Kamp pengasingan Moncongloe: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Anhar Karim (bicara | kontrib) k →Buku |
RaFaDa20631 (bicara | kontrib) k Moving from Category:Penjara di Indonesia to M using Cat-a-lot |
||
(31 revisi perantara oleh satu pengguna lainnya tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{Infobox prison
| name = Kamp pengasingan Moncongloe
| image = Kamp Moncongloe11.png
| image_size = 280px
| alt =
| caption = Peta lokasi Kamp pengasingan Moncongloe
| image_map = South Sulawesi in Indonesia.svg
| map_size =
Baris 20 ⟶ 18:
| location =
| coordinates = {{coord|5|21|6|S|119|55|22|E|region:ID_type:adm1st|display=inline,title}}
| status = Pengasingan
| classification = Rehabilitasi
| capacity =
| population = ± 13 ribu (sepanjang 1969–1979)
Baris 27 ⟶ 25:
| opened = Maret 1969
| closed = 1979
| former_name = Inrehab Kokamtibda Sulselra
| managed_by =
| director =
| governor ='''{{small|Daftar kepala kamp}}''':{{br}}Kapten Rakimin (1969–){{br}}Kapten Bonar Siregar{{br}}Kapten Toliu{{br}}Kapten Wahyudin Lubis (–1979)
| warden =
| street-address = Moncongloe
| city = [[Kabupaten Maros]] dan [[Kabupaten Gowa]]
| county =
Baris 59 ⟶ 57:
| coordinates type = type:landmark
| coordinates display = inline,title
| other names =
| known for = Praktik pelanggaran HAM oleh militer terhadap tahanan politik{{br}}{{br}}Tempat pembuangan tahanan politik PKI di Pulau Sulawesi
| location = Mencakup sebagian kecil wilayah [[Kabupaten Maros]] bagian selatan dan sebagian kecil wilayah [[Kabupaten Gowa]] bagian utara
| built by =[[Komando Daerah Militer XIV/Hasanuddin]]
| operated by = Kokamtibda Sulselra, [[Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban|Kopkamtib]] dibawah arahan Pemerintah Indonesia era [[Orde Baru (Indonesia)|Orde Baru]], Presiden [[Soeharto]]
| companies involved = Lekra<br>Pemuda Rakyat<br>Barisan Tani Indonesia
| original use = Kawasan hutan negara dan lahan perkebunan
| construction =
|commandant='''{{small|[[Daftar Panglima Komando Daerah Militer XIV/Hasanuddin|Daftar panglima Kodam XIV/Hasanuddin]]}}''':{{br}}Brigjen. TNI. [[Solihin Gautama Purwanegara]]{{br}}Brigjen. TNI. [[Sayidiman Suryohadiprojo]]{{br}}Brigjen. TNI. [[Abdul Azis Bustam]]{{br}}Brigjen. TNI. [[Hasan Slamet]]{{br}}Brigjen. TNI. Sukma Endang{{br}}Brigjen. TNI. Kusnadi{{br}}{{br}}
'''{{small|Daftar kepala kamp}}''':{{br}}Kapten Rakimin (1969–){{br}}Kapten Bonar Siregar{{br}}Kapten Toliu{{br}}Kapten Wahyudin Lubis (–1979)
| in operation = Maret 1969 – 1979 (untuk tahanan politik terkait PKI){{br}}1978 – 1979 (untuk tahanan militer)
| gas chambers =
| prisoner type= Tahanan politik terkait [[Gerakan 30 September]] 1965 oleh [[Partai Komunis Indonesia]] (1969–1979){{br}}{{br}}Tahanan militer (1978–1979)
| inmates = ± 13 ribu tahanan (sepanjang Maret 1969–1979)
| killed = ''tidak diketahui''
| liberated by =[[Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban|Kopkamtib]] (secara bertahap sejak 20 Desember 1977–1979 berdasarkan surat perintah Nomor: SPRIN/802/TPD/XII/1977, tentang membebaskan dari penahanan penuh menjadi tahanan rumah)
| notable inmates =
| notable books =1. Kamp Pengasingan Moncongloe, 2009, Hal. 1–300{{br}}{{br}}2. Pulangkan Mereka! Merangkai Ingatan Penghilangan Paksa di Indonesia, 2012, Hal. 165–206{{br}}{{br}}3. Pengakuan Algojo 1965: Investigasi Tempo Perihal Pembantaian 1965, 2013, Hal. 1–177
| website =
}}
{{perbudakan}}
'''Kamp pengasingan Moncongloe'''<ref name=":1">{{Cite web|url=https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsulsel/kamp-pengasingan-moncongloe/|title=Kamp Pengasingan Moncongloe|last=Tim redaksi kebudayaan.kemdikbud.go.id|first=|date=4 Juni 2014|website=kebudayaan.kemdikbud.go.id|access-date=28 Maret 2023}}</ref> atau disingkat '''Kamsing Moncongloe''' (juga disebut '''Kamp Konsentrasi Moncongloe''', '''Instalasi rehabilitasi Moncongloe'''/'''Inrehab Moncongloe'''<ref name=":0">{{Cite web|url=https://www.tribunnewswiki.com/2019/09/21/g30s-1965-moncongloe-kamp-tahanan-politik-tapol-di-gowa-sulawesi-selatan|title=G30S 1965 - Moncongloe, Kamp Tahanan Politik (Tapol) di Gowa, Sulawesi Selatan|last=Maghiszha|first=Dinar Fitra|date=21 September 2019|website=www.tribunnewswiki.com|access-date=28 Maret 2023}}</ref>, '''Instalasi rehabilitasi Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban Daerah Sulawesi Selatan dan Tenggara'''/'''Inrehab Kokamtibda Sulselra''', atau '''Kamp tahanan Tanah Merah Moncongloe''') adalah bekas [[kamp konsentrasi]] di [[Moncongloe, Moncongloe, Maros|Desa Moncongloe]]–[[Pacellekang, Pattallassang, Gowa|Desa Pacellekang]] yang dikelola oleh pemerintah [[Indonesia]] era [[Orde Baru (Indonesia)|Orde Baru]] dari Maret 1969 hingga 1979. Kamp ini mulai dirintis pada 1968 dan mulai digunakan pada Maret 1969 sebagai tempat khusus pembuangan/pengasingan/hukuman bagi para [[tahanan politik]] (tapol) yang dianggap dan dicurigai baik terlibat sebagai simpatisan maupun dalam gerakan [[Partai Komunis Indonesia]]. Para tapol tersebut berasal dari penjara-penjara di beberapa daerah baik dari dalam maupun dari luar Sulawesi Selatan yang sebelumnya telah ditangkap pascaperistiwa [[Gerakan 30 September|G30S/PKI 1965]]. Moncongloe adalah penjara alam yang didirikan oleh pemerintah [[Indonesia]] era Orde Baru Presiden [[Soeharto]] di Pulau [[Sulawesi]]. Karena over kapasitas tahanan politik di [[Pulau Jawa]], maka Kamp pengasingan Moncongloe didirikan untuk menampung tapol. Kondisi penjara ini sangat tidak bersahabat dan digunakan untuk mengeksploitasi para tahanan politik bekerja secara paksa untuk memenuhi kebutuhan militer baik kepentingan institusi maupun kepentingan pribadi petugas Instalasi rehabilitasi (Inrehab). Keberadaan kamp pengasingan Moncongloe sebagai implikasi pelabelan pemerintah Orde Baru terhadap mereka yang dianggap PKI. Lokasi kamp berada di perbatasan Kabupaten Maros dan Kabupaten Gowa, sekitar 25 km dari [[Sungguminasa, Somba Opu, Gowa|Sungguminasa]], ibu kota [[Kabupaten Gowa]] dan 15 km dari [[Turikale, Maros|Turikale]], ibu kota [[Kabupaten Maros]]. Sebelumnya, Kamp pengasingan Moncongloe adalah wilayah hutan belantara. Kamp ini dikelola oleh pemerintah Indonesia era Orde Baru sebagai tempat tahanan terhadap mereka yang dianggap PKI dengan kontrol militer dari Maret 1969 hingga 1979. Kamp pengasingan Moncongloe bersama [[Pulau Buru|Kamp Pulau Buru]], [[Pulau Kemaro|Kamp Pulau Kemaro]], dan [[Kamp Plantungan]] menjadi kamp konsentrasi atau pengasingan untuk tapol yang dicurigai simpatisan PKI.
== Kompleks kamp ==
Baris 87 ⟶ 86:
[[Berkas:Kamp Moncongloe9.jpg|jmpl|262px|Area pintu masuk ke Kamp Pengasingan Moncongloe]]
[[Berkas:Kamp Moncongloe6.jpg|jmpl|262px|Area Kamp pengasingan Moncongloe yang telah dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan singkong]]
Kamp pengasingan Moncongloe sebagai "pusat rehabilitasi" tahanan politik anggota PKI dan yang tertuduh PKI dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Pintu masuk ke kompleks bangunan kamp ini terdapat di Dusun Moncongloe, [[Pacellekang, Pattallassang, Gowa|Desa Pacellekang]]. Kompleks kamp Moncongloe berukuran sekitar
;Barak tahanan
:Terdapat 5 buah barak dengan rincian 4 buah barak khusus laki-laki (Barak A–D) dan 1 buah barak khusus perempuan (Barak E). Setiap barak berukuran 6 x 20 m dihuni antara 80 sampai 100 orang tapol. Barak A dan D dihuni oleh tapol golongan B. Dalam barak, ranjang bertingkat, lantai berupa papan tanpa kasur.
;Dapur umum
:Terdapat 5 buah dapur umum yang tersebar di setiap barak.
;Pos jaga
:Terdapat 2 buah bangunan pos jaga/tempat piket untuk petugas jaga kamp. Para petugas kamp berjaga di area ini secara piketan.
;Jalan
:Terdapat 2 buah akses jalan beton, yakni jalan masuk ke kamp dan jalan yang berada di ketinggian untuk memantau situasi kamp.
;Pagar kamp
:Sepanjang area Kamp Moncongloe dipagari dengan kawat berduri
;Masjid
:Sebuah masjid dibangun di dalam kamp untuk tapol pemeluk agama Islam. Masjid tersebut berukuran 7 x 10 meter.
;Gereja
:Sebuah gereja dibangun di dalam kamp untuk tapol pemeluk agama Kristen. Gereja tersebut berukuran 7 x 10 meter.
;Poliklinik
:Terdapat sebuah poliklinik untuk tempat pengobatan
;WC
;Koperasi
;Aula
:Aula ini berukuran 6 x 20 meter.
;Lapangan upacara
;Sumur
;Gedung Kodam lama, Gedung Chandra Kirana
;Area kebun
<ref name=":154"/>
Ir. Rasjidi Amrah yang merupakan tapol dimanfaatkan oleh petugas. Dia menggambar desain masjid dan gereja. Dia pula merancang pembangunan barak. Bahkan di salah satu wilayah di Kabupaten Gowa, membuat desain 300 unit perumahaan tentara yang dikerjakan oleh para tapol. Di sekitaran Kamp pengasingan Moncongloe terdapat Kompleks Perumahan [[Komando Daerah Militer XIV/Hasanuddin|Kodam XIV/Hasanuddin]], yang meliputi; Home Base Puskopad, Home Base CPM, Home Base Kesdam, dan Home Base Kiwal.<ref name=":123"/>
== Geografi ==
Baris 122 ⟶ 148:
== Sejarah ==
Nama Moncongloe dalam sejarah [[Sejarah awal Gowa dan Tallo|Gowa Tallo]] ditemukan dengan nama Gallarang Moncongloe. Pada saat [[Kesultanan Tallo|Kerajaan Tallo]] menjadi kerajaan otonom, daerah ini dikuasai oleh Karaeng Loe ri Sero bersama beberapa Gallarang lainnya. Sebelum menjadi Gallarang, Moncongloe menjadi bagian dari Dewan Hadat Kerajaan Tallo. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, daerah Moncongloe berada di wilayah administratif Onderafdeling Maros dengan status Distrik Adat Gemenschaap dipimpin oleh seorang kepala distrik. Kemudian, setelah bangsa Indonesia mencapai kemerdekaannya, daerah sekitar Moncongloe dijadikan markas [[Komando Daerah Militer XIV/Hasanuddin|Kodam XIV Hasanuddin]] pada tahun 1957. Pada tahun 1984 Moncongloe kemudian diserahkan kepada pemerintah daerah Maros dan Gowa sebagai wilayah administratif. Moncongloe kemudian dibagi menjadi dua, sebelah utara menjadi wilayah Kabupaten Maros dan sebelah selatan menjadi wilayah Kabupaten Gowa.<ref name=":1234">{{Cite web|url=https://palontaraq.id/2019/08/04/gallarang-appaka-dari-gowa-tallo-ke-maros/|title=Gallarang Appaka, dari Gowa-Tallo ke Maros|last=Makkasau|first=Andi Fahry|date=4 Agustus 2019|website=palontaraq.id|access-date=15 April 2023}}</ref>
Moncongloe erat kaitannya dengan istilah "Tanah Merah". Sedikitnya ada tiga sebab, pertama, struktur tanah Moncongloe yang berbukit-bukit memiliki jenis tanah merah, kedua, daerah ini telah dikenal sebagai rawan kekerasan perampokan karena masih hutan. Dalam sejarah gerakan bandit di Sulawesi Selatan, wilayah hutan yang membentang antara Moncongloe sampai Polongbangkeng seringkali disebut sebagai salah satu tempat persembunyian perampok sejak periode kolonial sampai era 1960-an. Ketiga, Moncongloe merupakan daerah tempat pengasingan tahanan politik PKI (1969-1979). Orang-orang PKI yang seringkali dilabelkan dengan orang-orang merah adalah bukan tidak mungkin menjadi penyebab semakin melekatnya nama Tanah Merah untuk menyebut Moncongloe. Terlepas dari persepsi tentang Moncongloe dan apakah itu direkonstruksi untuk memberi label negatif kepada tahanan politik PKI atau karena merupakan daerah rawan kekerasan dan perampokan, daerah ini merupakan salah satu wilayah yang cukup terisolasi dari segi informasi dan geografis serta senyap dari debat-debat sejarah pada periode Orde Baru. Tentang Moncongloe sebagai tempat pengasingan tahanan politik PKI nyaris tidak ditemukan informasi dalam berbagai literatur.<ref name=":15">{{Cite journal|last=Ahmad|first=Taufik|date=1 Juni 2013|title=Bertahan Melalui Perbudakan: Sejarah Alternatif Tanah Merah |url=http://www.jurnalalqalam.or.id/index.php/Alqalam/article/viewFile/224/206|journal=Jurnal Al-Qalam
Baris 129 ⟶ 155:
Di sekitaran Moncongloe terdapat Kompleks Perumahan Kodam XIV Hasanuddin, yang meliputi; Home Base Puskopad, Home Base CPM, Home Base Kesdam, Home Base Kiwal. Moncongloe sejak tahun 1969 dijadikan sebagai tempat pengasingan tahanan politik (tapol) yang dianggap sebagai PKI oleh pemerintah saat itu. Moncongloe memiliki potensi hutan yang cukup baik. Kondisi ini kemudian menjadi salah satu alasan alternatif pembukaan Moncongloe sebagai tempat pengasingan para tahanan politik PKI. Ada tiga potensi awal dan cukup menonjol di daerah Moncongloe; pertama, hutan Moncongloe masih tergolong hutan negara. Pembukaan lahan ini akan mempermudah proses pemilikan lahan dalam jumlah yang besar bagi mereka yang dapat mengontrol pekerjaan Tapol. Kedua, hutan bambu yang sangat luas adalah sumber bahan baku pabrik kertas Kabupaten Gowa. Adanya hutan bambu juga menjadi alasan ekonomis pembukaan wilayah ini. Para tapol dipaksa bekerja menebang pohon bambu sebanyak-banyaknya untuk dijual kepada pabrik kertas Gowa. Ketiga, di daerah ini terdapat pohon-pohon besar utamanya bagian pegunungan. Pohon-pohon tersebut memiliki nilai ekonomis. Para tapol dibagi dalam berbagai regu kerja; seperti regu penebang pohon, regu yang khusus membuat papan dan tiang rumah. Regu kerja ini elastis, dapat bertambah ataupun dikurangi tergantung kebutuhan petugas di daerah pengasingan.<ref name=":15"/>
== Kemunculan dan perkembangan PKI di Sulawesi Selatan ==
Perbudakan di Moncongloe bermula dari kekalahan PKI dalam perpolitikan pascakemerdekaan Indonesia. Partai ini mulai merebut simpati sebagian masyarakat ketika tokoh-tokoh PKI menjual slogan Islam revolusioner dengan argumentasi al-Quran dan hadis. Tokoh-tokoh PKI berusaha meyakinkan masyarakat bahwa komunis sebagai ajaran sangat relevan dengan Islam.
Baris 140 ⟶ 166:
Mereka yang terlibat dalam penangkapan tersebut adalah petugas militer, baik dengan sukarela atau paksaan. Semua tahanan politik PKI tersebut ditahan tanpa waktu yang jelas. Penangkapan itu bahkan dianggap sah menurut hukum meski tanpa surat penangkapan, surat penahanan, apalagi putusan pengadilan. Tak sedikit pula penahanan terjadi karena semata-mata salah tangkap. Seperti kasus penangkapan kelompok Tumbung Tellue-Timbung Limae, sebuah aliran tarekat di Bulukumba. Kelompok tarekat ini ditangkap karena warga menduga mereka PKI hanya karena sering melakukan pertemuan intensif.<ref name=":123"/>
== Kisah para tahanan politik di Moncongloe ==
[[Berkas:Kamp_Moncongloe.jpg|jmpl|262px|Desain Kamp Pengasingan Moncongloe tahun 1969 oleh Ir. Rasjidi Amrah, perancang kamp sekaligus tapol]]
Instalasi Rehabilitasi Moncongloe dibuka pada tahun 1969 dan resmi dibubarkan sepuluh tahun berselang. Soemiran adalah salah satu dari ribuan bekas penghuni kamp. Ia adalah lulusan Sekolah Kepolisian di Mojokerto, Jawa Timur, yang melanjutkan belajar di SMA Sawerigading, Makassar, untuk mendapatkan kenaikan pangkat itu. Soemiran saat peristiwa G30 S berlangsung dulu adalah polisi yang bertugas di Pelabuhan Makassar. Ia dijebloskan ke rumah tahanan militer karena dianggap membantu pelarian seorang tokoh PKI dengan kapal ke Jawa. Ia kemudian masuk kamp tersebut pada 1978, ketika semua tahanan politik telah dibebaskan. Kamp Moncongloe berubah menjadi tempat penahanan bagi militer. Setahun kemudian, ia dibebaskan.
Baris 152 ⟶ 178:
== Pasca Gerakan 30 September ==
[[Berkas:Kamp Moncongloe12.png|jmpl|262px|Penangkapan para Pemuda Rakyat, onderbouw PKI di depan Lapangan Militer Hasanuddin, Makassar pasca peristiwa G30S 1965]]
Tragedi kemanusiaan peristiwa Gerakan 30 September 1965 menyisakan luka yang mendalam bagi mereka yang terlibat baik sebagai pelaku maupun korban. Beberapa penjara atau kamp yang bersifat sementara dibuat untuk menahan para tahanan politik baik anggota PKI maupun yang tertuduh sebagai PKI. Ketika PKI ditetapkan menjadi organisasi terlarang pasca peristiwa G30S 1965, maka implikasi politik tidak hanya mempengaruhi konstalasi elit dan hubungan partai politik, namun lebih jauh telah menyebabkan hilangnya hak-hak hidup orang-orang yang dianggap sebagai anggota PKI. Tidak semua tahanan Moncongloe adalah anggota PKI. Namun semua tahanan memiliki status sama sebagai tahanan politik mendapat perlakuan sama. Hal ini disebabkan karena metode penangkapan secara membabi buta.
Kamp Moncongloe, saksi bisu penderitaan tapol Orde Baru di Sulsel. Kamp pengasingan ini menampung hampir seribu tahanan politik. Pasca Gerakan 30 September 1965, Orde Baru melakukan "pembersihan" kader-kader Partai Komunis Indonesia. Banyak dari mereka yang bernasib nahas, di mana nyawa melayang dalam seremoni barbar penjagalan. Jumlahnya pun ditaksir mencapai jutaan orang. Hilang hingga lenyap, meninggalkan cerita-cerita sadis yang membangkitkan bulu roma.
Baris 163 ⟶ 190:
== Latar belakang pemilihan kamp ==
Pada 1966, Kolonel Inf. Solichin yang menjabat Panglima Kodam XIV Hasanuddin, mengeluarkan kebijakan baru untuk perumahaan satuan-satuan tempur, berupa pembukaan home base. Lokasinya disiapkan Pemerintah Daerah atas pertimbangan taktik dan strategi jangka panjang dalam rangkaian Perang Rakyat Semesta (Perata). Salah satunya adalah pembukaan lokasi di Moncongloe tahun 1969. Pola pemanfataan ini disebutkan pula sebagai transmigrasi lokal, sebagai upaya pemindahan Tapol dari Makssar menuju Moncongloe, yang saat ini menjadi wilayah Kabupaten Gowa dan Maros. Alasan pemisahaan Tapol dengan tahanan lain, untuk kemandarian dan tentu saja untuk memutus pemikiran dan ideologi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Penumpasan dan penangkapan terhadap anggota dan simpatisan PKI pascatragedi G30S, jumlah tapol bertambah secara drastis sehingga penjara-penjara tidak mampu menampung tapol dan meningkatnya biaya yang harus dikeluarkan untuk keperluan tapol. Kemudian muncul Moncongloe sebagai tempat pembinaan dalam bentuk pengasingan sehingga tapol dapat mandiri. Moncongloe dipilih karena dianggap aman dan mampu dikontrol oleh militer sebab Moncongloe dikelilingi markas militer [[Kodam XIV/Hasanuddin]]. Selain itu, Moncongloe memiliki potensi hutan yang cukup baik. Kondisi ini kemudian menjadi salah satu alasan alternatif pembukaan Moncongloe sebagai tempat pengasingan para tapol PKI. Ada tiga potensi awal dan cukup menonjol di daerah Moncongloe; pertama, hutan Moncongloe masih tergolong hutan negara. Pembukaan lahan ini akan mempermudah proses pemilikan lahan dalam jumlah yang besar bagi mereka yang dapat mengontrol pekerjaan tapol. Kedua, hutan bambu yang sangat luas adalah sumber bahan baku pabrik kertas Kabupaten Gowa. Adanya hutan bambu juga menjadi alasan ekonomis pembukaan wilayah ini. Para tapol dipaksa bekerja menebang pohon bambu sebanyak-banyaknya untuk dijual kepada pabrik kertas Gowa. Ketiga, di daerah ini terdapat pohon-pohon besar utamanya bagian pegunungan. Pohon-pohon tersebut memiliki nilai ekonomis. Para tapol dibagi dalam berbagai regu kerja; seperti regu penebang pohon, regu yang khusus membuat papan dan tiang rumah. Regu kerja ini elastis, dapat bertambah ataupun dikurangi tergantung kebutuhan petugas di daerah pengasingan.<ref name=":123"/>
Baris 173 ⟶ 202:
Di tengah kondisi yang buruk, tapol berusaha bertahan hidup dengan melakukan berbagai pola. Diantaranya memelihara ikan di kolam-kolam kecil, berkebun di depan penjara, dan memanfaatkan saluran air kemudian disaring untuk keperluan air minum pada musim kemarau. Ei Ken Heng, seorang tapol yang memiliki keahlian dalam bidang farmasi menjadi tumpuan bagi tapol. Setiap makanan dan minuman yang diusahakan sendiri tapol, seperti ikan saluran air, kodok, dan tumbuh-tumbuhan diperiksa terlebih dahulu untuk melihat aman atau tidaknya untuk dikonsumsi. Ei Ken Heng memotivasi tahanan politik untuk berinisiatif untuk menanam sayur-sayuran dan buah-buahan di depan penjara. Sayuran yang telah ditanam tersebut setidaknya dapat membantu mengurangi kekurangan gizi para tahanan Jenis sayur yang ditaman seperti bayam dan buah tomat, cabai dan lain sebagainya. Sayur biasanya dicampur dengan kuah daging, tapol hanya mengambil beberapa lembar dari sayur tersebut kemudian dicampur dengan kuah daging. Selain menanam sayur, tahanan juga memanfaatkan segala daya mereka untuk mempertahankan hidup. Seperti pemeliharaan ikan-ikan kecil di saluran air (got) penjara kemudian dijadikan lauk pauk. Kondisi tahanan politik dalam penjara yang semakin hari semakin buruk sehingga muncul provokasi perlawanan terhadap petugas penjara. Resistensi tahanan politik dengan koordinasi cukup rapi, mereka melakukan perlawanan secara tersembunyi dan penuh kehati-hatian, mencuri makanan di dapur atau menyembunyikan makanan, mengelabui petugas dengan berpura-pura sakit untuk menghindari kerja bakti, dan lain sebagainya. Upaya tapol ini sama sekali tidak diketahui oleh petugas penjara. Dalam bentuk nyata mereka melakukan perlawanan dengan cara aksi mogok makan. Aksi ini dimaksudkan memprotes jatah makan yang tidak sesuai dengan standar kebutuhan manusia. Boleh jadi perlawanan yang diberikan dengan cara mogok makan itu sebuah langkah tepat untuk menekan pihak penjara agar meningkatkan jatah makan mereka, atau sekaligus sebuah langkah frustasi sehingga memilih sekalian tidak makan daripada menerima jatah makan sangat sedikit. Respon tahanan politik terhadap kontrol militer berujung pada upaya resistensi yang solid. Ini disadari oleh Teperda sebagai suatu yang harus diselesaikan. Bentuk kesadaran ini sehingga pihak Kodam XIV/Hasanuddin mulai memikirkan langkah-langkah konkret agar para tahanan dapat bertahan dan tidak membutuhkan dana yang banyak. Banyaknya tapol yang meninggal dan resistensi tahanan politik serta persediaan dana yang minim menjadi pertimbangan perlunya pemanfaatan tahanan politik di lokasi tertentu yang mudah dikontrol oleh militer. Pemikiran ini menjadi cikal bakal berdirinya Kamp Pengasingan tahanan politik Moncongloe. Hal ini juga berdasarkan kewenangan-kewenangan yang diberikan Pangkopkamtib kepada Kodam XIV/Hasanuddin untuk menyelesaikan pengamanan dan pembinaan tapol.
==
== Pembebasan tahanan politik ==
Pada 20 Desember 1977, melalui surat Panglima [[Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban]] (Kopkamtib), dilaksanakan pengembalian 10.000 orang tahanan G30S/PKI ke masyarakat, dari mulai Digul, Buru, hingga Moncongloe. Hari itu, ratusan tapol di Kamp pengasingan Moncongloe begitu senang. Lalu dipilihlah sebanyak 150 tapol, untuk menjadi perwakilan pelepasan di aula TNI di Jalan Lanto Daeng Pasewang, Makassar. Rupanya setelah pembebasan dari Kamp Moncongloe, kehidupan para tapol tidak berjalan baik. Tempat awal bekerja sudah tak menerima. Kartu Tanda Penduduk (KTP) diberi cap diujung kanan ET – Eks Tapol. Bahkan orang-orang mencibir. Bahkan beberapa orang Tapol tak diterima lagi di kalangan keluarga dan masyarakat.
== Garis waktu ==
Kamp pengasingan Moncongloe diisi oleh para tapol yang sebelumnya mendekam di penjara di wilayah Kodim kabupaten/kota se-Sulawesi Selatan. Mereka ditangkap periode Oktober 1965–Maret 1966 terkait Gerakan 30 S/PKI di Sulawesi Selatan.
* 1968: Kamp pengasingan Moncongloe mulai dirintis
* Maret 1969: Gelombang pertama, 11 tahanan politik dari penjara di Makassar dikirim ke Kamsing Moncongloe terdiri 7 laki-laki dan 4 perempuan. Karena jumlahnya 11, maka para tapol ini disebut angkatan 11
* Mei 1969: Gelombang kedua, 44 tahanan politik dikirim ke Kamsing Moncongloe. Karena jumlahnya 44, maka para tapol ini disebut angkatan 44
* Desember 1969: Beberapa fasilitas infrastruktur di Kamsing Moncongloe telah dibangun
* September 1970: Gelombang ketiga, 44 tahanan dikirim
* 1971: Sebanyak 250 tapol dari penjara Makassar dikirim ke Kamsing Moncongloe
* Juni 1971: Para tapol didatangkan dari Majene, Polewali Mamasa, Pinrang, Tana Toraja, Palopo, Pinrang, Parepare, Barru, Pangkep, Maros, Bone, Gowa, Takalar, Bantaeng, Bulukumba, dan Kepulauan Selayar
* Desember 1971: Jumlah tapol yang menghuni Kamp Mocongloe mencapai 911 orang, terdiri dari 52 perempuan dan 859 laki-laki
* 1972
* 20 Desember 1977: Tapol mulai dibebaskan menjadi tahanan rumah
* 1978: Kamsing Moncongloe dijadikan tahanan militer
* 1979: Seluruh tapol baik sipil maupun militer dibebaskan
* 2012: Komnas HAM RI memutuskan adanya pelanggaran HAM berat di Kamsing Moncongloe
Tapol yang menghuni inrehab Moncongloe sebanyak 911 orang yang terdiri atas 52 perempuan dan 859 laki-laki yang berasal dari berbagai daerah yang berlangsung secara bergelombang mulai 1969 sampai 1971. 250 tapol didatangkan dari penjara Makassar pada tahun 1969 dan menjelang [[Pemilihan umum legislatif Indonesia 1971|pemilihan umum 1971]], tapol didatangkan dari Majene, Mamasa, Pinrang, Parepare, Barru, Pangkep, Maros, Palopo, Tana Toraja, Bone, Gowa, Takalar, Bantaeng, Bulukumba, dan Kepulauan Selayar. Akan tetapi tidak semua penghuni Inrehab Moncongloe murni anggota PKI. Sebagian dari mereka hanya karena korban salah tangkap atau mereka yang di-PKI-kan.
Baris 187 ⟶ 227:
== Daftar penjara sebelum dipindahkan ke kamp konsentrasi ==
Tragedi kemanusiaan peristiwa Gerakan 30 September 1965 menyisakan luka yang mendalam bagi mereka yang terlibat baik sebagai pelaku maupun korban. Beberapa penjara atau kamp yang bersifat sementara dibuat untuk menahan para tahanan politik baik anggota PKI maupun yang tertuduh sebagai PKI. Para tahanan politik tersebut dipenjara pelbagai penjara di Sulawesi Selatan, diantaranya sebagai berikut:
* Penjara Rajawali Makassar
* Penjara Kodim Majene
* Penjara Pangkep
*
* Penjara Kodim Parepare
* Penjara Kodim Watampone
* Penjara Poltabes Makassar
* Penjara Karebosi Makassar
* Penjara Kodim Toraja
* Rumah Tahanan Militer (RTM) Jalan Rajawali Makassar
== Pengklasifikasian tahanan ==
Seperti pada kamp-kamp pengasingan lain di wilayah Indonesia, para tahanan politik di Kamp Moncongloe juga memiliki golongan berdasarkan status keterlibatan mereka terkait PKI. Klasifikasi tersebut sebagai berikut:
;Golongan A
Tahanan golongan A adalah mereka yang menjadi pengurus Partai Komunis Indonesia (PKI) dan pentolan organisasi partai.
Baris 205 ⟶ 248:
;Golongan C
Golongan C adalah simpatisan dan orang-orang yang dicurigai terlibat PKI dan organisasinya.
<ref name=":154"/>
== Penderitaan tahanan dan pelanggaran HAM ==
Baris 211 ⟶ 255:
Tahanan politik PKI sebagai orang-orang yang mendapat pelabelan sosial yang selalu digolongkan sebagai masyarakat tidak bersih lingkungan dengan berbagai stempel buruk yang dikenakan kepada mereka. Tetapi pada saat yang sama, para petugas militer di dalam kamp pengasingan juga mengandalkan sumber tenaga dan pikiran para tahanan politik untuk kepentingan pribadi dan institusi militer. Tapol diarahkan untuk membuka lahan perkebunan dan membangun infrastruktur untuk kepentingan militer. Hal ini membuka ruang kontrol dan eksploitasi tenaga tahanan politik secara besar-besaran, sehingga dapat dikatakan bahwa militer satu-satunya unsur yang paling diuntungkan atas pembukaan kamp pengasingan di Moncongloe. Tapol selama masa pengasingan di mana kontrol militer dan strategi bertahan tapol berjalan beriring dan berdinamika. Periode pengasingan menyimpan sejumlah kisah sehari-hari mereka sebagai tahanan memperlihatkan perjuangan tidak kalah sulitnya sebagai kelompok sosial yang distigma buruk oleh negara. Tapol tidak hanya berurusan dengan aksi-aksi politis yang tergabung dalam komunitas tapol, tetapi politik mereka sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan hidup dan/atau strategi bertahan selama dalam pengasingan, seperti tempat tidur, makanan, air, menghindari kekerasan petugas, menghindari korve, mencari penghasilan tambahan, mencuri hasil kebun petugas, dan lain sebagainya. Sebagai sebuah komunitas yang diikat dengan ikatan ideologis dan etnik.
;Pelecehan seksual
Kamp pengasingan Moncongloe kerap menjadi tempat pelecehan seksual. Beberapa laporan wawancara eks tapol bahwa wanita-wanita yang merupakan tapol telah menjadi sasaran pelecehan, perkosaan hingga hamil oleh petugas kamp. Mereka yang hamil banyak yang melakukan aborsi karena tidak dinikahi.
;Tapol sakit tanpa pengobatan
Selama di Kamp pengasingan Moncongloe, ada beberapa tapol mengalami jatuh sakit bahkan sampai meninggal dunia di dalam tahanan. Beberapa tahanan tersebut terkena jenis penyakit, seperti sakit jantung, sesak napas, muntah darah, hepatitis, dan lain-lain.
;Praktik perbudakan
Setiap pagi para tahanan politik berkunjung ke rumah-rumah perwira, dipekerjakan sebagai pembantu, atau pun menjadi pekerja perintis jalan, membuka lahan, dan membuat beberapa bangunan. Para tapol juga mendapatkan waktu, antara pukul 16.00 hingga 18.00 mengelola lahan. Menanam tomat, singkong, dan beberapa jenis sayuran.
Pasca ditangkap, para tahanan politik menghuni sel tahanan Kodim-Kodim daerah tanpa pengadilan, tanpa pembelaan. Bersama ratusan tahanan lain, setiap hari diperintahkan membuat jalan, ke sungai mengambil kerikil dan memanggulnya. Batu-batu itu harus sama semua, tak boleh ada yang lebih kecil, tak ada yang boleh lebih besar. Kalau banyak bentuk, akan kena sanksi, bisa dipukul.
Kerja paksa yang diterapkan kepada tahanan politik di Sulawesi Selatan pada masa lalu adalah suatu kejahatan sangat serius. Hal ini sangat
bertentangan dengan pernyataan umum hak-hak asasi manusia, UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Hak Sipil dan Politik. Pemerintah bersama dengan militer telah memperlakukan tapol seperti budak/hamba. Pada era Orde Baru, pemerintah telah melakukan suatu kejahatan besar dengan menangkap dan menahan belasan ribu orang selama bertahun-tahun tanpa proses hukum. Selain itu, mempekerjakan tapol dalam pembangunan infrastruktur dan fasilitas militer tanpa memberikan upah. Tahanan politik seperti sapi perah yang setiap saat harus dimanfaatkan untuk pembangunan.
Perlakuan terhadap tapol '65 pada rezim Orde Baru jauh lebih tidak manusiawi daripada sistem perbudakan (''ata'') pada zaman kerajaan di Sulawesi Selatan. Meskipun ''ata'' dicabut kemerdekaan dan harga dirinya pada zaman kerajaan, mereka masih diberikan makanan dan tempat tinggal yang layak oleh para majikannya. Sedangkan kerja paksa dialami oleh tapol '65 jauh lebih mengerikan. Mereka dikerjapaksakan secara terus-menerus tanpa diberikan makanan dan tempat tinggal yang layak sehingga ada yang sakit dan meninggal karena kelelahan serta kelaparan, disiksa bahkan dibunuh secara tidak manusiawi. Kerja paksa yang dilakukan tapol '65 di bawah kontrol Orde Baru dengan kekuatan militernya sangat bertentangan dengan semangat kemerdekaan Indonesia yang menginginkan kebebasan dari cengkeraman feodalisme dan kolonialisme. Tragedi kemanusiaan peristiwa '65 yang diikuti serangkaian pelanggaran HAM terhadap tapol '65 merupakan suatu kemunduran proses demokratisasi dan sangat bertentangan dengan kemanusiaan.
Kerja paksa bagi tapol tidak hanya berdampak penghancuran fisik, tetapi juga penghancuran secara psikis. Para tapol selain berusaha menghidupi dirinya sendiri, juga menanggung beban untuk menghidupi keluarganya. Pemerintah Orde Baru sengaja membuat tapol dan keluarganya miskin, putus asa, dan bahkan meninggal karena kelaparan secara perlahan-lahan. Hingga saat ini banyak eks tapol merasakan dampak dikerjapaksakan. Beberapa di antaranya sakit, tidak memiliki tempat tinggal, diasingkan dari lingkungan masyarakat tempat mereka lahir dan besar, dan anak cucu mereka ikut menanggung beban karena tidak diberi akses untuk bekerja di pemerintahan. Tahanan politik dihinakan harkat dan martabatnya sebagai manusia
serta diperlakukan layaknya budak tahanan yang kalah perang pada zaman kerajaan. Padahal saat penangkapan dan kerja paksa dilakukan tapol Sulawesi Selatan dan Tenggara, mereka tidak mengetahui peristiwa 1965, tidak melakukan perlawanan sama sekali apalagi berperang melawan militer dan pemerintah setempat. Kalah perang dimaknai sebagai pasrah dan menerima keadaan tanpa perlawanan. Harus diakui bahwa tapol khususnya di Sulawesi Selatan sangat berjasa dan berkontribusi terhadap pembangunan beberapa kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. Tenaga mereka dimanfaatkan seperti hamba sahaya untuk kemajuan daerah ini. Pemerintah bekerja sama dengan militer telah mengeksploitasi tapol seperti tahanan perang. Bangunan monumental hasil karya tapol sampai saat ini masih dinikmati oleh masyarakat Sulawesi Selatan.
Keterangan saksi-saksi tersebut di bawah ini menunjukkan terpenuhinya unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan dalam bentuk perbudakan, yakni: Bahwa saksi A ditahan sejak September 1970, setelah dipindahkan dari Penjara Makassar. Saksi merupakan tahanan gelombang ketiga yang dikirim ke Moncongloe, Di sana terdapat empat barak laki-laki dan satu barak perempuan. Saksi bersama tahanan lainnya membangun barak, pagar, WC, aula-masjid, poliklinik, pos jaga, gereja, dan dapur umum. Saksi bersama dengan tahanan lain dipekerjakan di beberapa proyek tentara, seperti membuka kebun-kebun pribadi milik tentara, yang luasnya tergantung pada pangkat yang dimiliki tentara yang bersangkutan. Luasnya berkisar antara 4 sampai 6 ha. Saksi mengerjakan kebun 1 kebun tentara sampai dengan tahun 1977. Bahwa saksi B ditahan di Kamp Mocongloe sejak 1972 setelah dipindahkan dari LP Majene, Sulawesi Selatan. Saksi berada di Moncongloe sampai 20 Desember 1977. Selama tinggal di Moncongloe, ia ikut memugar gedung Kodam lama, Gedung Chandra Kirana bersama seorang kapten dari Zeni Bangunan Kodam XIV/Hasanudin, pembangunan 100 unit rumah sederhana prajurit Kodam XIV di Sungguminasa, Kabupaten Gowa. Pekerjaan rutin selama di Kamp Moncongloe adalah mengerjakan kebun petugas dari CPM dan petugas sipil, serta mengerjakan perkerjaan lainnya, seperti membuat gambar desain. Jika mereka melihat tahanan malas mereka akan marah. Bahwa saksi C ditahan di Kamp Moncongloe sejak 1970 sampai Agustus 1974. Kegiatan saksi di Moncongloe adalah membuka hutan menjadi ladang dan berkebun. Bahwa saksi D ditahan di Kamp Moncongloe sejak 1971 sampai Desember 1977. Selama ditahan di Kamp Moncongloe mengerjakan membuka hutan untuk dijadikan ladang dan kebun. Bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi tersebut di atas, didapat petunjuk tentang adanya perbudakan dengan cara penggunaan para tahanan untuk membangun barak, pagar, WC, aula-masjid, poliklinik, pos jaga, gereja, dan dapur umum. Para tahanan dipekerjakan di beberapa proyek tentara, seperti membuka kebun-kebun pribadi milik tentara, yang luasnya tergantung pada pangkat yang dimiliki tentara yang bersangkutan. Luasnya berkisar antara 4 sampai 6 ha. Saksi-saksi juga diperlakukan, seperti budak yang diperas tenaganya dengan membuat jalan sepanjang kurang 23 km dari Moncongloe ke [[Daya, Biringkanaya, Makassar|Daya]]. Untuk membuat jalan tersebut, tahanan disuruh mengambil batu dari gunung dan mengangkut ke jalan raya. Selain itu, tahanan disuruh menggarap tanah perkebunan, menanam sampai memanen, membangun, dan memperbaiki rumah perorangan milik petugas, mengambil dan menyusun kayu-bambu yang dijual untuk kepentingan petugas Kamsing Moncongloe. Selama bekerja para saksi tidak pernah mendapatkan upah. Beberapa saksi hanya diberi beras ½ liter per hari dan diberikan pada setiap satu minggu. Dengan demikian ditemukan petunjuk tentang pelanggaran delik dan unsur dimana para pelaku menggunakan salah satu atau semua kekuasaan yang melekat pada hak kepemilikan atas satu orang atau lebih, seperti menjual, membeli, meminjamkan atau tukar-menukar orang atau orang-orang tersebut. Petunjuk ini dapat dipergunakan dalam proses hukum selanjutnya.
Unsur perbuatan itu dilakukan sebagai bagian serangan yang tersebar luas atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil; Bahwa, tindakan para pelaku dalam hal ini apparatus yang bertugas di Kamp Moncongloe yang melakukan sendiri maupun memerintahkan orang lain dapat dikategorikan sebagai bentuk serangan dengan penggunaan kewenangan dan dan sarana berupa kantor untuk menangkap dan menahan para korban dalam jangka waktu yang sangat lama atau setidak-tidaknya dimulai pada tahun 1970 sampai dengan tahun 1978. Korban-korban yang dimaksud merupakan penduduk sipil berjumlah setidak-tidaknya berjumlah 1000 orang yang diidentifikasi oleh pelaku sebagai anggota, pengurus, atau simpatisan PKI.
Perampasan Kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas ketentuan) pokok hukum internasional. Bahwa saksi A ditahan di Kamp Moncongloe sejak September 1970 sampai dibebaskan pada 20 Desember 1977. Saksi ditempatkan di Moncongloe merupakan tahanan gelombang ketiga yang berjumlah 44 orang. Setiap barak 1 berukuran 6 x 20 m dihuni oleh; antara 80 sampai 100 orang. Bahwa saksi B ditahan di Kamp Mocongloe sejak 1972 setelah dipindahkan dari LP Majene, Sulawesi Selatan. Saksi berada di Moncongloe sampai 20 Desember 1977. Bahwa saksi C ditahan di Kamp Moncongloe sejak 1970 sampai Agustus 1974. Bahwa saksi D ditahan di Kamp Moncongloe sejak 1971 sampai Desember 1977. Bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi tersebut diatas, didapat petunjuk tentang tindakan para pelaku yang merampas kemerdekaan lebih dari satu orang dengan cara menempatkan para korban didalam satu wilayah yang sepenuhnya dalam control para pelaku. Dengan demikian, ditemukan petunjuk tentang adanya pelanggaran delik dan unsur a quo yang dapat dipergunakan dalam proses hukum selanjutnya. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional. Bahwa saksi A ditahan di Kamp Moncongloe sejak September 1970 sampai dibebaskan pada 20 Desember 1977. Saksi ditempatkan di Moncongloe merupakan tahanan gelombang ketiga yang berjumlah 44 orang. Setiap barak berukuran 6 x 20 m dihuni oleh; antara 80 sampai 100 orang. Disana terdapat empat barak laki-laki dan satu barak perempuan. Saksi dibebaskan pada 20 Desember 1977 bersama 466 tahan lainnya. Selama saksi ditahan tidak pernah mendapat surat penangkapan maupun penahanan. Bahwa saksi B ditahan di Kamp Mocongloe sejak 1972 setelah dipindahkan dari LP Majene Sulawesi Selatan. Saksi berada di Moncongloe sampai 20 Desember 1977. Saksi dibebaskan pada 20 Desember 1977, berdasarkan surat perintah Nomor: SPRIN/802/TPD/XII/1977, tentang Membebaskan dari penahanan penuh menjadi tahanan rumah. Bahwa selama sasksi ditahan di Kamp Moncongloe tidak pernah diajukan ke Pengadilan. Bahwa saksi C ditahan di Kamp Moncongloe sejak 1970 sampai Agustus 1974. Dalam surat Pembebasan dari Teperda Sulselra tanggal 8 Agustus 1974 dinyatakan bahwa saksi masuk dalam klasifikasi C3. Selama saksi ditahan saksi tidak pernah mendapat surat perintah penangkapan maupun penahanan, selain itu saksi juga tidak pernah diajukan ke Pengadilan. Bahwa saksi D ditahan di Kamp Moncongloe sejak 1971 sampai Desember 1977. Dalam surat pembabasan dinyatakan bahwa saksi masuk dalam klasifikasi B2 bersama Mukhlis salah satu pengurus PKI Sulawesi Selatan. Selama ditahan saksi tidak pernah menerima surat perintah penangkapan maupun penahanan. Selain itu saksi tidak pernah diajukan ke pengadilan.
Selama di Moncongloe, tapol tidak hanya dituntut untuk memenuhi kehidupannya tapi juga harus mampu berproduksi untuk memenuhi kebutuhan militer baik kepentingan institusi maupun kepentingan pribadi petugas
Eksploitasi sangat dirasakan oleh tapol karena hasil dari pekerjaan hanya dinikmati oleh petugas inrehab sehingga resistensi bukanlah hal baru yang dilakukan oleh tapol. Bentuk resistensi yang paling sederhana dilakukan adalah bermalas-malasan bekerja di kebun petugas terutama kebun yang jaraknya jauh dari lokasi inrehab sehingga pengawasan pun longgar. Bentuk resistensi lainnya adalah merusak kebun petugas secara sembunyi-sembunyi dan melakukan hal-hal yang merugikan petugas inrehab. Di waktu lain, politik akomodasi menjadi jalan untuk bertahan dengan jalan berusaha mendekati petugas secara personal dengan cara memberikan hasil hutan kepada petugas sehingga terhindar dari perlakuan keras petugas inrehab.
Pengasingan terhadap tapol berakhir pada tahun 1979 namun tidak berarti persoalan hidup mereka selesai, mereka tetap memikul berbagai hukuman kolektif, justru kehidupan mereka lebih berat, karena dikucilkan dalam pengasingan itu wajar namun dikucilkan ditengah kehidupan sosial akan mengarah pada depresi dan kehilangan kepercayaan diri. Diperlukan waktu yang cukup lama untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, hal itu bukan perkara mudah apalagi dengan status sebagai eks
Pembebasan tapol hanya merupakan perubahan pengontrolan negara terhadap tapol dari kontrol fisik dalam Kamp Inrehab menjadi kontrol sosial di lingkungan masyarakat, pemerintah mengeluarkan berbagai ketentuan yang membatasi dan mengontrol secara efektif ruang gerak eks tapol. Lebih parah lagi stigma tidak bersih lingkungan tidak berhenti pada tapol itu saja tapi menjalar sampai anak dan cucu mereka hingga melahirkan suatu bentuk pengasingan baru di tengah lingkungan masyarakat.
Sejarah komunitas tapol Mongcongloe menjadi implikasi perkembangan politik setelah gerakan 30 September 1965 di Sulawesi Selatan. Sesuai laporan Komnas HAM tahun 2012, penghuni kamp Moncongloe mengalami berbagai perlakuan keji. Penderitaan mereka tergambar jelas dalam laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tentang Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat 1965-1966 yang rilis pada 2012 silam. Dengan mewawancarai para tapol penghuninya, praktek perbudakan digambarkan secara rinci. Berdasarkan keterangan saksi-saksi, didapat petunjuk tentang adanya perbudakan dengan cara penggunaan para tahanan untuk membangun barak, pagar, WC, aula-masjid, poliklinik, pos jaga, gereja dan dapur umum. Para tahanan dipekerjakan di beberapa proyek tentara seperti membuka kebun-kebun pribadi milik tentara, yang luasnya tergantung pada pangkat yang dimiliki tentara yang bersangkutan. Luasnya berkisar 4 sampai 6 hektar. Saksi-saksi juga diperlakukan seperti budak yang diperas tenaganya dengan membuat jalan sepanjang kurang 23 km dari Moncongloe ke Daya. Untuk membuat jalan tersebut, tahanan disuruh mengambil batu dari gunung dan mengangkutnya ke jalan raya. Selain itu, tahanan disuruh menggarap tanah perkebunan, menanam sampai memanen, membangun dan memperbaiki rumah perorangan milik petugas, mengambil dan menyusun kayu-bambu yang dijual untuk kepentingan petugas kamp Moncongloe.
Kamp Moncongloe adalah satu dari sekian banyak riwayat panjang pelanggaran HAM di masa Orde Baru. Hidup di kawasan tersebut terhitung mengerikan. Sepanjang tahun 1971–1972, wilayah Moncongloe dilanda kemarau panjang. Udara di kamp pengasingan Moncongloe begitu terik. Tanah-tanah seperti terbakar, sungai mengering, singkong begitu susah bertumbuh. Daun-daun liar yang dijadikan sayur semua mati. Tak ada pasokan air bersih hingga listrik. Ladang nanas dan singkong yang jadi tumpuan hidup acap kali dirusak oleh babi hutan dan monyet. Moncongloe yang penuh belukar dan tandus pun sudah memberi ujian hidup untuk para tapol. Ada juga pelecehan seksual dialami para tahanan wanita yang dilakukan oleh petugas kamp. Tak ada upah untuk pekerjaan mereka. Beberapa saksi yang diwawancarai Komnas HAM bahkan mengaku hanya diberi beras setengah liter sehari dan diberikan setiap satu minggu. Belum lagi menyoal banyaknya tahanan yang dijebloskan tanpa surat penahanan atau melalui proses peradilan. Laporan khusus majalah Tempo pada 2012 silam pun menyebut banyak tahanan menderita Hepatitis saking beratnya pekerjaan yang dibebankan sekaligus minimnya asupan gizi.
Baris 245 ⟶ 305:
Pengadilan Hak Asasi Manusia, khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan dalam bentuk tindak pidana Perbudakan, Perampasan Kemerdekaan dan Penganiayaan dalam peristiwa yang terjadi di kamp Moncongloe, Sulawesi Selatan, dalam kurun waktu setidak-tidaknya pada tahun 1970 sampai dengan
tahun 1978.<ref name=":11">{{Cite web|url=https://stopimpunity.org/content/stopimpunity/eksekutif_summary_peristiwa_1965_4.pdf|title=Pernyataan Komnas HAM Tentang Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM Yang Berat Peristiwa 1965-1966|last=Komnas HAM RI|first=|date=23 Juli 2012|website=stopimpunity.org|access-date=2 April 2023}}</ref>
== Sasaran tahanan ==
Pasca peristiwa Gerakan 30 September, para tentara menangkapi pihak-pihak yang terlibat PKI di Sulawesi Selatan. Orang-orang yang menjadi anggota organisasi yang berafiliasi PKI, seperti Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia (BTI), Badan Pendidikan Rakyat (BDR), Panitia Pendidikan Rakyat (PPR) di tingkat daerah menjadi sasaran penangkapan dan ditahan di Penjara Kodim.
== Sanksi sosial ==
Setelah para tapol keluar dari kamp pengasingan dan hidup di tengah masyarakat biasa. Kontrol militer beralih ke kontrol sosial, dimana memori kolektif masyarakat setempat yang telah dikuasai pemerintahan Orde Baru mengenai pandangan negatif terhadap tapol PKI masih sangat kuat. Keluar dari kamp para tahanan menemukan kekerasan belum selesai. Kontrol militer beralih ke kontrol sosial, label PKI adalah sebuah status sosial yang tidak memiliki tempat yang setara dengan orang lain di ruang-ruang publik, bahkan juga berlaku bagi anak cucu mereka. Ada seorang tapol Moncongloe mengisahkan drama hidupnya yang memilukan ketika harus rela menahan air mata tanpa menemui keluarga di tengah penyamaran guna menghindari kejaran para intel, meskipun akhirnya tertangkap juga. Hampir semua tapol Moncongloe adalah orang hilang dan mati. Mereka dianggap mati oleh keluarganya. Di sisi lain, mereka pun harus membuang jauh harapan untuk berkumpul kembali bersama keluarga tercinta. Komunitas tapol ini selalu terpinggirkan karena dianggap sebagai kelompok yang bertanggung jawab atas peristiwa Gerakan 30 September 1965. Kamp pengasingan Moncongloe ditutup secara resmi pada 1979, namun eks tapol di kamp ini harus mengalami diskriminasi dan trauma yang mendalam. Mulai dari stigma masyarakat yang sudah kadung melekat hingga kesulitan menemukan pekerjaan yang cocok. Komnas HAM secara jelas mengatakan ada pelanggaran HAM terjadi seperti perbudakan, perampasan, kemerdekaan dan penganiayaan.
Setelah dilepaskan dari Kamp pengasingan Moncongloe, para tahanan politik harus mendapatkan perlakuan diskriminasi sebagai berikut:
# Kartu Tanda Penduduk (KTP) diberi cap pada ujung kanan ET – Eks Tapol
# Eks tapol tidak diterima bekerja sebagai pegawai pada perusahaan swasta
# Eks tapol tidak diterima bekerja sebagai pegawai negeri
# Eks tapol mendapatkan cibiran dan gunjingan serta pengucilan dari masyarakat
# Beberapa eks tapol tak diterima lagi di kalangan keluarga dan masyarakat
# Beberapa eks tapol terpaksa harus menyembunyikan identitas asli dan riwayat hidupnya
# Beberapa eks tapol diancam untuk tutup mulut tentang perlakuan di kamp pengasingan selama era Orde Baru
# Beberapa eks tapol tinggal menetap di sekitar kamp pengasingan karena takut untuk kembali ke tempat asalnya
# Beberapa eks tapol setelah keluar dari kamp harus berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya dengan pekerjaan sembarang
# Eks tapol tetap dipantau oleh intel pemerintahan Orde Baru
== Daftar tokoh yang ditahan ==
{| class="wikitable" style="text-align:left; line-height:17px; width:100%;"
|+Tokoh yang pernah ditahan di Kamp pengasingan Moncongloe
! scope="col" style="width:5%;" |No.
! scope="col" style="width:15%;" |Nama
! scope="col" style="width:10%;" |Jenis kelamin
! scope="col" style="width:5%;" |Tahun lahir
! scope="col" style="width:15%;" |Pekerjaan
! scope="col" style="width:15%;" |Tahun ditangkap
! scope="col" style="width:25%;" |Sebab ditangkap
! scope="col" style="width:10%;" |Referensi
|-
|
| Andi Zemmeng
| Laki-laki
|
| Kepala penerangan Provinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara
|
|
|<ref name=":104"/>
|-
|
| Anwar Abbas
| Laki-laki
| 1947
|
| 1965 ditangkap dan dipenjara di Penjara Kepolisian Pangkep kemudian dipindahkan di Rumah Tahanan Militer (RTM) Makassar; Mei 1969 diasingkan ke Kamp pengasingan Moncongloe
| Ketua Pemuda Rakyat Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), onderbouw/organisasi yang berafiliasi dengan PKI
|<ref name=":0"/><ref name=":1043"/>
|-
|
| Bagio
| Laki-laki
|
|
|
|
|<ref name=":104"/>
|-
|
| Hatipa
| Perempuan
|
|
|
|
|<ref name=":104"/>
|-
|
| Jakaria Daeng Passeleng
| Laki-laki
| 1946
| Pegawai di Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin. Sebagai penjaga laboratorium Fisika sejak tahun 1964
| 31 Oktober 1965 ditangkap dan dipenjara di Penjara Kodim 1408/BS Makassar; 1965-1966 dipindahkan ke Kamp interogasi Malino; 1966 dibebaskan; Juni 1967 ditangkap kembali dan dipenjara di Penjara Kodam Baru Jl. Ahmad Yani, Makassar kemudian di Penjara Kodam Lama Jl. Monginsidi, Makassar; September 1967 dipindahkan ke Penjara Karebosi Jl. Ahmad Yani, Makassar; 1969 dipindahkan ke Kamp pengasingan Moncongloe
| Wakil ketua Central Sub Seksi (CSS) Kecamatan Bontoala, Kotamadya Makassar, onderbouw/organisasi yang berafiliasi dengan PKI; ditangkap pada 31 Oktober 1965 di tempatnya bekerja karena menjadi anggota PKI; Juni 1967 ditangkap kembali karena terkait PKI gaya baru di Jl. Sunu Malimongan Baru, Makassar
| <ref name=":104">{{cite magazine|last=UKPM UH|first=|year=Januari 2018|url=https://www.google.co.id/books/edition/Terang_Yang_Tak_Kunjung_Terbit_Majalah_C/isCIDwAAQBAJ?hl=id&gbpv=1|title=Terang Yang Tak Kunjung Terbit - Majalah Catatan Kaki|publisher=Unit Kegiatan Pers Mahasiswa Universitas Hasanuddin (UKPM UH)|isbn=|pages=12-14|coauthors=}}</ref>
|-
|
| Jaruddin
| Laki-laki
|
|
|
|
|<ref name=":104"/>
|-
|
| Lasanu
| Laki-laki
|
|
| 1965 ditangkap dan dipenjara di Penjara Kodim Parepare; 1969 dipindahkan ke Kamp pengasingan Moncongloe
|
|<ref name=":104"/>
|-
|
| (alm.) Muhammad Jufri Buape
| Laki-laki
| 1942/1944
| Anggota polisi Pamong Praja Kabupaten Sidenreng Rappang
| 1965 ditangkap dan ditahan di Kodim Parepare kemudian di Lapas Parepare; 1971 diasingkan ke Kamp Moncongloe; 20 Desember 1977 dibebaskan
| Sekretaris Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap) dan Pengurus Pemuda Rakyat Kotamadya Parepare, onderbouw/organisasi yang berafiliasi dengan PKI
|<ref name=":0"/><ref name=":1043"/><ref name=":154">{{Cite web|url=https://www.ekorusdianto.net/2020/02/orang-orang-pembuangan.html|title=Orang-orang Pembuangan|last=Rusdianto|first=Eko|date=18 Februari 2020|website=www.ekorusdianto.net|access-date=13 April 2023}}</ref>
|-
|
| Norma Intan
| Perempuan
|
|
|
|
|<ref name=":104"/>
|-
|
| P.L. Payung
| Laki-laki
| 1940
| Guru Sekolah Dasar di Rantepao, Tana Toraja
| 28 Oktober 1965 ditangkap dan dipenjara di Penjara Kodim Toraja; 1971 diasingkan ke Kamp Moncongloe
|
|<ref name=":154"/>
|-
|
| Ir. Rasjidi Amrah
| Laki-laki
| 1945
| Insinyur Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin asal Kabupaten Majene; pengajar di Sekolah Menengah Pelayaran Makassar, sekarang Akademi Ilmu Pelayaran Indonesia (AIPI)
| 1965 ditangkap dan dipenjara di Penjara Makassar, kemudian dipindahkan ke Penjara Kodim Majene lalu akhirnya dibawa ke Kamp pengasingan Moncongloe
| Ditangkap saat mengurus proses beasiswa pendidikan untuk program ''Full Study'' ke Uni Soviet
|<ref name=":154"/>
|-
|
| Rasyid
| Laki-laki
|
|
|
|
|<ref name=":104"/>
|-
|
| Ribut Sugiyo
| Laki-laki
| 1944
| Anggota polisi dengan pangkat kopral asal Kota Madiun, Jawa Timur yang bertugas di Satuan Perintis Poltabes Makassar
| 1968 ditangkap dan dipenjara di Penjara Poltabes Makassar kemudian berlanjut di Rumah Tahanan Militer (RTM) Makassar yang berlokasi di Jalan Rajawali; 1978 diasingkan ke Kamp pengasingan Moncongloe
| Dianggap berafiliasi dengan PKI karena akrab dengan seorang temannya yang diduga anggota PKI
|<ref name=":100">{{Cite web|url=https://www.liputan6.com/regional/read/4074881/nestapa-eks-tapol-pki-di-lokasi-penampungan-tanah-merah-gowa|title=Nestapa Eks Tapol PKI di Lokasi Penampungan Tanah Merah Gowa|last=Hakim|first=Eka|date=30 September 2019|website=www.liputan6.com|access-date=12 April 2023}}</ref>
|-
|
| (alm.) Soemiran
| Laki-laki
|
| Anggota polisi yang bertugas di Pelabuhan Makassar; lulusan Sekolah Kepolisian di Mojokerto, Jawa Timur, yang melanjutkan belajar di SMA Sawerigading, Makassar, untuk mendapatkan kenaikan pangkat
| 1965 ditangkap dan ditahan di Rumah Tahanan Militer (RTM) Makassar; 1978 diasingkan ke Kamp pengasingan Moncongloe
| Dianggap membantu pelarian seorang tokoh PKI dengan kapal ke pulau Jawa
|<ref name=":0"/><ref name=":1043">{{cite book|last=Kurniawan|first=|year=2013|url=https://www.google.co.id/books/edition/Pengakuan_algojo_1965/R6ZeDwAAQBAJ?hl=id&gbpv=1|title=Pengakuan Algojo 1965|publisher=Tempo Publishing|isbn=9786021410516|pages=|coauthors=}}</ref>
|-
|
| Susanti
| Perempuan
|
| Tenaga kesehatan sebagai instruktur kesehatan dan pengajar teori dan praktik yang bekerja di beberapa daerah di Sulawesi Selatan, seperti Makassar, Parepare, Palopo, dan Kendari
| 1965
| Dianggap terlibat PKI saat bertugas di Kotamadya Makassar
|<ref name=":104"/>
|-
|
| Waris Thahir
| Laki-laki
| 1945
| Pegawai Negeri di kantor Walikota Parepare
| Desember 1965 ditangkap dan dipenjara di Penjara Kodim Parepare
|
|<ref name=":154"/>
|-
|
| Wempi
| Laki-laki
| 1946
|
| 1965
| Anggota Pemuda Rakyat Kotamadya Parepare asal Manado, onderbouw/organisasi yang berafiliasi dengan PKI
|<ref name=":154"/>
|-
|
| Zakaria
| Laki-laki
|
|
|
|
|<ref name=":104"/>
|-
|
|
|
|
|
|
|
|
|}
* Abdul Munir Mas'ud
* Andi Muhammad Hustin, anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) Kabupaten Barru
* Andy
* Arnold Roring, ketua pertama organisasi Pemuda Rakyat Parepare; pegawai perusahaan listrik MPS Parepare sebelum berganti nama menjadi Perusahaan Listrik Negara (PLN)
* Damin Rasyid Mole, ketua organisasi Pemuda Rakyat Parepare; guru sekolah rakyat
* dr. Untung, seorang dokter ahli makanan
* Ei Ken Heng
* Go Kee Iet
* Gunawan "Cak Gun"
* Ismoyo
* Jhonli, seorang mahasiswa Universitas Hasanuddin
* Kadullah
* Kasman Suparlan
* Maryana Bado
* Maryani
* Mujitno
* Mukhlis, pengurus PKI Sulawesi Selatan
* Munir
* Sarmanto Sarmo, karyawan di perusahaan semen Tonasa Kabupaten Pangkep mulai ditahan sejak 1965. Dia ditahan karena bergabung di SOBSI dan menduduki posisi sebagai sekretaris.
* Supardi
* Suparti
* Supenno
==
=== Buku ===
[[Berkas:Kamp_Moncongloe2.jpg|jmpl|262px|
* "Kamp Pengasingan Moncongloe", karya Taufik Ahmad, Penerbit Desantara Depok, tahun 2009, 6 bab, 278 halaman
:''Kamp Pengasingan Moncongloe'' merupakan buku jenis sejarah dan politik yang diterbitkan pada tahun [[2009]] karya [[sejarawan]] [[Universitas Negeri Makassar]] Taufik Ahmad. Ia juga adalah [[peneliti]] Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan. Buku yang dipublikasikan oleh Desantara ini awalnya merupakan hasil tesis S3 dari Taufik Ahmad yang diangkat menjadi buku tentang representasi kronik kamp tahanan politik Moncongloe terkait PKI yang diasingkan. Buku ini mulai mengulas kemunculan dan perkembangan PKI di Sulawesi Selatan, riwayat Moncongloe dari hutan menjadi kamp pengasingan tapol, kondisi tahanan politik di Moncongloe, hingga pembebasan tahanan politik di Kamp Moncongloe.
* "Tragedi di Halaman Belakang: Kisah Orang-Orang Biasa dalam Sejarah Kekerasan Sulawesi", karya Eko Rusdianto, Penerbit EA Books, tahun 2009
* "Pulangkan Mereka! Merangkai Ingatan Penghilangan Paksa di Indonesia" pada bagian bab "Kerja Paksa Tapol Membangun Sulsel" hal. 165–206, karya Anak Agung Gde Putra dkk, Penerbit Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Jakarta, tahun 2012, ISBN 9789798981432
* "South Sulawesi: The Militery, Prison Camps and Forced Labour" dalam Douglas Kammed dan Katharine Mc Gregor (ed) The Contours of Mass Violence in Indonesia, 1965-68, karya Taufik Ahmad, Penerbit NUS Press Singapura, tahun 2012
* "Pengakuan Algojo 1965: Investigasi Tempo Perihal Pembantaian 1965", karya Kurniawan, Penerbit Tempo Publishing, tahun 2013, ISBN 9786021410516
* "Mengenal Orde Baru", karya Dhianita Kusuma Pertiwi, Penerbit Buku Mojok Group, tahun 2021, ISBN 9786239694005
=== Cerpen ===
* ''Kita Saling Mencintai dan Kita Memilih Jalan Berbeda'' adalah judul [[cerita pendek]] (cerpen) karangan Andi Makkaraja yang dimuat dan diterbitkan pada 15 September 2020 dalam buku kumpulan cerpen ''Kereta Kematian'' (Kabupaten Sukabumi, Jejak Publisher, 2020, Hal. 88-94, ISBN 9786232473911). Cerpen ini mendapatkan predikat peringkat ke-10 pada "Lomba Menulis Cerpen Ke-8 Tulis.me". Cerpen ini menceritakan tentang Bahar dan Mala sepasang kekasih yang saling mencintai di Bulukumba, Sulawesi Selatan, namun hubungan mereka diuji dengan pengejaran Bahar oleh pasukan tentara 710 pimpinan Letnan Umpa'. Bahar dikejar oleh para tentara karena dianggap PKI. Mala yang merupakan kekasih Bahar duluan tertangkap dan ditahan di Kamp Militer Tanete, Bulukumba. Mala yang sedang ditahan menghimbau Bahar untuk bersembunyi dan tak menemuinya. Kekhawatiran dan ketakutan Mala karena di Kamp pengasingan Moncongloe ia akan menjadi budak dan disiksa. Pada cerpen ini, Kamp pengasingan Moncongloe secara gamblang dinarasikan sebagai tempat perbudakan, kerja rodi, penyiksaan, dicap orang merah namanya akan tercemar sehingga dijauhi negara dan dijauhi orang-orang tercinta.<ref name=":10438">{{cite book|last=Nur Khafidhin, dkk|first=|year=2020|url=https://www.google.co.id/books/edition/Kereta_kematian/p3n_DwAAQBAJ?hl=id&gbpv=1|title=Kereta Kematian|publisher=Jejak Publisher|isbn=9786232473911|pages=196|coauthors=}}</ref>
=== Majalah ===
* Majalah Catatan Kaki "Kaki Tangan Demokrasi dan Keadilan": Edisi Januari 2018 "Terang Yang Tak Kunjung Terbit"
:Majalah Catatan Kaki Edisi Januari 2018 "Terang Yang Tak Kunjung Terbit" mencoba menggali fakta sejarah dari aral lokal dari peristiwa [[politisida]], khususnya di Makassar dan cerita dibalik Kamp pengasingan Moncongloe di mana para tahanan politik menderita selama bertahun-tahun. Dengan gaya [[reportase]], majalah ini memberikan ulasan hasil wawancara beberapa eks tapol yang pernah ditahan di kamp tersebut.
== Lihat pula ==
Baris 327 ⟶ 581:
[[Kategori:Pattallassang, Gowa]]
[[Kategori:Moncongloe, Maros]]
[[Kategori:Penjara di Indonesia|M]]
[[Kategori:Represi politik di Indonesia]]
[[Kategori:Sulawesi Selatan]]
Baris 345 ⟶ 599:
[[Kategori:Hukum]]
[[Kategori:Bangunan dan struktur di Sulawesi Selatan]]
[[Kategori:Peninggalan sejarah di Indonesia]]
[[Kategori:Pembantaian di Indonesia]]
[[Kategori:Rintisan bertopik sejarah Indonesia]]
[[Kategori:Peristiwa bersejarah di Indonesia]]
[[Kategori:Partai Komunis Indonesia]]
[[Kategori:Komunisme di Indonesia]]
[[Kategori:Komunisme]]
|