Terorisme: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k ←Suntingan 180.241.189.105 (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh Rachmat04
Tag: Pengembalian
Wikiforia (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
 
(47 revisi perantara oleh 39 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{rapikan|perlu dibagi menjadi sub-sub bagian}}
{{kembangkan|harus dilakukan}}
 
'''Terorisme''' adalah penggunaan kekerasan dengan sengaja untuk mencapai tujuan politik atau ideologis. Istilah ini biasanya digunakan untuk kekerasan dalam masa damai atau kekerasan pada nonkombatan (warga sipil atau pasukan netral).
'''Terorisme''' adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan [[perang]], aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan [[warga sipil]].
 
== Pengertian terorisme ==
{{tanpa referensi|bagian}}
Istilah teroris oleh para ahli [[kontraterorisme]] dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi,. dan olehOleh karena itu para pelakunya ("teroris") layak mendapatkan pembalasanhukuman yang kejamsetimpal.
 
Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan "terorisme", para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai [[separatis]], pejuang pembebasan, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terrorism : "Makna sebenarnya dari [[jihad]], [[mujahidin]] adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang". Padahal Terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan agama.
 
Selain oleh pelaku individual, terorisme bisa dilakukan oleh negara atau dikenal dengan terorisme negara (''state terorism''). Misalnya seperti dikemukakan oleh [[Noam Chomsky]] yang menyebut [[Amerika Serikat]] ke dalam kategori itu. Persoalan [[standar ganda]] selalu mewarnai berbagai penyebutan yang awalnya bermula dari Barat. Seperti ketika Amerika Serikat banyak menyebut teroris terhadap berbagai kelompok di dunia, di sisi lain liputan media menunjukkan fakta bahwa Amerika Serikat melakukan tindakan terorisme yang mengerikan hingga melanggar [[konvensi]] yang telah disepakati.
 
== Terorisme di dunia ==
[[Berkas:UA Flight 175 hits WTC south tower 9-11 edit.jpeg|al=Serangan 11 September 2001|jmpl|258x258px|[[United Airlines Penerbangan 175]] bertabrak dengan Menara Selatan dari [[World Trade Center]] pada serangan [[Serangan 11 September 2001]] dalam [[Kota New York]].]]
Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi aktual terutama sejak terjadinya peristiwa [[World Trade Center]] (WTC) di [[New York]], [[Amerika Serikat]] pada tanggal [[11 September 2001]], dikenal sebagai “September Kelabu”, yang memakan 3000 korban. Serangan dilakukan oleh kelompok militan [[Al-Qaeda]] melalui udara, tidak menggunakan pesawat tempur, melainkan menggunakan pesawat komersilkomersial milik perusahaan Amerika sendiri, sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika Serikat. Tiga pesawat komersilkomersial milik Amerika Serikat dibajak, dua di antaranya ditabrakkan ke menara kembar ''Twin Towers World Trade Centre'' dan gedung [[Pentagon]].
 
Berita jurnalistik seolah menampilkan gedung World Trade Center dan Pentagon sebagai korban utama penyerangan ini. Padahal, lebih dari itu, yang menjadi korban utama dalam waktu dua jam itu mengorbankan kurang lebih 3.000 orang pria, wanita dan anak-anak yang terteror, terbunuh, terbakar, meninggal, dan tertimbun berton-ton reruntuhan puing akibat sebuah pembunuhan massal yang terencana. Akibat serangan teroris itu, menurut Dana Yatim-Piatu Twin Towers, diperkirakan 1.500 anak kehilangan orang tua. Di Pentagon, [[Washington]], 189 orang tewas, termasuk para penumpang pesawat, 45 orang tewas dalam pesawat keempat yang jatuh di daerah pedalaman Pennsylvania. Para teroris mengira bahwa penyerangan yang dilakukan ke World Trade Center merupakan penyerangan terhadap "Simbol Amerika". Namun, gedung yang mereka serang tak lain merupakan institusi internasional yang melambangkan kemakmuran ekonomi dunia. Di sana terdapat perwakilan dari berbagai negara, yaitu terdapat 430 perusahaan dari 28 negara. Jadi, sebetulnya mereka tidak saja menyerang Amerika Serikat tetapi juga dunia<ref>Koalisi Internasional”, <http://www.usembassyjakarta.org/terrornet/keberanian.html></ref>. Amerika Serikat menduga Osama bin Laden sebagai tersangka utama pelaku penyerangan tersebut.
 
Kejadian ini merupakan isu global yang memengaruhi kebijakan politik seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi untuk memerangi Terorisme sebagai musuh internasional. Pembunuhan massal tersebut telah mempersatukan dunia melawan Terorisme Internasional<ref>Collin L Powell, “Sebuah Perjuangan Keras yang Panjang”, <http://jakarta.usembassy.gov/press_rel/Pwl_newsi.htm></ref>. Terlebih lagi dengan diikuti terjadinya Tragedi Bali, tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan tindakan teror, menimbulkan korban sipil terbesar di dunia<ref>Indriyanto Seno Adji, Bali, “Terorisme dan HAM” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia, (Jakarta: O.C. Kaligis & Associates, 2001), hal.51.</ref>, yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang. Perang terhadap Terorisme yang dipimpin oleh Amerika, mula-mula mendapat sambutan dari sekutunya di [[Eropa]]. Pemerintahan [[Tony Blair]] termasuk yang pertama mengeluarkan ''Anti Terrorism'', ''Crime and Security Act'', December 2001, diikuti tindakan-tindakan dari negara-negara lain yang pada intinya adalah melakukan perang atas tindak Terorisme di dunia, seperti Filipina dengan mengeluarkan Anti Terrorism Bill<ref>Hilmar Farid, “Perang Melawan Teroris”, <http://www.elsam.or.id/txt/asasi/2002_0910/05.html></ref>.
 
== Definisi Terorisme ==
Banyak pendapat yang mencoba mendefinisikan Terorisme, satu di antaranya adalah pengertian yang tercantum dalam pasal 14 ayat 1 [[The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) act, 1984]], sebagai berikut: “Terrorism means the use of violence for political ends and includes any use of violence for the purpose putting the public or any section of the public in fear<ref>Loebby Loqman, Analisis Hukum dan Perundang-Undangan Kejahatan terhadap Keamanan Negara di Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1990), hal. 98.</ref>.”
Kegiatan Terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain merasa ketakutan sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok atau suatu bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya. Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu serta menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati kehendak pelaku teror<ref>Loebby Loqman, Ibid.</ref>. Terorisme tidak ditujukan langsung kepada lawan, akan tetapi perbuatan teror justru dilakukan [[di mana]] saja dan terhadap siapa saja. Dan yang lebih utama, maksud yang ingin disampaikan oleh pelaku teror adalah agar perbuatan teror tersebut mendapat perhatian yang khusus atau dapat dikatakan lebih sebagai ''psy-war''.
 
Sejauh ini belum ada batasan yang baku untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan Terorisme. Menurut [[Prof. M. Cherif Bassiouni]], ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Sedangkan menurut [[Prof. Brian Jenkins, Phd.]], Terorisme merupakan pandangan yang subjektif<ref>Indriyanto Seno Adji, “Terorisme, Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia (Jakarta: O.C. Kaligis & Associates, 2001), hal. 35.</ref>, hal mana didasarkan atas siapa yang memberi batasan pada saat dan kondisi tertentu.
 
Belum tercapainya kesepakatan mengenai apa pengertian terorisme tersebut, tidak menjadikan terorisme dibiarkan lepas dari jangkauan hukum. Usaha memberantas Terorisme tersebut telah dilakukan sejak menjelang pertengahan abad ke-20. Pada tahun 1937 lahir Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Terorisme ''(Convention for The Prevention and Suppression of Terrorism)'', [[di mana]] Konvensi ini mengartikan terorisme sebagai ''Crimes against State''. Melalui European Convention on The Supression of Terrorism (ECST) tahun 1977 di Eropa, makna Terorisme mengalami suatu pergeseran dan perluasan paradigma, yaitu sebagai suatu perbuatan yang semula dikategorikan sebagai ''Crimes against State'' (termasuk pembunuhan dan percobaan pembunuhan Kepala Negara atau anggota keluarganya), menjadi ''Crimes against Humanity'', [[di mana]] yang menjadi korban adalah masyarakat sipil<ref>Indriyanto Seno Adji, “Terorisme, Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia (Jakarta: O.C. Kaligis & Associates, 2001), hal. 50.</ref>. ''Crimes against Humanity'' masuk kategori ''Gross Violation of Human Rights'' (Pelanggaran HAM Berat) yang dilakukan sebagai bagian yang meluas/sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih diarahkan pada jiwa-jiwa orang tidak bersalah (Public by innocent), sebagaimana terjadi di Bali<ref>Indriyanto Seno Adji, Bali, Terorisme dan HAM, Op. cit., hal. 52.</ref>.
 
Terorisme kian jelas menjadi momok bagi peradaban modern. Sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai, target-target serta metode Terorisme kini semakin luas dan bervariasi. Sehingga semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia ''(crimes against peace and security of mankind)''<ref>[[Mulyana W. Kusumah]], Terorisme dalam Perspektif Politik dan Hukum, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III (Desember 2002): 22.</ref>. Menurut Muladi, Tindak Pidana Terorisme dapat dikategorikan sebagai [[mala per se]] atau [[mala in se]]<ref>Mala in se are the offences that are forbidden by the laws that are immutable: mala prohibita, such as are prohibited by laws that are not immutable. Jeremy Bentham, “Of the Influence of Time and Place in Matters of Legislation” Chapter 5 Influence of Time. <http://www.la.utexas.edu/research/poltheory/bentham/timeplace/timeplace.c05.s02.html></ref> , tergolong kejahatan terhadap hati nurani (Crimes against conscience), menjadi sesuatu yang jahat bukan karena diatur atau dilarang oleh Undang-Undang, melainkan karena pada dasarnya tergolong sebagai ''natural wrong'' atau ''acts wrong in themselves'' bukan mala prohibita yang tergolong kejahatan karena diatur demikian oleh Undang-Undang<ref>Mompang L. Panggabean, “Mengkaji Kembali Perpu Antiterorisme” dalam Mengenang Perppu Anti Terorisme, (Jakarta: Suara Muhamadiyah, Agustus 2003) cet.I, hal 77.</ref>.
 
Dalam rangka mencegah dan memerangi Terorisme tersebut, sejak jauh sebelum maraknya kejadian-kejadian yang digolongkan sebagai bentuk Terorisme terjadi di dunia, masyarakat internasional maupun regional serta pelbagai negara telah berusaha melakukan kebijakan kriminal ''(criminal policy)'' disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai Terorisme<ref>Muladi, Hakikat Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan dalam Kriminalisasi, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III (Desember 2002): 1.</ref>.
 
== Pemberantasan Terorisme di Indonesia ==
Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bali, merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme itu dengan memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut. Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum. Untuk melakukan pengusutan, diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme. Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme<ref>Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, UU No.15 tahun 2003, LN. No.45 tahun 2003, TLN. No.4284, Konsiderans.</ref>, Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Keberadaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di samping KUHP dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merupakan Hukum Pidana Khusus. Hal ini memang dimungkinkan, mengingat bahwa ketentuan Hukum Pidana yang bersifat khusus, dapat tercipta karena<ref>Loebby Loqman, Op. cit., hal. 17.</ref>:
 
# Adanya proses [[kriminalisasi]] atas suatu perbuatan tertentu di dalam masyarakat. Karena pengaruh perkembangan zaman, terjadi perubahan pandangan dalam masyarakat. Sesuatu yang mulanya dianggap bukan sebagai Tindak Pidana, karena perubahan pandangan dan norma di masyarakat, menjadi termasuk Tindak Pidana dan diatur dalam suatu perundang-undangan Hukum Pidana.
# Undang-Undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap perubahan norma dan perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat, sedangkan untuk perubahan undang-undang yang telah ada dianggap memakan banyak waktu.
# Suatu keadaan yang mendesak sehingga dianggap perlu diciptakan suatu peraturan khusus untuk segera menanganinya.
# Adanya suatu perbuatan yang khusus [[di mana]] apabila dipergunakan proses yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada akan mengalami kesulitan dalam pembuktian.
 
Sebagai Undang-Undang khusus, berarti Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 mengatur secara materiil dan formil sekaligus, sehingga terdapat pengecualian dari asas yang secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)/Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) [[''(lex specialis derogat lex generalis)'']]. Keberlakuan ''lex specialis derogat lex generalis'', harus memenuhi kriteria<ref>Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, (Yogyakarta:Liberty, 1996).</ref>:
 
# bahwa pengecualian terhadap Undang-Undang yang bersifat umum, dilakukan oleh peraturan yang setingkat dengan dirinya, yaitu Undang-Undang.
# bahwa pengecualian termaksud dinyatakan dalam Undang-Undang khusus tersebut, sehingga pengecualiannya hanya berlaku sebatas pengecualian yang dinyatakan dan bagian yang tidak dikecualikan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan pelaksanaan Undang-Undang khusus tersebut.
 
Sedangkan kriminalisasi Tindak Pidana Terorisme sebagai bagian dari perkembangan hukum pidana dapat dilakukan melalui banyak cara, seperti<ref>Muladi, Op. cit., hal 6.</ref>:
 
# Melalui sistem evolusi berupa [[amendemen]] terhadap pasal-pasal KUHP.
# Melalui sistem global melalui pengaturan yang lengkap di luar KUHP termasuk kekhususan hukum acaranya.
# Sistem kompromi dalam bentuk memasukkan bab baru dalam KUHP tentang kejahatan terorisme.
 
Akan tetapi tidak berarti bahwa dengan adanya hal yang khusus dalam kejahatan terhadap keamanan negara berarti penegak hukum mempunyai wewenang yang lebih atau tanpa batas semata-mata untuk memudahkan pembuktian bahwa seseorang telah melakukan suatu kejahatan terhadap keamanan negara, akan tetapi penyimpangan tersebut adalah sehubungan dengan kepentingan yang lebih besar lagi yaitu keamanan negara yang harus dilindungi. Demikian pula susunan bab-bab yang ada dalam peraturan khusus tersebut harus merupakan suatu tatanan yang utuh. Selain ketentuan tersebut, pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa semua aturan termasuk asas yang terdapat dalam buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berlaku pula bagi peraturan pidana di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) selama peraturan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut tidak mengatur lain<ref>Loebby Loqman, Op. cit., hal. 26.</ref>.
 
Berita jurnalistik seolah menampilkan gedung World Trade Center dan Pentagon sebagai korban utama penyerangan ini. Padahal, lebih dari itu, yang menjadi korban utama dalam waktu dua jam itu mengorbankan kurang lebih 3.000 orang pria, wanita dan anak-anak yang terteror, terbunuh, terbakar, meninggal, dan tertimbun berton-ton reruntuhan puing akibat sebuah pembunuhan massal yang terencana. Akibat serangan teroris itu, menurut Dana Yatim-Piatu Twin Towers, diperkirakan 1.500 anak kehilangan orang tua. Di Pentagon, [[Washington]], 189 orang tewas, termasuk para penumpang pesawat, 45 orang tewas dalam pesawat keempat yang jatuh di daerah pedalaman Pennsylvania. Para teroris mengira bahwa penyerangan yang dilakukan ke World Trade Center merupakan penyerangan terhadap "Simbol Amerika". Namun, gedung yang mereka serang tak lain merupakan institusi internasional yang melambangkan kemakmuran ekonomi dunia. Di sana terdapat perwakilan dari berbagai negara, yaitu terdapat 430 perusahaan dari 28 negara. Jadi, sebetulnya mereka tidak saja menyerang Amerika Serikat tetapi juga dunia.<ref>Koalisi Internasional”, <http://www.usembassyjakarta.org/terrornet/keberanian.html></ref>. [[Amerika Serikat]] menduga Osama bin Laden sebagai tersangka utama pelaku penyerangan tersebut.
Hukum Pidana khusus, bukan hanya mengatur hukum pidana materielnya saja, akan tetapi juga hukum acaranya, oleh karena itu harus diperhatikan bahwa aturan-aturan tersebut seyogyanya tetap memperhatikan asas-asas umum yang terdapat baik dalam ketentuan umum yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bagi hukum pidana materielnya sedangkan untuk hukum pidana formilnya harus tunduk terhadap ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP)<ref>Loebby Loqman, Ibid., hal. 149.</ref>.
 
Kejadian ini merupakan isu global yang memengaruhi kebijakan politik seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi untuk memerangi Terorisme sebagai musuh internasional. Pembunuhan massal tersebut telah mempersatukan dunia melawan Terorisme Internasional.<ref>Collin L Powell, “Sebuah Perjuangan Keras yang Panjang”, <http://jakarta.usembassy.gov/press_rel/Pwl_newsi.htm {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20080210164407/http://jakarta.usembassy.gov/press_rel/Pwl_newsi.htm |date=2008-02-10 }}></ref>. Terlebih lagi dengan diikuti terjadinya Tragedi Bali, tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan tindakan teror, menimbulkan korban sipil terbesar di dunia,<ref>Indriyanto Seno Adji, Bali, “Terorisme dan HAM” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia, (Jakarta: O.C. Kaligis & Associates, 2001), hal.51.</ref>, yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang. Perang terhadap Terorisme yang dipimpin oleh Amerika, mula-mula mendapat sambutan dari sekutunya di [[Eropa]]. Pemerintahan [[Tony Blair]] termasuk yang pertama mengeluarkan ''Anti Terrorism'', ''Crime and Security Act'', December 2001, diikuti tindakan-tindakan dari negara-negara lain yang pada intinya adalah melakukan perang atas tindak Terorisme di dunia, seperti FilipinaFildefinisikan denganTerorisme, mengeluarkansatu Antidi Terrorismantaranya Bill<ref>Hilmaradalah Farid,pengertian “Perangyang Melawantercantum Teroris”,dalam <httppasal 14 ayat 1 [https://wwwonlinelibrary.elsamwiley.or.idcom/txtdoi/asasipdf/2002_091010.1111/05j.html1468-2230.1984.tb01673.x The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) act, 1984], sebagai berikut: “Terrorism means the use of violence for political ends and includes any use of violence for the purpose putting the public or any section of the public in fear<ref>Loebby Loqman, Analisis Hukum dan Perundang-Undangan Kejahatan terhadap Keamanan Negara di Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1990), hal. 98.</ref>.
Sebagaimana pengertian tersebut di atas, maka pengaturan pasal 25 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, bahwa untuk menyelesaikan kasus-kasus Tindak Pidana Terorisme, hukum acara yang berlaku adalah sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP). Artinya pelaksanaan Undang-Undang khusus ini tidak boleh bertentangan dengan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana yang telah ada. Namun, pada kenyataannya, terdapat isi ketentuan beberapa pasal dalam Undang-Undang tersebut yang merupakan penyimpangan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana. Penyimpangan tersebut mengurangi [[Hak Asasi Manusia]], apabila dibandingkan asas-asas yang terdapat dalam [[Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)]]. Apabila memang diperlukan suatu penyimpangan, harus dicari apa dasar penyimpangan tersebut, karena setiap perubahan akan selalu berkaitan erat dengan Hak Asasi Manusia<ref>Loebby Loqman, Ibid., hal. 13</ref>. Atau mungkin karena sifatnya sebagai Undang-Undang yang khusus, maka bukan penyimpangan asas yang terjadi di sini, melainkan pengkhususan asas yang sebenarnya menggunakan dasar asas umum, namun dikhususkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang khusus sifatnya yang diatur oleh Undang-Undang Khusus tersebut.
Kegiatan Terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain merasa ketakutan sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok atau suatu bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya. Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu serta menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati kehendak pelaku teror.<ref>Loebby Loqman, Ibid.</ref>. Terorisme tidak ditujukan langsung kepada lawan, akan tetapi perbuatan teror justru dilakukan [[di mana]] saja dan terhadap siapa saja. Dan yang lebih utama, maksud yang ingin disampaikan oleh pelaku teror adalah agar perbuatan teror tersebut mendapat perhatian yang khusus atau dapat dikatakan lebih sebagai ''psy-war''.
 
Sejauh ini belum ada batasan yang baku untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan Terorisme. Menurut [[Prof. M. Cherif Bassiouni]], ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Sedangkan menurut [[Prof. Brian Jenkins, Phd.]], Terorisme merupakan pandangan yang subjektif,<ref>Indriyanto Seno Adji, “Terorisme, Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia (Jakarta: O.C. Kaligis & Associates, 2001), hal. 35.</ref>, hal mana didasarkan atas siapa yang memberi batasan pada saat dan kondisi tertentu.
Sesuai pengaturan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ([[Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP]]), penyelesaian suatu perkara Tindak Pidana sebelum masuk dalam tahap beracara di pengadilan, dimulai dari Penyelidikan dan Penyidikan, diikuti dengan penyerahan berkas penuntutan kepada Jaksa Penuntut Umum. Pasal 17 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP) menyebutkan bahwa perintah Penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras telah melakukan Tindak Pidana berdasarkan [[Bukti Permulaan]] yang cukup. Mengenai batasan dari pengertian Bukti Permulaan itu sendiri, hingga kini belum ada ketentuan yang secara jelas mendefinisikannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menjadi dasar pelaksanaan Hukum Pidana. Masih terdapat perbedaan pendapat di antara para penegak hukum.
Sedangkan mengenai Bukti Permulaan dalam pengaturannya pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pasal 26 berbunyi<ref>Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Op. cit., Penjelasan pasal 26.</ref>:
 
Belum tercapainya kesepakatan mengenai apa pengertian terorisme tersebut, tidak menjadikan terorisme dibiarkan lepas dari jangkauan hukum. Usaha memberantas Terorisme tersebut telah dilakukan sejak menjelang pertengahan abad ke-20. Pada tahun 1937, lahir Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Terorisme ''(Convention for The Prevention and Suppression of Terrorism)'', [[di mana]] Konvensi ini mengartikan terorisme sebagai ''Crimes against State''. Melalui European Convention on The Supression of Terrorism (ECST) tahun 1977 di Eropa, makna Terorisme mengalami suatu pergeseran dan perluasan paradigma, yaitu sebagai suatu perbuatan yang semula dikategorikan sebagai ''Crimes against State'' (termasuk pembunuhan dan percobaan pembunuhan Kepala Negara atau anggota keluarganya), menjadi ''Crimes against Humanity'', [[di mana]] yang menjadi korban adalah masyarakat sipil.<ref>Indriyanto Seno Adji, “Terorisme, Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia (Jakarta: O.C. Kaligis & Associates, 2001), hal. 50.</ref>. ''Crimes against Humanity'' masuk kategori ''Gross Violation of Human Rights'' (Pelanggaran HAM Berat) yang dilakukan sebagai bagian yang meluas/sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih diarahkan pada jiwa-jiwa orang tidak bersalah (Public by innocent), sebagaimana terjadi di Bali.<ref>Indriyanto Seno Adji, Bali, Terorisme dan HAM, Op. cit., hal. 52.</ref>.
# Untuk memperoleh Bukti Permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap [[Laporan Intelijen]].
# Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh Bukti Permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri.
# Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.
# Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan adanya Bukti Permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan dilaksanakan Penyidikan.
 
Terorisme kian jelas menjadi momok bagi peradaban modern. Sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai, target-target serta metode Terorisme kini semakin luas dan bervariasi. Sehingga semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia ''(crimes against peace and security of mankind)''.<ref>[[Mulyana W. Kusumah]], Terorisme dalam Perspektif Politik dan Hukum, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III (Desember 2002): 22.</ref>. Menurut Muladi, Tindak Pidana Terorisme dapat dikategorikan sebagai [[mala per se]] atau [[mala in se]],<ref>Mala in se are the offences that are forbidden by the laws that are immutable: mala prohibita, such as are prohibited by laws that are not immutable. Jeremy Bentham, “Of the Influence of Time and Place in Matters of Legislation” Chapter 5 Influence of Time. <http://www.la.utexas.edu/research/poltheory/bentham/timeplace/timeplace.c05.s02.html></ref> , tergolong kejahatan terhadap hati nurani (Crimes against conscience), menjadi sesuatu yang jahat bukan karena diatur atau dilarang oleh Undang-Undang, melainkan karena pada dasarnya tergolong sebagai ''natural wrong'' atau ''acts wrong in themselves'' bukan mala prohibita yang tergolong kejahatan karena diatur demikian oleh Undang-Undang.<ref>Mompang L. Panggabean, “Mengkaji Kembali Perpu Antiterorisme” dalam Mengenang Perppu Anti Terorisme, (Jakarta: Suara Muhamadiyah, Agustus 2003) cet.I, hal 77.</ref>.
Permasalahannya adalah masih terdapat kesimpang siuran tentang pengertian Bukti Permulaan itu sendiri, sehingga sulit menentukan apakah yang dapat dikategorikan sebagai Bukti Permulaan, termasuk pula Laporan Intelijen, apakah dapat dijadikan Bukti Permulaan. Selanjutnya, menurut pasal 26 ayat 2, 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, penetapan suatu Laporan Intelijen sebagai Bukti Permulaan dilakukan oleh Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri melalui suatu proses/mekanisme pemeriksaan ''([[Hearing]])'' secara tertutup. Hal itu mengakibatkan pihak intelijen mempunyai dasar hukum yang kuat untuk melakukan penangkapan terhadap seseorang yang dianggap melakukan suatu Tindak Pidana Terorisme, tanpa adanya pengawasan masyarakat atau pihak lain mana pun. Padahal kontrol sosial sangat dibutuhkan terutama dalam hal-hal yang sangat sensitif seperti perlindungan terhadap hak-hak setiap orang sebagai manusia yang sifatnya asasi, tidak dapat diganggu gugat.
 
Dalam rangka mencegah dan memerangi Terorisme tersebut, sejak jauh sebelum maraknya kejadian-kejadian yang digolongkan sebagai bentuk Terorisme terjadi di dunia, masyarakat internasional maupun regional serta pelbagai negara telah berusaha melakukan kebijakan kriminal ''(criminal policy)'' disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai Terorisme.<ref>Muladi, Hakikat Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan dalam Kriminalisasi, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III (Desember 2002): 1.</ref>.
Oleh karena itu, untuk mencegah kesewenang-wenangan dan ketidakpastian hukum, diperlukan adanya ketentuan yang pasti mengenai pengertian Bukti Permulaan dan batasan mengenai Laporan Intelijen, apa saja yang dapat dimasukkan ke dalam kategori Laporan Intelijen, serta bagaimana sebenarnya hakikat Laporan Intelijen, sehingga dapat digunakan sebagai Bukti Permulaan. Terutama karena ketentuan pasal 26 ayat (1) tersebut memberikan wewenang yang begitu luas kepada penyidik untuk melakukan perampasan kemerdekaan yaitu penangkapan, terhadap orang yang dicurigai telah melakukan Tindak Pidana Terorisme, maka kejelasan mengenai hal tersebut sangatlah diperlukan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dengan dilakukannya penangkapan secara sewenang-wenang oleh aparat, dalam hal ini penyidik.
 
= Motivasi =
Demikian pula perlu dirumuskan tentang pengaturan, cara mengajukan tuntutan terhadap petugas yang telah salah dalam melakukan tugasnya, oleh orang-orang yang menderita akibat kesalahan itu dan hak asasinya telah terlanggar, karena banyak Pemerintah suatu negara dalam melakukan pencegahan maupun penindakan terhadap perbuatan [[teror]] melalui suatu pengaturan khusus yang bersifat darurat, [[di mana]] aturan darurat itu dianggap telah jauh melanggar bukan saja hak seseorang terdakwa, akan tetapi juga terhadap Hak Asasi Manusia. Aturan darurat sedemikian itu telah memberikan wewenang yang berlebih kepada penguasa di dalam melakukan penindakan terhadap perbuatan teror<ref>Loebby Loqman, Op. cit., hal. 11.</ref>.
Secara umum, motivasi terorisme adalah untuk
 
* Mengintimidasi
Telah banyak negara-negara didunia yang mengorbankan Hak Asasi Manusia demi pemberlakuan Undang-Undang Antiterorisme, termasuk hak-hak yang digolongkan kedalam ''non-derogable rights'', yakni hak-hak yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya dalam keadaan apapun<ref>Todung Mulya Lubis, “Masyarakat Sipil dan Kebijakan Negara Kasus Perppu/RUU Tindak Pidana Terorisme” dalam Mengenang Perppu Antiterorisme, (Jakarta: Suara Muhammadiyah, Agustus 2003), hal 91.</ref>. Undang-Undang Antiterorisme kini diberlakukan di banyak negara untuk mensahkan kesewenang-wenangan ''(arbitrary detention)'' pengingkaran terhadap prinsip ''free and fair trial''. Laporan terbaru dari [[Amnesty Internasional]] menyatakan bahwa penggunaan siksaan dalam proses interogasi terhadap orang yang disangka teroris cenderung meningkat<ref>Todung Mulya Lubis, Ibid., hal 92.</ref>. Hal seperti inilah yang harus dihindari, karena Tindak Pidana Terorisme harus diberantas karena alasan Hak Asasi Manusia, sehingga pemberantasannya pun harus dilaksanakan dengan mengindahkan Hak Asasi Manusia.
* Mendapat atensi
Demikian menurut [[Munir]], bahwa memang secara nasional harus ada Undang-Undang yang mengatur soal Terorisme, tetapi dengan definisi yang jelas, tidak boleh justru melawan Hak Asasi Manusia. Melawan Terorisme harus ditujukan bagi perlindungan Hak Asasi Manusia, bukan sebaliknya membatasi dan melawan Hak Asasi Manusia. Dan yang penting juga bagaimana ia tidak memberi ruang bagi legitimasi penyalahgunaan kekuasaan<ref>Bari Muchtar, “Undang-Undang AntiTerorisme Sangat Mengkhawatirkan”. <http://www.rnw.nl>. 28 Januari 2002.</ref>.
* Memberi inspirasi (Seperti dalam [[Revolusi]])
* Memaksa [[Pemerintah]] untuk menyetujui tuntutan
 
== Lihat pula ==
Baris 80 ⟶ 44:
* [[Badan Keamanan Nasional]]
 
== Catatan kakiReferensi ==
{{kejahatan-stub}}
<div class="reflist4" style="height: 300px; overflow: auto; padding: 3px noprint" >
{{reflist|2}}
Baris 86 ⟶ 51:
 
[[Kategori:Terorisme| ]]
[[Kategori:Kekerasan]]
[[Kategori:Ancaman]]
[[Kategori:Kasus hukum]]
[[Kategori:Intimidasi]]