Permesta: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Rescuing 1 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.8
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Add 1 book for Wikipedia:Pemastian (20240909)) #IABot (v2.0.9.5) (GreenC bot
 
(75 revisi perantara oleh 30 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Infobox Military Conflict
| conflict = Permesta
| image = File:Pangdam merdeka saluting permesta troups.jpg
| caption = Pangdam merdeka memberi hormat kepada pasukan permesta
| date = [[1958]]—[[1961]]1957–1961
| place = [[Indonesia Timur]]
| casus = Ketidakpuasan Daerahdaerah terhadap Pemerintahpemerintah Pusat.pusat
| territory =
| result = Deklarasi Damai di Desa Woloan Tomohon dan dihadiri langsung oleh Perwakilan Blok Timur dan Blok Barat
| result = Kemenangan Pasukan Pemerintah Pusat.
| combatant1 = {{flagcountry|Indonesia}}
| combatant2 = {{flagdeco|Indonesia}} Permesta{{br}}{{flagicon|Indonesia}} [[PermestaPemerintahan Revolusioner Republik Indonesia|PRRI]]{{br}}Didukung oleh:<br>{{flagcountry|Amerika Serikat}}{{efn|group=infobox|Pada 1958}}{{efn|group=infobox|Dukungan udara dan material}}
* {{flagicon image|Flag of the U.S. Central Intelligence Agency.svg}} [[Badan Intelijen Pusat|CIA]]
| commander1 = [[Soekarno]]{{br}}[[Abdul Haris Nasution]]
----
| commander2 = [[Ventje Sumual]]{{br}}[[Alex Kawilarang]]{{br}}[[Joop Warouw]]{{br}}[[Daniel Julius Somba]]
[[Tentara bayaran]] dari:<ref>{{Cite web|url=https://amp.kompas.com/stori/read/2021/09/20/100000679/keterlibatan-amerika-serikat-dalam-prri|title=keterlibatan-amerika-serikat-dalam-prri|date=20 September 2021|website=kompas}}</ref>{{br}}{{flagcountry|Amerika Serikat}}{{br}}{{flagcountry|Filipina}}{{br}} {{flagcountry|Polandia}}{{br}}{{flagcountry|Taiwan}}
| commander1 = {{flagdeco|Indonesia}} [[Soekarno]]{{br}} {{flagdeco|Indonesia}} [[Abdul Haris Nasution]]{{br}} {{flagdeco|Indonesia}} [[Omar Dhani]]{{br}} {{flagdeco|Indonesia}} [[Djamin Ginting]]
| commander2 = {{flagdeco|Indonesia}} [[Ventje Sumual]]{{br}}{{flagdeco|Indonesia}} [[Alex Kawilarang]]{{br}}{{flagdeco|Indonesia}} [[Joop Warouw]]{{executed}}{{br}}{{flagdeco|Indonesia}} [[Daniel Julius Somba]] <br>{{flagdeco|Amerika Serikat}} [[Allen Lawrence Pope]]<br />{{flagdeco|Amerika Serikat}} [[William H. Beale]]<br>'''Didukung:'''<br>{{Flagicon|Indonesia}} [[Sjafruddin Prawiranegara]]
}}
{{Sejarah Indonesia}}
'''Perjuangan Semesta''' atau '''Perjuangan Rakyat Semesta''' ([[Ejaanejaan SoewandiRepublik]]: Perdjuangan Rakjat Semesta) disingkat '''Permesta''' adalah sebuah gerakan militer di [[Indonesia]]. Gerakan ini dideklarasikan oleh pemimpin militer dan sipil Indonesia bagian timur pada tanggal 2 Maret 1957. Pusat gerakan ini mulanya berada di [[Kota Makassar|Makassar]] yang pada waktu itu merupakan [[ibu kota]] [[Sulawesi]]. Namun perlahan-lahan dukungan di [[Sulawesi Selatan]]bagian selatan mulai hilang sehingga pada 1957 markas Permesta dipindahkan ke [[Kota Manado|Manado]] yang berada di [[Sulawesibagian Utara]]utara Sulawesi. Di sini timbul kontak senjata dengan pasukan pemerintah pusat sampai mencapai [[gencatan senjata]] pada tahun 1961.
 
== Latar belakang ==
Pemberontakan PRRI di barat dan Permesta di timur menumbuhkan berbagai macam alasan. Utamanya bahwa kelompok etnis tertentu di Sulawesi dan [[Sumatra Tengah]] waktu itu merasa bahwa kebijakan pemerintahan dari Jakarta stagnan pada pemenuhan ekonomi lokal mereka saja, di mana dalam gilirannya membatasi setiap kesempatan bagi pengembangan daerah regional lainnya.<ref>[[#lunstrom|Lundstrom-Burghoorn (1981)]], hlm. 43.</ref> Juga ada rasa kebencian terhadap kelompok [[suku Jawa]], yang merupakan suku dengan jumlah terbanyak dan berpengaruh dalam negara kesatuan Indonesia yang baru saja terbentuk.<ref>[[#schouten|Schouten (1998)]], hlm. 215.</ref> Ketidakseimbangan terjadi karena ajang politik Indonesia terpusat di [[pulau Jawa]], sedangkan sumber-sumber perekonomian negara lebih banyak berasal dari pulau-pulau lain.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 3.</ref><ref name="TEMPO 2008">[[#tempo_08|TEMPO (2008)]].</ref><ref>[[#liwe|Liwe (2002)]], hlm. 89.</ref> Efeknya konflik ini sedikit menyoal pikiran tentang pemisahan diri dari negara Indonesia, tetapi lebih menitikberatkan tentang pembagian kekuatan politik dan ekonomi yang lebih adil di Indonesia.<ref>[[#jacobson|Jacobson (2002)]], hlm. 2–3.</ref><ref>[[#liwe|Liwe (2002)]], hlm. 18.</ref>
 
== Awal gerakan ==
Baris 23 ⟶ 26:
=== Upaya sebelum proklamasi ===
 
Pada awal tahun 1957, pimpinan daerah di Makassar baik dari pemerintah dan dari militer mengunjungi Jakarta. Pada bulan Januari 1957, [[Saleh Lahade|Letkol Muhammad Saleh Lahade]] dan [[M. Jusuf|Mayor Andi Muhammad Jusuf Amir (M. Jusuf)]] bertemu dengan [[Kepala Staf TNI Angkatan Darat|KASAD]] [[Abdul Haris Nasution|Jenderal Abdul Haris Nasution]].<ref name="Harvey 1977">[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 44.</ref> Pada waktu itu, Lahade adalah Kepala Staf Komando Pengamanan Sulawesi Selatan Tenggara (Ko-DPSST), sedangkan M. Jusuf adalah Komandan Resimen Infanteri Hasanuddin (RI-Hasanuddin).<ref>[[#usman|Usman (2010)]], hlm. 150, 156.</ref> Kemudian pada bulan Februari, [[Gubernur Sulawesi]] [[Andi Pangerang Pettarani]] bertemu dengan [[Ali Sastroamidjojo|Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo]] dan [[R. Sunarjo|Menteri Dalam Negeri R. Sunarjo]].<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 41–42.</ref><ref name="Turner 2017, p. 177">[[#turner|Turner (2017)]], p. 177.</ref> Pangerang mendesak pemerintah pusat untuk mengupayakan otonomi yang lebih besar untuk daerah di Indonesia timur. Selain otonomi yang lebih besar untuk tingkat daerah, juga pembagian pendapatan pemerintah yang lebih banyak untuk daerah guna pelaksanaan proyek-proyek pembangunan lokal.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 42.</ref> Sedangkan perwakilan militer dari Makassar berusaha mendesak pimpinan TNI Angkatan Darat (TNI-AD) untuk mendukung hal-hal yang sama yaitu otonomi daerah yang lebih besar dan pembagian pendapatan yang akan digunakan untuk pembangunan daerah setempat. Selain itu, mereka juga meminta agar Ko-DPSST yang berada di bawah naungan langsung dari Markas Besar TNI-AD (daripada di bawah Tentara dan Territorium VII (TT-VII) yang bermarkas di Makassar) segera digantikan dengan sebuah Komando Daerah Militer (KDM).<ref>[[#harvey| name="Harvey (1977)]], hlm. 44.<"/ref>
 
Pada akhir bulan Februari 1957, Andi Burhanuddin dan Henk Rondonuwu sebagai delegasi dari pemerintah Provinsi Sulawesi berangkat ke Jakarta sebagai upaya terakhir untuk mendesak pemerintah pusat tentang hal-hal yang dibicarakan bulan sebelumnya. Selain mereka, Panglima TT-VII [[Ventje Sumual|Letkol Ventje Sumual]] juga mengunjungi Jakarta untuk tujuan yang sama dan untuk bertemu dengan perwira-perwira yang simpatik terhadap usaha mereka.<ref>[[#turner| name="Turner (2017)]], p. 177.<"/ref> Pada tanggal 1 Maret 1957, Sumual bersama Burhanuddin dan Rondonuwu kembali ke Makassar karena upaya mereka tidak berhasil. Sebelumnya pada tanggal 25 Februari 1957, telah terjadi rapat pimpinan pemerintah dan militer di Makassar untuk merencanakan proklamasi Permesta bila tidak ada tanggapan konkrit dari pemerintah pusat.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 45–47.</ref>
 
=== Proklamasi Permesta ===
 
[[File:Map of Indonesian Navy activities against PRRI and Permesta, Jalesveva Jayamahe, fold-out after page 49.jpg|300px|jmpl|kiri|Peta aktivitas [[Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut|TNI Angkatan Laut]] melawan PRRI (Pemerintah Revolusi Republik Indonesia) dan Permesta]]
 
Pada tanggal 2 Maret 1957 pukul 03.00 di kediaman gubernur di Makassar dan di hadapan sekitar 50 hadirin, Sumual memproklamasikan keadaan perang untuk seluruh wilayah TT-VII yaitu seluruh wilayah Indonesia timur.<ref>[[#ricklefs|Ricklefs dan Nugraha (2008)]], hlm. 531.</ref> Selanjutnya Lahade membacakan ''Piagam Perjuangan Semesta'' atau Piagam Permesta.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 47.</ref> Pada bagian akhir piagam tersebut mengenai "TJARA-TJARA PERDJOANGAN" dituliskan bahwa "pertama-tama dengan mejakinkan seluruh pimpinan dan lapisan masjarakat, bahwa kita tidak melepaskan diri dari Republik Indonesia, dan semata-mata diperdjoangkan untuk perbaikan nasib rakjat Indonesia dan penjelesaian bengka-lai revolusi Nasional." Piagam tersebut ditanda-tangani para hadirin. Setelah pembacaan piagam, disusul pidato dari Gubernur Andi Pangerang yang meminta agar semua tetap tenang dan tetap menjalankan tugas dan tanggung jawab mereka masing-masing.<ref>[[#liwe|Liwe (2002)]], hlm. 99.</ref>
Baris 37 ⟶ 42:
=== Tanggapan pemerintah pusat ===
 
Pada tanggal 14 Maret 1957, sebuah delegasi yang diketuai Henk Rondonuwu datang ke Jakarta dengan maksud untuk bertemu dengan [[Soekarno|PresidentPresiden Soekarno]] dan [[Mohammad Hatta]] secara terpisah dan memberi penjelasan kepada mereka tentang tujuan Permesta. Menurut laporan delegasi, dalam pertemuan Sukarno tampak lega setelah mendengar jaminan bahwa Permesta tidak bermaksud untuk pecah dari negara Republik Indonesia. Sedangkan dalam pertemuan dengan Hatta, ia terkesan dengan isi piagam Permesta setelah membacanya.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 53, 54.</ref> Pada hari yang sama Perdana Menteri Sastroamidjojo menyerahkan mandatnya kembali kepada Soekarno yang kemudian menyatakan negara dalam keadaan darurat perang atas usulan Nasution.<ref name="ReferenceA">[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 55.</ref> Sukarno menunjuk [[Djoeanda Kartawidjaja|Ir. Juanda]] sebagai perdana menteri baru.
 
Juanda membentuk sebuah tim untuk mengadakan pendekatan dengan Sumual. Ia memilih empat pejabat tinggi yang berasal dari daerah [[Minahasa]] karena Sumual juga berasal dari Minahasa. Keempat pejabat adalah Menteri Industri [[Freddy Jaques Inkiriwang|Freddy Jaques (F. J.) Inkiriwang]], Menteri Kehakiman [[Gustaaf Adolf Maengkom|Gustaaf Adolf (G. A.) Maengkom]], mantan Menteri Penerangan dan Duta Besar Indonesia untuk Tiongkok [[Arnold Mononutu]], dan Duta Besar Indonesia untuk Kanada [[L.N. Palar|Lambertus Nicodemus (L. N.) Palar]].<ref>[[#nalenan|Nalenan (1981)]], hlm. 232.</ref> Pada bulan Juli 1957, tim ini berangkat ke Sulawesi Utara dengan maksud untuk bertemu dengan Sumual, Somba, dan pejabat Permesta lainnya. Pada saat itu, markas Permesta telah pindah ke Sulawesi Utara. Setelah pertemuan dengan Sumual pada tanggal 23 Juli 1957, delegasi mengumumkan hal-hal yang telah disepakati, termasuk pengakuan provinsi-provinsi berotonomi di Indonesia timur yang salah satu di antaranya adalah Provinsi Sulawesi Utara. Juga disepakati pembentukan sebuah universitas di Sulawesi Utara.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 76.</ref>
Baris 45 ⟶ 50:
=== Tanggapan TNI-AD ===
 
Pada hari yang sama Permesta diproklamirkan, Nasution mengirim radiogram kepada Sumual dan juga kepada Kolonel Sudirman yang pada waktu itu adalah Komandan Ko-DPSST. Ia menginstruksikan kepada mereka untuk tidak mengambil tindakan yang dapat membahayakan keamanan tentara dan rakyat di Makassar. Sumual dan Sudirman memang sudah mengadakan hubungan secara tidak langsung dan bersepakat untuk menjaga keamanan di kota Makassar.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 50.</ref> Kemudian dalam pertemuan seluruh komandan Tentara dan Territorium di Markas Besar TNI-AD pada tanggal 15 Maret 1957 yang turut dihadiri oleh Sumual dan Sudirman, gubernur-gubernur militer yang sudah ditunjuk di TT-VII diterima untuk sementara.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 55.<name="ReferenceA"/ref>
 
Nasution menyetujui dibentuknya KDM seperti yang dicetuskan oleh Lahade dan Jusuf kepada Nasution dalam pertemuan mereka pada bulan Januari. Pembagian KDM dari wilayah TT-VII berdasarkan wilayah-wilayah ke empat gubernur militer yang dibentuk setelah Permesta diproklamirkan. [[Komando Daerah Militer XIV/Hasanuddin|KDM Sulawesi Selatan Tenggara (KDM-SST)]] diresmikan pada oleh Nasution di Makassar pada tanggal 1 Juni 1957. Nasution menunjuk [[Andi Mattalatta|Letkol Andi Mattalatta]] sebagai Komandan KDM-SST dan Mayor Haeruddin Tasning sebagai Kepala Staf KDM-SST.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 60.</ref> Kemudian pada tanggal 26 June 1957, Pieters diangkat sebagai Komandan KDM Maluku dan Irian Barat, dan pada tanggal 5 Juli 1957, Minggu diangkat menjadi Komandan KDM Nusa Tenggara. Somba diangkat menjadi Komandan KDM Sulwaesi Utara dan Tengah pada tanggal 28 September 1957.
 
Dengan peleburan Ko-DPSST di mana sebagian besar batalion berasal dari [[Komando Daerah Militer V/Brawijaya|Tentara Teritorium V/Brawijaya]] di [[Jawa]] dan pembentukan KDM-SST yang dipimpin oleh perwira-perwira asal Sulawesi Selatan telah memenuhi keinginan Jusuf yang juga berasal dari Sulawesi Selatan. Namun TT-VII juga dileburkan sehingga Sumual tidak lagi mempunyai jabatan di Makassar. Pada tanggal 4 Juni 1957, dalam pertemuan para perwira yang mendukung dibentuknya Permesta mulai terjadi perpecahan antara mereka yang berasal dari Sulawesi Selatan dan yang berasal dari Sulawesi Utara.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 61.</ref> Akibat hilangnya dukungan para perwira Sulawesi Selatan, termasuk Andi Pangerang, Sumual memindahkan markas Permesta ke Sulawesi Utara di [[Kinilow, Tomohon Utara, Tomohon|Kinilow]].<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 66.</ref> Perbedaan pendapat tentang bagaimana gerakan Permesta harus berlanjut bisa juga dipisahkan antara mereka yang ingin perang jika diharuskan untuk mencapai tujuan Permesta dan mereka yang tidak ingin perang. Perpecahan dari segi ini juga berdasarkan asal mereka (Sulawesi Selatan atau Sulawesi Utara). Pada tahun 1970-an, Sumual bertemu kembali dengan Jusuf. Pada kesempatan itu, Jusuf berkata kepada Sumual, "Ven, kalau aku Permesta saja, kau Permesta perang".<ref>[[#tempo_08| name="TEMPO (2008)]].<"/ref>
 
== Menuju ke perang ==
Baris 55 ⟶ 60:
=== Hubungan Permesta dan PRRI ===
 
Pada bulan yang sama diselenggarakanya MUNAS, Sumual bertemu dengan Letkol [[Ahmad Husein]] dan Letkol [[Barlian]] di [[Palembang]]. Husein adalah ketua [[Dewan Banteng]] yang memperjuangkan hal-hal yang sama dengan Permesta di [[SumatraSumatera Barat]]. Sedangkan Barlian memrakarsai Dewan Garuda dengan tujuan yang sama. Ketiga perwira ini menanda-tangani ''Piagam Persetujuan Palembang'' yang berisi tuntutan-tuntutan kepada pemerintah pusat antara lain "pemulihan Dwitunggal", "mengganti pimpinan Angkatan Darat sebagai langkah pertama terhadap stabilisasi TNI", "desentralisasi dalam sistem pemerintahan negara yang antaranya meliputi pemberian otonomi yang luas bagi daerah", dan "melarang komunisme".<ref>[[#hakiem|Hakiem (2019)]], hlm. 449.</ref> Pada tanggal 9 Januari 1958, Sumual kembali ke Sumatra tepatnya di [[Sungai Dareh, Pulau Punjung, Dharmasraya|Sungai Dareh]] di [[SumatraSumatera Barat]] dan bertemu kembali dengan Husein. Ia juga bertemu dengan pimpinan gerakan di Sumatra lainnya yaitu [[Sumitro Djojohadikusumo]], [[Mohammad Natsir]], dan [[Maludin Simbolon|Kolonel Maludin Simbolon]].<ref>[[#tempo_2007|TEMPO (2007)]].</ref>
 
Setelah pertemuan di Sungai Derah, Sumual berangkat ke [[Singapura]] dan kemudian ke [[Hong Kong]]. Di Hong Kong, Sumual bertemu dengan [[Joop Warouw|Kolonel Joop Warouw]] yang pada saat itu adalah attacheatase militer di [[Beijing]]. Ia juga menjabat sebagai Panglima TT-VII sebelum Sumual.<ref>[[#conboy|Conboy dan Morrison (1999)]], hlm. 36.</ref> Mereka kemudian berangkat ke [[Tokyo]] untuk bertemu dengan Soekarno yang sedang berkunjung di sana. Maksud pertemuan dengan Soekarno pada tanggal 5 Februari 1958 tidak lain adalah untuk mendesak Soekarno supaya mengambil tindakan terhadap krisis yang sedang berkecamuk di Indonesia.<ref>[[#time|Time (1958)]].</ref>
 
Pada tanggal 10 Februari 1958, Husein mengumumkan ''Piagam Perjuangan untuk Menyelamatkan Negara''. Dalam piagam ini, pemerintah pusat diberi waktu lima hari untuk melaksanakan hal-hal yang tertera di dalam piagam yang antara lain adalah kepada [[Kabinet Djuanda]] untuk mengembalikan mandat kepada Soekarno dan kepada "tokoh nasional" Hatta dan [[Hamengkubuwana IX|Hamengku Buwono IX]] untuk membentuk sebuah ''Zaken'' Kabinet Nasional yang "bersih dari anasir-anasir anti-Tuhan".<ref>[[#hakiem|Hakiem (2019)]], hlm. 456.</ref>
Baris 64 ⟶ 69:
 
=== Perbedaan tanggapan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara ===
 
 
 
Di Manado, Somba harus menanggapi berita terbentuknya PRRI. Sebagai Panglima KDM-SUT, ia harus memilih apakah akan memutuskan hubungan dengan pemerintah di Jakarta dan memihak kepada PRRI. Beberapa dari stafnya termasuk [[Dee Gerungan|Mayor Jan Willem "Dee" Gerungan]], Abe Mantiri, dan Kapten Lendy Tumbelaka mendesak Somba untuk berpihak kepada PRRI.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 94.</ref><ref>[[#sulu|Sulu (2011)]], hlm. 407.</ref> Sumual pada waktu itu masih berada di luar negeri di [[Manila]].<ref>[[#conboy|Conboy dan Morrison (1999)]], hlm. 245.</ref> Pada tanggal 16 Februari 1958, terjadi rapat massal di lapangan Sario di Manado. Somba pada akhirnya memilih apa yang diserukan masyarakat yang menghadiri rapat massal tersebut dan desakan stafnya, yaitu untuk memutus hubungan dengan pemerintah di Jakarta.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 95.</ref><ref>[[#sulu|Sulu (2011)]], hlm. 30.</ref><ref>[[#tribun_2013|Tribun News (2013)]].</ref> Somba diberhentikan secara tidak hormat oleh TNI-AD setelah pernyataannya.<ref>[[#indonesia|Indonesia (April 1983)]], hlm. 118.</ref> Sumual dan Lahade juga diberhentikan secara tidak hormat pada tangggal 1 Maret 1958.<ref>[[#scsp_1958|South China Sunday Post (2 Maret 1958)]], p. 6.</ref> Warouw juga bergabung dengan Permesta dan dia diberhentikan dengan tidak hormat pada tanggal 6 Mei 1958.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 124.</ref>
Baris 75 ⟶ 78:
=== Pemboman Manado oleh AURI ===
 
Selang enam hari dari pernyataan Somba di lapangan Sario, pemerintah pusat melakukan pemboman di kota Manado. Pada tanggal 22 Februari 1958 jam 08.15, dua pesawat pembom [[North American B-25 Mitchell|B-25 Mitchell]] dari [[Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara|Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI)]] melakukan pemboman dengan sasaran stasiun radio.<ref>[[#conboy|Conboy dan Morrison (1999)]], hlm. 38.</ref> Terjadinya pemboman di Manado menguatkan keputusan dua perwira asal Minahasa yang sebelumnya tidak antusias untuk bergabung dengan Permesta. Mereka adalah Warouw yang ikut dengan Sumual untuk bertemu dengan Soekarno di Tokyo dan [[Alexander Evert Kawilarang|Kolonel Alexander Evert (A. E.) Kawilarang]] yang pada waktu itu adalah atase militer di [[Washington, D. C.]]<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 102.</ref> Kawilarang adalah perwira TNI yang berprestasi yang pernah mengepalai tiga teritorium yaitu [[Kodam I/Bukit Barisan|TT-I/Bukit Barisan]] di [[Kota Medan|Medan]], [[Kodam IIIII/SriwijayaSiliwangi|TT-III/SriwijayaSiliwangi]] di [[Kota Bandung|Bandung]], dan juga TT-VII sebelum Warouw dan Sumual.
 
Pemboman juga mengakibatkan rakyat di Sulawesi Utara lebih antusias terhadap pergolakan Permesta. Dua hari setelah pemboman, KDM-SUT menginstruksikan para bekas prajurit [[KNIL]] untuk datang melaporkan diri dan bergabung dengan Permesta. Diperkirakan sekitar 2000 dari mereka yang melaporkan diri. Walaupun umur mereka sudah lanjut karena KNIL merupakan wadah untuk prajurit Indonesia pada masa pendudukan Belanda, tapi mereka bisa digunakan untuk melatih para pemuda yang berdatangan untuk ikutserta dalam pergolakan Permesta.<ref name="ReferenceB">[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 104.</ref> Pelatihan dilaksanakan di Langowan selama tiga bulan di mana jumlah pemuda yang dilatih bisa dibentuk menjadi tujuh [[kompi]].<ref>[[#conboy|Conboy dan Morrison (1999)]], hlm. 44.</ref> Selain itu, sebuah satuan untuk wanita juga dibentuk yang dinamakan Pasukan Wanita Permesta (PWP).<ref name="ReferenceC">[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 105.</ref>
 
=== Campur tangan asing ===
Baris 89 ⟶ 92:
=== Serangan-serangan AUREV ===
 
Pada tanggal 13 April 1958 pukul 03.00, pesawat AUREV B-26 berangkat dari lapangan udara Mapanget (sekarang adalah [[Bandar Udara Internasional Sam Ratulangi]]). Tujuannya adalah lapangan udara Mandai (sekarang [[Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin]]) di Makassar. Mereka sampai di tujuan pada pukul 05.30 dan membom serta menembaki landasan udara selama 15 menit.<ref>[[#conboy|Conboy dan Morrison (1999)]], hlm. 86, 87.</ref> Kemudian pada tanggal 16 April 1958, pesawat C-45 yang dibeli dari Taiwan berangkat dari lapangan udara [[Kalawiran, Kakas Barat, Minahasa|Kalawiran]]. Lapangan udara ini terletak di dekat [[Langowan]] dan adalah bekas peninggalan [[Belanda]].<ref name="TNI Angkatan Udara 2010">[[#tni_au|TNI Angkatan Udara (2010)]].</ref> Tujuan pesawat C-45 adalah lapangan udara di [[Kota Balikpapan|Balikpapan]]. Selain pemboman terhadap landasan udara, satu pesawat transport AURI juga hancur. Pada tanggal 20 April 1958, pesawat B-26 dari Mapanget menyerang [[Kota Palu|Palu]].<ref>[[#conboy|Conboy dan Morrison (1999)]], hlm. 112.</ref> Sehari kemudian, pesawat B-26 disertai dua pesawat P-51 menyerang pangkalan udara yang terletak di pulau [[Pulau Morotai|Morotai]] (sekarang [[Bandar Udara Pitu]]). Selain itu, sasaran kedua adalah pangkalan udara di [[Jailolo, Halmahera Barat|Jailolo]] di pulau [[Pulau Halmahera|Halmahera]]. Selama beberapa hari selanjutnya, serangan udara kembali dilakukan di tempat-tempat tersebut dengan tambahan [[Kota Ternate|Ternate]].<ref name="Morrison 1999">[[#conboy|Conboy dan Morrison (1999)]], hlm. 113, 114.</ref><ref>[[#pour|Pour dan Sudomo (1997)]], hlm. 64.</ref>
 
Pada tanggal 28 April 1958, pelabuhan di [[Kabupaten Donggala|Donggala]] (dekat Palu) dan Balikpapan kembali diserang. Di Donggala, kapal-kapal komersial berbendera luar negeri ''Flying Lark'', ''Aquela'', dan ''Armonia'' ditengelamkan dan di Balikpapan, kapal komersial ''San Flaviano'' ditenggelamkan.<ref>[[#conboy|Conboy dan Morrison (1999)]], hlm. 125, 126.</ref><ref>[[#kahin|Kahin dan Kahin (1997)]], hlm. 290.</ref> Selain itu, kapal perang [[RI Hang Tuah]] juga tenggelam akibat serangan AUREV di mana 18 awak kapal meninggal dan 28 cedera berat. Pada saat diserang, kapal perang ini baru saja meninggalkan Balikpapan menuju [[Jawa Timur]] untuk bergabung dengan armada yang disiapkan untuk menyerang Minahasa.<ref>[[#conboy|Conboy dan Morrison (1999)]], hlm. 126.</ref>
Baris 95 ⟶ 98:
=== Operasi Jakarta ===
 
Sebelumnya pada tanggal 26 April 1958, Sumual memimpin pasukan yang diangkut oleh beberapa kapal dari Manado menuju ke pulau Morotai dengan tujuan untuk merebut pangkalan udara di sana. Sumual telah meminta AUREV untuk menyerang Morotai lewat udara sebelum Sumual dan pasukannya sampai. Serangan dilakukan dengan pesawat B-26 yang dipiloti oleh [[Allen Lawrence Pope|Allen Pope]] yang baru saja tiba di Mapanget dari Filipina. Sebuah pesawat P-51 ikut juga dalam penyerangan. Setelah sampai di Morotai malam sebelumnya, pada keesokan harinya pukul 06.00, pasukan yang dipimpin Sumual memulai penyerangan mereka. Pangkalan udara yang hanya dijaga oleh beberapa tentara AURI dan polisi langsung menyerah tanpa perlawanan.<ref>[[#conboy|Conboy dan name="Morrison (1999)]], hlm. 113, 114.<"/ref> Sumual kemudian meninggalkan satu kompi di Morotai dan berangkat ke Halmahera. Mereka tidak mendapat perlawanan dan berhasil menduduki Jailolo beserta pangkalan udaranya.<ref name="ReferenceD">[[#conboy|Conboy dan Morrison (1999)]], hlm. 131.</ref>
 
Penyerangan di Morotai sebenarnya adalah tahap pertama dari penyerangan bertahap yang direncanakan Sumual dan dinamakan ''Operasi Jakarta''. ''Operasi Jakarta I'' adalah untuk merebut pangkalan udara di Morotai. Kemudian ''Operasi Jakarta II'' adalah untuk merebut kembali daerah sekitar Palu yang dikuasai oleh TNI dan diteruskan dengan ''Operasi Jakarta III'' dengan target Balikpapan dan bagian selatan [[Kalimantan]]. Akhir tujuan operasi adalah menyerang Jakarta.<ref name="TEMPO 2008"/><ref>[[#conboy|Conboy dan Morrison (1999)]], hlm. 116.</ref><ref>[[#tempo_08|TEMPO (2008)]].</ref> Sumual menilai keberhasilan operasi militer ini bisa menyakinkan perwira-perwira [[Komando Daerah Militer IV/Diponegoro|TT-IV/Diponegoro]] dan TT-V/Brawijaya yang simpatis terhadap usaha yang salah satu tujuannya adalah untuk mengembalikan dwi tunggal Soekarno-Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden.<ref>[[#sulu|Sulu (2011)]], hlm. 385.<name="ReferenceB"/ref><ref>[[#harveysulu|HarveySulu (19772011)]], hlm. 104385.</ref>
 
Pada tanggal 8 Mei 1958, Somba memulai ''Operasi Jakarta II'' dengan merebut kembali Parigi di dekat Palu dengan bantuan pesawat-pesawat AUREV.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 104.<name="ReferenceB"/ref><ref>[[#conboy|Conboy dan Morrison (1999)]], hlm. 131.<name="ReferenceD"/ref> Sebelumnya pada tanggal 18 April 1958, TNI telah merebut Parigi dan juga Donggala dan Palu dalam ''Operasi Insjaf''.<ref>[[#mokoginta|Mokoginta (1964)]], hlm. 138.</ref>
 
=== Tertangkapnya Allen Pope ===
Baris 105 ⟶ 108:
{{utama|Allen Lawrence Pope}}
 
Selama bulan April dan awal Mei 1958, serangan AUREV terus berlanjut termasuk serangan ke Ambon dan [[Kota Kendari|Kendari]].<ref>[[#conboy|Conboy dan Morrison (1999)]], hlm. 127, 128.</ref> AUREV secara mutlak menguasai udara di Indonesia timur. Di daratpun selain Mapanget, Permesta menguasai lapangan-lapangan udara di Jailolo, Kalawiran, Morotai, Tasuka (pangkalan pesawat terbang laut di [[Danau Tondano]]), dan Tolotio (sekarang [[Bandar Udara Jalaluddin]]).<ref>[[#tni_au| name="TNI Angkatan Udara (2010)]].<"/ref> Namun arus keberhasilan Permesta mulai terhenti pada pertengahan Mei 1958.
 
Pada tanggal 18 Mei 19571958, Pope bersama operator radio Harry Rantung berangkat dengan pesawat B-26 menuju ke Ambon dan lapangan udaranya untuk ke sekian kalinya. Setelah membom landasan, karena masih ada satu bom lagi Pope mencoba menemukan armada TNI yang datang untuk menduduki kembali kepulauan Halmahera. Setelah ditemukannya, Pope memfokuskan serangan ke kapal transport prajurit RI Sewaga. Ia tidak melihat kedatangan sebuah P-51 yang dipiloti [[Ignatius Dewanto|Kapten Ignatius Dewanto]]. Tembakan Dewanto pada saat Pope sedang menyiapkan pesawatnya untuk pemboman mengenai sayap kanan pesawat. Sedangkan tembakan dari konvoi kapal mengenai perut pesawat. Pesawat kemudian mulai terbakar dan Pope berteriak kepada Rantung untuk loncat keluar.<ref>[[#conboy|Conboy dan Morrison (1999)]], hlm. 148, 149.</ref> Pada waktu Pope loncat keluar kakinya kena ekor pesawat. Pope dan Rantung turun dengan parasut dan jatuh di pinggir Pulau Hatata yang terletak di sebelah barat Ambon. Pope dalam keadaan mengenaskan, tapi Rantung masih sempat menolong. Mereka berdua ditemukan oleh warga setempat yang disertai beberapa prajurit marinir dari KRI Sewaga yang dipimpin Letkol [[KKO]] Huhnholz.<ref>[[#conboy|Conboy dan Morrison (1999)]], hlm. 152.</ref>
 
Dua hari kemudian, orang-orang CIA di Mapanget mendapat perintah dari Filipina untuk mengundurkan diri dari Manado. Pope baru saja hilang beberapa hari sebelumnya dan mereka tidak tahu kalau dia tewas atau sudah ditangkap.<ref>[[#conboy|Conboy dan Morrison (1999)]], hlm. 155.</ref> Pernyataan resmi tentang Pope oleh pemerintah Indonesia baru keluar pada tanggal 27 Mei 1958.<ref>[[#conboy|Conboy dan Morrison (1999)]], hlm. 158.</ref> Namun sebelum Pope hilang, pemerintah Amerika Serikat sudah ada sentimen untuk mengubah kebijakan terhadap situasi di Indonesia. Kesimpulan mereka bahwa masih ada perwira-perwira tinggi TNI di Jawa yang menentang gerakan komunis seperti [[Ahmad Yani|Letjen Ahmad Yani]] membuat perubahan dukungan ke pemerintah Indonesia masih bisa dipahami.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 109.</ref> Pada sebuah seminar tentang Permesta di [[Universitas Indonesia]] pada tahun 1991 yang dihadiri oleh Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Sumual berkomentar, "Amerika membantu kami demi mengamankan kepentingannya. Kalau kemudian dia berubah, meninggalkan kami dan membantu jenderal di Jakarta, itu juga demi kepentingan negara mereka sendiri."<ref>[[#tempo_08| name="TEMPO (2008)]].<"/ref>
 
=== Operasi Nunusaku ===
Baris 115 ⟶ 118:
Beberapa hari sebelum Pope ditembak jatuh dan CIA menarik asetnya dari Mapanget, sebuah operasi AURI yang dinamakan ''Operasi Nunusaku'' dilakukan untuk melumpuhkan pesawat-pesawat AUREV. Sejumlah pesawat AURI yang terdiri dari lima buah pesawat P-51, empat buah pesawat B-25, dan satu buah PBY Catalina dikumpulkan untuk operasi ini.<ref>[[#gusti|Gusti Fikri Noor (November 2015)]], hlm. 31.</ref> Sebelum penyerangan dilakukan, pesawat-pesawat ini terbang ke beberapa lapangan udara di sekitar Ambon pada sore hari untuk menghindari serang AUREV yang biasa dilakukan pada siang hari. Pada tanggal 15 Mei 1958 pukul 04.00, mereka berangkat menuju ke sasaran mereka. Sebagian menuju Mapanget dan sebagian menuju ke Kalawiran. Di Mapanget, mereka melakukan serangan di mana pesawat B-25 membom landasan dan pesawat P-51 menembaki pesawat-pesawat AUREV yang sedang diparkir. Sebuah roket mengenai pesawat PBY Catalina dan pesawat itu langsung terbakar. Setelah penyerangan, pesawat AUREV yang tersisa yang masih berfungsi di Mapanget masing-masing tinggal satu B-26 dan satu P-51. Sedangkan serangan AURI di lapangan udara Kalawiran menghancurkan kedua pesawat C-45 yang berasal dari Taiwan.<ref>[[#conboy|Conboy dan Morrison (1999)]], hlm. 135–137.</ref>
 
Pada tanggal 9 Juni 1958, AURI kembali melakukan serangan ke lapangan udara Mapanget. Pesawat-pesawat P-51 datang dari Morotai (yang telah jatuh ke tangan TNI). Namun serangan ini tidak membuahkan hasil seperti serangan sebelumnya. Kali ini pertahanan di Mapanget dengan senapan-senapan anti pesawat lebih siap. Dua pesawat P-51 AURI berhasil ditembak jatuh di mana satu pilot tewas.<ref name="ReferenceE">[[#conboy|Conboy dan Morrison (1999)]], hlm. 159.</ref>
 
=== Operasi Mena ===
Baris 121 ⟶ 124:
[[Berkas:Indonesian Navy Commando Corps on Morotai Beach, Jalesveva Jayamahe, p154.jpg|jmpl|250px|Pasukan KKO ALRI di pulau Morotai.]]
 
''Operasi Mena'' adalah bagian dari operasi gabungan yang diberi nama ''Operasi Merdeka''.<ref name="Komandoko 2010">[[#komandoko|Komandoko (2010)]], hlm. 62.</ref> Operasi ini ditugaskan oleh pemerintah pusat untuk menumpas pemberontakan Permesta. Operasi Mena sendiri yang terdiri dari Operasi Mena I dan Operasi Mena II bertujuan untuk mengamankan Kepulauan Halmahera. Operasi Mena I yang dipimpin oleh Pieters ditugaskan untuk merebut kembali Jailolo, sedangkan Operasi Mena II yang dipimpin oleh Holnhulz ditugaskan untuk merebut kembali Morotai.<ref>[[#pour|Pour dan Sudomo (1997)]], hlm. 67, 69.</ref> Pada tanggal 27 Mei 1958 dalam sebuah konferensi pers yang diadakan di Jakarta, Pieters mengatakan bahwa sekitar 400 prajurit Permesta telah dikepung di Jailolo dan telah menerima ultimatum dari TNI untuk menyerahkan diri. Pieters berada di Jakarta pada waktu itu untuk membawa tahanan Allen Pope yang ditangkap di Ambon.<ref>[[#arnhemsche|Arnhemsche Courant (28 Mei 1958)]]</ref> Sedangkan Holnhulz merebut kembali Morotai pada tanggal 20 Mei 1958. Holnhulz termasuk dalam ''Amphibious Task Force 21'' (ATG-21 atau ''Gugus Tugas Amphibi 21'') dari [[Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut|Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI)]]. ATF-21 terdiri dari dua kapal angkut pasukan yaitu RI Sawega dan RI Baumasepe dan lima kapal penyapu ranjau (PR).<ref>[[#alri|Jawatan Penerangan Angkatan Laut (1960)]], hlm. 35.</ref> Pasukan marinirnya mendarat dan menyerang pada dini hari dengan diikuti oleh ''Pasukan Gerak Cepat'' (PGT) yang terjun dari pesawat AURI.<ref>[[#conboy|Conboy dan Morrison (1999)]], hlm. 157.</ref>
 
=== Operasi Sapta Marga ===
Baris 127 ⟶ 130:
[[Berkas:Indonesian Navy Commando Corps trekking to Amurang , Jalesveva Jayamahe, p153.jpg|jmpl|250px|Pasukan KKO ALRI bergerak ke Amurang.]]
 
''Operasi Sapta Marga'' juga adalah bagian dari operasi gabungan ''Operasi Merdeka''.<ref>[[#komandoko| name="Komandoko (2010)]], hlm. 62.<"/ref> Operasi Sapta Marga sendiri yang terdiri dari empat operasi terpisah bertujuan untuk merebut kembali daerah-daerah di Sulawesi Utara dan Tengah. ''Operasi Sapta Marga I'' dipimpin oleh Letkol Inf Sumarsono untuk merebut kembali Sulawesi Tengah. ''Operasi Sapta Marga II'' dipimpin Mayor Agus Prasmono untuk merebut kembali Gorontalo termasuk lapangan udara Tolotio dan untuk memberi dukungan terhadap gerilyawan pimpinan [[Nani Wartabone]] yang berpihak pada pemerintah pusat.<ref name="ReferenceF">[[#kodam_xiv|KODAM XIV/Hasanuddin]].</ref> ''Operasi Sapta Marga III'' dipimpin oleh Letkol Inf Ernst Julius (E. J.) Mangenda untuk merebut kembali kepulauan [[Kabupaten Kepulauan Sangihe|Sangihe]] dan [[Kabupaten Kepulauan Talaud|Talaud]] di utara Manado.<ref>[[#sutrisminingsih|Sutrisminingsih (2012)]], hlm. 46.</ref> ''Operasi Sapta Marga IV'' dipimpin oleh Letkol Inf Rukmito Hendraningrat untuk merebut kembali basis utama Permesta di Sulawesi Utara.<ref>[[#sutrisminingsih|Sutrisminingsih (2012)]], hlm. 47.</ref>
 
Operasi Sapta Marga II berhasil merebut kembali Gorontalo pada pertengahan Mei 1958 dengan bantuan Nani Wartabone setelah sebelumnya daerah itu direbut oleh pasukan Permesta dari Wartabone pada tanggal 17 Maret 1958.<ref name="ReferenceG">[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 110.</ref> Sebelumnya pada tanggal 19 Februari 1958, Somba membagi daerah militer KDM-SUT menjadi dua regimen. Sektor I/Resimen Tim Pertempuran Ular Hitam meliputi Sangihe dan Talaud, Minahasa, dan Bolaang-Mongondow dipimpin oleh Mayor Dolf Runturambi. Kemudian [[Resimen Tim Pertempuran Anoa|Sektor II/Resimen Tim Pertempuran Anoa]] meliputi Sulawesi Tengah dipimpin oleh Gerungan.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 104.<name="ReferenceB"/ref> Somba sendiri bersama tiga batalyon berangkat ke Sulawesi Tengah pada bulan April 1958 untuk mencoba merebut kembali daerah Palu dan Donggala.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 105.<name="ReferenceC"/ref> Namun dengan jatuhnya Gorontalo melalui Operasi Sapta Marga II, Somba menjadi terpisah dengan basis di Minahasa dan terpaksa harus melakukan perjalanan kembali ke Minahasa melewati daerah yang sudah dikuasai TNI. Perjalanan ini memakan waktu dua bulan dan pasukannya banyak yang menjadi korban baik akibat penyakit maupun akibat serangan-serangan musuh selama perjalanan. Sayangnya, Gerungan dan pasukannya sekitar 200 orang memilih untuk ke selatan. Mereka akhirnya bergabung dengan [[Abdul Kahar Muzakkar]]. Pada tahun 1965, Gerungan ditangkap, diadili, dan dieksekusi.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 110.<name="ReferenceG"/ref> Operasi ketiga, yaitu Operasi Sapta Marga III Sangihe dan Talaud berhasil diamankan pada tanggal 21 Mei 1958.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 110.<name="ReferenceG"/ref>
 
Operasi Sapta Marga IV juga sering disebut Operasi Merdeka itu sendiri karena merupakan operasi terbesar yang memfokuskan pada basis utama Permesta. Pada tanggal 1 Juni 1958, sebuah armada berangkat dari Jawa menuju ke Sulawesi Utara.<ref>[[#conboy|Conboy dan Morrison (1999)]], hlm. 159.<name="ReferenceE"/ref> Armada ini terdiri dari 17 kapal ALRI dan 10 kapal dari [[Pelayaran Nasional Indonesia]] (PELNI) dan Jawatan Pelayaran (DJAPEL). Kapal-kapal perang yang ikut dalam armada ini adalah kapal perusak [[KRI Gadjah Mada|RI Gadjah Mada]], kemudian kapal-kapal korvet RI Hasanudin, RI Pattimura, dan RI Pattiunus. Selain itu terdapat kapal angkut pasukan RI Sawega dan RI Baumasepe, dan kapal-kapal perang lainnya yaitu RI Baruna, RI Biscaya, dan kapal-kapal tanker RI Pladju dan RI Tjepu. Enam kapal penyapu ranjau juga ikutserta.<ref name="Jawatan Penerangan Angkatan Laut 1960">[[#alri|Jawatan Penerangan Angkatan Laut (1960)]], hlm. 36.</ref> Dari segi pasukan, jumlah pasukan yang termasuk dalam operasi ini adalah sebanyak 16 batalyon.<ref>[[#kahin|Kahin dan Kahin (1997)]], hlm. 293.</ref> Batalyon-batlyon ini berasal dari, antara lain [[Kodam III/Siliwangi|TT-II/Siliwangi]], TT-IV/Diponegoro, TT-V/Brawijaya, dan [[Kodam XIV/Hasanuddin|TT-XIV/Hasanuddin]].<ref name="ReferenceF"/><ref>[[#sulu|Sulu (2011)]], hlm. 120.</ref><ref>[[#kodam_xiv|KODAM XIV/Hasanuddin]].</ref>
 
Penyerangan terhadap basis Permesta dimulai pada tanggal 13 Juni 1958 di mana dua peleton [[Komando Pasukan Khusus|Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD)]] (sekarang KOPASSUS) melakukan pendaratan dan pengintaian 12 kilometer di sebelah utara Manado.<ref name="ReferenceH">[[#conboy|Conboy dan Morrison (1999)]], hlm. 160.</ref> Sebelumnya pada tanggal 8 Juni 1958, Manado telah dibombardir oleh kapal-kapal perang ALRI.<ref name="Kahin 1997">[[#kahin|Kahin dan Kahin (1997)]], hlm. 184.</ref> Sedangkan AURI menyerang lapangan udara Mapanget dan juga Tomohon dan Tondano pada tanggal 11 dan 13 Juni 1958.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 115.</ref> Kemudian pada tanggal 16 Juni 1958, pendaratan yang lebih besar yang terdiri dari satu batalyon KKO dan dua batalyon infanteri dilakukan di [[Kema, Minahasa Utara|Kema]] yang terletak sekitar 30 kilometer di sebelah tenggara Manado.<ref>[[#conboy|Conboy dan Morrison (1999)]], hlm. 160.<name="ReferenceH"/ref> Pendaratan didukung oleh kapal-kapal perang ALRI Gugus Tugas Amphibi 25 (ATG-25) yang dipimpin oleh Letkol [[John Lie]], Komandan RI Gadjah Mada.<ref>[[#alri| name="Jawatan Penerangan Angkatan Laut (1960)]], hlm. 36.<"/ref><ref>[[#setyautama|Setyautama (2008)]], hlm. 186.</ref>
 
Sumual sudah mengantisipasi bahwa pendaratan akan terjadi di Kema dan memimpin sendiri pertahanan di sana. Namun ia cedera pada waktu sebuah mortir meledak di dekatnya sehingga ia harus mundur ke Manado. Pertahanan di Kema dengan cepat bisa dilewati oleh pasukan TNI. Kemudian selain mengarah ke Manado, mereka juga bergerak ke arah [[Bitung]] yang mempunyai pelabuhan. Bitung dapat direbut dua hari kemudian.<ref>[[#conboy|Conboy dan Morrison (1999)]], hlm. 160, 162.</ref>
 
Pada saat yang sama, pasukan RPKAD menyerang lapangan udara Mapanget untuk menetralisir pertahanan udara di Mapanget. Pasukan Permesta berhasil memukul mundur RPKAD, namuntetapi korban jatuh di kedua belah pihak. Ironisnya, yang menjadi pencetus pembentukan RPKAD tidak lain adalah Kawilarang (bersama [[Slamet Riyadi]]). Ada anggota RPKAD yang membelot ke Permesta sebelum pertikaian dimulai sehingga pasti ada yang saling kenal. Kawilarang sendiri mengenal salah satu prajurit RPKAD yang tewas.<ref name="ReferenceI">[[#conboy|Conboy dan Morrison (1999)]], hlm. 162.</ref>
 
=== Pertempuran sengit di Minahasa ===
 
Walaupun pertahanan pasukan Permesta bisa diatasi oleh pasukan TNI pada saat pendaratan, namun perlawanan yang dilakukan di jalan menuju Manado lebih sengit. Pasukan Permesta melawan TNI dengan senapan mesin berat dengan peluru berkaliber .50 dan senjata lapangan yang menembakkan mortir 60 &nbsp;mm. Perlawanan ini memperlambat gerak TNI untuk mencapai Manado. Hal yang sama terjadi dengan pasukan RPKAD dan infanteri yang bergerak ke Manado dari utara.<ref>[[#conboy|Conboy dan Morrison (1999)]], hlm. 162.<name="ReferenceI"/ref> Tambahan pasukan mendarat di [[Wori, Minahasa Utara|Wori]] di utara Manado pada tanggal 21 dan 24 Juni 1958 untuk mendukung pasukan TNI yang sudah ada.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 110.<name="ReferenceG"/ref> Keadaan ini juga memaksa pimpinan operasi TNI untuk memfokuskan semua pasukan untuk merebut Manado daripada rencana semula di mana sebagian pasukan akan langsung bergerak ke Tondano dan Tomohon. Setelah perlawanan yang sengit selama delapan hari, pada tanggal 24 Juni 1958, Warouw menginstruksikan pengevakuasian kota Manado di mana markas Permesta pindah ke Tomohon. Dua hari kemudian barulah pasukan TNI bisa masuk Manado tanpa perlawanan karena pasukan Permesta sudah meninggalkan kota tersebut.<ref>[[#kahin|Kahin dan name="Kahin (1997)]], hlm. 184.<"/ref> Manado berhasil dibebaskan pada 26 Juni 1958.<ref>[[#setiono|Setiono (2008)]], hlm. 791.</ref> Dengan jatuhnya Manado, pimpinan Permesta mengubah siasat perlawanan mereka ke perlawanan gerilya.<ref>[[#sulu|Sulu (2011)]], hlm. 185.</ref>
 
Hampir sebulan lewat barulah TNI bisa merebut kota terbesar kedua di Minahasa yaitu Tondano pada tanggal 21 Juli 1958.<ref name="ReferenceJ">[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 117.</ref> Kemudian sebulan lagi barulah Tomohon bisa direbut pada tanggal 16 Agustus 1958.<ref>[[#sulu|Sulu (2011)]], hlm. 4.</ref> Perebutan Tomohon mendapat bantuan besar dari komandan Permesta setempat yaitu Mayor Eddy Mongdong. Ia menghubungi pasukan TNI di Tondano yang bersiap untuk menyerang Tomohon dan menyatakan bahwa ia bersama 1.500 prajurit dalam sektornya bersedia menyerah. Beberapa hari kemudian Langowan dan Kalawiran diduduki pada tanggal 20 Agustus 1958.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 117.<name="ReferenceJ"/ref> Pasukan KKO yang ikutserta dalam merebut Langowan termasuk dalam ''Operasi Mega'' yang dimulai sejak 19 Agustus 1958. Kemudian sebulan kemudian, ''Operasi Nuri'' dilaksanakan antara tanggal 19 dan 25 September 1958 dengan tujuan untuk menguasai daerah di antara Langowan, Amurang, dan juga [[Motoling, Minahasa Selatan|Motoling]].<ref>[[#alri|Jawatan Penerangan Angkatan Laut (1960)]], hlm. 147.</ref>
 
Situasi di mana TNI menduduki kota-kota dan lokasi-lokasi di sekitar jalan-jalan transportasi, sedangkan daerah-daerah sisanya termasuk dipegunungan dikuasai oleh pasukan Permesta, menjadi keadaan selama hampir satu tahun sejak September 1958. Perlawanan yang terjadi selanjutnya adalah serangan-serangan gerilya skala kecil. Beberapa pertempuran yang lebih besar juga terjadi, misalnya antara tanggal 17 dan 19 Februari 1959, serangan besar-besaran dilakukan Permesta yang dinamakan ''Operasi Jakarta Spesial''. Serangan serentak dilakukan di [[Amurang, Minahasa Selatan|Amurang]], [[Kawangkoan, Minahasa|Kawangkoan]], Langowan, dan Tondano. Serangan-serangan ini hampir memukul mundur TNI di beberapa tempat, namuntetapi juga memakan korban sekitar 100 prajurit di kubu Permesta. Walau tidak berhasil, serangan ini membuktikan bahwa pasukan Permesta masih melakukan penyerangan.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 118.</ref><ref>[[#conboy|Conboy dan Morrison (1999)]], hlm. 169.</ref>
 
=== Keretakan di kubu Permesta ===
Baris 157 ⟶ 160:
Usaha untuk mempertemukan kubu Permesta dengan pemerintah pusat dilakukan hampir bersamaan oleh dua orang yaitu [[A.Z.R. Wenas|Albertus Zacharias Roentoerambi (A. Z. R.) Wenas]] dan [[Frits Johannes Tumbelaka|Frits Johannes (F. J.) Tumbelaka]]. Wenas pada waktu itu adalah Ketua [[Gereja Masehi Injili di Minahasa|Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM)]]. Wenas menyerukan kepada kedua belah pihak untuk meletakkan senjata dan mencari jalan damai dalam khotbah-khotbah, surat-surat, dan siaran radionya. Pada bulan Oktober 1959, ia bertemu dengan Kawilarang untuk membahas kemungkinan perdamaian dengan pemerintah pusat. Ia juga bertemu dengan Warouw di [[Remboken, Minahasa|Remboken]]. Selain itu, ia menulis surat kepada Presiden Sukarno yang berisi usul-usul untuk mencapai perdamaian.<ref>[[#henley|Henley (November 2007)]].</ref>
 
Pada bulan Oktober 1959, Tumbelaka yang juga dipanggil "Broer" menghubungi Kolonel Surachman yang pada waktu itu adalah Panglima TT-V/Brawijaya guna membahas situasi di Sulawesi Utara. Tumbelaka sendiri pernah menjabat sebagai perwira senior di TT-V/Brawijaya dan juga ikutserta dalam perang kemerdekaan di Jawa Timur bersama Somba dan Warouw. Dalam pertemuannya dengan Tumbelaka, Surachman mengungkapkan keprihatinannya terhadap pengaruh PKI di Jawa Timur yang semakin besar dan bahwa perang melawan Permesta telah menguras tenaga TNI yang adalah keuntungan buat PKI.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 134.</ref> Setelah beberapa pertemuan dengan staf Brawijaya yang lain, mereka setuju untuk mengirim Tumbelaka ke Manado untuk berusaha mengadakan kontak dengan Somba. Walaupun Warouw mempunyai posisi lebih tinggi dalam Permesta, adalah Somba yang memimpin pasukan paling berpengalaman yang sebagian berasal dari TNI.<ref name="ReferenceK">[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 135.</ref>
 
=== Perundingan ===
 
Pada tanggal 5 Januari 1960, Tumbelaka berangkat ke Manado. Setelah bertemu dengan beberapa orang dari [[Komando Daerah Militer XIII/Merdeka|Kodam XIII/Merdeka]], ia dipertemukan dengan Samuel Hein "Tjame" Ticoalu. Tumbelaka meminta Tjame masuk ke daerah Permesta untuk membawa sebuah pesan kepada Somba yang sebagiannya berbunyi "untuk mencari solusi yang baik terhadap permasalahan yang sedang berlanjut". Tjame berhasil bertemu dengan Somba dan memberi pesan dari Tumbelaka. Pada waktu itu Kawilarang juga ada bersama Somba. Mereka berdua mengirim pesan kepada Warouw tentang apa yang disampaikan Tumbelaka. Warouw sendiri pada waktu itu sedang berusaha untuk bertemu dengan Sumual untuk membicarakan pertemuannya dengan Wenas.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 135.<name="ReferenceK"/ref>
 
Pertemuan pertama antara Tumbelaka dan Somba terjadi di desa [[Matungkas, Dimembe, Minahasa Utara|Matungkas]] dekat [[Airmadidi, Minahasa Utara|Airmadidi]] pada tanggal 15 Maret 1960.<ref name="ReferenceL">[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 136.</ref> Pertemuan ini diikuti dengan pertemuan-pertemuan yang diikuti oleh pimpinan Permesta lainnya selain Somba seperti Mantiri dan Lendy Tumbelaka (sepupu dari Broer Tumbelaka). Pertemuan-pertemuan ini berlangsung sampai akhir tahun 1960. Topik-topik pembahasan penting yang disampaikan dari kubu Permesta termasuk otonomi daerah, apa yang akan dilakukan dengan pasukan setelah persetujuan ditetapkan, dan apa yang akan dilakukan tentang situasi komunisme di Indonesia.<ref name="ReferenceM">[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 140.</ref> Perundingan berjalan lama karena semua hal harus disetujui oleh kedua belah pihak. Sama pentingnya adalah setiap keputusan perundingan diusahakan untuk disampaikan ke komandan-komandan di lapangan.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 144.</ref> Dari pihak pemerintah pusat, beberapa tindakan dilakukan untuk menunjukkan keseriusan terhadap perundingan yang sedang berlangsung. Pada saat awal perundingan pada bulan Maret 1960, sebuah instruksi presiden mengumumkan dibaginya Provinsi Sulawesi menjadi dua provinsi. Salah satunya adalah Provinsi Sulawesi Utara dan Tengah dengan ibukota di Manado.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 136.<name="ReferenceL"/ref> Kemudian pada akhir tahun 1960, Nasution memberikan pidato yang disiarkan oleh [[Radio Republik Indonesia]] di Manado tentang pentingnya negara Indonesia kembali ke [[Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945|Undang-Undang Dasar 1945]] dan [[Pancasila]] di mana negara Indonesia adalah negara yang menganut ''Ketuhanan yang Maha Esa''.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 140.<name="ReferenceM"/ref>
 
Pada tanggal 17 Desember 1960, pertemuan antara Tumbelaka, Mantiri, dan Arie Supit menyetujui langkah-langkah konkrit untuk mengakhiri pemberontakan. Langkah-langkah tersebut adalah sebuah permohonan dari Menteri Pertahanan/KASAD agar para pemberontak ''kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi'' dan pernyataan dari kubu Permesta yang menyatakan bahwa mereka siap untuk kembali, sebuah gencatan senjata, sebuah pertemuan teknis militer tentang pengaturan pasukan Permesta setelah terjadinya gencatan senjata, dan sebuah upacara inspeksi yang akan dilakukan oleh Menteri Pertahanan/KASAD terhadap pasukan bekas Permesta.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 141.</ref>
Baris 169 ⟶ 172:
=== Kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi ===
 
Kelompok Permesta pertama yang menjawab seruan untuk menghentikan perlawanan bukanlah pasukan di bawah pimpinan Somba melainkan pasukan di bawah pimpinan Laurens Saerang yang pada waktu itu adalah Kepala Daerah Minahasa serta pemimpin Brigade Manguni. Pada tanggal 15 Februari 1961 di Langowan, dilaksanakan sebuah apel untuk menandakan kembalinya Brigade Manguni dan kelompok-kelompok Permesta lainnya yang berada di bawah pimpinan Saerang. Apel tersebut dihadiri Panglima [[Kodam XIII/Merdeka]] [[Soenandar Prijosoedarmo|Kolonel Sunandar Priyosudarmo]] dan Wakil KASAD Mayjen Ahmad Yani.<ref>[[#sulu|Sulu (2011)]], hlm. 248, 249.</ref><ref name="ReferenceN">[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 142.</ref> Pasukan lain yang turut menyerahkan diri pada hari itu ada PWP dan orang-orang dari lima basis gerilya di daerah Kakas dan Langowan.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 142.<name="ReferenceN"/ref>
 
Pada tanggal 4 April 1961 barulah pasukan di bawah pimpinan Somba menyerahkan diri. Penyerahan diri Somba ditandai dengan penandatanganan pernyataan dan naskah penyelesaian masalah Permesta antara Somba dan Pangdam Kodam XIII/Merdeka di desa [[Malenos Baru, Amurang Timur, Minahasa Selatan|Malenos]] (dekat Amurang) yang dikenal sebagai ''Peristiwa Malenos''<ref>[[#anwar|Anwar (2006)]], hlm. 139.</ref> Dari Kodam XIII/Merdeka, hadir Priyosudarmo disertai Kepala Kepolisian Sulawesi Utara dan Tengah Drs. Moerhadi Danuwilogo. Adapun dari Pimpinan Permesta, selain Somba, hadir Lendy Tumbelaka, Wim Tenges, dan Mantiri. Dalam upacara diadakan inspeksi prajurit TNI maupun prajurit Permesta oleh Priyosudarmo dan Somba. Priyosudarmo dan Somba sudah saling kenal sebelumnya karena mereka mengikuti kursus di [[Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat|Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD)]] (sekarang SESKOAD) pada saat yang sama.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 146.</ref>
Baris 175 ⟶ 178:
Sebuah upacara juga diadakan pada tanggal 14 April 1961 di dekat Tomohon yang dihadiri oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan [[Hidajat Martaatmadja|Mayjen Hidayat Martaatmaja]] dari TNI dan Kawilarang dari Permesta. Turut hadir dalam upacara tersebut adalah Yani dan Atase Militer Kedutaan Besar Amerika Serikat Kolonel George Benson. Upacara puncak pada tanggal 12 Mei 1961 di dekat Tomohon dilaksanakan sebagai langkah paling akhir berupa inspeksi oleh Nasution selaku Menteri Pertahanan/KASAD terhadap pasukan Permesta. Nasution mengambil kesempatan bertemu dengan Kawilarang pada waktu itu.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 147.</ref>
 
Setelah upacara puncak pada tanggal 12 Mei 1961, tinggallah Sumual dan pasukan yang masih mengikutinya yang belum menyerahkan diri. Sumual baru menyerahkan diri pada tanggal 20 Oktober 1961.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 149.</ref> Dia memutuskan untuk menyerahkan diri setelah mendengar bahwa Presiden Republik Persatuan Indonesia (RPI) mengumumkan berakhirnya permusuhan dengan Republik Indonesia.<ref name="TEMPO 2008"/><ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 148.</ref><ref>[[#tempo_08|TEMPO (2008)]].</ref> RPI adalah negara yang dibentuk untuk menggabungkan pemberontakan-pemberontakan di seluruh wilayah Indonesia. Bergabungnya Permesta dalam RPI didukung oleh Sumual, tapi ditentang oleh Kawilarang dan Warouw.<ref>[[#harvey|Harvey (1977)]], hlm. 128.</ref>
 
=== Akhir gerakan ===
 
Pemberian amnesti dan abolisi kepada mereka yang terlibat dengan Permesta resmi diberikan dengan keluarnya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 322 Tahun 1961 tentang "Pemberian Amnesti dan Abolisi Kepada Para Pengikut Gerakan 'Permesta' Di Bawah Pimpinan Kawilarang, Laurens Saerang, dan Somba yang Memenuhi Panggilan Pemerintah Kembali Ke Pangkuan Ibu Pertiwi".<ref>[[#sulu|Sulu (2011)]], hlm. [https://books.google.co.id/books?id=8-E8DwAAQBAJ&pg=PA347&dq=%22Pemberian+Amnesti+dan+Abolisi+Kepada+Para+Pengikut%22&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwjC3NG778DrAhXCcn0KHe8VC-kQ6AEwAHoECAYQAg#v=onepage&q=%22Pemberian%20Amnesti%20dan%20Abolisi%20Kepada%20Para%20Pengikut%22&f=false 347].</ref> Keppres ini dikeluarkan pada tanggal 22 Juni 1961. Sumual termasuk orang yang memperoleh amnesti.<ref>[[#raditya|Raditya (2019)]].</ref>
 
== Galeri ==
[[Berkas:FB IMG 1724511222943.jpg|jmpl|280px|<small>Perdamaian Permesta dengan pusat di desa woloan</small>]]
 
[[Berkas:FB IMG 1724511219718.jpg|jmpl|280px|<small>Perdamaian Permesta dengan pusat di desa woloan</small>]]
 
[[Berkas:FB IMG 1724511227720.jpg|jmpl|280px|<small>Perdamaian Permesta dengan pusat di desa woloan</small>]]
 
[[Berkas:FB IMG 1724512343234.jpg|jmpl|280px|<small>Kehadiran Blok Timur dan Blok Barat dalam Upacara perdamaian permesta</small>]]
 
 
==Catatan==
{{Notelist}}
 
== Referensi ==
Baris 189 ⟶ 205:
{{refbegin|32em}}
* {{cite book
| last = Anwar
| first = Rosihan
| title = Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik, 1961-1965
| year = 2006
| url = https://books.google.co.id/books?id=-X4wccKiXLAC&pg=PA139&dq=somba+%224+April+1961%22&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwigm6bS8sDrAhWRfH0KHYtoB7UQ6AEwAHoECAAQAg#v=onepage&q=somba%20%224%20April%201961%22&f=false
|location = Jakarta
| publisher = Yayasan Obor Indonesia
| isbn = 978-979-461-613-0
| url-status = live
| ref = Anwar
}}
 
* {{cite news
| url = http://resolver.kb.nl/resolve?urn=MMKB19:000313045:mpeg21:p00001
| title = Gevangen Genomen Amerikaanse Piloot naar Djakarta Overgebracht
| trans-title = Pilot Amerika yang Tertangkap Ditransfer ke Jakarta
| language = Belanda
| date = 28-05-1958
| location = Arnhem
| publisher = Arnhemsche Courant
| ref = arnhemsche
}}
 
* {{cite book
Baris 272 ⟶ 288:
 
* {{cite journal
| last = Henley
| first = David
| date = November 2007
| url = http://journals.openedition.org/moussons/1827
| title = The Fate of Federalism: North Sulawesi from Persatuan Minahasa to Permesta
| trans-title = Nasib Federalisme: Sulawesi Utara dari Persatuan Minahasa ke Permesta
| language = Inggris
| publisher = Moussons
| pages = 89-105
| access-date = 2020-06-11
| ref = henley
}}
 
* {{cite journal
| date = April 1983
| title = Indonesian Army Territorial Commanders 1950-March 1983
|url = https://archive.org/details/sim_indonesia_1983-04_35/page/109
| trans-title = Komandan Teritorial Angkatan Darat Indonesia 1950-Maret 1983
| language = Inggris
| journal language = IndonesiaInggris
| issue journal = 35Indonesia
| pages issue = 109–12435
| ref pages = indonesia109–124
|ref = indonesia
}}
 
* {{cite book
Baris 311 ⟶ 328:
 
* {{cite book
| year = 1960
| title = Jalesveva Jayamahe: Lukisan Selayang Pandang tentang Keadaan A.L.R.I. Kita dalam Usia 15 Tahun
| url = https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Jalesveva_Jayamahe_(full_book).pdf
| location = Jakarta
| publisher = Jawatan Penerangan Angkatan Laut
| ref = alri
}}
 
* {{cite book
Baris 326 ⟶ 343:
| authorlink2 = George McTurnan Kahin
| title = Subversion as Foreign Policy: The Secret Eisenhower and Dulles Debacle in Indonesia
| url = https://archive.org/details/subversionasfore0000audr
| trans-title = Subversi sebagai Kebijakan Luar Negeri: Rahasia Kegagalan Eisenhower dan Dulles di Indonesia
| language = Inggris
Baris 349 ⟶ 367:
 
* {{cite web
| title = Profil dan Sejarah / Perjuangan
| url = http://kodam14hasanuddin-tniad.mil.id/profil-dan-sejarah/perjuangan
| publisher = Komando Daerah Militer XIV/Hasanuddin
| ref = kodam_xiv
| access-date = 2020-06-10
| archive-date = 2021-01-19
| archive-url = https://web.archive.org/web/20210119223235/http://kodam14hasanuddin-tniad.mil.id/profil-dan-sejarah/perjuangan/
| dead-url = yes
}}
 
Baris 421 ⟶ 443:
 
* {{cite web
| last = Raditya
| first = Iswara
| title = Sejarah Amnesti Presiden Sukarno kepada PRRI/Permesta
| date = {{date|2019-07-08}}
| url = https://tirto.id/sejarah-amnesti-presiden-sukarno-kepada-prripermesta-edPo
| website = tirto.id
| access-date = 2020-08-29
| ref = raditya
}}
 
* {{cite book
Baris 456 ⟶ 478:
 
* {{cite book
| last = Setiono
| first = Benny
| year = 2008
| title = Tionghoa Dalam Pusaran Politik
| url = https://books.google.co.id/books?id=CH0p3zHladEC&pg=PA791&dq=%22manado+berhasil+dibebaskan%22&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwjog_m67sDrAhUXVH0KHUoyBPMQ6AEwAHoECAAQAg#v=onepage&q=%22manado%20berhasil%20dibebaskan%22&f=false
| location = Jakarta
| publisher = TransMedia
| isbn = 978-979-799-052-7
| url-status = live
| ref = setiono
}}
 
* {{cite book
Baris 479 ⟶ 501:
 
* {{cite book
| last = Soejono
| first = R. P.
| title = Sejarah Nasional Indonesia
| year = 1981
| url = https://books.google.co.id/books?id=5aydMK_OKewC&q=musyawarah+nasional+%22September+1957%22&dq=musyawarah+nasional+%22September+1957%22&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwiF-YyY9sDrAhVMWH0KHTB4D1EQ6AEwBXoECAYQAg
| location = Jakarta
| publisher = Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
| volume = 6
| url-status = live
| ref = Soejono
}}
 
* {{cite news
Baris 520 ⟶ 542:
 
* {{cite news
| title = Revolt in the Provinces
| trans-title = Pemberontakan di Povinsi-provinsi
| language = Inggris
| url = https://magz.tempo.co/read/15106/revolt-in-the-provinces
| publisher = TEMPO
| date = 2007-08-14
| access-date = 2020-06-06
| ref = tempo_2007
}}
 
* {{cite news
| title = Herman Nicolas 'Ventje' Sumual: Lelaki di Balik Permesta
| url = https://majalah.tempo.co/read/memoar/126571/herman-nicolas-ventje-sumual-lelaki-di-balik-permesta
| publisher = TEMPO
| date = 2008-03-10
| access-date = 2020-06-05
| ref = tempo_2008
}}
 
* {{cite magazine
Baris 549 ⟶ 571:
 
* {{cite web
| date = 2010-01-26
| title = Sejarah Lanud: Sekilas Pangkalan Udara Sam Ratulangi
| url = https://tni-au.mil.id/sejarah-lanud-3
| publisher = TNI Angkatan Udara
| access-date = 2020-06-08
| ref = tni_au
}}
 
* {{cite news
| title = Letkol Dj Somba Umumkan Permesta Putus Hubungan dengan Jakarta
| url = http://manado.tribunnews.com/2013/09/13/letkol-dj-somba-umumkan-permesta-putus-hubungan-dengan-jakarta
| date = 2013-09-13
| publisher = Tribun News
| access-date = 2020-06-06
| ref = tribun_2013
}}
 
* {{cite book