Dyah Wawa: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
→Pemindahan pusat pemerintahan Medang: Penambahan tentang fakta Gunung/Perbukitan Gendol |
|||
(33 revisi perantara oleh 15 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
[[Berkas:Minto_stone.jpg|jmpl|[[Prasasti Sangguran]], dengan tinggi 2 meter dan berat 3,8 ton, ditemukan di Ngendat dan sempat diuraikan [[Colin Mackenzie]] pada tahun 1811-14]]
'''Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga''' adalah raja terakhir yang memerintah [[Medang|Kerajaan Medang]] ''periode Jawa Tengah'' (atau lazim disebut [[Kerajaan Mataram Kuno]]), yang
{{infobox royalty
|title = '''Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga'''
|image =
|birth_name =
|father =
|mother =
|succession = Raja Medang Ke-16
|reign = ( 14 Februari 928 - 24 Maret 929 M )
|predecessor = [[Dyah Tulodhong]]
|successor = [[Mpu Sindok]]
|spouse =
|issue =
|religion = [[Hindu]]
|house = [[Wangsa Sanjaya|Sanjaya]]
}}
== Asal-Usul ==
Dyah Wawa naik takhta menggantikan [[
Dalam
Saudara perempuan Rakryan Landhayan yang menjadi istri Rakai Kayuwangi bernama Rakryan Manak, yang melahirkan Dyah Bhumijaya. Ibu dan anak itu suatu hari diculik Rakryan Landhayan, namun keduanya berhasil meloloskan diri di desa Tangar. Anehnya, Rakryan Manak memilih bunuh diri di desa Taas, sedangkan Dyah Bhumijaya ditemukan para pemuka desa Wuatan Tija dan diantarkan pulang ke hadapan Rakai Kayuwangi.
== Pemindahan pusat pemerintahan Medang ==
▲== Riwayat Pemerintahan ==
Raja sesudah Dyah Wawa adalah [[Mpu Sindok]] yang membangun istana [[Kerajaan Medang]] baru di daerah Tamwlang, dan kemudian dipindahkan ke Watugaluh. Kedua tempat tersebut diperkirakan saat ini masuk wilayah [[Jombang]] [[Jawa Timur]] karena masih ada desa dengan nama yang bermiripan ([[Tembelang, Tembelang, Jombang|Tembelang]] dan [[Watugaluh, Diwek, Jombang|Watugaluh]]). Mpu Sindok mengaku bahwa Kerajaan Medang di Watugaluh adalah kelanjutan dari Kerajaan Medang di Bhumi Mataram.▼
Perpindahan istana Medang dari Mataram menuju Tamwlang menurut teori [[Rein van Bemmelen|van Bammelen]] terjadi karena letusan [[Gunung Merapi]] yang sangat dahsyat. Konon sebagian puncak Merapi hancur. Kemudian lapisan tanah begeser ke arah barat daya sehingga terjadi lipatan, yang antara lain, membentuk Gunung Gendol dan lempengan Pegunungan Menoreh di [[Kabupaten Magelang]]. Tetapi hal ini terbantahkan oleh penelitian di tahun 2016, yang menyebutkan kalau Perbukitan Gendol merupakan vulkanisme purba insitu, bukan hasil dari ''debris avalanche'' Gunungapi Merapi.<ref>{{Cite journal|last=Kurniawan|first=Alva|date=2016|title=Kajian Genesis Perbukitan Gendol di Daerah Muntilan-Salam, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah|url=https://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/95340|publisher=Universitas Gadjah Mada}}</ref>▼
▲Peninggalan sejarah Dyah Wawa berupa prasasti Sangguran tanggal [[2 Agustus]] [[928]] tentang penetapan desa Sangguran sebagai sima swatantra (daerah bebas pajak) agar penduduknya ikut serta merawat bangunan suci di daerah Kajurugusalyan.
Letusan Gunung Merapi tersebut disertai gempa bumi dan hujan material vulkanik berupa abu dan batu. Konon, istana Kerajaan Medang di Mataram (dekat [[Yogyakarta]] sekarang) sampai mengalami kehancuran akibat bencana alam tersebut.
▲Raja sesudah Dyah Wawa adalah [[Mpu Sindok]] yang membangun istana [[Kerajaan Medang]] baru di daerah Tamwlang, dan kemudian dipindahkan ke Watugaluh. Kedua tempat tersebut saat ini masuk wilayah [[Jawa Timur]]. Mpu Sindok mengaku bahwa Kerajaan Medang di Watugaluh adalah kelanjutan dari Kerajaan Medang di Bhumi Mataram.
Sejarawan [[Boechari]] berpendapat bahwa bencana alam Gunung Merapi tersebut terjadi sebagai hukuman
▲Perpindahan istana Medang dari Mataram menuju Tamwlang menurut teori van Bammelen terjadi karena letusan [[Gunung Merapi]] yang sangat dahsyat. Konon sebagian puncak Merapi hancur. Kemudian lapisan tanah begeser ke arah barat daya sehingga terjadi lipatan, yang antara lain, membentuk Gunung Gendol dan lempengan Pegunungan Menoreh.
== Referensi ==
▲Sejarawan Boechari berpendapat bahwa bencana alam Gunung Merapi tersebut terjadi sebagai hukuman [[Tuhan]] atas perebutan takhta yang sering terjadi di antara keluarga Kerajaan Medang sejak zaman pemerintahan [[Rakai Pikatan]].
<references />
== Kepustakaan ==
* Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. ''Sejarah Nasional Indonesia Jilid II''. Jakarta: Balai Pustaka
* [[Slamet Muljana]]. 2005. ''Menuju Puncak Kemegahan'' (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
{{kotak mulai}}
Baris 37 ⟶ 51:
{{kotak selesai}}
[[Kategori:Raja Mataram Kuno|Wawa]]
[[Kategori:Tokoh Jawa]]
|