Politik identitas: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Mangkubudi (bicara | kontrib) ←Membuat halaman berisi ''''Identitas''' merupakan basis utama perekat kolektivitas manusia. Identitas dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrim, yang bertujuan untuk mendapat dukungan...' |
Merapikan Paragraf dan Menambahkan isi Tag: kemungkinan perlu pemeriksaan terjemahan VisualEditor |
||
(26 revisi perantara oleh 21 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
'''
Pandangan politik identitas menurut Abdillah (2002) merupakan politik yang fokus utama kajian dan permasalahannya menyangkut perbedaan-perbedaan yang didasarkan atas asumsi-asumsi fisik tubuh, politik etnisitas atau [[primordialisme]], dan pertentangan agama, kepercayaan, atau bahasa.<ref>Maarif, Ahmad Syafii. 2012. Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita. Jakarta: Democracy Project.</ref> Sedangkan menurut Richard Jenkins (2008) menjelaskan bahwa identitas adalah kapasitas manusia untuk mengetahui siapa dirinya. Ini melibatkan ihwal mengetahui siapa kita, mengetahui siapa orang lain, orang lain mengetahui siapa kita, kita mengetahui bagaimana orang lain berpikir tentang kita, dan sebagainya sebuah klasifikasi multi-dimensional atau pemetaan dunia manusia dan tempat kita di dalamnya, sebagai individu dan anggota kolektivitas.
Politik identitas hadir sebagai narasi resisten kelompok terpinggirkan akibat kegagalan narasi arus utama mengakomodir kepentingan minoritas; secara positif, politik identitas menghadirkan wahana mediasi penyuaraan aspirasi bagi yang tertindas. Fitur dikotomi oposisional menjadi fondasi utama yang membedakan perasaan kolektivitas ke-kita-an terhadap yang lain. Tetapi kenyataannya, pada tataran individual pada era modernisasi yang serba mekanik, muncul ‘kegagapan’ untuk memahami struktur masyarakat yang plural, maka intoleransi semakin meningkat. Pendeknya, terjadi ketidaksesuaian imajinasi sosial tentang kehidupan sehari-hari manusia modern dan interaksinya dengan masyarakat umum. Politik identitas dianggap sebagai senjata yang kuat oleh elit politik untuk menurunkan popularitas dan keterpilihan rival politik mereka atau upaya untuk mendapatkan dukungan politik dari publik.
Isu etnis dan agama adalah dua hal yang selalu masuk dalam agenda politik identitas para elit di [[Indonesia]], terutama kondisi masyarakat Indonesia di mana suasana [[primordialisme]] dan [[sektarianisme]] masih cukup kuat sehingga sangat mudah untuk memenangkan simpati publik, memicu kemarahan dan sentimen massa dengan menyebarkan isu-isu etnis, [[agama]] dan kelompok tertentu<ref>{{Cite journal|last=Suherman|first=Ansar|last2=Putra|first2=Muhammad Rizal Ardiansah|last3=Mansur|date=2020-05-04|title=Identity Politic Contestation in the Public Sphere: A Steep Road of Democracy in Indonesia|url=https://www.atlantis-press.com/proceedings/bis-hess-19/125939545|language=en|publisher=Atlantis Press|pages=227–230|doi=10.2991/assehr.k.200529.046|isbn=978-94-6252-961-8}}</ref> Pada akhir - akkhir ini politik identitas muncul dalam banyak rupanya mulai dari feminisme di eropa gerakan proletar di Amerika Latin, gerakan anti-apartheid di Afrika, pergolakan zionisme vis a vis pengakuan bangsa Palestina, gerakan summer spring di Timur Tengah, dorongan pemekaran wilayah berasas etnis atau suku hingga gerakan separatisme di negara kita adalah wajah-wajah dari politik identitas. Begitu luasnya spektrum politik identitas, dari otoritarian hingga demokrasi, dari kesetaraan hingga keberpihakan, dari modern hingga kearifan lokal, dari negara bangsa hingga negara agama.
==Lihat pula==
*[[Ad hominem]]
*[[Agent provocateur]]
*[[Bendera palsu]]
*[[Ikan haring merah]]
*[[Kampanye hitam]]
*[[Pemilihan umum Gubernur DKI Jakarta 2017]]
*[[Peperangan psikologis]]
*[[Politik pecah belah]]
*[[Taktik salami]]
*[[Ucapan kebencian]]
== Referensi ==
{{Reflist}}
[[Kategori:Politik]]
|