Aksara Jawa: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
(11 revisi perantara oleh 7 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 3:
|name=Aksara Jawa
|altname=ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ
|type=[[
|languages=[[Bahasa Jawa|Jawa]]
|fam1={{hipotesis abjad aram-brahmi}}{{efn|name=fn1}}
|fam2=[[Aksara Pallawa]]
Baris 40:
|Aksara Jawa digunakan sepanjang periode sastra Jawa modern, dan digunakan di seantero pulau Jawa, di masa ketika komunikasi antarwilayah sering kali sulit dan tidak terdapat dorongan untuk menstandarisasi aksara Jawa. Akibatnya, aksara Jawa memiliki berbagai langgam historis dan kedaerahan yang digunakan silih-berganti seiring waktu. Kemampuan seseorang untuk membaca naskah dluwang dari Demak yang ditulis pada tahun 1700-an, semisal, tidak menjadi jaminan orang yang sama dapat memahami aksara pada naskah lontar dari kaki gunung Merapi (sekitar 80 km dari Demak) yang ditulis pada periode waktu yang sama. Perbedaan yang sangat besar antara langgam-langgam daerah memberikan kesan bahwa "aksara Jawa" adalah sekumpulan aksara, alih-alih sebuah aksara tunggal.
|attr1=Behrend (1996:162)
}} }} Tradisi tulis aksara Jawa terutama terpupuk di lingkungan keraton pada pusat-pusat budaya Jawa seperti [[Yogyakarta]] dan [[Surakarta]], tetapi naskah beraksara Jawa dibuat dan dipakai dalam berbagai lapisan masyarakat dengan intensitas penggunaan yang bervariasi antardaerah. Di daerah [[Jawa Barat]], semisal, aksara Jawa terutama digunakan oleh kaum ningrat Sunda (''[[Menak Sunda|ménak]]'') akibat pengaruh politik [[dinasti Mataram]].{{sfn|Moriyama|1996|pp=166}} Namun begitu, kebanyakan masyarakat Sunda pada periode waktu yang sama lebih umum menggunakan abjad [[Pegon]] yang diadaptasi dari [[abjad Arab]].{{sfn|Moriyama|1996|pp=167}} Sebagian besar tulisan sastra Jawa tradisional dirancang untuk [[macapat|dilantunkan]] dalam bentuk [[tembang]], sehingga teks sastra tidak hanya dinilai dari isi dan susunannya, tetapi juga dari pelantunan dan pembawaan sang pembaca.{{sfn|Behrend|1996|pp=167-169}} Tradisi tulis Jawa juga mengandalkan penyalinan dan penyusunan ulang secara berkala karena media tulis yang rentan terhadap iklim tropis; akibatnya, kebanyakan naskah fisik yang kini tersisa merupakan salinan abad ke-18 atau 19 meski isinya sering kali dapat ditelusuri hingga purwarupa yang beberapa abad lebih tua.{{sfn|Behrend|1996|pp=161-162}}
<!--
Dengan lumrahnya penggunaan aksara Jawa dalam ranah publik, tumbuh pula upaya untuk menstandarisasi ortografi aksara Jawa dari praktek tradisional yang bervariasi. Salah satu upaya ini adalah [[lokakarya]] yang berlangsung di [[Sriwedari]], [[Surakarta]] pada tahun 1926. Lokakarya ini menghasilkan ''Wewaton Sriwedari'' (Ketetapan Sriwedari), yang merupakan salah satu landasan awal standardisasi penulisan aksara Jawa ke depannya.-->
Baris 55:
| caption2 = ''Serat Yusuf'' dalam naskah kertas, koleksi [[Museum Sonobudoyo]]
}}
Sepanjang sejarahnya, aksara Jawa ditulis dengan sejumlah media yang berganti-ganti seiring waktu. [[Aksara Kawi]] yang menjadi nenek moyang aksara Jawa umum ditemukan dalam bentuk [[prasasti]] batu dan lempeng logam. Tulisan Kawi sehari-hari dituliskan menggunakan media [[lontar]], yakni daun [[siwalan|palem tal]] (''Borassus flabellifer'', disebut juga palem siwalan) yang telah diolah sedemikian rupa hingga dapat ditulisi. Lembar lontar memiliki bentuk persegi panjang dengan lebar sekitar 2,8 hingga 4 cm dan panjang yang bervariasi antara 20 hingga 80 cm. Tiap lembar lontar hanya dapat memuat beberapa baris tulisan, umumnya sekitar empat baris, yang digurat dalam posisi horizontal dengan pisau kecil kemudian dihitamkan dengan jelaga untuk meningkatkan keterbacaan. Media ini memiliki rekam jejak penggunaan yang panjang di seantero Asia Selatan dan Asia Tenggara.<ref>{{cite journal|url=https://www.researchgate.net/publication/41017543_Balinese_palm-leaf_manuscripts|title=Balinese palm-leaf manuscripts|first=H I R|last=Hinzler|year=1993|journal=Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde|volume=149|issue=3|doi=10.1163/22134379-90003116|access-date=2020-05-08|archive-date=2023-04-07|archive-url=https://web.archive.org/web/20230407140706/https://www.researchgate.net/publication/41017543_Balinese_palm-leaf_manuscripts|dead-url=no |issn = 0006-2294}}</ref>
Pada abad ke-13, [[kertas]] mulai diperkenalkan di Nusantara, hal ini berkaitan dengan penyebaran agama [[Islam]] yang tradisi tulisnya didukung oleh penggunaan kertas dan format buku [[kodeks]]. Ketika Jawa mulai menerima pengaruh Islam yang signifikan pada abad ke-15, bersamaan ketika aksara Kawi mulai bertransisi menjadi aksara Jawa modern, kertas menjadi lebih lumrah digunakan di Jawa dan penggunaan lontar hanya bertahan di beberapa tempat.{{sfn|Behrend|1996|pp=165-167}} Terdapat dua jenis kertas yang umum ditemukan dalam naskah beraksara Jawa: kertas produksi lokal yang disebut [[daluang]], dan kertas impor. Daluang (bahasa Jawa: ''dluwang'') adalah kertas yang terbuat dari tumbukan kulit pohon [[Daluang|saéh]] (''Broussonetia papyrifera'', disebut juga pohon glugu). Secara tampak, daluang cukup mudah dibedakan dengan kertas biasa dari warna cokelatnya yang khas dan tampilannya yang berserat-serat. Daluang yang dibuat dengan telaten akan memiliki permukaan yang mulus dan tahan lama dari macam-macam bentuk degradasi (terutama serangga), sementara daluang yang tidak bagus memiliki permukaan yang tidak rata dan mudah rusak. Daluang umum digunakan dalam naskah yang ditulis di [[keraton]] dan [[pesantren]] Jawa antara abad ke-16 dan 17.{{sfn|Behrend|1996|pp=165-167}}<ref name="tey">{{cite book|last=Teygeler|first=R|chapter=The Myth of Javanese Paper|url=https://www.academia.edu/35977126/The_myth_of_Javanese_paper|title=Timeless Paper|editor=R Seitzinger|publisher=Gentenaar & Torley Publishers|year=2002|isbn=9073803039|location=Rijswijk|language=EN|ref=harv|access-date=2020-05-08|archive-date=2022-09-14|archive-url=https://web.archive.org/web/20220914035406/https://www.academia.edu/35977126/The_myth_of_Javanese_paper|dead-url=no}}</ref>
Baris 1.501:
| ف
| ز
| ع▼
| غ
▲| ع
| ط
| ش
Baris 1.651:
== Penggunaan dalam bahasa Sunda ==
[[Berkas:Page 21 of Kitab tjatjarakan Soenda make aksara Walanda.png|jmpl|260x260px|Aksara Cacarakan]]
Aksara Jawa di dalam [[bahasa Sunda]] disebut ''Aksara Sunda Cacarakan,''{{Sfn|Rosyadi|1997|pp=16}} ''Aksara Sunda Basisir Kalér,''{{Sfn|Rosyadi|1997|pp=51}} ''Aksara Sunda Jawa,''{{Sfn|Coolsma|1985|pp=7}} atau ''Cacarakan'' (aksara yang berasal dari Jawa) saja.<ref>{{Cite journal|last=Ruhaliah|first=R.|date=2010|title=Jejak penjajahan pada naskah Sunda: Studi kasus pada Surat Tanah|journal=Jumantara: Jurnal Manuskrip Nusantara|volume=1|issue=1|pages=49-60}}</ref> Dari sudut pandang tata bahasa Sunda, istilah "''cacarakan''" tebentuk dari [[kata dasar]] "''caraka''" yang mengalami proses [[reduplikasi]] dengan [[dwipurwa]] yang ditambah [[akhiran]] ''-an''.{{Sfn|Ekadjati|1999}} Bentuk ''cacarakan'' sendiri terdiri dari ''aksara ngalagena'' (''aksara nglegena''), ''aksara gedé'' (''aksara murda''), dan ''aksara panambah'' (''aksara swara''). Terdapat pula ''sandangan'' (''sandhangan'') dan ''pada'' (''pada'').{{Sfn|Holle|1862}} Penggunaan ''Cacarakan'' di masa kini telah digantikan oleh [[Aksara Sunda|Aksara Sunda Baku]] yang merupakan hasil penyempurnaan dari [[Aksara Sunda Kuno]].
=== Perbandingan ===
Baris 1.680:
!nga
|-
! rowspan="2" |Jawa
!''Nglegena''
| align="center" |ꦲ
Baris 1.702:
| align="center" |ꦛ
| align="center" |ꦔ
|-
!''Pasangan''
|꧀ꦲ
|꧀ꦤ
|꧀ꦕ
|꧀ꦫ
|꧀ꦏ
|꧀ꦢ
|꧀ꦠ
|꧀ꦱ
|꧀ꦮ
|꧀ꦭ
|꧀ꦥ
|꧀ꦝ
|꧀ꦗ
|꧀ꦪ
|꧀ꦚ
|꧀ꦩ
|꧀ꦒ
|꧀ꦧ
|꧀ꦛ
|꧀ꦔ
|- style="length:20%; height: 4em;"
! rowspan="4" |Sunda
! style="width:10%; text-align:center;" |''
| align="center" |ꦲ
| align="center" |ꦤ
Baris 1.710 ⟶ 1.732:
| align="center" |ꦫ
| align="center" |ꦏ
| style="background: yellow;" align="center" |
| align="center" |ꦠ
| align="center" |ꦱ
Baris 1.719 ⟶ 1.741:
| align="center" |ꦗ
| align="center" |ꦪ
| style="background: yellow;" align="center" |ꦤ꧀ꦚ
| align="center" |ꦩ
| align="center" |ꦒ
|