Sultan Agung dari Mataram: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Perbaikan Pengetikan Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
|||
(38 revisi perantara oleh 15 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{untuk|film|Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta}}
{{Infobox royalty
| embed
| name
| title
| type
| image
|
|
|
| moretext = ke-3▼
|
| reign = 1613–1645 <small>(32 tahun berkuasa)</small> | reign-type
| coronation
| cor-type
| predecessor
| pre-type
| successor
| suc-type
| regent
| reg-type
| succession1 =
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
▲| successor3 =
|
|
| death_date = 1645 (umur 51-52)
▲<!-- succession4 to succession9 are also available -->
| burial_date =
| burial_place = [[Astana Pajimatan Himagiri|Imogiri]]
| spouse-type = Permaisuri
▲| birth_place = {{negara|Kesultanan Mataram}} [[Keraton Kutagede|Kutagede, Mataram]]
|
| issue = KP. Tumenggung Pajang<br/>KP. Rangga Kajiwan<br/>GRA. Winongan<br/>KP. Ng. Loring Pasar<br/>KP. Purbaya<br/>[[Amangkurat I]]<br/>GRA. Wiromantri<br/>KP. Danupaya (RM. Alit)<br/>
▲| death_place = {{negara|Kesultanan Mataram}} [[Keraton Karta|Karta, Mataram]]
|
▲| spouse = Ratu Kulon <small>(pertama)</small> <br> Ratu Wetan <small>(kedua)</small>
|
|
| regnal name
▲| issue-link =
| posthumous name = Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani al-Jawi▼
▲| issue-pipe =
|
|
|
▲| era dates =
▲| regnal name = ''Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Agung Adi Prabu Anyakrakusuma Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawi''
▲| posthumous name= Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani al-Jawi
▲| house = [[Wangsa Mataram|Mataram]]
▲| native_lang1 = [[Bahasa Jawa]]
| native_lang1_name1 = ꦲꦚꦏꦿꦏꦸꦱꦸꦩ
| father
| mother
| religion
| occupation
| signature_type =
| signature
| module
▲| module = '''[[Pahlawan Nasional Indonesia]]'''<br> S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975.
}}
[[Berkas:Stamps of Indonesia, 050-06.jpg|jmpl|ka|Perangko [[Republik Indonesia]] cetakan tahun [[2006]] edisi Sultan Agung.]]
'''Sultan Agung dari Mataram''' ({{lang-jv|ꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦲꦒꦸꦁꦲꦢꦶꦥꦿꦧꦸꦲꦚꦏꦿꦏꦸꦱꦸꦩ|Sultan Agung Adi Prabu
''Sultan Agung'' atau ''Susuhunan Agung'' (secara harfiah, ''"Sultan Besar"'' atau ''"Yang Dipertuan Agung"'') adalah sebutan gelar dari sejumlah besar literatur yang meriwayatkan karena warisannya sebagai raja Jawa, pejuang, budayawan dan filsuf peletak pondasi [[Kejawen|Kajawen]]. Keberadaannya mempengaruhi dalam kerangka [[budaya Jawa]] dan menjadi pengetahuan kolektif bersama. Sastra Belanda menulis namanya sebagai ''Agoeng de Grote'' (secara harfiah, ''"Agoeng yang Besar"'').
Baris 108 ⟶ 102:
Sultan Agung memiliki dua permaisuri utama yang merupakan tradisi Kesultanan Mataram. Kedua permaisuri ini disebut Ratu Kulon dan Ratu Wetan. Ratu Kulon merupakan putri dari sultan [[Kesultanan Cirebon]]. Sedangkan Ratu Wetan merupakan putri dari Adipati Batang sekaligus cucu [[Ki Juru Martani]].<ref>{{Cite journal|last=Jalaludin, Ghulam, Z., dan Ghofur, A.|date=2021|title=Analisis Wacana Strategi Dakwah Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo|url=https://ejournal.iaisyarifuddin.ac.id/index.php/dakwatuna/article/download/923/440/|journal=Dakwatuna: Jurnal Dakwah dan Komunikasi Islam|volume=7|issue=1|pages=64|issn=2443-0617}}</ref> Nama asli Ratu Kulon adalah Ratu Mas Tinumpak. Ia melahirkan Raden Mas Syahwawrat yang dikenal sebagai Pangeran Alit. Sedangkan nama asli dari Ratu Wetan adalah Ratu Ayu Batang. Ia melahirkan Raden Mas Sayyidin yang dikenal sebagai [[Amangkurat I]].{{Butuh rujukan}}
# Raden Mas Kasim alias Pangeran Demang Tanpa Nangkil▼
== Gelar ==
Baris 125 ⟶ 108:
=== Sultan ===
Karena keberhasilanya dalam menaklukan banyak wilayah dan memenangkan pertempuran. Sunan Agung melakukan langkah simbolisnya yaitu mengirim utusan ke [[Makkah]] untuk meminta gelar [[sultan]]. Ia tak mau kalah dengan pesaingnya. Pangeran Ratu dari Banten, raja pertama di Jawa yang menerima gelar sultan dari Makkah bergelar Sultan Abulmafakir Mahmud Abdulkadir.
Pada 1641, utusan Sunan Agung tiba di Mataram, mereka menganugrahkan gelar sultan melalui perwakilan syarif Makkah, Zaid ibnu Muhsin Al Hasyimi. Gelar tersebut adalah ''Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani al-Jawi'',<ref name ="rick08"/><ref>{{cite book|author=Ooi, Keat Gin|year=2004|title=Southeast Asia: A Historical Encyclopedia|publisher=ABC-CLIO}}</ref
Gelar sultan hanya digunakan selama empat tahun (1641-1645), dimulai semenjak Sultan Agung menerima gelar tersebut dari 1641 hingga wafat pada 1645. Ia menjadi satu-satunya raja Mataram yang bergelar sultan. Setelah ia mangkat penerusnya kembali bergelar [[susuhunan]].
Baris 135 ⟶ 118:
Sultan Agung menjadi sultan dari Kesultanan Mataram pada tahun 1613 M. Masa pemerintahannya berlangsung hingga tahun 1645 M.<ref>{{Cite journal|last=Septriani, L. D., Wahyuni, A., dan Purnomo, B.|date=2020|title=Analisis Karakter Cinta Tanah Air melalui Novel Berjudul Sultan Agung: Tonggak Kokoh Bumi Mataram|url=https://media.neliti.com/media/publications/346521-analisis-karakter-cinta-tanah-air-melalu-682bfe10.pdf|journal=Literacy : Jurnal Ilmiah Sosial|volume=2|issue=2|pages=66}}</ref> Ia naik takhta untuk menggantikan posisi dari [[Pangeran Martapura]].<ref>{{Cite book|last=Sekretaris Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta|date=2017|url=https://birotapem.jogjaprov.go.id/berita/22.pdf|title=Sejarah Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta|location=Yogyakarta|publisher=Biro Tata Pemerintah, Sekretaris Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta|pages=17|url-status=live}}</ref> Sultan Agung ketika menjadi raja baru berusia 20 tahun.<ref>{{Cite journal|last=Maharsi|date=2016|title=Sultan Agung: Simbol Kejayaan Kasultanan Islam Jawa|url=https://jrd.bantulkab.go.id/wp-content/uploads/2017/03/2016-08-03-sultanagung.pdf|journal=Jurnal Riset Daerah|volume=XV|issue=2|pages=2475}}</ref> Pangeran Martapura merupakan saudara tirinya yang menjadi Sultan Mataram ketiga selama satu hari. Sultan Agung secara teknis adalah sultan Mataram keempat, tetapi ia umumnya dianggap sebagai sultan ketiga, karena penobatan saudara tirinya yang [[tunagrahita]] hanya untuk memenuhi janji ayahnya kepada istrinya, Ratu Tulungayu, ibu Pangeran Martapura.{{Butuh rujukan}}
Pada tahun kedua pemerintahan Sultan Agung, [[Ki Juru Martani|Patih Mandaraka]] meninggal karena usianya sudah tua, dan posisinya sebagai patih diduduki oleh [[Tumenggung Singaranu]]
Ibu kota Mataram pada era penobatannya masih berada di [[Kutagede, Mataram|Kutagede]]. Pada 1614, sebuah istana baru dibangun di [[Karta]], sekitar 5
=== Kepahlawanan ===
{{further|Penyerbuan
[[File:AMH-6775-KB Siege of Batavia by the sultan of Mataram.jpg|thumb|[[Penyerbuan
Pendudukan [[Belanda]] di ujung barat [[Jawa]], sepanjang [[Banten]], dan pemukiman Belanda di [[Batavia]] merupakan wilayah di luar kendali Sultan Agung. Dalam upayanya mempersatukan Jawa, Sultan Agung menyatakan Banten yang secara historis sebagai daerah bawahan [[Kesultanan Demak|Demak]] dan [[Kesultanan Cirebon|Cirebon]]. Namun, semenjak kedatangan Belanda, mereka berdaulat atas Banten. Klaim itu mendesak Sultan Agung untuk melancarkan penaklukan militer sebagai upaya untuk mengambil alih Banten dari pengaruh Belanda. Namun, jika Sultan Agung menempatkan baris pasukannya ke Banten, kota pelabuhan Batavia akan berdiri sebagai lawan potensial terlalu dekat dengan kedekatan wilayah Banten. Sultan Agung menganggap keberadaan Belanda di Batavia sebagai ancaman terhadap hegemoni Mataram, sehingga mengharuskan alasan lebih lanjut untuk menempatkan pasukan Mataram di Batavia.<ref name ="Soekmono60">{{cite book | author= Soekmono | title= Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3 | publisher = Kanisius | page =60 }}</ref>
Pada [[1628]], Sultan Agung dan pasukan Mataram mulai menyerbu Belanda di Batavia.<ref name="Britannica">{{cite web | title = Mataram, Historical kingdom, Indonesia | publisher = Encyclopædia Britannica | url = http://www.britannica.com/EBchecked/topic/368940/Mataram | accessdate = 4 Agustus 2020}}</ref> Tahap awal kampanye melawan Batavia terbukti sulit karena kurangnya dukungan logistik untuk pasukan Mataram.
Sultan Agung kembali menyerang Batavia untuk kedua kalinya pada tahun berikutnya. Pasukan pertama dipimpin [[Dipati Ukur]] berangkat pada bulan Mei [[1629]], sedangkan pasukan kedua dipimpin Adipati Juminah berangkat bulan Juni. Total semua 14.000 orang prajurit. Kegagalan serangan pertama diantisipasi dengan cara mendirikan lumbung-lumbung beras tersembunyi di [[Karawang]] dan [[Cirebon]]. Namun pihak Belanda yang menggunakan mata-mata berhasil menemukan dan memusnahkan semuanya. Hal ini menyebabkan pasukan Mataram kurang perbekalan, ditambah wabah penyakit malaria dan kolera yang melanda mereka, sehingga kekuatan pasukan Mataram tersebut sangat lemah ketika mencapai [[Batavia]].<ref name ="Soekmono61">{{cite book | author= Soekmono | title= Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3 | publisher = Kanisius | page =61 }}</ref>
Baris 164 ⟶ 147:
| source = ''Serat Nitipraja'' karya Sultan Agung
}}
Namun warisan utama Sultan Agung terletak pada reformasi administrasi yang ia lakukan di wilayah otoritasnya. Ia menciptakan struktur administrasi yang inovatif dan rasional.<ref>Bertrand, Romain, ''Etat colonial, noblesse et nationalisme à Java'', Paris, 2005</ref> Dia menciptakan "provinsi" dengan menunjuk orang sebagai [[Adipati]] sebagai kepala wilayah [[Kadipaten]], khususnya wilayah-wilayah di bagian barat Jawa, di mana Mataram menghadapi Belanda di Batavia. Sebuah kabupaten seperti Karawang, misalnya, diciptakan ketika Sultan Agung mengangkat pangeran Kertabumi sebagai adipati pertamanya pada 1636.
Di masa ketika Belanda menguasai Nusantara, mereka mempertahankan struktur administrasi yang diwarisi oleh Sultan Agung. Di bawah pemerintahan [[Hindia Belanda]] di Nusantara, oleh mereka kabupaten disebut ''regentschappen''. Gelar bupati umumnya terdiri atas nama resmi, misalnya "Sastradiningrat" dalam kasus Karawang, didahului oleh "Raden Aria Adipati", maka "Raden Aria Adipati Sastradiningrat" (disingkat menjadi RAA Sastradiningrat). Kata adipati bertahan dalam sistem pemerintahan kolonial.
Baris 171 ⟶ 154:
Sultan Agung dihormati di Jawa secara kontemporer baik perjuangannya membela tanah air, warisan tradisi atau budaya yang ia sumbangkan untuk negara. Di era presiden [[Soeharto]] ia dikukuhkan sebagai [[Pahlawan Nasional Indonesia]].
== Keluarga ==
Sepanjang hidupnya Hanyakrakusuma menikah dengan tiga istri permaisuri dan beberapa istri selir. Istri permaisuri Hanyakrakusuma yaitu Ratu Kulon I / Ratu Mas Tinumpak dari Cirebon, Ratu Kulon II / Ratu Wetan dari Batang, dan Ratu Kidul. Istri selir Hanyakrakusuma yang memberinya keturunan yaitu Mas Ayu Wangen, Mas Ayu Sekarrini, Mas Ayu Sulanjari, Mas Ayu Sulanjani, Raden Ayu Kadipaten, Rara Pilih, dan Rara Sariyah.
Dari pernikahan-pernikahannya Hanyakrakusuma memiliki 12 orang anak. Sesuai urutan kelahiran, anak-anaknya yaitu:
# Raden Mas Hina / Raden Mas Hindu / Pangeran Rangga Kajiwan, anak dari Mas Ayu Sekarrini.
# Raden Ajeng Jenab / Raden Ayu Winongan, anak dari Mas Ayu Wangen.
# Raden Mas Rarangin, anak dari Mas Ayu Sulanjari.
# Raden Mas Paranging, anak dari Mas Ayu Sulanjani.
# Raden Ajeng Wegang, anak dari Mas Ayu Sulanjani.
# Raden Mas Sarip Mustapa / Pangeran Ngabehi Loring Pasar, anak dari Raden Ayu Kadipaten.
# Raden Mas Kaseliran, anak dari Rara Pilih.
# Raden Mas Syah Wawrat / Pangeran Tumenggung Pajang / Panembahan Purbaya II / Pangeran Tumenggung Mataram, anak dari Ratu Kulon I.
# Raden Mas Sayidin / Raden Mas Jabus / Raden Mas Rageh / Pangeran Adipati Anom Mataram / [[Amangkurat I]], anak dari Ratu Kulon II.
# Raden Ajeng Riwangan / Raden Ajeng Dilah / Raden Ayu Wiramantri, anak dari Rara Sariyah.
# Raden Mas Timur / Raden Mas Alit / Pangeran Harya Mataram / Pangeran Harya Danupaya, anak dari Ratu Kulon II.
== Dalam budaya populer ==
Baris 188:
* [[Kesultanan Mataram]]
* [[Amangkurat]]
{{s-start}}
Baris 201 ⟶ 200:
{{Daftar yang Agung}}
{{Authority control}}
{{DEFAULTSORT:Anyakrakusuma}}
[[Kategori:Sultan Mataram]]
|