan [[VOC]] mereka dibebaskan, walau dengan syarat mereka harus melepaskan agama Katolik, dan berpindah menjadi Protestan. Belanda pada saat itu melarang keras berkembangnya agama Katolik di wilayah jajahannya. Kira-kira sebanyak 23 kepala keluarga atau sekitar 150 jiwa dibebaskan oleh pemerintah Hindia Belanda, mereka diberikan lahan atau wilayah yang terletak 10 kilometer arah tenggara Kota Batavia.
 
== Mardiker di Indonesia ==
Di tempat yang baru ini, secara kuantitas masyarakat Tugu berkembang pesat, walaupun pada tahun [[1700]] banyak dari mereka yang meninggal, akibat terserang wabah penyakit. Hal ini dibuktikan dengan data sensus pada tahun [[1735]], jumlah mereka hanya sekitar 134 jiwa.
Kaum mardiker ini merupakan salah satu penghuni awal loji VOC di Jaccatra ([[Jayakarta]]). Catatan VOC tahun 1618 menyebutkan sekitar 70 warga mardiker yang menyandang nama-nama Portugis telah berada di loji ini; kemungkinan berasal dari kapal-kapal Portugis yang berhasil dikalahkan atau dirampok ketika itu.<ref name=hendrik/>{{rp|32}} Ketika VOC merebut Melaka dari tangan Portugis pada tahun 1641, tentaranya membawa pulang tawanan yang kebanyakan adalah kaum mardiker asal [[Bengali]] dan [[Koromandel]] yang menjadi milisi Portugis di Melaka. Para tawanan ini kemudian dijadikan budak-budak pekerja di Batavia, dan dilarang untuk melaksanakan ibadah agama Katolik yang dianutnya. Akan tetapi budak-budak ini dapat dibebaskan jika mau berpindah keyakinan menjadi Kristen [[Protestan]] sebagaimana orang Belanda.<ref name=ganp>{{aut|[[Victor Ganap|Ganap, V.]]}} (2013) [http://www.cavaquinhos.pt/en/CAVAQUINHO/Keroncong%20Indonesia%20History.htm "Krontjong Toegoe in Tugu Village: Generic Form of Indonesian Keroncong Music"] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20180703222400/http://www.cavaquinhos.pt/en/CAVAQUINHO/Keroncong%20Indonesia%20History.htm |date=2018-07-03 }}. E-Journal: ''Associação CULTURAL MUSEU CAVAQUINHO''.</ref>
 
Meskipun berkulit gelap sebagaimana umumnya orang [[Tamil]], kelompok mardiker ini memandang diri mereka sebagai orang Portugis. Selain beragama Nasrani, orang-orang mardiker membedakan diri dari warga etnis Asia yang lainnya dengan mengambil nama-nama Portugis atau Belanda untuk diri atau keturunan mereka,<ref name=hendrik/>{{rp|33}} menggunakan bahasa [[Kreol Portugis]]<ref>LIPI: [http://ipsk.lipi.go.id/index.php/kolom-peneliti/kolom-kemasyarakatan-dan-kebudayaan/417-punahnya-bahasa-kreol-portugis ''Punahnya bahasa Kreol-Portugis ...''] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20200808003934/http://ipsk.lipi.go.id/index.php/kolom-peneliti/kolom-kemasyarakatan-dan-kebudayaan/417-punahnya-bahasa-kreol-portugis |date=2020-08-08 }}. Diakses 13/VII/2018</ref> atau Portugis pasar<ref name=hendrik/>{{rp|35}} dan berpakaian seperti orang [[Portugis]]. Puncak populasi kaum mardiker ini di masa penguasaan [[VOC]] adalah sekitar 7.500 orang, dan saat itu menjadi kelompok terbanyak di antara penutur bahasa Kreol Portugis di Batavia.<ref>{{aut|Byrne, J.}} (2011) "The Luso-Asians and other Eurasians: their domestic and diasphoric identities". <u>in</u> L. Jarnagin (Ed.) ''Portuguese and Luso-Asian Legacies in Southeast Asia, 1511-2011''. [https://books.google.co.id/books?id=-kloBwAAQBAJ&pg=PA136#v=onepage&q&f=false Vol. '''I''' The making of the Luso-Asian world: intricacies and engagement:136-7]. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies</ref>
== Merdeka ==
 
Kata Mardijkers banyak dipercaya sebagai cikal bakal kata "Merdeka" yang berarti bebas. Meskipun demikian, istilah Mardijker ini sesungguhnya adalah penggunaan Belanda atas versi Portugis dari kata ''Maharddhika'', yaitu kata [[bahasa Sanskerta]] yang berarti "orang besar" atau "orang hebat".
Dengan meningkatnya keamanan lingkungan di wilayah ''[[Ommelanden]]'' (yaitu di luar benteng kota Batavia), para mardiker ini berangsur-angsur menyebar ke luar kota untuk mengelola lahan-lahan pertanian.<ref name=hendrik/>{{rp|34}} Jumlah kaum mardiker di dalam kota Batavia yang pada 1876 tercatat sebanyak 6.000 orang, lambat laun turun menjadi 2.000 orang pada tahun 1685.<ref name=par>{{aut|[[Parakitri Tahi Simbolon|Simbolon, P.T.]]}} (2007) ''[[Menjadi Indonesia]]'' Cet. ke-3. Jakarta:Penerbit Kompas.</ref>{{rp|53}} Beberapa dari orang-orang mardiker ini berhasil dalam usahanya, memiliki lahan-lahan luas dan rumah yang bagus di tengah kebunnya di Ommelanden dan memperoleh kehormatan yang cukup tinggi di masyarakat.<ref name=hendrik/>{{rp|34}}
 
Kelompok mardiker juga terdapat di Kota [[Ambon]]. Sebagaimana di Batavia, orang-orang ini berasal dari bekas budak-budak Portugis yang telah dibebaskan beserta keturunannya. Kelompok ini direkrut sebagai serdadu dan pengawal kota, sekurangnya semenjak perlawanan [[Pattimura]] pada tahun 1817.<ref>{{aut|Leirissa, R.Z.}} (2000) [http://booksandjournals.brillonline.com/docserver/22134379/156/3/22134379_156_03_s11_text.pdf?expires=1531404548&id=id&accname=guest&checksum=44B56ADA4C8DAA859BEA21BD636ACE4E "Ambon and Ternate through the 19th century"], <u>in</u> R. Tol, K. van Dijk, G. Acciaioli (Eds.) ''Authority and enterprise among the people of South Sulawesi'', ''VKI'' '''188'''. Leiden:KITLV Press.</ref>{{rp|627}}
 
Kaum mardiker yang lain adalah yang berasal dari [[Filipina]], berdiam di Batavia di wilayah [[Papanggo, Tanjung Priok, Jakarta Utara|Papanggo]] sekarang. Nama Papanggo berasal dari perkataan [[bahasa Belanda|Belanda]] ''de Papangers'',<ref name=par/>{{rp|462}} yang berarti "orang-orang Pampanga" merujuk pada lokasi asalnya di wilayah [[Pampanga]], [[Luzon]].<ref>{{aut|Pickell, D.}} (1991) ''East of Bali: From Lombok to Timor''. Passport Books. ([https://books.google.co.id/books?id=aUgsAQAAMAAJ&dq=papangers%20Philippines&hl=es&source=gbs_book_other_versions cuplikan])</ref>
 
Mardiker masih tercatat sebagai salah satu kelompok warga Batavia hingga tahun 1815, di bawah kelompok ''inheemsche Christenen'' yang berarti Kristen pribumi.<ref name=ganp/>
 
== Mardiker dan Kampung Tugu ==
Salah satu tempat yang dikenal erat hubungannya dengan kaum mardiker ini adalah [[Kampung Tugu]], yang dewasa ini termasuk wilayah Kecamatan [[Cilincing, Jakarta Utara|Cilincing]], [[Jakarta Utara]]. Pada 1661 Pemerintah Kota Batavia memberikan sebagian lahan di kampung ini kepada 23 keluarga mardiker untuk mengembangkan pertanian.<ref name=heuk>{{aut|[[Adolf Heuken|Heuken, A.]]}} (2016) ''Tempat-tempat bersejarah di Jakarta''. Ed. 8. Jakarta: Yay. Cipta Loka Caraka.</ref>{{rp|166}}
 
Sejak itu masyarakat mardiker tumbuh dan berkembang di Kampung Tugu. Mereka mempertahankan adat budaya kaum mardiker, termasuk bahasa, pakaian, dan juga musik ([[keroncong]]) serta budaya lainnya. Untuk mempertahankan keyakinan Protestannya, pada 1678 Pemerintah Kota Batavia mengirimkan pendeta [[Melchior Leydekker]] untuk bekerja di kampung ini. Pada tahun itu pula dibangun [[Gereja Tugu]] sebagai tempat ibadah warga setempat. Sekurang-kurangnya, hingga pertengahan abad ke-20 orang-orang Tugu berhasil mempertahankan identitas budayanya.<ref name=heuk/>{{rp|166-70}}
<!--
== Sejarah ==
Bangsa Portugis selain sebagai penjajah juga mempunyai misi religius dalam menyebarkan agama Katolik, yang memungkinkan mereka untuk berinteraksi sangat dekat dengan penduduk lokal, bahkan tidak ada masalah bagi mereka untuk melakukan perkawinan secara sah dan resmi di bawah gereja. Hal inilah yang mendorong terjadinya proses akulturasi budaya dengan para penduduk lokal, seperti halnya para keturunan Portugis yang ada di benua [[Amerika Selatan]]. Mereka terlahir sebagai "Mardijkers" atau Portugis Hitam, dengan memakai nama belakang atau marga Portugis dari pihak ayah mereka.
 
Komunitas Portugis di mulai ketika orang Portugis membina benteng di Sunda Kelapa, akan tetapi banyak dari suku "Mardijikers" di bawa oleh Belanda setelah mereka menjajah [[Melaka]] yang masa itu berada di tangan Portugis, pada abad ke 17, banyak dari penduduk yang bisa berbahasa Portugis di bawa ke Batavia sebagai tawanan perang. Setelah beberapa tahun lamanya mereka menetap di Batavia dengan status sebagai tawanan perang, lalu tahun 1661 pada masa [[Gubernur Jenderal]] [[Joan Maetsuycker]] yang berkuasa di Batavia dari tahun [[1653]]–[[1678]]. Atas persetujuan gereja Protestan Batavia dengan [[VOC]] mereka dibebaskan, walau dengan syarat mereka harus melepaskan agama Katolik, dan berpindah menjadi Protestan. Belanda pada saat itu melarang keras berkembangnya agama Katolik di wilayah jajahannya. Kira-kira sebanyak 23 kepala keluarga atau sekitar 150 jiwa dibebaskan oleh pemerintah Hindia Belanda, mereka diberikan lahan atau wilayah yang terletak 10 kilometer arah tenggara Kota Batavia yang sekarang bernama [[Kampung Tugu]] di Jakarta Utara. Orang yang melepaskan agama Katolik di sebut "Mardijkers". Kaum Katolik yang menolak untuk mengadop agama Protestan di buang ke kepulauan Nusa Tenggara sebagai budak. Kaum Madjikers di kaumkan terpisah dari kaum "Indo-European" yang dahulunya memang di dominasikan oleh kaum Portugis, ini di karenakan tidak semua kaum Mardijikers memiliki keturunan Portugis, melainkan adalah keturunan budak yang berasal dari berbagai bangsa yang di jajah Portugis pada masa itu dan bisa berbahasa Portugis. Pada masa awal penjajahan Mardijikers kategorikan sebagai "inlandse Christenen" atau "Pribumi beragama Kristiani". Akan tetapi setelah masa berlalu Madjikers terasimilisasikan dengan kaum Indo-European di karenakan agama yang mereka anut.
 
Di tempat yang baru ini, secara kuantitas masyarakat Tugu berkembang pesat, walaupundan pada tahunsensus [[1700]] banyak dari mereka yang meninggal, akibat terserang wabah penyakit. Hal ini dibuktikan dengan data sensusBatavia pada tahun [[1735]],1699 jumlah merekaMadjikers hanyamencapai sekitar 1342,407 jiwa.
-->
 
== Tentara ==
Setelah dibebaskan, Mardijkers bertugas kembali di ketentaraan VOC, dan secara tradisional, keturunan merekapun menjadi serdadu. Kemudian masuk juga mantan budak-budak yang berasal dari [[India]] dan [[Afrika]], yang bercampur dengan budak-budak yang berasal dari [[Sulawesi]], [[Bali]] dan [[Melayu]].
 
Tahun [[1777]] masih terdapat 6 kompi Mardijkers (sekitar 1.200 orang) di dinas ketentaraan VOC yang bertugas menjaga perumahan Belanda di dalam kota. Tahun [[1803]] masih tersisa satu kompi, dan kompi terakhir dibubarkan tahun [[1808]].
 
== Tokoh terkenal ==
* [[Augustijn Michiels]] (1769 - 1833), tuan tanah
 
== Lihat pula ==
* [[Belanda Hitam]]
 
== Catatan kaki ==
{{reflist|3}}
 
== Pranala luar ==
* {{id}} Pemda DKI: [https://jakarta.go.id/artikel/konten/2305/mardijker ''Mardijker''] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20180713174452/https://jakarta.go.id/artikel/konten/2305/mardijker |date=2018-07-13 }}. Diakses 13/VII/2018
* {{id}} [http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/04/mardijkers-marechausse-tentara.html Mardijkers, Marechaussée, Tentara Kontrakan, Belanda Hitam dan KNIL]
 
{{Orang Indo}}
{{Tentara Hindia Belanda}}
{{India Indonesia}}
 
{{indo-sejarah-stub}}
 
[[Kategori:Hindia Belanda]]
[[Kategori:SukuKelompok bangsaetnik di Indonesia]]
[[Kategori:Orang Indo]]
[[Kategori:Portugis-Indonesia]]
[[Kategori:Sejarah militer Indonesia]]