Hukum adat: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
k Menambah Kategori:Sibernetika manajemen menggunakan HotCat
 
(40 revisi perantara oleh 22 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{untuk|hukum adat yang berlaku di Indonesia|hukum adat Indonesia}}
[[File:Rumah Adat Lampung 6.jpg|jmpl|Rumah adat wariskan turun-temurun dari generasi ke generasi]]
'''Hukum adat''' adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara lainnya seperti [[Jepang]], [[India]], dan [[Tiongkok]]. Hukum adat adalah hukum asli bangsa [[Indonesia]].
'''Hukum adat''' atau '''hukum kebiasaan''' adalah [[hukum umum]] me[[rujuk]] pada serangkaian aturan yang mengikat pada suatu [[masyarakat]] yang tidak tertulis dan bersumber dari kebiasaan yang tumbuh dan berkembang pada suatu masyarakat adat tertentu<ref name="obj"/>. [[Hukum adat Indonesia]] yang berlaku sekarang ialah hukum adat yang berlaku sebelum tahun 1808 Masehi masa [[Thomas Stamford Raffles]] mengadakan perubahan-berubahan yaitu "aturan yang tidak tertulis dan merupakan pedoman untuk seluruh masyarakat [[Indonesia]] dan dipertahankan oleh [[masyarakat]] asli Indonesia dalam pergaulan hidup seharihari baik di [[kota]] maupun di [[desa]]<ref name="obj"/>.
Sumbernya adalah peraturan-peraturan [[hukum]] tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Selain itu dikenal pula masyarakat hukum adat yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.
 
Hukum Adat merupakan suatu istilah dari masa silam terkait pemberian ilmu pengetahuan hukum kepada kelompok hingga beberapa pedoman serta kenyataan yang mengatur dan menerbitkan kehidupan masyarakat indonesia<ref name="uins">{{Cite web |url=https://digilib.uinsby.ac.id/39736/1/Sri%20Warjiyati_Ilmu%20Hukum%20Adat.pdf |title=Salinan arsip |access-date=2022-08-08 |archive-date=2022-08-08 |archive-url=https://web.archive.org/web/20220808061631/https://digilib.uinsby.ac.id/39736/1/Sri%20Warjiyati_Ilmu%20Hukum%20Adat.pdf |dead-url=yes }}</ref>.
== Terminologi ==
Ada dua pendapat mengenai asal kata ''adat'' ini. Di satu pihak ada yang menyatakan bahwa ''adat'' diambil dari bahasa [[Arab]] yang berarti ''kebiasaan''. Sedangkan menurut [[Amura|Prof. Amura]], istilah ini berasal dari [[Bahasa Sanskerta]] karena menurutnya istilah ini telah dipergunakan oleh orang [[Minangkabau]] kurang lebih 2000 tahun yang lalu. Menurutnya ''adat'' berasal dari dua kata, ''a'' dan ''dato''. A berarti tidak dan dato berarti sesuatu yang bersifat kebendaan.
 
[[Adat]] dan [[budaya]] sejak kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1945 diakui keberadaannya oleh negara, sedangkan hukum adat nya sebagai hukum yang sah termuat dalam Undang-Undang tahun 1945 dasar hukum pasal 18B ayat 2 UUD 1945: "Negara mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip [[Negara Kesatuan Republik Indonesia]] yang segera (telah) diturunkan dalam [[Undang-Undang]]" tentang masyarakat adat.
== Perdebatan istilah Hukum Adat ==
Hukum Adat dikemukakan pertama kali oleh [[Snouck Hurgrounje|Prof. Snouck Hurgrounje]] seorang Ahli Sastra Timur dari [[Belanda]] ([[1894]]). Sebelum istilah Hukum Adat berkembang, dulu dikenal istilah ''Adat Recht''. [[Snouck Hurgrounje|Prof. Snouck Hurgrounje]] dalam bukunya ''de atjehers'' (Aceh) pada tahun [[1893]]-[[1894]] menyatakan [[hukum]] rakyat [[Indonesia]] yang tidak dikodifikasi adalah ''de atjehers''.
 
== Introduksi ==
Kemudian istilah ini dipergunakan pula oleh [[Cornelis van Vollenhoven|Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven]], seorang Sarjana Sastra yang juga Sarjana Hukum yang pula menjabat sebagai Guru Besar pada [[Universitas Leiden]] di [[Belanda]]. Ia memuat istilah ''Adat Recht'' dalam bukunya yang berjudul ''Adat Recht van Nederlandsch Indie'' (Hukum Adat Hindia Belanda) pada tahun [[1901]]-[[1933]].
Kebiasaan hukum umum ialah pola perilaku yang mapan yang dapat diverifikasi secara objektif dalam lingkungan sosial masyarakat setempat. Gugatan dapat dilakukan untuk membela "apa yang selalu dilakukan dan diterima oleh hakim"<ref name="obj">{{Cite web|date=2020-09-17|title=Hukum Adat, Kewajiban atau Hak?|url=https://geotimes.co.id/opini/hukum-adat-kewajiban-atau-hak/|website=GEOTIMES|language=id-ID|access-date=2020-11-04}}</ref>.
 
Sebagian besar hukum umum berurusan dengan standar masyarakat yang telah lama berdiri di suatu tempat tertentu. Namun istilah ini juga dapat diterapkan pada bidang hukum nasional dan internasional di mana standar tertentu telah hampir unuversal dalam penerimaannya sebagai dasar tindakan yang benar - misalnya, undang-undang menentang pembajakan atau perbudakan. Dalam banyak kasus, meskipun tidak semua kasus, hukum adat memiliki putusan pengadilan yang mendukung dan hukum kasus, hukum umum yang telah berkembang dari waktu ke waktu untuk memberikan bobot tambahan pada aturan mereka sebagai hukum dan juga untuk menunjukkan lintasan evolusi dalam interpretasi hukum tersebut. Oleh pengadilan terkait.
Perundang-undangan di [[Hindia Belanda]] secara resmi mempergunakan istilah ini pada tahun [[1929]] dalam ''Indische Staatsregeling'' (Peraturan Hukum Negeri [[Belanda]]), semacam [[Undang Undang Dasar]] [[Hindia Belanda]], pada pasal 134 ayat (2) yang berlaku pada tahun [[1929]].
 
Hukum adat sering pula disebut sebagai Hukum umum '''hukum yang hidup dalam masyarakat adat''' (''living law'').<ref>Tobin, B. (2014). [https://books.google.com/books?hl=en&lr=&id=e3JeBAAAQBAJ&oi=fnd&pg=PP1&dq=living+law&ots=YpoYgPeyJa&sig=QRhEA682W3M7dNhmDZKBSzOGnmA ''Indigenous peoples, customary law and human rights: Why living law matters'']. Routledge.</ref>
Dalam masyarakat [[Indonesia]], istilah [[hukum]] adat tidak dikenal adanya. [[Hilman Hadikusuma]] mengatakan bahwa ''istilah tersebut hanyalah istilah teknis saja.'' Dikatakan demikian karena istilah tersebut hanya tumbuh dan dikembangkan oleh para ahli [[hukum]] dalam rangka mengkaji [[hukum]] yang berlaku dalam masyarakat [[Indonesia]] yang kemudian dikembangkan ke dalam suatu sistem keilmuan.
 
== Sifat, definisi dan sumber ==
Dalam bahasa [[Inggris]] dikenal juga istilah ''Adat Law'', namun perkembangan yang ada di [[Indonesia]] sendiri hanya dikenal istilah '''Adat''' saja, untuk menyebutkan sebuah sistem hukum yang dalam dunia ilmiah dikatakan Hukum Adat.
Isu sentral mengenai pengakuan adat adalah menentukan metodologi yang tepat untuk mengetahui praktik dan norma apa yang sebenarnya merupakan hukum adat. Tidak segera jelas bahwa teori-teori yurisprudensi Barat klasik dapat didamaikan dengan cara yang berguna dengan analisis konseptual hukum adat, dan dengan demikian beberapa sarjana (seperti John Comaroff dan Simon Roberts) telah mengkarakterisasi norma-norma hukum adat dalam istilah mereka sendiri. Namun, jelas masih ada beberapa ketidaksepakatan, yang terlihat dalam kritik John Hund terhadap teori Comaroff dan Roberts, dan preferensi untuk kontribusi H. L. A. Hart. Hund berpendapat bahwa The Concept of Law karya Hart memecahkan masalah konseptual yang dengannya para sarjana yang mencoba mengartikulasikan bagaimana prinsip-prinsip hukum adat dapat diidentifikasi, didefinisikan, dan bagaimana prinsip-prinsip tersebut beroperasi dalam mengatur perilaku sosial dan menyelesaikan perselisihan.
 
=== Sebagai repertoar norma yang tidak terbatas ===
Pendapat ini diperkuat dengan pendapat dari [[Muhammad Rasyid Maggis|Muhammad Rasyid Maggis Dato Radjoe Penghoeloe]] sebagaimana dikutif oleh [[Amura|Prof. Amura]]: ''sebagai lanjutan kesempurnaan hidup selama kemakmuran berlebih-lebihan karena penduduk sedikit bimbang dengan kekayaan alam yang berlimpah ruah, sampailah manusia kepada adat''.
Karya terkenal Comaroff dan Roberts, "Aturan dan Proses", berusaha untuk merinci tubuh norma-norma yang merupakan hukum Tswana dengan cara yang kurang legalistik (atau berorientasi pada aturan) daripada Isaac Schapera. Mereka mendefinisikan "mekgwa le melao ya Setswana" menurut definisi Casalis dan Ellenberger: melao dengan demikian menjadi aturan yang diucapkan oleh seorang kepala suku, sumbai-sumbai adat dan mekgwa sebagai norma yang menjadi hukum adat melalui penggunaan tradisional.
 
=== Hukum sebagai aturan yang diatur ===
Sedangkan pendapat [[Nasroen|Prof. Nasroe]] menyatakan bahwa adat [[Minangkabau]] telah dimiliki oleh mereka sebelum bangsa Hindu datang ke [[Indonesia]] dalam abad ke satu tahun masehi.
Hund menemukan tesis fleksibilitas Comar''off dan Roberts'' tentang 'repertoar norma' yang dipilih oleh penggugat dan hakim dalam proses negosiasi solusi di antara mereka tidak menarik. Oleh karena itu dia prihatin dengan menyangkal apa yang dia sebut "skeptisisme aturan" di pihak mereka. Dia mencatat bahwa konsep adat umumnya menunjukkan perilaku konvergen, tetapi tidak semua adat memiliki kekuatan hukum. Oleh karena itu Hund menarik dari analisis Hart yang membedakan aturan sosial, yang memiliki aspek internal dan eksternal, dari kebiasaan, yang hanya memiliki aspek eksternal. Aspek internal adalah sikap reflektif dari penganutnya terhadap perilaku tertentu yang dianggap wajib, menurut standar umum. Aspek eksternal terwujud dalam perilaku yang teratur dan dapat diamati, tetapi tidak wajib. Dalam analisis Hart, maka aturan-aturan sosial adalah adat yang memiliki kekuatan hukum melalui Organisasi adat Kerajaan atau Kesultanan yang direkomendasikan oleh Sultan/Raja yang memiliki sejarah, Wilayah, Pusat pemerintahan adat, struktur Istana atau Gedung, dan diakui oleh Rakyatnya serta budayanya masih berjalan dan dipertahankan hingga saat ini.
 
=== Kodifikasi ===
[[Mohammad Koesnoe|Prof. Dr. Mohammad Koesnoe, S.H.]] di dalam bukunya mengatakan bahwa istilah Hukum Adat telah dipergunakan seorang Ulama [[Aceh]]<ref>[[Mohammad Koesnoe|Prof. Dr. Mohammad Koesnoe, S.H.]] Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum</ref> yang bernama [[Syekh Jalaluddin|Syekh Jalaluddin bin Syekh Muhammad Kamaluddin Tursani]] (Aceh Besar) pada tahun 1630.<ref>[[Syekh Jalaluddin|Syekh Jalaluddin bin Syekh Muhammad Kamaluddin Tursani]]. ''Safinatul Hukaam Fi Tahlisil Khasam'' (Bahtera Segala Hakim dalam Menyelesaikan Segala Orang Berkesumat/Bersengketa)</ref> [[A. Hasymi|Prof. A. Hasymi]] menyatakan bahwa buku tersebut (karangan Syekh Jalaluddin) merupakan buku yang mempunyai suatu nilai tinggi dalam bidang hukum yang baik.
Kodifikasi hukum perdata modern berkembang dari tradisi adat abad pertengahan, kumpulan hukum adat lokal yang berkembang dalam yurisdiksi manorial atau borough tertentu, dan perlahan-lahan disatukan terutama dari hukum kasus perdata dan pidana serta kemudian ditulis oleh ahli hukum lokal, Engineering ilmu [[teknik sipil]] profesi dimana di dalamnya pengetahuan matematika dan ilmu alam yang diperoleh melalui pendidikan, pengalaman, dalam praktek, diaplikasikan dengan semestinya untuk menemukan cara-cara yang ekonomis dalam memanfaatkan bahan-bahan dan kemampuan alam demi kemaslahatan umat manusia. Adat istiadat memperbolehkan kekuatan hukum ketika mereka menjadi aturan tak terbantahkan dimana hak, hak, dan kewajiban tertentu diatur antara anggota masyarakat<ref>In ''R. v Secretary of State For Foreign and Commonwealth Affairs'', [1982] 2 All E.R. 118, [[Lord Denning]] said "These customary laws are not written down. They are handed down by tradition from one generation to another. Yet beyond doubt they are well established and have the force of law within the community."</ref>.
 
== PerdebatanManfaat Definisidan Pentingnya Hukum Adat ==
Hukum adat sebagai hukum yang lahirnya dari kepribadian bangsa Indonesia sudah jelas sangat penting bagi bangsa Indonesia itu sendiri. Selain itu juga penting bagi pembentukan hukum nasional di Republik Indonesia. Manfaat hukum adat adalah:
Menurut [[Kamus Besar Bahasa Indonesia]], adat adalah aturan (perbuatan dsb) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala; cara (kelakuan dsb) yang sudah menjadi kebiasaan; wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem. Karena istilah Adat yang telah diserap kedalam Bahasa Indonesia menjadi kebiasaan, maka istilah hukum adat dapat disamakan dengan [[hukum kebiasaan]].<ref>H. Noor Ipansyah Jastan, S.H. dan Indah Ramadhansyah. ''Hukum Adat''. Hal. 15.</ref>
# Untuk memahami adat dan budaya hukum Indonesia
# Dengan adanya hukum adat maka kita dapat mengetahui hukum adat yang mana yang dapat mendekati keseragaman yang dapat diberlakukan sebagai hukum nasional.
# Hukum adat sebagai hukum yang lahir dari kepribadian bangsa Indonesia sendiri tentu terus dipertahankan sebagai hukum positif masyarakat.
 
Dengan demikian hukum adat mampu dijadikan sebagai sumber patokan atau tolak ukur dalam mempelajari dan mengembangkan hukum Negara Republik Indonesia masyarakat penganutnya<ref name="uins"/>.
Namun menurut [[Van Dijk]], kurang tepat bila hukum adat diartikan sebagai [[hukum kebiasaan]].<ref name="ReferenceA">.</ref> Menurutnya [[hukum kebiasaan]] adalah kompleks peraturan hukum yang timbul karena kebiasaan berarti demikian lamanya orang bisa bertingkah laku menurut suatu cara tertentu sehingga lahir suatu peraturan yang diterima dan juga diinginkan oleh masyarakat. Jadi, menurut [[Van Dijk]], hukum adat dan [[hukum kebiasaan]] itu memiliki perbedaan.
 
Sedangkan menurut [[Soejono Soekanto]], hukum adat hakikatnya merupakan hukum kebiasaan, namun kebiasaan yang mempunyai akibat hukum (''das sein das sollen'').<ref name="ReferenceA"/> Berbeda dengan kebiasaan (dalam arti biasa), kebiasaan yang merupakan penerapan dari hukum adat adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dalam bentuk yang sama menuju kepada <!-- Bantu untuk menerjemahkannya -->''Rechtsvaardige Ordening Der Semenleving''.<!-- Bantu untuk menerjemahkannya -->
 
Menurut [[Ter Haar]] yang terkenal dengan teorinya ''Beslissingenleer'' (teori keputusan)<ref name="ReferenceA"/> mengungkapkan bahwa hukum adat mencakup seluruh peraturan-peraturan yang menjelma di dalam keputusan-keputusan para pejabat hukum yang mempunyai kewibawaan dan pengaruh, serta di dalam pelaksanaannya berlaku secara serta merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati oleh mereka yang diatur oleh keputusan tersebut. Keputusan tersebut dapat berupa sebuah persengketaan, akan tetapi juga diambil berdasarkan kerukunan dan musyawarah. Dalam tulisannya [[Ter Haar]] juga menyatakan bahwa hukum adat dapat timbul dari keputusan warga masyarakat.
 
[[Syekh Jalaluddin]]<ref>[[Syekh Jalaluddin]]. ''Safinatul Hukam fi Tahlisil Khasam''</ref> menjelaskan bahwa hukum adat pertama-tama merupakan persambungan tali antara dulu dengan kemudian, pada pihak adanya atau tiadanya yang dilihat dari hal yang dilakukan berulang-ulang. Hukum adat tidak terletak pada peristiwa tersebut melainkan pada apa yang tidak tertulis di belakang peristiwa tersebut, sedang yang tidak tertulis itu adalah ketentuan keharusan yang berada di belakang fakta-fakta yang menuntuk bertautnya suatu peristiwa dengan peristiwa lain.
 
== Definisi Hukum Adat ==
=== Menurut Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven ===
Menurut [[Cornelis van Vollenhoven|Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven]], hukum adat adalah ''keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (hukum) dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasi (adat).'' Tingkah laku positif memiliki makna hukum yang dinyatakan berlaku di sini dan sekarang. Sedangkan sanksi yang dimaksud adalah reaksi (konsekuensi) dari pihak lain atas suatu pelanggaran terhadap norma (hukum). Sedang kodifikasi dapat berarti sebagai berikut.
* menurut [[Kamus Besar Bahasa Indonesia]] kodifikasi berarti himpunan berbagai peraturan menjadi undang-undang; atau hal penyusunan kitab perundang-undangan; atau penggolongan hukum dan undang-undang berdasarkan asas-asas tertentu dl buku undang-undang yang baku.
* menurut [[Djojodigoeno|Prof. Djojodigoeno]] kodifikasi adalah pembukuan secara sistematis suatu daerah / lapangan bidang [[hukum]] tertentu sebagai kesatuan secara bulat (semua bagian diatur), lengkap (diatur segala unsurnya) dan tuntas (diatur semua soal yang mungkin terjadi).
 
=== Ter Haar ===
[[Ter Haar]] membuat dua perumusan yang menunjukkan perubahan pendapatnya tentang apa yang dinamakan hukum adat.
 
Hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan warga masyarakat hukum adat, terutama keputusan yang berwibawa dari kepala-kepala rakyat (kepala adat) yang membantu pelaksanaan-pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum, atau dalam hal pertentangan kepentingan keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan tersebut karena kesewenangan atau kurang pengertian tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan senapas dan seirama dengan kesadaran tersebut, diterima, diakui atau setidaknya tidak-tidaknya ditoleransi.<ref>[[Ter Haar]]. ''Peradilan Lanraad berdasarkan Hukum Tak Tertulis''. Dalam pidato Dies Natalies. 1930.</ref>
 
Hukum adat yang berlaku tersebut hanya dapat diketahui dan dilihat dalam bentuk keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (kekuasaan tidak terbatas pada dua kekuasaan saja, eksekutif dan yudikatif) tersebut. Keputusan tersebut tidak hanya keputusan mengenai suatu sengketa yang resmi tetapi juga di luar itu didasarkan pada musyawarah (kerukunan). Keputusan ini diambil berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam rohani dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota persekutuan tersebut.<ref>[[Ter Haar]].
 
''Hukum Adat Hindia Belanda di dalam Ilmu, praktik dan pengajaran Hukum Adat itu dengan mengabaikan bagian-bagiannya yang tertulis dan keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan fungsionaris hukum yang mempunyai wibawa serta pengaruh dan dalam pelaksanaannya berlaku serta merta dan dipatuhi sepenuh hati''. Dalam orasi. 1937.</ref>
 
<!--
=== Soepomo ===
=== Soekanto ===
=== Hazairin ===
=== Roelof van Dijk ===
=== Mr. J.H.P. Bellefroid ===
=== Surojo Wignjodipuro ===
=== Prof. M.M.Djojodigoeno, S.H. ===
=== Prof. Kusumadi Pudjosewoyo ===
=== Soeripto ===
=== Hardjito Natopuro ===
=== Bushar Muhammad ===
=== Rumusan dalam Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional<ref>Dalam Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional di Yogyakarta pada tahun 1975</ref> ===
-->
 
== Lingkungan Hukum Adat ==
[[Cornelis van Vollenhoven|Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven]] membagi [[Indonesia]] menjadi 19 lingkungan hukum adat (''rechtsringen''). Satu daerah yang garis-garis besar, corak dan sifat hukum adatnya seragam disebutnya sebagai ''rechtskring''. Setiap lingkungan hukum adat tersebut dibagi lagi dalam beberapa bagian yang disebut [[Kukuban Hukum]] (''Rechtsgouw''). Lingkungan hukum adat tersebut adalah sebagai berikut.
# Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Semeuleu)
# Tanah Gayo, Alas dan Batak
## Tanah Gayo (Gayo lueus)
## Tanah Alas
## Tanah Batak (Tapanuli)
### Tapanuli Utara; Batak Pakpak (Barus), Batak karo, Batak Simelungun, Batak Toba (Samosir, Balige, Laguboti, Lumbun Julu)
### Tapanuli Selatan; Padang Lawas (Tano Sepanjang), Angkola, Mandailing (Sayurmatinggi)
### Nias (Nias Selatan)
# Tanah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah Datar, Limapuluh Kota, tanah Kampar, Kerinci)
# Mentawai (Orang Pagai)
# Sumatra Selatan
## Bengkulu (Renjang)
## Lampung (Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedingtataan, Tulang Bawang)
## Palembang (Anak lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah, Semendo)
## Jambi (Batin dan Penghulu)
## Enggano
# Tanah Melayu (Lingga-Riau, Indragiri, Sumatra Timur, Orang Banjar)
# Bangka dan Belitung
# kalimantan (Dayak Kalimantan Barat, Kapuas, Hulu, Pasir, Dayak, Kenya, Dayak Klemanten, Dayak Landak, Dayak Tayan, Dayak Lawangan, Lepo Alim, Lepo Timei, Long Glatt, Dayat Maanyan, Dayak Maanyan Siung, Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak Penyambung Punan)
# Gorontalo (Bolaang Mongondow, Suwawa, Boilohuto, Paguyaman)
# Tanah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawali, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kep. Banggai)
# Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar, Makasar, Selayar, Muna)
# Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Kao, Tobelo, Kep. Sula)
# Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Kep. Uliasar, Saparua, Buru, Seram, Kep. Kei, Kep. Aru, Kisar)
# Irian
# Kep. Timor (Kepulauan Timor, Timor, Timor Tengah, Mollo, Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Roti, Sayu Bima)
# Bali dan Lombok (Bali Tanganan-Pagrisingan, Kastala, Karrang Asem, Buleleng, Jembrana, Lombok, Sumbawa)
# Jawa Pusat, Jawa Timur serta Madura (Jawa Pusat, Kedu, Purworejo, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura)
# Daerah Kerajaan (Surakarta, Yogyakarta)
# Jawa Barat (Priangan, Sunda, Jakarta, Banten)<ref>H. Noor Ipansyah Jastan, S.H. dan Indah Ramadhansyah. ''Hukum Adat''. Hal. 76-78. (disadur dari [[Cornelis van Vollenhoven|Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven]])</ref>
 
=== Penegak hukum adat ===
Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera.
 
=== Aneka Hukum Adat ===
Hukum Adat berbeda di tiap daerah karena pengaruh
# Agama: Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya: di Pulau Jawa dan Bali dipengaruhi agama Hindu, Di Aceh dipengaruhi Agama Islam, Di Ambon dan Maluku dipengaruhi agama Kristen.
# Kerajaan seperti antara lain: Sriwijaya, Airlangga, Majapahit.
# Masuknya bangsa-bangsa Arab, China, Eropa.
 
=== Pengakuan Adat oleh Hukum Formal ===
<!-- Komentar -->Mengenai persoalan penegak '''hukum adat''' Indonesia, ini memang sangat [[prinsipil]] karena adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa, dan identitas bagi tiap daerah.
Dalam kasus salah satu adat [[suku Nuaulu]] yang terletak di daerah [[Maluku]] Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah pada saat ritual adat suku tersebut, di mana proses adat itu membutuhkan [[kepala]] manusia sebagai alat atau perangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut.
 
Dalam penjatuhan pidana oleh sala satu Hakim pada [[Perngadilan Negeri]] Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman '''Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28''' hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam penjatuhan putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat.
 
Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal [[24 Juni]] [[1999]], telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak [[Ulayat]] Masyarakat Hukum Adat.
 
Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut [[tanah ulayat]].cvbb
 
Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap "hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat" sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA.
Kebijaksanaan tersebut meliputi:
 
# Penyamaan persepsi mengenai "hak ulayat" (Pasal 1)
# Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).
# Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)
 
Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, di mana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam praktiknya (deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya.
 
Ditinjau secara preskripsi (di mana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah.
 
== Lihat pula ==
* [[Adat]]
* [[Ritual]]
* [[Sakral]]
* [[Masyarakat adat]]
* [[Politik adat]]
* [[Sistem hukum Indonesia]]
* [[Tanah ulayat]]
* [[Hukum adat di Sulawesi Selatan]]
 
== Referensi ==
{{reflist|2}}
 
{{Reflist|30em}}
== Daftar Pustaka ==
{{reflist}}
* Pengantar Hukum Adat Indonesia Edisi II, TARSITO, Bandung.
{{hukum-stub}}
* Hilman H, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju,Bandung.
{{Hukum di Indonesia}}
* Mahadi, 1991, Uraian Singkat Tentang Hukum Adat, Alumni, Bandung.
{{Hukum}}
* Moh. Koesnoe, 1979, Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga University Press.
{{Topik Indonesia}}
* Seminar Hukum Nasional VII, Jakarta, 12 s/d 15 Oktober 1999. Djaren Saragih, 1984
* Soerjo W, 1984, Pengantardan Asas-asas Hukum Adat, P.T. Gunung Agung.
* Soemardi Dedi, SH. Pengantar Hukum Indonesia, IND-HILL-CO Jakarta.
* Soekamto Soerjono, Prof, SH, MA, Purbocaroko Purnadi, Perihal Kaidah Hukum, Citra Aditya Bakti PT, Bandung 1993
* Djamali Abdoel R, SH, Pengantar hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada PT, Jakarta 1993.
* Tim Dosen UI, Buku A Pengantar hukum Indonesia
 
[[Kategori:Hukum]]
[[Kategori:Hukum adat]]
[[Kategori:Hukum di Indonesia]]
[[Kategori:AdatSibernetika manajemen]]