Qurotul Ain: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Pengembalian suntingan oleh 114.79.7.39 (bicara) ke revisi terakhir oleh Arya-Bot
Tag: Pengembalian Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Raden Salman (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
 
(7 revisi perantara oleh 5 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Infobox religious biography|honorific-prefix=As-Syekh|name=Sayyid Hasanuddin<br> ( Syekh Qurotul'ain )|image=Makam Quro dan Bentong - Tan Go Wat.jpg|alt=|caption=Petunjuk Makam Syekh Quro dan Syekh Bentong|religion=[[Islam]]|denomination=[[Sunni]]|known_for=|birth_name=Sayyid Hasanuddin|birth_date=|birth_place=|death_date=|death_place=|father=[[Sayyid Yusuf Ash-Shiddiq]]|mother=|children=*[[Sayyid Ahmad]]|resting_place=|spouse=Ratna Sondari|office1=|term_start1=|term_end1=|predecessor1=|successor1=|office2=|term_start2=|term_end2=|predecessor2=|successor2=|predecessor=|successor=}}
{{Refimprove-bio-tokohmuslim}}
[[Berkas:Makam Quro dan Bentong - Tan Go Wat.jpg|jmpl|291x291px|Petunjuk Makam Quro dan Bentong - Tan Go Wat]]
'''Syekh Quro''' adalah Syekh Qurotul Ain atau Syekh Hasanuddin atau Syekh Mursahadatillah. Menurut naskah Purwaka Caruban Nagari, Syekh Quro adalah seorang ulama. Dia adalah putra ulama besar Perguruan Islam dari negeri Campa yang bernama Syekh Yusuf Ash-Shodiq yang masih ada garis keturunan dengan Syekh [[Husein Jamaluddin Jumadhil Kubro ]] serta Sultan Syekh Ahmad Shah Jalaluddin bin Sultan Habib Abdullah Amir Khan bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alawi Ammul Faqih ulama besar Hadralmaut Tarim. Jika ditarik dan dilihat dari silsilah keturunan, Syekh Hasanuddin atau Syekh Quro masih keturunan dari Sayydina Husein bin Sayyidina Ali K.R.W, dan Sayyidatina Fatimah Az-Zahra Putri Nabi [[Muhammad]] SAW. dari keturunan Dyah Kirana ( Ibunya Syekh Hasanuddin atau Syekh Quro ). Selain itu Syekh Hasanuddin atau Syekh Quro juga masih saudara seketurunan dengan ulama Cirebon dari generasi ke– 4 Sultan Habib Abdullah Amir Khan Al-Hindi Wafat Di India.
 
'''Syekh Quro''' adalah Syekh Qurotul Ain atau Syekh Hasanuddin atau Syekh Mursahadatillah. Menurut Naskah Purwaka Caruban Nagari, Syekh Quro adalah seorang Ulama. Beliau adalah putra Syekh Yusuf Ash-Shiddiq bin Jamaluddin Akbar Al Husaini.
Sebelum berlabuh di Pelabuhan Karawang, Syekh Quro datang di Pelabuhan Muara Jati, daerah [[Cirebon]] pada tahun 1338 Saka atau tahun 1416 Masehi. Sementara Syekh Nurjati mendarat di Cirebon pada tahun 1342 Saka atau tahun 1420 Masehi atau 4 tahun setelah pendaratan Syekh Hasanuddin atau Syekh Quro di Cirebon. Kedatangan Syekh Hasanuddin atau Syekh Quro di Cirebon, disambut baik oleh Syahbandar atau penguasa Pelabuhan Muara Jati Cirebon yang bernama Ki Gedeng Tapa.
 
Berikut adalah daftar muridnya yang dikenal, antara lain :
Maksud dan tujuan kedatangan Syekh Hasanuddin ke Cirebon adalah untuk menyebarkan ajaran Agama [[Islam]] kepada Rakyat Cirebon. Syekh Hasanuddin ketika di Cirebon, namanya disebut dengan sebutan Syekh Mursahadatillah oleh Ki Gedeng Tapa dan para santrinya atau rakyat Cirebon.
 
Setelah sekian lama di Cirebon, akhirnya misi Syekh Hasanuddin untuk menyebarkan ajaran Agama Islam di Pelabuhan Cirebon rupanya diketahui oleh Raja Pajajaran yang bernama Prabu Angga Larang. Kemudian Prabu Angga Larang mengutus utusannya untuk mengetahui misi penyebaran Agama Islam yang dibawakan oleh Syekh Hasanudin.
 
Ketika utusan Prabu Angga Larang sampai di Pelabuhan Cirebon, maka utusan tersebut diterima dengan ramah oleh Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah atau Syekh Quro. Syekh Hasanuddin atau Syekh Mursahadatillah seraya berkata kepada utusan Raja Pajajaran Prabu Angga Larang : “Kelak dari keturunan raja Pajajaran akan ada yang menjadi Waliyullah meneruskan perjuangan penyebaran ajaran Agama Islam ”. Peristiwa ini disambut gembira oleh Ki Gedeng Tapa dan para santri atau rakyat Cirebon, karena Ki Gedeng Tapa sangat ingin terus berguru kepada Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah atau Syekh Quro untuk memperdalam ajaran Agama Islam.
 
Suatu waktu Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah pernah pamit kepada Ki Gedeng Tapa - Muara Jati Cirebon karena harus berdakwah ke Malaka dan Sumatera, maka Ki Gedeng Tapa Muara Jati Cirebon menitipkan anak kandung Putri kesayangannya yang bernama Nyi Subang Larang, untuk ikut berlayar bersama Syekh Hasanuddin atau Syekh Mursahadatillah ke Malaka.
 
* Syekh Abdurrahman
== Keberadaan di Karawang ==
* Syekh Maulana Madzkur
Syekh Hasanuddin atau Syekh Mursahadatillah mukim dan diberi lahan oleh Raja Sunda-Pajajaran yang berada di Pelabuhan Bunut - Kertayasa ( Kampung Bunut, Kelurahan Karawang Kulon - Kecamatan Karawang Barat Kabupaten Karawang sekarang ini ). Maka di Karawang ini Syekh Hasanudin dikenal sebagai Syekh Quro karena dia adalah seorang yang hafal [[Al-Quran]] (hafidz) dan sekaligus qori yang bersuara merdu.
* Nyai Subang Larang
* Syekh Ahmad
* [[Tan Go Wat|Syekh Bentong]]
* [[Pangeran Walangsungsang]]
* [[Rara Santang]]
* [[Prabu Kiansantang|Raden Kian Santang]]
 
Syekh Qurotul'ain dan [[Datuk Kahfi|Syekh Nurjati]] merupakan Penyebar agama Islam periode Awal di Jawa Barat.
Syekh Quro datang di Karawang pada tahun 1418 Masehi, setelah mendarat di Muara Jati Cirebon tahun 1416 masehi dengan menumpang armada [[Laksamana Cheng Ho]] yang diutus Kaisar Tiongkok Cheng Tu atau Yung Lo (raja ketiga zaman Dinasti Ming).
 
== Kedatangan Laksamana Cheng Ho ==
[[Berkas:Zheng_he.jpg|jmpl|[[Laksamana Cheng Ho]]]]
Ekspedisi Tiongkok datang ke Cirebon atas titah Kaisar Ming, Kaisar Yongle dari Tiongkok (berkuasa tahun 1403-1424), kaisar ketiga dari Dinasti Ming yang sangat terkenal pada tahun 1432 masehi. Dipimpin oleh '''Laksamana Cheng Ho dan Laksamana Sampo Bo.'''
 
Baris 45:
 
Meski sempat lama singgah di Cirebon, tidak banyak petilasan Cheng Ho di daerah itu. Yang masih bisa dijumpai adalah bekas mercusuar di kawasan Muara Jati. Mercusuarnya sendiri roboh pada zaman Belanda. Kini satu-satunya landmark justru bangunan modern berupa replika kapal yang dibangun pengusaha Cirebon keturunan Tionghoa. Yakni restoran berupa replika kapal Cheng Ho.
 
== Kedatangan Laksamana Sampo Bo ==
 
Ekspedisi berikutnya, saat mendarat di negeri Campa (Kamboja), Laksamana sampo Bo bertemu dengan Laksamana Sampo Lo Khoei Kian. '''Sampo Lo Khoei Kian''' adalah salah seorang laksamana laut yang sangat tangguh dan kepercayaan juga orang andalan dari Panglima Cheng Ho.
Baris 58 ⟶ 60:
Tujuan utama perjalanan Cheng Ho dalam rangka menjalin persahabatan dengan raja-raja tetangga Tiongkok di seberang lautan. Maka ketika Syekh Quro beserta pengiringnya turun Muara Jati dan kemudian ke Pelabuhan Pura Dalam Karawang, maka armada Tiongkokpun berlabuh di Pelabuhan Muara Jati - Cirebon dan mengisi perbekalan.
 
== Dakwah Di Cirebon ==
Di [[Kabupaten Karawang]] pada tahun 1340 Saka (1418 M) didirikan pesantren dan sekaligus masjid di Pelabuhan Bunut Kertayasa[[Tanjungpura, Karawang Barat, Karawang|, Karawang Kulon Karawang Barat]] sekarang, diberi nama Pondok Quro yang artinya tempat untuk belajar Al Quran. Syekh Quro adalah penganut Mahzhab Hanafi, yang datang bersama para santrinya antara lain: Syekh Abdurrahman, Syekh Maulana Madzkur, dan Nyai Subang Larang.
Syekh Quro datang di Pelabuhan Muara Jati, [[Cirebon]] pada tahun 1416 Masehi. Sementara Syekh Nurjati mendarat di Cirebon pada tahun 1420 Masehi atau 4 tahun setelah pendaratan Syekh Hasanuddin atau Syekh Quro di Cirebon. Kedatangan Syekh Hasanuddin atau Syekh Quro di Cirebon, disambut baik oleh Syahbandar atau penguasa Pelabuhan Muara Jati Cirebon yang bernama Ki Gedeng Tapa.
 
Maksud dan tujuan kedatangan Syekh Hasanuddin ke Cirebon adalah untuk menyebarkan ajaran Agama [[Islam]] kepada Rakyat Cirebon. Syekh Hasanuddin ketika di Cirebon, namanya disebut dengan sebutan Syekh Mursahadatillah oleh Ki Gedeng Tapa dan para santrinya atau rakyat Cirebon.
Syekh Quro kemudian menikah dengan Ratna Sondari putrinya dari Ki Gedeng Karawang dan lahir seorang putra yang bernama Syekh Ahmad Azmatkhan yang menjadi penghulu pertama di Karawang. Syekh Quro juga memiliki salah satu santri yang sangat berjasa dalam menyebarkan ajaran Agama Islam di Karawang yaitu bernama Syech Abdulah Dargom alias Syech Darugem bin Jabir Modafah alias Syech Maghribi keturunan dari Sayyidina Usman bin Affan r. a. Yang kelak disebut dengan nama ''[[Syekh Bentong]]'' alias Tan Go. Syekh Bentong memiliki seorang istri yang bernama ''Siu Te Yo'' dan dia mempunyai seorang putri yang diberi nama [[Siu Ban Ci]].
 
Setelah sekian lama di Cirebon, akhirnya misi Syekh Hasanuddin untuk menyebarkan ajaran Agama Islam di Pelabuhan Cirebon rupanya diketahui oleh Raja Pajajaran yang bernama Prabu Angga Larang. Kemudian Prabu Angga Larang mengutus utusannya untuk mengetahui misi penyebaran Agama Islam yang dibawakan oleh Syekh Hasanudin.
Ketika usia anak Syekh Quro dan Ratna Sondari sudah beranjak dewasa, akhirnya Syekh Quro berwasiat kepada santri–santri yang sudah cukup ilmu pengetahuan tentang ajaran Agama Islam seperti: Syekh Abdurrahman dan Syekh Maulana Madzkur di tugaskan untuk menyebarkan ajaran Agama [[Islam]] ke bagian selatan Karawang, tepatnya ke kecamatan Telukjambe, Ciampel, Pangkalan, dan Tegalwaru sekarang. Sedangkan anaknya Syekh Quro dengan Ratna Sondari yang bernama Syekh Ahmad, ditugaskan oleh sang ayah meneruskan perjuangan menyebarkan ajaran Agama Islam di Pesantren Quro Karawang atau [[Masjid Agung Karawang]] sekarang.
 
Ketika utusan Prabu Angga Larang sampai di Pelabuhan Cirebon, maka utusan tersebut diterima dengan ramah oleh Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah atau Syekh Quro. Syekh Hasanuddin atau Syekh Mursahadatillah seraya berkata kepada utusan Raja Pajajaran Prabu Angga Larang : “Kelak dari keturunan raja Pajajaran akan ada yang menjadi Waliyullah meneruskan perjuangan penyebaran ajaran Agama Islam ”. Peristiwa ini disambut gembira oleh Ki Gedeng Tapa dan para santri atau rakyat Cirebon, karena Ki Gedeng Tapa sangat ingin terus berguru kepada Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah atau Syekh Quro untuk memperdalam ajaran Agama Islam.
Sedangkan sisa santrinya yang lain yakni Syech Bentong ikut bersama Syech Quro dan Ratna Sondari istrinya pergi ke bagian Utara Karawang tepatnya ke Pulo Bata Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang sekarang untuk menyebarkan ajaran Agama Islam dan bermunajat kepada Allah swt. Di Pulo Bata Syech Quro dan Syech Bentong membuat sumur yang bernama sumur Awisan, kini sumur tersebut masih dipergunakan sampai sekarang.
 
Suatu waktu Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah pernah pamit kepada Ki Gedeng Tapa - Muara Jati Cirebon karena harus berdakwah ke Malaka dan Sumatera, maka Ki Gedeng Tapa Muara Jati Cirebon menitipkan anak kandung Putri kesayangannya yang bernama Nyi Subang Larang, untuk ikut berlayar bersama Syekh Hasanuddin atau Syekh Mursahadatillah ke Malaka.
Waktu terus bergulir usia Syech Quro sudah sangat uzur, akhirnya Syech Quro Karawang meninggal dunia dan dimakamkan di Pulo Bata Desa Pulo Kalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang. Maka penerus perjuangan penyebaran ajaran Agama Islam di Pulo Bata, diteruskan oleh Syekh Bentong sampai akhir hayatnya Syekh Bentong.
 
== Menetap Di Karawang ==
Makam Syekh Quro Karawang dan Makam Syekh Bentong ditemukan oleh Raden Somaredja alias Ayah Djiin alias Pangeran Sambri dan Syech Tolha pada tahun 1859 Masehi atau pada abad ke – 19. Raden Somaredja alias Ayah Djiin alias Pangeran Sambri dan Syech Tolha, di tugaskan oleh Kesultanan Cirebon, untuk mencari makam Maha guru leluhur Cirebon yang bernama Syech Quro.
Di [[Kabupaten Karawang]] pada tahun 1418 M didirikan pesantren dan sekaligus masjid di Pelabuhan Bunut Kertayasa[[Tanjungpura, Karawang Barat, Karawang|, Karawang Kulon Karawang Barat]] sekarang, diberi nama Pondok Quro yang artinya tempat untuk belajar Al Quran.
 
Di Karawang, Syekh Hasanudin dikenal dengan nama Syekh Quro karena dia adalah seorang yang hafal [[Al-Quran]] (hafidz) sekaligus qori yang bersuara merdu.
Bukti adanya makam Syekh Quro Karawang di Pulo Bata Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang, di perkuat lagi oleh Sunan Kanoman Cirebon yaitu Pangeran Haji Raja Adipati Jalaluddin saat berkunjung ke tempat itu dan surat, penjelasan sekaligus pernyataan dari Putra Mahkota Pangeran Jayakarta Adiningrat XII Nomor: P-062/KB/PMPJA/XII/11/1992 pada tanggal 05 Nopember 1992 yang di tunjukan kepada Kepala Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang.
 
Syekh Quro adalah penganut Mahzhab Hanafi, yang datang bersama para santrinya antara lain: Syekh Abdurrahman, Syekh Maulana Madzkur, dan Nyai Subang Larang.
 
Syekh Quro kemudian menikah dengan Ratna Sondari putrinya dari Ki Gedeng Karawang dan lahir seorang putra yang bernama Syekh Ahmad Azmatkhan yang menjadi penghulu pertama di Karawang. Syekh Quro juga memiliki salah satu santri yang sangat berjasa dalam menyebarkan ajaran Agama Islam di Karawang yaitu bernama Syech Abdulah Dargom alias Syech Darugem bin Jabir Modafah alias Syech Maghribi keturunan dari Sayyidina Usman bin Affan r. a. Yang kelak disebut dengan nama ''[[Syekh Bentong]]'' alias Tan Go. Syekh Bentong memiliki seorang istri yang bernama ''Siu Te Yo'' dan dia mempunyai seorang putri yang diberi nama [[Siu Ban Ci]].
== Keterkaitan Syekh Quro dengan Raden Pamanah Rasa ==
 
== Menjadi Penghulu Pernikahan Muridnya ==
[[Berkas:Prabu Siliwangi Portrait.jpg|jmpl|Reden Pamanah Rasa Raja Pajajaran [[Sri Baduga Maharaja]]]]
Setelah beberapa waktu berada di pelabuhan Karawang, Syekh Hasanuddin menyampaikan dakwahnya di musholla yang dibangunnya dengan penuh keramahan. Uraiannya tentang agama Islam mudah dipahami, dan mudah pula untuk diamalkan, karena ia bersama santrinya langsung memberi contoh. Pengajian [[Al-Qur’an]] memberikan daya tarik tersendiri, karena ulama besar ini memang seorang Qori yang merdu suaranya. Oleh karena itu setiap hari banyak penduduk setempat yang secara sukarela menyatakan masuk Islam.
Baris 94 ⟶ 102:
Setelah cukup mendapatkan bimbingan dari Syekh Nurjati Cirebon, maka ketiga anak–anak dari Nyi Subang Larang dengan Raden Pamanah Rasa, adik bungsu dari Nyi Mas Rara Santang dan Raden Walasungsang yang bernama Raden Sangara atau Raden Kian Santang bertugas menyebarkan dan mengajarkan ajaran Agama Islam di Barat Cirebon yakni ke wilayah Limbangan - Kabupaten Garut. Sedangkan Nyi Mas Rara Santang bersama kakaknya Raden Walasungsang ditugaskan untuk berhaji dan sebelum berhaji disarankan terlebih dahulu menemui Syekh Ibrahim di Campa untuk mendapatkan bimbingan.
 
== Penugasan Dakwah ==
Ketika setelah mendapatkan bimbingan dari Syech Ibrahim, maka Raden Walasungsang dan Nyi Mas Rara Santang ditugaskan untuk melanjutkan perjalanannya ke Mekkah. Selama di Mekah, keduanya tinggal di pondok Syech Bayanullah, adik Syekh Nurjati dan berguru kepada Syekh Abu Yazid Al-Busthami. Setelah selesai melaksanakan ibadah haji, maka kakaknya Nyi Mas Rara Santang yang bernama Raden Walasungsang dipersunting oleh Nyi Indang Geulis atau Endang Ayu di Mekah, sedangkan adiknya yang bernama Nyi Mas Rara Santang ketika di Mekkah dipersunting oleh raja Mesir yang bernama Maulana Sultan Mahmud atau Syarif Abdullah Azmatkhan.
Ketika usia anak Syekh Quro dan Ratna Sondari sudah beranjak dewasa, akhirnya Syekh Quro berwasiat kepada santri–santri yang sudah cukup ilmu pengetahuan tentang ajaran Agama Islam seperti: Syekh Abdurrahman dan Syekh Maulana Madzkur di tugaskan untuk menyebarkan ajaran Agama [[Islam]] ke bagian selatan Karawang, tepatnya ke kecamatan Telukjambe, Ciampel, Pangkalan, dan Tegalwaru sekarang. Sedangkan anaknya Syekh Quro dengan Ratna Sondari yang bernama Syekh Ahmad, ditugaskan oleh sang ayah meneruskan perjuangan menyebarkan ajaran Agama Islam di Pesantren Quro Karawang atau [[Masjid Agung Karawang]] sekarang.
 
Sedangkan sisa santrinya yang lain yakni Syech Bentong ikut bersama Syech Quro dan Ratna Sondari istrinya pergi ke bagian Utara Karawang tepatnya ke Pulo Bata Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang sekarang untuk menyebarkan ajaran Agama Islam dan bermunajat kepada Allah swt. Di Pulo Bata Syech Quro dan Syech Bentong membuat sumur yang bernama sumur Awisan, kini sumur tersebut masih dipergunakan sampai sekarang.
Kemudian setelah berhaji, Raden Walasungsang beserta istrinya Nyi Indang Geulis atau Endang Ayu pulang ke negeri Caruban atau Cirebon, sedangkan adiknya yang bernama Nyi Mas Rara Santang di bawa oleh suaminya ke negeri Mesir.
 
Waktu terus bergulir usia Syech Quro sudah sangat uzur, akhirnya Syech Quro Karawang meninggal dunia dan dimakamkan di Pulo Bata Desa Pulo Kalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang. Maka penerus perjuangan penyebaran ajaran Agama Islam di Pulo Bata, diteruskan oleh Syekh Bentong sampai akhir hayatnya Syekh Bentong.
Nyi Mas Rara Santang setelah menikah dengan Maulana Sultan Mahmud atau Syarif Abdullah namanya diganti menjadi Syarifah Muda’im. Hasil dari pernikahan antara Nyi Mas Rara Santang dengan Maulana Sultan Mahmud atau Syarif Abdullah, dikaruniai 2 orang anak yakni:
 
== Hubungan Syekh Quro dengan Syekh Nurjati ==
1. Syarif Hidayatullah ( Lahir di Mesir pada tahun 1372 Saka atau tahun 1450 Masehi ).
Di tandai dengan hubungan berikut :
 
2. Syarif Nurullah ( Lahir di Mesir pada tahun 1375 Saka atau tahun 1453 Masehi ).
 
Waktu terus berganti, setelah Syarif Abdullah ayahnya Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah meninggal dunia, maka jabatan Sultan Mesir diserahkan kepada Syarif Nurullah, sedangkan Syarif Hidayatullah dan ibundanya yang bernama Nyi Mas Rara Santang meneruskan menimba ilmu agama Islam dari ulama Mekah dan Baghdad. Setelah cukup menimba ilmu Agama Islam, tepatnya pada tahun 1397 Saka atau tahun 1475 Masehi Syarif Hidayatullah bersama ibundanya pulang ke Negeri Caruban atau Cirebon bermaksud untuk menyebarkan Agama Islam dan bertemu kepada Eyang dan Uwaknya Syarif Hidayatullah yakni kepada Ki Gedeng Tapa ( Eyang Syarif Hidayatullah ) dan Raden Walasungsang atau Pangeran Cakrabuana atau Cakraningrat ( Uwak Syarif Hidayatullah ).
 
Sesampainya di Pelabuhan Muara Jati Cirebon, mereka disambut baik oleh Ki Gedeng Tapa yang merupakan Eyangnya Syarif Hidayatullah dan Raden Walasungsang yang merupakan Uwaknya Syarif Hidayatullah, pada waktu itu Raden Walasungsang menjadi Penguasa Cirebon yang bergelar Pangeran Cakrabuana atau Cakraningrat. Akhirnya setelah lama di Cirebon Syarif Hidayatullah mendapatkan bimbingan dan arahan dari Ki Gedeng Tapa dan Raden Walasungsang untuk menjadi Santri Baru guna menimba lebih dalam lagi ilmu dan memperdalam Agama Islam ke Paguron Gunung Jati di Pasambangan Jati yang dipimpin oleh Syech Nurjati Cirebon.
 
Waktu terus bergulir setelah memperdalam Agama Islam di Paguron Gunung Jati Syech Nurjati Cirebon, Syarif Hidayatullah menerima wejangan – wejangan yang berharga dari Syekh Nurjati yakni: ”Ketahuilah bahwa nanti pada zaman akhir, banyak orang yang terkena penyakit. Tiada seorangpun yang dapat mengobati penyakit itu, kecuali dirinya sendiri karena penyakit itu terjadi akibat perbuatannya sendiri. Ia sembuh dari penyakit itu, kalau ia melepaskan perbuatannya itu.
 
Dan ketahuilah bahwa nanti di akhir zaman, banyak orang yang kehilangan pangkat keturunannya, kehilangan harga diri, tidak mempunyai sifat malu, karena dalam cara mereka mencari penghidupan sehari-hari tidak baik dan kurang berhati-hati.
 
Selain itu, dalam usahamu nanti janganlah kamu meninggalkan dua macam sembahyang sunah, yaitu sunah duha dan sunah tahajud. Di samping itu, engkau tetap berpegang teguh pada empat perkara, yakni syare’at, hakikat, tarekat, dan ma’rifat, serta wujudkanlah atau bentuklah masyarakat yang Islamiyah”.
 
Waktu terus berganti, ketika Syekh Nurjati meninggal dunia maka pemimpin Paguron Gunung Jati dipimpin oleh anak bungsunya Syekh Nurjati Cirebon yang bernama Syekh Datuk Khafi.
 
Hari berganti hari tahun berganti tahun, usia Syekh Datuk Khafid sudah sangat uzur, maka kedudukan atau pimpinan Paguron Gunung Jati digantikan atau dipimpin oleh Syarif Hidayatullah. Ketika menggantikan kedudukan pimpinan Paguron Gunung Jati sebagai guru dan da’i di Amparan Jati Syarif Hidayatullah diberi julukan Syekh Maulana Jati atau disingkat Syekh Jati.
 
Paguron Gunung Jati yang di pimpin oleh Syarif Hidayatullah ternyata berkembang pesat, banyak santri–santri di luar Cirebon untuk bersantri atau berguru di Paguron Gunung Jati. Perkembangan ini terus berlanjut tatkala Syarif Hidayatullah menggantikan uwaknya yakni Raden Walasungsang yang usianya sudah sangat uzur untuk memimpin Kerajaan Cirebon.
 
Ketika memimpin Kerajaan Cirebon Syarif Hidayatullah diberi gelar Susuhunan atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Syarif Hidayatullah setelah memimpin Kerajaan atau Kesultanan Cirebon, ia menikah dengan '''Nyai Kawunganten''' adik dari Bupati Banten. Dari pernikahan antara Syarif Hidayatullah dengan Nyai Kawunganten, dikaruniai 2 orang putra, yaitu:
 
1. Ratu Wulung Ayu.
 
2. Maulana Hasanuddin, yang kelak menjadi Sultan Banten I.
 
Pada tahun tahun 1402 Saka atau tahun 1480 Masehi atau semasa dengan Wali Songo Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon, membangun sebuah Masjid yang bernama Masjid Sang Cipta Rasa. Masjid ini dibangun atas kerja sama antara Sunan Gunung Jati dengan Sunan Kalijaga. Nama masjid ini diambil dari kata " Sang " yang bermakna keagungan, " Cipta " yang berarti dibangun, dan " Rasa " yang berarti digunakan. Masjid Agung Sang Cipta Rasa terletak di sebelah utara Keraton Kasepuhan. Masjid ini terdiri dari dua ruangan, yaitu beranda dan ruangan utama. Untuk menuju ruangan utama, terdapat sembilan pintu, yang melambangkan Wali Songo. Masyarakat Cirebon tempo dulu terdiri dari berbagai etnik. Hal ini dapat dilihat pada arsitektur Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang memadukan gaya Pajajaran, Tiongkok dan Cirebon.
 
== Keterkaitan Syekh Quro dengan Raden Patah ==
Menurut Babad Tanah Jawi, [[Raden Patah]] adalah putra Brawijaya raja terakhir Majapahit (versi babad) dari seorang selir Tiongkok. Selir Tiongkok ini puteri dari Kyai Batong (alias Tan Go Hwat). Karena Ratu Dwarawati sang permaisuri yang berasal dari Campa merasa cemburu, Brawijaya terpaksa memberikan selir Tiongkok kepada putra sulungnya, yaitu Arya Damar bupati Palembang. Setelah melahirkan [[Raden Patah]], putri Tiongkok dinikahi Arya Damar (alias Swan Liong), melahirkan Raden Kusen (alias Kin San).
[[Berkas:Zheng he.jpg|jmpl|[[Laksamana Cheng Ho]]]]
Menurut Purwaka Caruban Nagari, nama asli selir Tiongkok adalah [[Siu Ban Ci]], putri Tan Go Hwat dan Siu Te Yo dari Gresik. Tan Go Hwat merupakan seorang saudagar dan juga ulama bergelar [[Syekh Bentong]] (alias Kyai Batong) santrinya Syekh Quro.
 
Karawang pada masa Islam juga merupakan kawasan penting. Pelabuhan Caravam yang sudah eksis sejak masa Kerajaan Sunda tampaknya terus berperan hingga masa Islam. Salah satu situs arkeologi dari masa Islam di [[Karawang]] adalah makam Syekh Quro. Menurut tulisan yang tertera pada panil di depan komplek makam, Nama lengkap Syekh Quro adalah Syekh Qurotul Ain
 
== Keterkaitan Syekh Quro dengan Syekh Nurjati ==
Syekh Quro merupakan utusan Raja Campa. Secara geneologis, Syekh Quro dan Syekh Nurjati atau [[Syekh Datuk Kahfi]] adalah sama-sama saudara seketurunan dari Amir Abdullah Khan generasi keempat. Syekh Quro datang terlebih dahulu ke Amparan Jati pada tahun 1338 Saka atau pada tahun 1416 Masehi.
 
Pada saat pendaratannya yang kedua di Karawang Syekh Quro datang ke Karawang bersama para santrinya yakni Syekh Abdurrahman, Syekh Maulana Madzkur, dan Nyai Subang Larang yang ikut berlayar bersama rombongan dari angkatan laut Tiongkok dari Dinasti Ming yang ketiga dengan Kaisarnya, Yung Lo (''Kaisar Cheng-tu''). Armada angkatan laut tersebut dipimpin oleh [[Laksamana Cheng Ho]] alias ''Sam Po Tay Kam''. Mereka semua telah masuk Islam. Armada tersebut hendak melakukan perjalanan melawat ke Majapahit dalam rangka menjalin persahabatan. Ketika armada tersebut sampai di Pelabuhan Pura Dalem Karawang, Syekh Quro (Syekh Hasanuddin) beserta pengiringnya turun. Syekh Quro pada akhirnya tinggal dan menyebarkan ajaran agama Islam di [[Karawang]]. Kedua tokoh ini dipandang sebagai tokoh yang mengajarkan Islam secara formal yang pertama kali di Jawa Barat. Syekh Quro di Karawang dan Syekh Nurjati di Cirebon. Selain itu pada masa hidupnya antara Syekh Quro dan Syekh Nurjati menjalin persahabatan sampai sekarang ini diantaranya yaitu:
 
1. Syekh Quro Karawang mengirimkan orang kepercayaannya yang bergelar Penghulu Karawang ke Dukuh Pasambangan untuk menjalin persahabatan.
Baris 150 ⟶ 122:
5. Pengangkatan juru kunci di situs maqom Syekh Quro dikuatkan oleh pihak Keraton Kanoman Cirebon.
 
== Makam ==
== Perbedaan Tempat Makam Syech Quro dan Maqom Syech Quro ==
Makam Syekh Quro Karawang dan Makam Syekh Bentong ditemukan oleh Raden Somaredja alias Ayah Djiin alias Pangeran Sambri dan Syech Tolha pada tahun 1859 Masehi atau pada abad ke – 19. Raden Somaredja alias Ayah Djiin alias Pangeran Sambri dan Syech Tolha, di tugaskan oleh Kesultanan Cirebon, untuk mencari makam Maha guru leluhur Cirebon yang bernama Syech Quro.
Ada perbedaan antara [[Makam syech quro]] dengan [[Maqom Syech quro]], makam Syech Quro terletak di belakang [[Masjid Agung Karawang]] ( sekarang menjadi nama Masjid Agung Syech Quro ). Sedangkan maqom Syech Quro adalah Tempat Pesantren Kepunyaan Syech Quro yang terletak di pulo Bata Wadas Karawang, Pesantren Tersebut adalah Pesantren pertama dan tertua di Pulau Jawa.
 
Bukti adanya makam Syekh Quro Karawang di Pulo Bata Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang, di perkuat lagi oleh Sunan Kanoman Cirebon yaitu Pangeran Haji Raja Adipati Jalaluddin saat berkunjung ke tempat itu dan surat, penjelasan sekaligus pernyataan dari Putra Mahkota Pangeran Jayakarta Adiningrat XII Nomor: P-062/KB/PMPJA/XII/11/1992 pada tanggal 05 Nopember 1992 yang di tunjukan kepada Kepala Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang.
 
== Referensi ==
 
# [http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=165&lang=id#sthash.nKCRrg8i.dpuf Syehk Quro Karawang] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20150216111141/http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=165&lang=id#sthash.nKCRrg8i.dpuf |date=2015-02-16 }} Disparbud Prov. Jabar
# [http://web.iaincirebon.ac.id/tutorial/biografi-syekh-nurjati/ Biografi Syekh Nurjati] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20150120102509/http://web.iaincirebon.ac.id/tutorial/biografi-syekh-nurjati/ |date=2015-01-20 }} IAIN Cirebon
Baris 164 ⟶ 137:
{{Authority control}}
 
{{DEFAULTSORT:{{PAGENAME}}Qurotul Ain }}
[[Kategori:Tokoh penyebar Islam di Indonesia|Datuk Kahfi]]
[[Kategori:Sayyid]]
 
 
{{Ulama-Nusantara-bio-stub}}