Ilias: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
|||
(10 revisi perantara oleh pengguna yang sama tidak ditampilkan) | |||
Baris 56:
Akhiles sangat kesal ketika para pesuruh Agamemnon datang mengambil Briseis. Sambil duduk di pantai, ia menyeru ibunya, [[Thetis|Tetis]],<ref>{{cite book|author=Homer|title=The Iliad|page=115|publisher= Norton Books|location= New York}}</ref> agar memohon Dewa [[Zeus]] membuat pihak Akhaya dipojokkan pihak Troya, sehingga Agamemnon sadar bahwa pihak Akhaya membutuhkan Akhiles. Tetis menuruti kemauan anaknya, dan permohonannya dikabulkan Dewa Zeus.
({{Ilias|en|2}}) Melalui mimpi, Dewa Zeus menghasut Agamemnon untuk menyerbu Troya. Agamemnon bertindak mengikuti petunjuk mimpinya, tetapi lebih dulu ingin menguji semangat juang angkatan perang Akhaya dengan menyuruh mereka pulang ke tanah air. Muslihatnya malah menjadi senjata makan tuan, dan hanya berkat campur tangan Odiseus yang diilhami [[Athena (mitologi)|Dewi Atena]] sajalah keberangkatan pulang para pejuang Akhaya dapat dicegah.
Odiseus menghardik dan menghajar [[Tersites]], seorang prajurit biasa yang menyuarakan ketidaksenangannya berjuang bagi Agamemnon. Usai bersantap, para pejuang Akhaya dikerahkan laskar demi laskar ke padang Troya. Sang pujangga memanfaatkan bagian ini untuk menguraikan asal-usul tiap-tiap laskar pejuang Akhaya.
Baris 120:
=== Di dalam ''Ilias'' ===
Di dalam [[Perang Troya]] sastrawi ''Ilias'', [[Dua Belas Dewa Olimpus|dewa-dewi Olimpus maupun dewa-dewi rendahan]] saling bertarung dan menceburi kancah peperangan manusia, sering kali dengan cara mencampuri urusan manusia guna melawan dewa-dewi lain. Berbeda dari penggambaran dewa-dewi di dalam ajaran agama bangsa Yunani, Homeros menyajikan penggambaran dewa-dewi yang sejalan dengan tujuan penceritaannya. Dewa-dewi di dalam fikrah tradisional orang
[[Mary Lefkowitz]] (2003)<ref name=":3" /> membahas relevansi tindakan dewata di dalam ''Ilias'', berusaha menjawab pertanyaan benar tidaknya campur tangan dewata merupakan merupakan kejadian istimewa, atau benar tidaknya perilaku dewata semacam itu hanya sekadar kiasan watak manusia. Minat intelektual para pujangga zaman Klasik, semisal [[Tukidides]] dan [[Plato]]n, terbatas pada kemanfaatannya sebagai "suatu cara untuk membicarakan kehidupan manusia ketimbang sebagai suatu penjabaran atau suatu kebenaran", karena jika dewa-dewi tetap merupakan sosok-sosok keagamaan alih-alih merupakan kiasan watak manusia, maka "keberadaan" mereka—tanpa landasan dogma atau kitab suci—akan memungkinkan budaya Yunani memiliki keluasan intelektual dan kebebasan untuk menyeru dewa-dewi sesuai fungsi religius apa pun yang mereka butuhkan sebagai sebuah bangsa.<ref name=":3">Lefkowitz, Mary (2003). ''Greek Gods, Human Lives: What We Can Learn From Myths''. New Haven, Connecticut: [[Yale University Press]].</ref><ref>[[Oliver Taplin|Taplin, Oliver]] (2003). "Bring Back the Gods". ''[[The New York Times]]'' (14 December).</ref>
Baris 128:
=== Campur tangan dewa-dewi ===
{{see also|Zeus Teperdaya}}
Sejumlah sarjana yakin bahwa dewa-dewi ikut campur dalam urusan dunia fana lantaran adanya cekcok di antara mereka. [[Homeros]] membahasakan dunia pada masa itu dengan menggunakan hasrat dan emosi dewa-dewi sebagai faktor-faktor penentu kejadian-kejadian di tataran umat manusia.<ref name=":0">{{Cite journal|last=Kullmann|first=Wolfgang|date=1985|title=Gods and Men in the Iliad and the Odyssey|journal=Harvard Studies in Classical Philology|volume=89|pages=1–23|doi=10.2307/311265|jstor=311265}}</ref> Salah satu contoh dari hubungan sebab akibat semacam ini di dalam ''Ilias'' adalah cekcok di antara [[Athena (mitologi)|Dewi Atena]], [[Hera|Dewi Hera]], dan Dewi Afrodite. Di dalam parwa pamungkas wiracarita ini, Homeros menulis, "ia membuat Atena dan Hera tersinggung—kedua-dua dewi."<ref name=":1">{{Cite book|last=Homer|title=The Iliad|publisher=Penguin Books|year=1998|location=New York|page=589|translator-last=Fagles|translator-first=Robert|translator-last2=Knox|translator-first2=Bernard}}</ref> Atena dan Hera dengki kepada Afrodite lantaran di dalam sebuah ajang adu cantik di Gunung Olimpus, [[Paris (mitologi)|Paris]] selaku juri memilih Afrodite sebagai dewi tercantik, mengalahkan Hera dan Atena. Wolfgang Kullmann menjelaskan lebih lanjut bahwa, "kekecewaan Hera dan Atena melihat kemenangan Afrodite dalam peristiwa [[Keputusan Paris|Penilaian Paris]] menentukan seluruh polah-tingkah kedua dewi tersebut di dalam ''Ilias'' dan merupakan biang keladi kebencian mereka terhadap Paris, si juri, maupun terhadap kotanya, Troya."<ref name=":0" />
Hera dan
== Tema ==
Baris 350:
Menurut Hans van Wees, kurun waktu yang berkaitan dengan riwayat peperangan tersebut dapat ditentukan secara spesifik, yaitu pada paro pertama abad ke-7 Pramasehi.<ref>Van Wees, Hans. ''Greek Warfare: Myth and Realities.'' hlm. 249.</ref>
==
{{Main|Perang Troya dalam budaya populer}}
''Ilias'' sudah dihargai sebagai salah satu karya sastra standar yang sangat penting pada zaman [[Yunani Klasik]] dan masih terus dihargai pada zaman [[periode Hellenistik|Helenistis]] dan zaman [[Kekaisaran Romawi Timur]]. Para penulis naskah drama sangat gemar menggarap subjek-subjek dari Perang Troya. Trilogi gubahan [[Aiskhilos]], yakni ''[[Oresteya]]'', yang terdiri atas ''Agamemnon'', ''Para Pembawa Persembahan Curah'', dan ''Emenides'', mengisahkan perjalanan hidup Agamemnon sepulangnya dari medan perang.
[[William Shakespeare]] memanfaatkan alur cerita ''Ilias'' sebagai materi sumber bagi sandiwara karangannya, ''[[Troilus dan Kresida]]'', tetapi
[[William Theed
Di dalam puisinya yang berjudul ''Development'', [[Robert Browning]] menuturkan perkenalannya dengan cerita-cerita ''Ilias'' saat masih kanak-kanak, kesukaannya terhadap wiracarita itu, maupun debat-debat seputar jati diri penulis ''Ilias'' yang berlangsung pada zamannya.
Menurut [[Sulaiman Albustani]], pujangga abad ke-19 yang pertama kali menerjemahkan ''Ilias'' ke dalam bahasa Arab, wiracarita ini mungkin sudah beredar luas dalam versi terjemahan [[
=== Di bidang kesenian pada abad ke-20 ===
Baris 370:
* ''[[The Golden Apple (teater musikal)|The Golden Apple]]'', [[teater musikal|teater musikal Broadway]] tahun 1954, karya penulis naskah [[John Treville Latouche]] dan komponis [[Jerome Moross]], adalah hasil adaptasi bebas wiracarita ''Ilias'' dan ''Odiseia'', dengan mengganti latar peristiwanya dengan negara bagian [[Washington]] di [[Amerika Serikat]] pada masa [[Perang Spanyol-Amerika]]. Babak pertama menampilkan adegan-adegan yang terinspirasi wiracarita ''Ilias'', sementara adegan-adegan yang terinspirasi wiracarita ''Odiseia'' ditampilkan pada babak ke-2.
* ''[[King Priam]]'', opera karya Sir [[Michael Tippett]] yang pertama kali dipentaskan pada tahun 1962 didasarkan atas wiracarita ''Ilias''.
* ''[[War Music (puisi)|War Music]]'', puisi karangan [[Christopher Logue]], merupakan "penjelasan", bukan terjemahan, dari ''Ilias'', mulai digubah atas pesanan pada tahun 1959 untuk sebuah acara radio. Puisi ini terus ia kembangkan sampai akhir hayatnya pada tahun 2011. Puisi yang disebut [[Tom Holland (penulis)|Tom Holland]] sebagai "karya luar biasa dari khazanah sastra
* ''[[Cassandra (novel)|Cassandra]]'' (terbit tahun 1983), novel karangan [[Christa Wolf]], adalah suatu pendekatan kritis terhadap ''Ilias''. Kasandra dijadikan Wolf sebagai narator, karena pandangan-pandangan yang terbersit di dalam benaknyalah yang dituturkan tepat sebelum ia tewas dibunuh Klitemnestra di Sparta. Narator Wolf menghadirkan pandangan feminis terhadap perang itu, maupun terhadap perang pada umumnya. Penuturan Kasandra ditambah dengan empat esai yang disampaikan Wolf di forum Frankfurter Poetik-Vorlesungen. Esai-esai tersebut menyajikan keprihatinan selaku seorang penulis dan orang yang menulis ulang wiracarita ''Ilias'' yang sudah baku itu, serta menampakkan awal mula penulisan novel tersebut melalui pembacaan-pembacaan dari sudut pandang Wolf sendiri dan dalam perjalanannya ke Yunani.
* ''[[Men in Aida]]'' karya [[David Melnick]] (''bdk.'' μῆνιν ἄειδε) (terbit tahun 1983) adalah [[terjemahan homofonis]] [[sastra pascamodern|pascamodern]] dari parwa pertama ''Ilias'' ke dalam suatu skenario rumah pemandian yang penuh dengan guyonan kosong. Bunyi-bunyinya dipertahankan tetapi makna aslinya hilang.
|