Terowongan Neyama: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k →Awal mula: perbaikan diksi |
k Merapikan |
||
(15 revisi perantara oleh 4 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
[[File:Terowongan Niyama.jpg|thumb|Salah satu mulut terowongan]]▼
'''Terowongan Tulungagung Selatan''' atau biasa disebut sebagai '''Terowongan Neyama''', adalah sebuah [[terowongan drainase]] yang terletak di [[Besuki, Tulungagung]], [[Jawa Timur]]. Terowongan ini berfungsi untuk mengalirkan sebagian air [[Sungai Ngasinan]], [[Sungai Tawing]], dan [[Sungai Dawir]] ke [[Samudra Hindia]], agar tidak membentuk rawa dan menyebabkan banjir di Tulungagung bagian selatan.
▲[[File:Terowongan Niyama.jpg|kiri|thumb|Salah satu mulut terowongan]]
Dalam [[bahasa Jepang]], 'Neyama' (根山) berarti 'gunung akar'. Neyama
== Sejarah ==
===
Hingga masa pendudukan Belanda di Indonesia, terdapat dua [[rawa]] di Tulungagung bagian selatan, yakni Rawa Bening dan Rawa Gesikan yang total luasnya mencapai 3.000 hektar. Di musim hujan, luas dari dua rawa tersebut
Pada tahun
Infrastruktur yang kemudian dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mewujudkan rencana
=== Terowongan Neyama Lama ===
Pada masa [[pendudukan Jepang di Indonesia]], tepatnya pada bulan September 1942, terjadi hujan lebat yang akhirnya menyebabkan banjir besar di Tulungagung. Sawah dan rumah penduduk pun terendam air hingga setinggi atap. Air banjir tersebut baru surut sekitar sebulan kemudian. Akibat banjir tersebut, terjadi kemacetan lalu lintas dan banyak penduduk harus mengungsi. Walaupun begitu, masyarakat pada umumnya tidak merasa khawatir dengan banjir tersebut, karena banjir serupa memang rutin terjadi.<ref name="upi">{{Cite web|last=Dahidi|first=Ahmad|date=23 Maret 2023|title=Tabir Neyama dari Kacamata Orang Jepang|url=https://jepang.upi.edu/tabir-neyama-dari-kacamata-orang-jepang-oleh-ahmad-dahidi/|publisher=Departemen Pendidikan Bahasa Jepang Universitas Pendidikan Indonesia|language=id|access-date=14 Juni 2023}}</ref>
Residen Kediri saat itu, [[Enji Kihara]], lalu mengumpulkan para pegawai, [[bupati]], dan [[wedana]] di seantero [[Karesidenan Kediri]] guna mendiskusikan cara untuk mengatasi banjir tersebut. Kihara kemudian mengusulkan pembangunan terowongan untuk mengalirkan air dari Sungai Ngasinan dan Sungai Tawing ke Samudra Hindia. Terowongan tersebut juga diharapkan memungkinkan penanaman [[padi]] di lahan yang sebelummya rawan menjadi rawa, sehingga mendukung pemenuhan makanan bagi tentara Jepang.<ref name="jica4" /><ref name="sato" /> Kihara lalu berangkat ke [[Jakarta]] untuk menerangkan usul tersebut kepada Panglima [[Angkatan Darat ke-16 (Jepang)|Angkatan Darat ke-16]], [[Kumakichi Harada]], yang ternyata setuju dan berjanji akan membantu Kihara untuk membangun terowongan tersebut.<ref name="upi" />
Terowongan lalu mulai dibangun pada tanggal 1 Februari 1943 dengan anggaran biaya sebesar 750 ribu gulden, yang mana 300 ribu gulden di antaranya disediakan oleh pemerintah Karesidenan Kediri, sementara sisanya disediakan oleh pemerintah pendudukan Jepang.<ref name="hist"/> Tiap kepala desa setempat diberi tugas untuk menyediakan pekerja dalam jumlah tertentu, sehingga terkadang kepala desa juga harus membujuk warga agar jumlah pekerja dapat terpenuhi. Tiap pekerja mendapat upah bersih sebesar 0,14 gulden per hari, sementara mandor mendapat upah bersih sebesar 0,38 gulden per hari. Selama sembilan bulan pertama, pekerja yang dikerahkan untuk pembangunan terowongan rata-rata sebanyak 6.666 orang per hari. <ref name="sato"/> ▼
▲Terowongan lalu mulai dibangun pada tanggal 1 Februari 1943 dengan anggaran biaya sebesar 750 ribu gulden, yang mana 300 ribu gulden di antaranya disediakan oleh pemerintah Karesidenan Kediri, sementara sisanya disediakan oleh pemerintah pendudukan Jepang.<ref name="hist" /> Tiap kepala desa setempat diberi tugas untuk menyediakan pekerja dalam jumlah tertentu, sehingga terkadang kepala desa juga harus membujuk warga agar jumlah pekerja dapat terpenuhi. Tiap pekerja mendapat upah bersih sebesar 0,14 gulden per hari, sementara mandor mendapat upah bersih sebesar 0,38 gulden per hari. Selama sembilan bulan pertama, jumlah pekerja yang dikerahkan untuk pembangunan
Sebelum terowongan mulai dibangun, dilakukan pembangunan saluran air di kaki bukit dengan menggunakan peralatan sederhana. Pada akhir bulan September 1943, telah berhasil dibangun saluran air sepanjang 4 kilometer.<ref name="sato">{{cite book | last = Sato | first = Shigeru | author-link = | title = War, Nationalism and Peasants: Java Under the Japanese Occupation, 1942-1945 | publisher = M.E. Sharpe | series = | volume = | edition = | date = 1994 | location = New York | pages = | language = Inggris | url = https://books.google.co.id/books?id=woKPV5uVxU0C&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false | doi = | id = | isbn = 1-56324-544-2 }}</ref> Untuk meledakkan batu-batu kapur di kaki bukit, kemudian digunakan sejumlah bahan peledak yang disisihkan dari proyek pengembangan tambang batu bara di [[Bayah]]. Pemerintah Karesidenan Kediri lalu juga meminjam mesin bor dan kompresor udara dari [[Ishihara Sangyo]]. Pada bulan Oktober 1943, terowongan pun mulai dibangun. Pada tanggal 27 April 1944, [[Jawashinbun]] memberitakan bahwa Pemerintah Karesidenan Kediri bertekad menyelesaikan pembangunan terowongan pada bulan Juni 1944 dengan jumlah pekerja rata-rata 740 orang per hari.<ref name="sato" />▼
▲Sebelum terowongan mulai dibangun, dilakukan pembangunan saluran air di kaki bukit dengan menggunakan peralatan sederhana. Pada akhir bulan September 1943, telah berhasil dibangun saluran air sepanjang 4 kilometer di kaki bukit.<ref name="sato">{{cite book | last = Sato | first = Shigeru | author-link = | title = War, Nationalism and Peasants: Java Under the Japanese Occupation, 1942-1945 | publisher = M.E. Sharpe | series = | volume = | edition = | date = 1994 | location = New York | pages = | language = Inggris | url = https://books.google.co.id/books?id=woKPV5uVxU0C&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false | doi = | id = | isbn = 1-56324-544-2 }}</ref> Untuk meledakkan batu-batu kapur di
Selama proses pembangunan terowongan, puluhan pekerja meninggal, antara lain karena beratnya beban kerja, beratnya medan kerja, dan terjangkit malaria.<ref name="hist">{{Cite web|url=https://historia.id/amp/urban/articles/terowongan-neyama-romusha-PRkO6|title=Terowongan Neyama Romusha|publisher=Historia|first=Hendri|last=Isnaeni|date=14 April 2012|language=id|access-date=23 Oktober 2022}}</ref> Meninggalnya puluhan pekerja tersebut lalu menjadi salah satu pemicu terjadinya [[Pemberontakan PETA Blitar]] pada tanggal 14 Februari 1945.<ref name="sato" /> Setelah selesai dibangun pada bulan Juli 1944, terowongan sepanjang 800 meter tersebut tidak dirawat dengan baik, sehingga akhirnya runtuh dan hanya menyisakan sebagian terowongan di bagian belakang.<ref name="jica4" />▼
Pada bulan Oktober 1943, terowongan mulai dibangun. Selama proses pengeboran terowongan, jika terjadi kerusakan pada mesin bor, maka mesin tersebut akan dibawa ke [[Pabrik Gula Modjopanggoong]] untuk diperbaiki terlebih dahulu.<ref name="upi" /> Pada tanggal 27 April 1944, [[Jawashinbun]] memberitakan bahwa Pemerintah Karesidenan Kediri bertekad menyelesaikan pembangunan terowongan tersebut pada bulan Juni 1944 dengan jumlah pekerja rata-rata 740 orang per hari.<ref name="sato" /> Terowongan tersebut kemudian diresmikan langsung oleh Kumakichi Harada pada bulan Juli 1944 dan diberi nama Terowongan Neyama.<ref name="upi" />
▲Selama proses pembangunan terowongan, puluhan pekerja meninggal, antara lain karena beratnya beban kerja, beratnya medan kerja, dan terjangkit [[malaria]].<ref name="hist">{{Cite web|url=https://historia.id/amp/urban/articles/terowongan-neyama-romusha-PRkO6|title=Terowongan Neyama Romusha|publisher=Historia|first=Hendri|last=Isnaeni|date=14 April 2012|language=id|access-date=23 Oktober 2022}}</ref> Meninggalnya puluhan pekerja tersebut lalu menjadi salah satu pemicu terjadinya [[Pemberontakan PETA Blitar]] pada tanggal 14 Februari 1945.<ref name="sato" /> Setelah selesai dibangun
=== Terowongan Neyama 1 ===
Terowongan lalu mulai dibangun pada tahun 1959 oleh [[Kajima]] dengan menggunakan dana [[pampasan perang]] dari Jepang sebanyak US$ 2 juta. Pada tanggal 31 Agustus 1960, [[Asahi Shimbun]] memuat berita berjudul "''Successful Reparations Work in Indonesia''" yang menyatakan bahwa terowongan telah selesai digali pada tanggal 3 Agustus 1960 dan mulai dilapisi dengan beton. Terowongan direncanakan selesai pada bulan Maret 1961. Asahi Shimbun juga menyatakan bahwa harga tanah di sana telah naik tiga kali lipat.<ref name="jica4"/> Selain itu, juga dilakukan pembangunan [[Bendung Bendo]] untuk mengalirkan air Sungai Ngasinan ke Parit Raya dan [[Pintu Air Kendal]] untuk mengatur debit air Rawa Bening yang dialirkan ke Parit Raya.<ref name="clap"/>▼
Setelah
▲Terowongan lalu mulai dibangun pada tahun 1959 oleh [[Kajima]] dengan menggunakan dana [[pampasan perang]] dari Jepang sebanyak US$ 2 juta. Pada tanggal 31 Agustus 1960, [[Asahi Shimbun]] memuat berita berjudul "''Successful Reparations Work in Indonesia''" yang menyatakan bahwa terowongan telah selesai digali pada tanggal 3 Agustus 1960 dan mulai dilapisi dengan beton. Terowongan direncanakan selesai pada bulan Maret 1961. Asahi Shimbun juga menyatakan bahwa harga tanah di sana telah naik tiga kali lipat.<ref name="jica4"/>
Setelah terowongan selesai dibangun, masyarakat juga menjadi berminat untuk makin memperkecil luas Rawa Bening dan Rawa Gesikan. Masyarakat pun bergotong royong membuat saluran-saluran drainase untuk mengalirkan air dari dua rawa tersebut ke terowongan, sehingga pada tahun 1976, telah tergali saluran drainase sepanjang 20 kilometer. Dengan selesainya pembangunan saluran drainase tersebut, luas dua rawa tersebut di musim hujan pun berkurang dari 13.600 hektar menjadi hanya 8.000 hektar, yang mana 4.120 hektar di antaranya hanya tergenang air selama 14 hari per tahun, sehingga oleh masyarakat juga dimanfaatkan sebagai lahan pertanian.<ref name="clap"/>
▲Setelah terowongan dan [[Parit Raya]] selesai dibangun pada tahun 1961, banjir menjadi jarang terjadi di lahan seluas 28.000 hektar yang sebelummya rawan menjadi rawa dan tidak memungkinkan untuk ditanami padi. Luas rawa juga berkurang dari 3.000 hektar menjadi hanya 1.500 hektar. Hanya setahun setelah terowongan selesai dibangun, hasil pertanian di sana pun meningkat sebesar US$2 juta. [[Malaria]] juga hampir tidak pernah terjadi lagi, sehingga meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat. Pejabat pemerintah Indonesia pun terkesan dengan teknologi yang digunakan pada pembangunan terowongan, sehingga kemudian mengarah pada pengembangan sejumlah infrastruktur lain di sepanjang Sungai Brantas.<ref name="jica4">{{cite book| last = | first = | title = Development of the Brantas River Basin (part 4)| publisher = [[JICA]]| series = | volume = | edition = | date = 1998| location = Tokyo| pages = 44 - 48| language = Inggris| url = https://openjicareport.jica.go.jp/pdf/11968989_04.pdf}}</ref>
=== Terowongan Neyama 2 ===
Untuk mengeringkan rawa seluas 1.500 hektar yang masih tersisa dari pembangunan terowongan pertama, pemerintah Indonesia kemudian merencanakan pembangunan [[Parit Agung]] dan terowongan kedua<ref name="jica7">{{cite book| last = | first = | title = Development of the Brantas River Basin (part 7)| publisher = [[JICA]]| series = | volume = | edition = | date = 1998| location = Tokyo| pages = 113| language = Inggris| url = https://openjicareport.jica.go.jp/pdf/11968989_07.pdf}}</ref> untuk mengalirkan
Untuk memanfaatkan derasnya air yang mengalir melalui terowongan kedua, pemerintah Indonesia lalu merencanakan pembangunan sebuah [[PLTA]] berkapasitas 36 MW, yang akhirnya mulai dibangun pada bulan April 1989 dengan menggunakan dana pinjaman dari pemerintah [[
== Referensi ==
{{reflist|2}}
[[Kategori:Terowongan di Jawa Timur|neyama]]
|