Panakawan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Antapurwa (bicara | kontrib)
k Mengembalikan suntingan oleh 103.3.221.253 (bicara) ke revisi terakhir oleh Dheirawa
Tag: Pengembalian Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
 
(46 revisi perantara oleh 29 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
[[Berkas:Punakawan wooden decoration.jpg|jmpl|364x364px|Hiasan kayu Punawakan, dari kiri: Petruk, Bagong, Semar, dan Gareng.]]
'''Panakawan''' adalah sebutan umum untuk kaum pengikut para [[ksatriya]] dalam khasanah kesusastraan [[Indonesia]], terutama [[Jawa]]. Istilah panakawan berasal dari kata ''pana'' yang bermakna "paham", dan ''kawan'' yang bermakna "teman". Artinya ialah, para panakawan tidak hanya sekadar pengikut biasa, namun mereka juga memahami apa yang sedang menimpa majikan mereka. Seringkali mereka bertindak sebagai penasihat pribadi sekaligus pengasuh para ksatria majikan tersebut.
'''Punakawan''' ({{lang-jv|ꦥꦤꦏꦮꦤ꧀|panakawan|berasal dari kata '''pana''' yang berarti cerdik, jelas, terang, dan cermat dalam pengamatan, serta '''kawan''' yang berarti teman atau sahabat}}) adalah tokoh pewayangan Jawa yang diciptakan oleh seorang pujangga Jawa, dan merupakan mitologi asli masyarakat Jawa. Tokoh punakawan pertama kali muncul dalam karya Sastra Ghatotkacasraya, karangan [[Empu Panuluh]] pada zaman [[Kerajaan Kediri]].<ref>Ardian Kresna. 2012. Punakawan : Simbol kerendahan hati orang Jawa. Yogyakarta: Narasi.</ref>
 
Punakawan secara harfiah berarti teman atau sahabat (pamong) yang sangat cerdik, dapat dipercaya serta mempunyai pandangan yang luas, memiliki pengamatan yang tajam dan cermat.
Meskipun kisah-kisah [[wayang|pewayangan]] kebanyakan mengambil dari naskah ''[[Mahabharata]]'' dan ''[[Ramayana]]'' yang berasal dari [[India]], namun para tokoh panakawan diyakini merupakan asli ciptaan para pujangga lokal. Tokoh-tokoh seperti [[Semar]] atau [[Petruk]] sama sekali tidak terdapat dalam naskah-naskah tersebut.
 
Dalam [[bahasa Jawa]] dikenal dengan istilah T''anggap ing sasmita lan impad pasanging grahita'' yang berarti peka dan peduli terhadap berbagai permasalahan.
Keberadaan panakawan memberi nilai tersendiri dalam karya sastra, baik itu yang tertulis maupun yang dipentaskan. Mereka bertindak sebagai para pelawak pencair ketegangan melalui humor-humor mereka yang jenaka, namun di lain kesempatan mereka juga bertindak sebagai penasihat majikan mereka jika tertimpa kesulitan.
 
== Daftar Nama paraPeran Panakawan ==
[[Berkas:Pentas Seni budaya.jpg|jmpl|259x259px|Panakawan dalam pementasan [[wayang wong]]]]
=== 1. Pewayangan Yogyakarta ===
* [[Semar]]
* [[Gareng]]
* [[Petruk]]
* [[Bagong]]
 
Pada umumnya para panakawan ditampilkan dalam pementasan [[wayang]], baik itu [[wayang kulit]], [[wayang golek]], ataupun [[wayang orang]] sebagai kelompok penebar humor untuk mencairkan suasana. Namun di samping itu juga berperan penting sebagai penasihat nonformal kesatria yang menjadi asuhan mereka. Para panakawan tidak hanya sekadar abdi atau pengikut biasa, tetapi mereka juga memahami apa yang sedang menimpa majikan mereka. Bahkan sering kali mereka bertindak sebagai penasihat majikan mereka tersebut.
=== 2. Pewayangan Surakarta ===
 
* [[Semar]]
Hal yang paling khas dari keberadaan panakawan adalah sebagai kelompok penebar humor di tengah-tengah jalinan cerita. Tingkah laku dan ucapan mereka hampir selalu mengundang tawa penonton. Selain sebagai penghibur dan penasihat, adakalanya mereka juga bertindak sebagai penolong majikan mereka di kala menderita kesulitan. Misalnya, sewaktu [[Bimasena]] kewalahan menghadapi [[Sangkuni]] dalam perang [[Baratayuda]], [[Semar]] muncul memberi tahu titik kelemahan Sangkuni.
* [[Gareng]]
 
* [[Petruk]].
Dalam percakapan antara para panakawan tidak jarang bahasa dan istilah yang mereka pergunakan adalah istilah modern yang tidak sesuai dengan zamannya. Namun hal itu seolah sudah menjadi hal yang biasa dan tidak dipermasalahkan. Misalnya, dalam pementasan wayang, tokoh [[Petruk]] mengaku memiliki mobil atau ''handphone'', padahal kedua jenis benda tersebut tentu belum ada pada zaman pewayangan.
 
== Sejarah Punakawan ==
Pementasan [[wayang]] hampir selalu dibumbui dengan tingkah laku lucu para panakawan. Pada umumnya kisah yang dipentaskan bersumber dari naskah ''[[Mahabharata]]'' dan ''[[Ramayana]]'' yang berasal dari [[India]]. Meskipun demikian, dalam kedua naskah tersebut sama sekali tidak dijumpai adanya tokoh panakawan. Hal ini dikarenakan panakawan merupakan unsur lokal ciptaan pujangga Jawa sendiri.
 
Menurut sejarawan [[Slamet Muljana]], tokoh panakawan muncul pertama kali dalam karya sastra berjudul ''Ghatotkacasraya'' karangan Empu Panuluh pada zaman [[Kerajaan Kadiri]]. Naskah ini menceritakan tentang bantuan [[Gatotkaca]] terhadap sepupunya, yaitu [[Abimanyu]] yang berusaha menikahi Ksitisundari, putri [[Sri Kresna]].
 
Dikisahkan Abimanyu memiliki tiga orang panakawan bernama:
:* Jurudyah
:* Punta
:* Prasanta
Ketiganya dianggap sebagai panakawan pertama dalam sejarah kesusastraan Jawa. Dalam kisah tersebut peran ketiganya masih belum seberapa, seolah hanya sebagai pengikut biasa.
 
Panakawan selanjutnya adalah [[Semar]], yang muncul dalam karya sastra berjudul ''[[Sudamala]]'' dari zaman [[Kerajaan Majapahit]]. Dalam naskah ini, Semar lebih banyak berperan aktif daripada ketiga panakawan di atas. Pada zaman selanjutnya, untuk menjaga keterkaitan antara kedua golongan panakawan tersebut, para dalang dalam pementasan wayang sering kali menyebut Jurudyah Puntaprasanta sebagai salah satu nama sebutan lain untuk Semar.
 
== ''Gara-gara'' ==
Para [[dalang]] dalam setiap bagian pertengahan pementasan [[wayang]], hampir selalu mengisahkan adanya peristiwa ''gara-gara'' (baca: /gɔrɔ-gɔrɔ/ seperti melafalkan 'gorong-gorong'; dari bahasa Jawa) yaitu sebuah keadaan saat terjadi bencana besar menimpa bumi. Antara lain [[gunung meletus]], [[banjir]], [[gempa bumi]], bahkan sampai [[korupsi]] yang merajalela. Panjang-pendek serta keindahan tata bahasa yang diucapkan untuk melukiskan keadaan ''gara-gara'' tidak ada standar baku, karena semuanya kembali pada kreativitas dalang masing-masing.
 
Para dalang kemudian mengisahkan bahwa setelah ''gara-gara'' berakhir, para panakawan muncul dengan ekspresi bahagia, menebar humor, dan bersenda gurau. Hal ini merupakan simbol bahwa setelah munculnya peristiwa kekacauan atau kerusuhan yang menimpa suatu negara, maka diharapkan rakyat kecil adalah pihak pertama yang mendapatkan keuntungan, bukan sebaliknya.
 
Akibat kesalahpahaman, istilah ''gara-gara'' saat ini dianggap sebagai saat kemunculan para panakawan. Gara-gara dianggap sebagai waktu untuk dalang menghentikan sementara kisah yang sedang dipentaskan, dan menggantinya dengan sajian musik dan hiburan bagi para penonton.
 
== Daftar Nama para Panakawan ==
Dalam pementasan wayang, baik itu gaya [[Surakarta]], [[Yogyakarta]], [[Sunda]], ataupun [[Jawa Timur]]an, tokoh [[Semar]] dapat dipastikan selalu ada, meskipun dengan pasangan yang berbeda-beda.
 
Pewayangan gaya Jawa Tengah menampilkan empat orang panakawan golongan kesatria, yaitu [[Semar]] dengan ketiga anaknya, yaitu [[Gareng]], [[Petruk]], dan [[Bagong]]. Selain itu terdapat pula panakawan golongan raksasa, yaitu [[Togog]] dan [[Bilung]].
Meskipun demikian, pada zaman sekarang para [[dalang]] aliran [[Surakarta]] selalu menampilkan Bagong dalam pentas mereka. Jumlah panakawan aliran Surakarta tidak lagi tiga melainkan empat seperti yang ditampilkan di [[Yogyakarta]].
 
Pada zaman pemerintahan [[Amangkurat I]] raja [[Kesultanan Mataram]] tahun [[1645]]-[[1677]],
Selain nama-nama di atas, juga dikenal nama [[Togog]] dan [[Bilung]] sebagai panakawan kaum antagonis. Kedua tokoh ini muncul dalam kedua versi, baik itu Yogyakarta maupun Surakarta.
seni pewayangan sempat terpecah menjadi dua, yaitu golongan yang pro-Belanda, dan golongan yang anti-Belanda. Golongan pertama menghapus tokoh Bagong karena tidak disukai Belanda, sedangkan golongan kedua mempertahankannya.
 
Dalam pementasan [[wayang golek]] gaya Sunda, ketiga anak Semar memiliki urutan yang lain dengan di Jawa Tengah. Para panakawan versi Sunda bernama [[Semar]], [[Cepot]], [[Dawala]], dan [[Gareng]]. Sementara itu pewayangan gaya Jawa Timuran menyebut pasangan Semar hanya Bagong saja, serta anak Bagong yang bernama [[Besut]].
=== 3. Pewayangan Jawa Timuran ===
* [[Semar]]
* [[Bagong]]
* [[Besut]]
 
Dalam pewayangan [[Bali]], tokoh panakawan untuk golongan kesatria bernama [[Tualen]] dan [[Merdah]], sedangkan pengikut golongan jahat bernama [[Delem]] dan [[Sangut]].
Dalam pewayangan versi Jawa Timuran yang berkembang di daerah [[Surabaya]], [[Mojokerto]], [[Lamongan]], [[Malang]], dan sekitarnya, tidak dikenal adanya tokoh Gareng dan Petruk. Yang memegang peranan penting adalah Bagong. Sedangkan Besut adalah anak dari Bagong.
 
Dalam pementasan [[ketoprak]] juga dikenal adanya panakawan, tetapi nama-nama mereka tidak pasti, tergantung penulis naskah masing-masing. Meskipun demikian terdapat dua pasang panakawan yang namanya sudah ditentukan untuk dua golongan tertentu pula. Mereka adalah Bancak dan Doyok untuk kisah-kisah Panji, serta [[Sabdapalon]] dan Nayagenggong untuk kisah-kisah [[Damarwulan]] dan [[Brawijaya]].
=== 4. Pewayangan Bali ===
[[Bawor]] adalah wayang kulit Banyumasan atau panakawan Banyumas: kisah kisah bawor dadi ratu.
* [[Tualen]]
* [[Merdah]]
 
== Pranala luar ==
Sedangkan panakawan untuk golongan antagonis bernama [[Delem]] dan [[Sangut]].
* {{commonscat-inline|Punakawan}}
 
[[Kategori:Wayang]]
=== 5. Pementasan Ketoprak ===
[[Ketoprak]] adalah seni drama panggung yang berkembang di [[Jawa]] yang mementaskan kisah-kisah Wayang Madya (zaman sesudah [[Parikesit]] sampai [[Brawijaya]]) dan kisah Wayang Wasana (zaman [[Raden Patah]] sampai [[Diponegoro]]). Panakawan dalam pentas ketoprak tidak ditentukan dengan pasti. Semuanya tergantung kisah yang dipergelarkan. Namun terdapat dua pasang nama yang dipastikan muncul untuk lakon-lakon tertentu, yaitu [[Sabdopalon]] dan [[Nayagenggong]], sebagai pengikut [[Damarwulan]] sampai [[Brawijaya]], serta [[Bancak]] dan [[Doyok]], pengikut [[Panji Asmarabangun]].