Politik Etis: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
RXerself (bicara | kontrib)
k politikus, replaced: politisi → politikus, Politisi → Politikus using AWB
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: kemungkinan IP LTA VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(25 revisi perantara oleh 16 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
[[Berkas:Conrad Theodor van Deventer.jpg|jmpl|200px|C.Th. van Deventer, merupakan salah seorang penganjur Politik Etis.]]
 
'''Politik Etis''' atau '''Politik Balas Budi''' ({{lang-nl|Ethische Politiek}}) adalah kebijakan resmipolitik pemerintahpemikiran kolonial [[Hindia Belanda]] (sekarang [[Indonesia]]) selama empat dekade dari 1901 sampai [[Pendudukan Jepang di Indonesia|pendudukan Jepang]] tahun 1942. Pada tahun17 September 1901, [[Ratu Belanda]] [[Wilhelmina dari Belanda|Wilhelmina]] mengumumkan bahwa Belanda menerima tanggung jawab politik etis untukdemi kesejahteraan rakyat kolonial mereka. Pengumuman ini sangat kontras dengan doktrin resmi sebelumnya bahwa Indonesia adalah ''wingewest'' (wilayah yang menghasilkan keuntungan). Ini juga menandai dimulainya kebijakan [[pembangunan]] modern; sedangkan [[Kolonialisme|kekuatan kolonial]] lainnya berbicara tentang misi peradaban, yang terutama melibatkan penyebaran budaya mereka kepada orang-orang terjajah.
 
Kebijakan tersebut menekankan pada perbaikan kondisi kehidupan material. Namun, kebijakan ini menderita karena kekurangan dana yang parah, ekspektasi yang membengkak dan kurangnya penerimaan dalam pembentukan kolonial Belanda, dan sebagian besar lenyap oleh permulaan [[Depresi Besar]] pada tahun 1930.<ref name="CribbP225">Cribb, Robert (1993). "Development Policy in the Early 20th Century", in Jan-Paul Dirkse, Frans Hüsken and Mario Rutten, eds, ''Development and Social Welfare: Indonesia’s Experiences under the New Order'' (Leiden: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde), pp. 225-245.</ref><ref>{{cite book | last =Ricklefs | first =M.C. | title =A History of Modern Indonesia Since c.1300 | publisher =Macmillan | date =1991 | location =London | isbn = 0-333-57690-X | page =151 }}</ref>
 
'''PolitikPemikiran Etis'''politik atau '''Politik Balas Budi''' ({{lang-nl|Ethische Politiek}}) adalah suatu pemikiran yangetis menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan [[bumiputera]]. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik [[tanam paksa]]. Munculnya kaum etis yang dipelopori oleh [[Pieter Brooshooft]] (wartawan Koran ''[[De Locomotief]]'') dan [[van Deventer|C.Th. van Deventer]] (politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para bumiputera yang terbelakang.
Munculnya kaum Etis yang dipelopori oleh [[Pieter Brooshooft]] (wartawan Koran ''[[De Locomotief]]'') dan [[van Deventer|C.Th. van Deventer]] (politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para bumiputera yang terbelakang.
 
Pada [[17 September]] [[1901]], Ratu [[Wilhelmina]] yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda yang ditulis oleh [[Abraham Kuyper]], perdana menteri yang baru menjabat<ref name=":0">{{Cite journal|last=Heslam|first=Peter S.|date=2020|title=An Ethical Policy for an Islamic People: The Colonial Policy of the Kuyper Cabinet (1901–1905) and the Challenge of Human Development|url=https://www.marketsandmorality.com/index.php/mandm/article/viewFile/1518/1228|journal=Journal of Markets & Morality|volume=23|issue=2|pages=297-317}}</ref>, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (''een eerschuld'') terhadap bangsa bumiputera di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tersebut ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program ''Trias Van deventerDeventer'' yang meliputi:
# Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian.
# ImigrasiEmigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi.
# Edukasi yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan.
 
Baris 17 ⟶ 16:
Kebijakan pertama dan kedua disalahgunakan oleh Pemerintah Belanda dengan membangun irigasi untuk perkebunan-perkebunan Belanda dan emigrasi dilakukan dengan memindahkan penduduk ke daerah perkebunan Belanda untuk dijadikan pekerja [[kerja rodi|rodi]]. Hanya pendidikan yang berarti bagi bangsa Indonesia.
 
Pengaruh politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di [[Hindia Belanda]]. Salah seorang dari kelompok etis yang sangat berjasa dalam bidang ini adalah Mr. [[J.H. Abendanon]] ([[1852]]-[[1925]]), seorang Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan selama lima tahun ([[1900]]-[[1905]]).
Sejak tahun 1900 inilah berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum [[priyayi]] maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah.
 
Baris 31 ⟶ 30:
Jurnalis [[Pieter Brooshooft]] (1845-1921),<ref name="VickersP17">{{Cite book |last=Vickers |first=Adrian |title=A History of Modern Indonesia |publisher=Cambridge University Press |year=2005 |page=[https://archive.org/details/historyofmoderni00adri/page/17 17] |isbn=0-521-54262-6 |url=https://archive.org/details/historyofmoderni00adri/page/17 }}</ref> menulis tentang kewajiban moral Belanda untuk memberi lebih banyak kepada rakyat Hindia Belanda. Dengan dukungan kaum sosialis dan kelas menengah Belanda yang peduli, ia berkampanye melawan apa yang ia lihat sebagai ketidakadilan surplus kolonial. Dia menggambarkan masyarakat adat Hindia sebagai "kekanak-kanakan" dan membutuhkan bantuan, bukan penindasan. Surat kabar adalah salah satu dari sedikit media komunikasi Hindia Belanda dengan parlemen Belanda, dan sebagai editor ''[[De Locomotief]]'', surat kabar berbahasa Belanda terbesar di Hindia, ia menerbitkan tulisan [[Snouck Hurgronje]] tentang pemahaman orang Indonesia. Brooshooft mengirim reporter ke seluruh nusantara untuk melaporkan perkembangan lokal; mereka melaporkan tentang kemiskinan, gagal panen, kelaparan dan epidemi pada tahun 1900. Pengacara dan politikus yang mendukung kampanye Brooshooft bertemu dengan Ratu Wilhelmina dan berargumen bahwa Belanda berhutang kepada rakyat Hindia Belanda sebuah 'hutang kehormatan'.<ref name="VickersP17"/>
 
Pada tahun 1901, Ratu, di bawah nasihat dari perdana menterinya dari Partai Kristen Anti-Revolusi, [[Abraham Kuyper]], secara resmi mendeklarasikan "Kebijakan Etis" yang baik yang bertujuan membawa kemajuan dan kemakmuran bagi rakyat Hindia. Penaklukan Belanda atas Hindia menyatukan mereka sebagai satu kesatuan kolonial pada awal abad ke-20, yang merupakan dasar implementasi Kebijakan.<ref>{{Cite book |last=Vickers |first=Adrian |title=A History of Modern Indonesia |publisher=Cambridge University Press |year=2005 |page=[https://archive.org/details/historyofmoderni00adri/page/18 18] |isbn=0-521-54262-6 |url=https://archive.org/details/historyofmoderni00adri/page/18 }}</ref>
 
Para pendukung Kebijakan berpendapat bahwa transfer keuangan tidak boleh dilakukan ke Belanda sementara kondisi masyarakat pribumi nusantara buruk.
Baris 38 ⟶ 37:
Para pendukung Kebijakan prihatin tentang kondisi sosial dan budaya yang menahan penduduk pribumi. Mereka mencoba untuk meningkatkan kesadaran di antara penduduk asli tentang perlunya membebaskan diri dari belenggu sistem feodal dan mengembangkan diri di sepanjang garis Barat.
 
Pada tanggal 17 September 1901, dalam [[Pidato dari tahta|pidatonya dari tahta]] di hadapan [[Dewan Negara Belanda]], [[Wilhelmina dari Belanda|Ratu Wilhelmina]] yang baru dinobatkan, dengan bantuan Perdana Menteri [[Abraham Kuyper]]<ref name=":0" />, secara resmi mengartikulasikan kebijakan baru - bahwa pemerintah Belanda memiliki kewajiban moral kepada penduduk asli Hindia Belanda yang dapat diringkas dalam 'Tiga Kebijakan' [[Irigasi]], [[Transmigrasi]], dan [[Edukasi]].
 
===Irigasi===
Baris 45 ⟶ 44:
Kebijakan tersebut mendorong upaya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat biasa melalui program irigasi, pengenalan layanan perbankan untuk penduduk pribumi, dan subsidi untuk industri dan kerajinan pribumi.
 
=== MigrasiEmigrasi ===
Kebijakan tersebut pertama kali memperkenalkan konsep [[transmigrasi]] dari [[Jawa]] yang padat penduduk ke daerah yang kurang padat di [[Sumatra]] dan [[Kalimantan]], dimulai dengan skema yang disponsori pemerintah sejak tahun 1905 dan seterusnya. Namun, jumlah orang yang pindah selama periode Politik Etis merupakan sebagian kecil dari peningkatan populasi di Jawa selama periode yang sama.
 
Baris 62 ⟶ 61:
Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah. Pendidikan ditujukan untuk mendapatkan tenaga administrasi yang cakap dan murah. Pendidikan yang dibuka untuk seluruh rakyat, hanya diperuntukkan kepada anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang mampu. Terjadi diskriminasi pendidikan yaitu pengajaran di sekolah kelas I untuk anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang berharta, dan di sekolah kelas II kepada anak-anak pribumi dan pada umumnya.
* Migrasi
Migrasi ke daerah luar Jawa hanya ditujukan ke daerah-daerah yang dikembangkan perkebunan-perkebunan milik Belanda. Hal ini karena adanya permintaan yang besar akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan seperti perkebunan di [[SumatraSumatera Utara]], khususnya di [[Deli]], [[Suriname]], dan lain-lain. Mereka dijadikan kuli kontrak. Migrasi ke [[Lampung]] mempunyai tujuan menetap. Karena migrasi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja, maka tidak jarang banyak yang melarikan diri. Untuk mencegah agar pekerja tidak melarikan diri, pemerintah Belanda mengeluarkan ''Poenale Sanctie'', yaitu peraturan yang menetapkan bahwa pekerja yang melarikan diri akan dicari dan ditangkap [[polisi]], kemudian dikembalikan kepada mandor/pengawasnya.
 
Penyimpangan politik etis terjadi karena adanya kepentingan Belanda terhadap rakyat Indonesia.
Baris 87 ⟶ 86:
== Pranala luar ==
* {{en}} [https://web.archive.org/web/20060819204606/http://teaching.fec.anu.edu.au/busn2023/Publications/Ethical%20policy.pdf Article: Ethical Policy]
* {{id}} [http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0405/21/0802.htm Semangat Kartini dan Politik Etis] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20050507150925/http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0405/21/0802.htm |date=2005-05-07 }}
* {{id}} [http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0510/28/opini/2156298.htm Revitalisasi Keindonesiaan]{{Pranala mati|date=Mei 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}
* {{id}} [http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0405/21/0802.htm Semangat Kartini dan Politik Etis] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20050507150925/http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0405/21/0802.htm |date=2005-05-07 }}, Pikiran Rakyat
* {{id}} [http://www.minggupagi.com/print.php?sid=303 Osmose Budaya, Kartini dan Kreativitas Sastra]{{Pranala mati|date=April 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}
* {{id}} [https://websitemurahsurabaya.com/politik-etis/ Sejarah Umum Politik Etis di Indonesia] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20171216201431/http://www.sejarahumum.com/2017/12/pengertian-latar-belakang-tujuan-dan.html Sejarah|date=2017-12-16 Umum Politik Etis di Indonesia]}}
 
[[Kategori:Sejarah Indonesia]]