Bubuksah dan Gagangaking: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k replaced: nampak → tampak (2) |
k Cerita |
||
(8 revisi perantara oleh 5 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
'''Bubukṣah dan Gagangaking''' (variasi nama: '''Bubhuksah''', '''Bela-belu''' yang dalam versi lisan Jawa modern terkadang ditambah gelar "syekh", '''Gagakaking''', '''Dami Aking''') adalah suatu [[Folklor|cerita rakyat]] didaktis yang popular dari masa [[Majapahit]], dan hingga sekarang diwariskan turun-temurun, baik secara lisan maupun tertulis (pada helai [[lontar]], khususnya di [[Bali]]). Kisah ini diabadikan di beberapa candi dan potongan relief di [[Jawa Timur]] yang merupakan peninggalan Majapahit, seperti [[Candi Penataran]], [[Candi Gambar Wetan]], dan [[Candi Surawana]].<ref name="SM-2017" /> Cerita Bubuksah dan Gagangaking dalam relief candi sering kali ditampilkan bersama-sama cerita [[Sri Tanjung]].
Cerita ini merupakan cerita didaktis keagamaan hasil pengembangan pujangga sastra Jawa asli. Isinya menceritakan bagaimana dua cara "laku" (ritual ibadah untuk mencapai tujuan tertentu) yang berbeda diukur hasilnya. Kesetiaan akan tujuan dari laku tersebut yang akan dinilai, bukan dari cara lakunya itu sendiri.
== Jalan cerita ==
Karena diwariskan secara lisan turun-temurun, berbagai versi cerita ini muncul. Namun demikian, ada plot yang tetap dipertahankan. Berikut disampaikan versi umum yang cukup dikenal.<ref name=SM-2017/>
Ada dua orang bersaudara bernama Gagangaking (sang kakak) dan Bubuksah (adiknya), yang karena sesuatu hal (banyak versi mengenai hal ini), kemudian belajar untuk menjadi pertapa dan mendapat perkenan dewa. Mereka belajar dari seorang guru,
Gagangaking membatasi makan dan minum serta kenikmatan duniawi sebagai laku prihatin untuk mencapai tingkat spiritual tertinggi. Akibatnya tubuhnya menjadi kurus-kering; itulah mengapa ia dijuluki Gagangaking (artinya "tangkai kering"). Sebaliknya, sang adik - Bubuksah, yang artinya "usus serakah" - menempuh ''laku'' dengan menikmati segala hal yang duniawi, termasuk makan dan kesenangan, sebagai bentuk "tantangan" kepada tubuhnya sendiri sebagai bentuk pencapaian spiritual. Gagangaking, sebagai kakak mencoba mengingatkan Bubuksah agar meninggalkan cara ''laku'' tersebut, yang dianggapnya membuat sang pelaku mudah tergelincir dalam kenikmatan duniawi. Bubuksah menolak peringatan tersebut. Akhirnya, kedua bersaudara tersebut terlibat dalam perdebatan.
Baris 15:
=== Variasi ===
Pewarisan turun-temurun melalui sastra lisan menimbulkan banyak penafsiran dan variasi baru dari plot umum cerita. Versi yang populer di Bali menceritakan kedua bersaudara tersebut membangun sebuah pendopo sebagai ajang belajar untuk bertapa (''laku'').<ref name="Suleiman" />
Versi "islamisasi" dari kisah ini pun juga dikenal oleh sebagian masyarakat Jawa. Di Yogyakarta, hikayat menyatakan bahwa Bubuksah, yang juga memiliki nama muda sebagai '''Jaka Bandhem''', berkelana ke pesisir selatan Yogyakarta dan akhirnya tiba di [[pantai Parangtritis]]. Di sana ia kemudian bertemu dengan [[Syekh Maulana Maghribi]], utusan dari [[Sunan Pandanarang]], yang menyebarkan ajaran Islam di bagian selatan Jawa. Bubuksah kemudian menerima ajaran Islam dan berjuluk Syekh Bela Belu.<ref name=belabelu/>
== Naskah tertulis ==
Cerita Bubuksah dan Gagang Aking ditemukan dalam versi tulisan pada lembar [[lontar]] dalam bentuk [[kidung]] menggunakan bahasa Jawa periode Tengahan maupun dalam bentuk prosa yang dilestarikan di Bali.<ref>{{Cite web|url=http://tetandinganbanten.blogspot.com/2015/07/lontar-bubuksah.html|title=Lontar Bubuksah|last=Anonim|first=|date=|website=Tetandingan Banten Bali|access-date=1 Mei 2020}}</ref> Versi Bali cenderung lebih "lengkap", misalnya dengan menyebutkan nama muda dari Gagak Aking (Kebo Milir) dan Bubuksah (Kebo Ngraweg). Detail laku juga dideksripsi lebih jelas.
== Panil cerita di Candi Penataran ==
Di kompleks Candi Penataran, kisah Bubuksah dan Gagangaking ditampilkan dalam lima adegan pada panil di sisi timur di antara dua tiang naga, bergerak dari selatan ke utara (dari kiri ke kanan). Penggambaran dimulai dari pertemuan Gagangaking dan Bubuksah yang kemudian menjadi perdebatan. Adegan paling khas dari kisah ini, yaitu Bubuksah menunggang harimau yang diikuti oleh Gagangaking yang berpegangan pada ekor harimau, ada pada adegan keempat. Adegan ini juga ditemukan di Candi Surawana.<ref name="Suleiman" />
{| class="wikitable <!--sortable-->"
Baris 29 ⟶ 32:
|1
|[[Berkas:033 Pendopo Relief (26560136098).jpg|jmpl|kiri|300px]]
|''Gambaran adegan 1'': Seorang petapa yang gemuk, yang memakai penutup aurat dan jata (tutup kepala petapa) duduk di atas sebuah batur berhadapan dengan seorang petapa lain yang rambutnya terlepas. Di samping kedua petapa itu tampak sebuah rumah tertutup yang terbuat dari kayu, sebuah tempat sajian dari batu, dan relung untuk sajian.
''Penafsiran cerita'': Dua bersaudara pertapa, Bubuksah dan Gagangaking, tengah berselisih mengenai cara ''laku'' yang benar: apakah dengan cara berpantang makanan sehingga tubuh menjadi kurus atau dengan cara memakan segala sesuatu yang tersedia.
Baris 36 ⟶ 38:
|2
|[[Berkas:034 Pendopo Relief (26560131178).jpg|jmpl|kiri|300px]]
|G''ambaran adegan 2'': Seekor harimau besar yang sedang mengaung mendatangi seorang petapa yang kurus-kering yang rambutnya terurai. Di atas harimau itu sebuah awan dengan di dalamnya sesosok ''bhuta'' kecil yang mengangkat tangan kirinya. Di dalam pelipit atas tertulis angka tahun 1279 Saka (1375 M).
''Penafsiran cerita'': Macan jelmaan dari Kalawijaya menguji keteguhan hati Gagangaking, apakah ia bersedia berkorban dengan menjadi mangsa sang harimau. Gagangaking dalam kejadian ini menolak untuk menjadi mangsa (tangan kiri sang petapa menyiratkan penolakan).
Baris 47 ⟶ 48:
''Penafsiran cerita'': Macan jelmaan dari Kalawijaya menguji keteguhan hati Bubuksah, apakah ia bersedia berkorban dengan menjadi mangsa sang macan. Bubuksah bersedia menjadi mangsa karena ia menganggap itulah saat dia menghadap kepada pada dewa.
''Gambaran adegan 4'': = Harimau tadi sedang naik bukit ke udara, ia ditumpangi petapa gemuk yang berpakaian tutup kepala petapa ("jatamakuta"). Ekornya dipegang petapa yang kurus-kering, yang masih berdiri di bawah pohon yang daun-daunnya terbentuk seperti bhuta yang sedang mengangkat tangan kanannya.
''Penafsiran cerita'': Bubuksah dianggap layak untuk memasuki alam orang suci dan diantar oleh sang macan untuk menuju ke sana. Atas permintaan Bubuksah, kakaknya Gagangaking juga boleh ikut, tetapi oleh sang macan dilarang ikut naik di punggungnya; oleh karena itu, ia hanya ikut berpegangan pada ekornya.
Baris 67 ⟶ 66:
<ref name=Suleiman>{{Cite book|title=Seri Penerbitan Bergambar 3: Batur Pendopo Panataran|last=Suleiman|first=Satyawati|date=1981|publisher=Pusat Penelitian Arkeologi Nasional|isbn=|location=Jakarta|pages=|url-status=live}}</ref>
<ref name=belabelu>{{Cite news|url=https://www.harianmerapi.com/kearifan/2018/07/20/25645/menelisik-kisah-syeh-bela-belu-dan-damiaking-1-mengembara-menyusur-pantai-selatan|title=MENELISIK KISAH SYEH BELA BELU DAN DAMIAKING (1)
}}
== Bacaan ==
* Nawa Tunggal. [https://m.tribunnews.com/iptek/2015/12/02/sudah-7-abad-misteri-relief-panji-di-candi-penataran-belum-terkuak Sudah 7 Abad, Misteri Relief Panji di Candi Penataran Belum Terkuak]. TribunNews.com Edisi Rabu, 2 Desember 2015.
* Achmad Junaidi. [https://jatim.deliknews.com/2018/09/08/mengenal-lebih-jauh-blitar-kota-makam-raja-raja-episode-3-candi-penataran-palah-perwujudan-dewa-siwa/ Mengenal Lebih Jauh Blitar, Kota Makam
{{Dongeng}}
Baris 78 ⟶ 77:
{{Rintisan}}
[[Kategori:Cerita rakyat
[[Kategori:Majapahit]]
[[Kategori:Hindu]]
|