Ilias: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
|||
(22 revisi perantara oleh pengguna yang sama tidak ditampilkan) | |||
Baris 43:
Agaknya ''Ilias'' maupun ''Odiseya'' ditulis dalam [[bahasa Yunani Homeros]], bahasa sastra bauran [[bahasa Yunani Ionia|bahasa Yunani dialek Yonia]] dengan dialek-dialek lainnya, kemungkinan besar sekitar akhir abad ke-8 atau permulaan abad ke-7 Pramasehi. Pada [[zaman Klasik]], jarang sekali ada orang yang meragukan bahwa kedua wiracarita itu adalah hasil karya pujangga Homeros, tetapi dewasa ini para sarjana [[Penyoalan Homeros|pada umumnya menduga]] bahwa ''Ilias'' dan ''Odiseya'' bukanlah hasil karya satu orang pujangga yang sama, dan kisah-kisah yang terangkum di dalamnya merupakan bagian dari suatu [[tradisi lisan]] yang panjang. Wiracarita ini dilantunkan oleh para pelantun syair Homeros profesional yang disebut ''[[rapsoidos]]''.
Pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalam wiracarita ini antara lain adalah ''[[kleos]]'' (kemuliaan), ujub, takdir, dan murka. Sekalipun terkenal lantaran kisah-kisahnya yang tragis dan mencekam, terselip pula kisah-kisah jenaka dan gelak-tawa.<ref name=Bell>Bell, Robert H. "Homer's humor: laughter in the Iliad." hand 1 (2007): 596.</ref> Wiracarita ini kerap disifatkan sebagai wiracarita maskulin atau kegagahberanian, khususnya jika dibandingkan dengan ''Odiseya''. ''Ilias'' dengan cermat menjabarkan perkakas-perkakas perang dan siasat-siasat tempur kuno, serta hanya menampilkan segelintir tokoh perempuan. [[Dua Belas Dewa Olimpus|Dewa-dewi
== Selayang pandang ==
Baris 56:
Akhiles sangat kesal ketika para pesuruh Agamemnon datang mengambil Briseis. Sambil duduk di pantai, ia menyeru ibunya, [[Thetis|Tetis]],<ref>{{cite book|author=Homer|title=The Iliad|page=115|publisher= Norton Books|location= New York}}</ref> agar memohon Dewa [[Zeus]] membuat pihak Akhaya dipojokkan pihak Troya, sehingga Agamemnon sadar bahwa pihak Akhaya membutuhkan Akhiles. Tetis menuruti kemauan anaknya, dan permohonannya dikabulkan Dewa Zeus.
({{Ilias|en|2}}) Melalui mimpi, Dewa Zeus menghasut Agamemnon untuk menyerbu Troya. Agamemnon bertindak mengikuti petunjuk mimpinya, tetapi lebih dulu ingin menguji semangat juang angkatan perang Akhaya dengan menyuruh mereka pulang ke tanah air. Muslihatnya malah menjadi senjata makan tuan, dan hanya berkat campur tangan Odiseus yang diilhami [[Athena (mitologi)|Dewi Atena]] sajalah keberangkatan pulang para pejuang Akhaya dapat dicegah.
Odiseus menghardik dan menghajar [[Tersites]], seorang prajurit biasa yang menyuarakan ketidaksenangannya berjuang bagi Agamemnon. Usai bersantap, para pejuang Akhaya dikerahkan laskar demi laskar ke padang Troya. Sang pujangga memanfaatkan bagian ini untuk menguraikan asal-usul tiap-tiap laskar pejuang Akhaya.
Baris 120:
=== Di dalam ''Ilias'' ===
Di dalam [[Perang Troya]] sastrawi ''Ilias'', [[Dua Belas Dewa Olimpus|dewa-dewi
[[Mary Lefkowitz]] (2003)<ref name=":3" /> membahas relevansi tindakan dewata di dalam ''Ilias'', berusaha menjawab pertanyaan benar tidaknya campur tangan dewata merupakan merupakan kejadian istimewa, atau benar tidaknya perilaku dewata semacam itu hanya sekadar kiasan watak manusia. Minat intelektual para pujangga zaman Klasik, semisal [[Tukidides]] dan [[Plato]]n, terbatas pada kemanfaatannya sebagai "suatu cara untuk membicarakan kehidupan manusia ketimbang sebagai suatu penjabaran atau suatu kebenaran", karena jika dewa-dewi tetap merupakan sosok-sosok keagamaan alih-alih merupakan kiasan watak manusia, maka "keberadaan" mereka—tanpa landasan dogma atau kitab suci—akan memungkinkan budaya Yunani memiliki keluasan intelektual dan kebebasan untuk menyeru dewa-dewi sesuai fungsi religius apa pun yang mereka butuhkan sebagai sebuah bangsa.<ref name=":3">Lefkowitz, Mary (2003). ''Greek Gods, Human Lives: What We Can Learn From Myths''. New Haven, Connecticut: [[Yale University Press]].</ref><ref>[[Oliver Taplin|Taplin, Oliver]] (2003). "Bring Back the Gods". ''[[The New York Times]]'' (14 December).</ref>
Baris 128:
=== Campur tangan dewa-dewi ===
{{see also|Zeus Teperdaya}}
Sejumlah sarjana yakin bahwa dewa-dewi ikut campur dalam urusan dunia fana lantaran adanya cekcok di antara mereka. [[Homeros]] membahasakan dunia pada masa itu dengan menggunakan hasrat dan emosi dewa-dewi sebagai faktor-faktor penentu kejadian-kejadian di tataran umat manusia.<ref name=":0">{{Cite journal|last=Kullmann|first=Wolfgang|date=1985|title=Gods and Men in the Iliad and the Odyssey|journal=Harvard Studies in Classical Philology|volume=89|pages=1–23|doi=10.2307/311265|jstor=311265}}</ref> Salah satu contoh dari hubungan sebab akibat semacam ini di dalam ''Ilias'' adalah cekcok di antara [[Athena (mitologi)|Dewi Atena]], [[Hera|Dewi Hera]], dan Dewi Afrodite. Di dalam parwa pamungkas wiracarita ini, Homeros menulis, "ia membuat Atena dan Hera tersinggung—kedua-dua dewi."<ref name=":1">{{Cite book|last=Homer|title=The Iliad|publisher=Penguin Books|year=1998|location=New York|page=589|translator-last=Fagles|translator-first=Robert|translator-last2=Knox|translator-first2=Bernard}}</ref> Atena dan Hera dengki kepada Afrodite lantaran di dalam sebuah ajang adu cantik di Gunung Olimpus, [[Paris (mitologi)|Paris]] selaku juri memilih Afrodite sebagai dewi tercantik, mengalahkan Hera dan Atena. Wolfgang Kullmann menjelaskan lebih lanjut bahwa, "kekecewaan Hera dan Atena melihat kemenangan Afrodite dalam peristiwa [[Keputusan Paris|Penilaian Paris]] menentukan seluruh polah-tingkah kedua dewi tersebut di dalam ''Ilias'' dan merupakan biang keladi kebencian mereka terhadap Paris, si juri, maupun terhadap kotanya, Troya."<ref name=":0" />
Hera dan
== Tema
=== Takdir ===
[[Takdir]] ({{Lang-el|κήρ}}, ''kēr'', artinya "ketentuan ajal") menggerakkan sebagian besar peristiwa di dalam ''Ilias''. Sekali takdir ditetapkan, dewa-dewi maupun manusia wajib menjalaninya, dan tidak berdaya atau tidak berniat menentangnya. Tidak diketahui bagaimana takdir ditetapkan, yang jelas takdir diungkap para [[Moirai|Moira]] dan [[Zeus]] dengan cara mengirim pertanda kepada para ahli tenung seperti [[Kalkhas]]. Manusia dan dewa-dewi mereka terus-menerus berbicara tentang penerimaan secara perwira dan penghindaran secara pengecut terhadap takdir seseorang.<ref>[http://everything2.com/index.pl?node_id=1375344 Fate as presented in Homer's "The Iliad"], Everything2</ref> Takdir tidak menentukan setiap tindakan, insiden, maupun kejadian, tetapi memang menentukan hasil akhir dari dari jalan hidupnya. Sebelum menewaskan Patroklos, Hektor menyebutnya orang bodoh karena secara pengecut menghindari takdir dengan coba-coba mengalahkannya.{{citation needed|date=November 2016}} Patroklos menjawab dengan kalimat berikut ini:
Baris 180:
</blockquote>
Dengan bantuan ilahi, Aineias luput dari angkara murka Akhiles dan selamat menyintasi Perang Troya. Entah mampu atau tidak mampu mengubah takdir, yang jelas dewa-dewi menuruti ketentuan takdir, sekalipun merugikan insan-insan kesayangan mereka. Jadi asal-usul takdir yang misterius itu adalah suatu kuasa yang mengatasi dewa-dewi. Takdir menentukan kekuasaan atas dunia terbelah tiga apabila Zeus, Poseidon, dan Hades menggulingkan [[Kronos]], ayah mereka. Zeus menguasai udara dan angkasa, Poseidon menguasai perairan, dan Hades menguasai [[dunia bawah Yunani|pratala]], dunia orang mati, tetapi ketiganya bersama-sama berdaulat atas dunia. Meskipun dewa-dewi
=== Ketenaran ===
Baris 336:
</blockquote>
Hambatan terbesar dalam usaha memastikan adanya tautan antara pertempuran di dalam ''Ilias'' dengan tata cara berperang bangsa Yunani kemudian hari adalah falangs, atau hoplites, yakni tata cara berperang yang tampak di dalam sejarah bangsa Yunani lama sesudah Homeros menulis ''Ilias''.
Salah satu contohnya adalah kisah 300 wira pilihan [[Sparta]] yang bertempur melawan 300 wira pilihan [[Argos (kota)|Argos]]. Di dalam pertempuran para petarung unggulan ini, hanya dua orang yang tersisa di pihak Argos dan satu orang yang tersisa di pihak Sparta. Otriades, wira Sparta yang tersisa, undur kembali ke dalam barisan pasukan Sparta dengan sekujur tubuh terluka parah, sementara dua wira Argos yang tersisa langsung pulang ke Argos untuk mewartakan kemenangan mereka. Oleh sebab itu Sparta mendaku sebagai pemenang, karena wira terakhir mereka menunjukkan kegagahberanian yang paripurna dengan bertahan pada posisinya di dalam byuha falangs.<ref>{{Anabasis|6|5|17}}</ref>
Di ranah ideologi para panglima dalam sejarah Yunani kemudian hari, ''Ilias'' memiliki efek yang menarik. ''Ilias'' mengekspresikan ketidaksukaan mutlak terhadap pemakaian tipu muslihat dalam berperang, ketika Hektor berkata, sebelum menantang Ayas Agung:
<blockquote>
Meskipun ada contoh-contoh ketidaksukaan terhadap tipu muslihat tempur, ada alasan untuk meyakini bahwa ''Ilias'', maupun tata cara berperang Yunani kemudian hari, mengedepankan kepiawaian para panglima dalam menyusun taktik. Sebagai contoh, ada banyak bagian di dalam ''Ilias'' yang mengisahkan para panglima semisal Agamemnon atau Nestor mendiskusikan pengaturan pasukan supaya menguntungkan pihaknya. Perang Troya malah dimenangkan dengan tipu daya orang Akhaya yang termasyhur, yakni muslihat [[Kuda Troya]]. Fakta ini bahkan belakangan dirujuk Homeros di dalam ''Odiseya''. Dalam kasus ini, keterkaitan antara kiat tipu daya orang Akhaya dan orang Troya di dalam ''Ilias'' dengan kiat tipu muslihat bangsa Yunani kemudian hari tidaklah sukar untuk ditemukan. Para panglima Sparta, yang kerap dipandang sebagai puncak kedigdayaan militer bangsa Yunani, dikenal karena tipu dayanya, dan bagi mereka, kemampuan merancang tipu muslihat merupakan kemampuan yang diharapkan dimiliki oleh seorang panglima. Malah jenis kepemimpinan seperti inilah yang merupakan anjuran standar para sastrawan kiat perang Yunani.<ref name=":6" />{{Rp|240}}
Pada akhirnya, meskipun pertempuran ala sastra Homeros (atau pertempuran ala wiracarita) sudah pasti tidak sepenuhnya tereplikasi dalam tata cata perang bangsa Yunani yang terjadi kemudian hari, banyak di antara nilai-nilai luhur,
Menurut Hans van Wees, kurun waktu yang berkaitan dengan riwayat peperangan tersebut dapat ditentukan secara spesifik, yaitu pada paro pertama abad ke-7 Pramasehi.<ref>Van Wees, Hans. ''Greek Warfare: Myth and Realities.'' hlm. 249.</ref>
==
{{Main|Perang Troya dalam budaya populer}}
''Ilias'' sudah dihargai sebagai salah satu karya sastra standar yang sangat penting pada zaman [[Yunani Klasik]] dan masih terus dihargai pada zaman [[periode Hellenistik|Helenistis]] dan zaman [[Kekaisaran Romawi Timur]]. Para penulis naskah drama sangat gemar menggarap subjek-subjek dari Perang Troya.
[[William Shakespeare]] memanfaatkan alur cerita ''Ilias'' sebagai materi sumber bagi sandiwara karangannya, ''[[Troilus dan Kresida]]'', tetapi
[[William Theed
Di dalam puisinya yang berjudul ''Development'', [[Robert Browning]] menuturkan perkenalannya dengan cerita-cerita ''Ilias'' saat masih kanak-kanak, kesukaannya terhadap wiracarita itu, maupun debat-debat seputar jati diri penulis ''Ilias'' yang berlangsung pada zamannya.
Menurut [[Sulaiman Albustani]], pujangga abad ke-19 yang pertama kali menerjemahkan ''Ilias'' ke dalam bahasa Arab, wiracarita ini mungkin sudah beredar luas dalam versi terjemahan [[
=== Di bidang kesenian pada abad ke-20 ===
Baris 370:
* ''[[The Golden Apple (teater musikal)|The Golden Apple]]'', [[teater musikal|teater musikal Broadway]] tahun 1954, karya penulis naskah [[John Treville Latouche]] dan komponis [[Jerome Moross]], adalah hasil adaptasi bebas wiracarita ''Ilias'' dan ''Odiseia'', dengan mengganti latar peristiwanya dengan negara bagian [[Washington]] di [[Amerika Serikat]] pada masa [[Perang Spanyol-Amerika]]. Babak pertama menampilkan adegan-adegan yang terinspirasi wiracarita ''Ilias'', sementara adegan-adegan yang terinspirasi wiracarita ''Odiseia'' ditampilkan pada babak ke-2.
* ''[[King Priam]]'', opera karya Sir [[Michael Tippett]] yang pertama kali dipentaskan pada tahun 1962 didasarkan atas wiracarita ''Ilias''.
* ''[[War Music (puisi)|War Music]]'', puisi karangan [[Christopher Logue]], merupakan "penjelasan", bukan terjemahan, dari ''Ilias'', mulai digubah atas pesanan pada tahun 1959 untuk sebuah acara radio. Puisi ini terus ia kembangkan sampai akhir hayatnya pada tahun 2011. Puisi yang disebut [[Tom Holland (penulis)|Tom Holland]] sebagai "karya luar biasa dari khazanah sastra
* ''[[Cassandra (novel)|Cassandra]]'' (terbit tahun 1983), novel karangan [[Christa Wolf]], adalah suatu pendekatan kritis terhadap ''Ilias''. Kasandra dijadikan Wolf sebagai narator, karena pandangan-pandangan yang terbersit di dalam benaknyalah yang dituturkan tepat sebelum ia tewas dibunuh Klitemnestra di Sparta. Narator Wolf menghadirkan pandangan feminis terhadap perang itu, maupun terhadap perang pada umumnya. Penuturan Kasandra ditambah dengan empat esai yang disampaikan Wolf di forum Frankfurter Poetik-Vorlesungen. Esai-esai tersebut menyajikan keprihatinan selaku seorang penulis dan orang yang menulis ulang wiracarita ''Ilias'' yang sudah baku itu, serta menampakkan awal mula penulisan novel tersebut melalui pembacaan-pembacaan dari sudut pandang Wolf sendiri dan dalam perjalanannya ke Yunani.
* ''[[Men in Aida]]'' karya [[David Melnick]] (''bdk.'' μῆνιν ἄειδε) (terbit tahun 1983) adalah [[terjemahan homofonis]] [[sastra pascamodern|pascamodern]] dari parwa pertama ''Ilias'' ke dalam suatu skenario rumah pemandian yang penuh dengan guyonan kosong. Bunyi-bunyinya dipertahankan tetapi makna aslinya hilang.
|