Keyakinan dalam Buddhisme: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Faredoka (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Faredoka (bicara | kontrib)
Mahāyāna: +{{Mahayana}}
 
(8 revisi perantara oleh pengguna yang sama tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{short description|unsur penting dari ajaran Buddha}}
{{abouttentang|kualitas mental dari keyakinan dalam agama BuddhaBuddhisme|deskripsipenjelasan dari praktik bakti Buddhis|Bakti Buddhis|konsep keyakinan Hindu|Sradha|suatu upacara umat Hindu|Sraddha}}
[[Berkas:Buddhist Altar in Indonesia.jpg|jmpl|Altar di Pusdiklat Buddhis Sikkhādama Santibhūmi, [[Tangerang]], [[Jawa Barat]], [[Indonesia]]. [[Rupang Buddha]] sebagai simbol [[Buddha]], [[Dharmacakra]] di belakang kepala Buddha sebagai simbol [[Dhamma]], dan dua murid teladan-Nya ([[Sariputta]] dan [[Moggallana]]) di kedua sisi sebagai simbol [[Sangha|Saṅgha]].|300x300px]]
{{Buddhist term|title=''saddhā''
Baris 22:
{{Buddhisme|dhamma}}{{Cetasika|indah}}
 
Dalam [[Buddhisme]], '''keyakinan''' ({{lang-pi|'''''saddhā'''''}}; [[Sanskerta]]: '''''śraddhā'''''), terkadang juga disebut sebagai '''iman''' meskipun dengan konsep yang sangat berbeda dari tradisi [[Agama abrahamik|agama-agama Abrahamik]], mengacu pada keyakinan terhadap [[Tiga Permata|Triratna]], yaitu [[Buddha]], [[Dhamma]], dan [[Saṅgha]]. Keyakinan tidak hanya terhadap suatu tokoh, tetapi juga terkait dengan konsep-konsep dalam ajaran Buddha seperti efikasi [[karma dalam agama BuddhaBuddhisme|karma]] dan kemungkinan mencapai [[Kecerahan (Buddhisme)|kecerahan]]. Keyakinan dipandang sebagai komitmen untuk mempraktikkan ajaran [[Buddha Gautama|Buddha]], seperti [[Dāna|bederma]] (''dāna''), [[Etika Buddhis|moralitas]] (''sīla''), dan [[Meditasi Buddhis|meditasi]] (''bhāvanā'') secara berkelanjutan.
 
Dalam [[Buddhisme awal]] dan aliran [[Theravāda]], ''saddhā'' dipusatkan pada keyakinan terhadap [[Kecerahan (Buddhisme)|kecerahan]] Buddha (''tathāgatabodhi-saddhā'') atau, secara alternatif, kepadaterhadap Tiga PermataTriratna (''ratanattaya-saddhā''):<ref name=":032">{{Cite book|last=Kheminda|first=Ashin|date=2019-09-01|url=https://books.google.co.id/books?id=2ZQXEAAAQBAJ&printsec=copyright&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false|title=Manual Abhidhamma: Bab 2 Faktor-Faktor-Mental|publisher=Yayasan Dhammavihari|isbn=978-623-94342-7-4|language=id}}</ref><ref name=":1">{{Cite book|last=Kheminda|first=Ashin|date=2020-02-01|url=https://books.google.co.id/books?id=XcHsDwAAQBAJ&printsec=copyright&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false|title=KAMMA: Pusaran Kelahiran & Kematian Tanpa Awal|publisher=Yayasan Dhammavihari|isbn=978-623-94011-0-8|language=id}}</ref><ref name=":2">{{Cite journal|last=Wichian|first=Phurapha Phramaha|date=2016|title=An investigation of the concept of Saddhā in Theravāda Buddhism and its significance in the modern world.|url=https://oaji.net/articles/2016/1707-1464942419.pdf|journal=International Research Journal of Interdisciplinary & Multidisciplinary Studies (IRJIMS)|publisher=Ph.D. scholar, Centre for Buddhist studies, University of Hyderabad, Hyderabad, India|volume=II|issue=III|pages=17-20|issn=2394-7969}}</ref><ref name=":3">{{Cite book|last=Medhācitto|first=Tri Saputra|date=2022|url=https://syailendra.ac.id/public/uploads/buku-aspek-sosiologi-dalam-sigalovada-sutta.pdf|title=Aspek Sosiologi dalam Sigālovāda Sutta|location=Semarang|publisher=Sekolah Tinggi Agama Buddha Syailendra|isbn=978-602-53319-9-2|pages=46-48|url-status=live}}</ref><ref name=":4">{{Cite book|last=Payutto|first=P. A.|date=2007|url=https://www.watnyanaves.net/uploads/File/books/pdf/principles_for_buddhists_starting_point_for_unity_towards_glory_thai-eng.pdf|title=The Buddhist's Tenets: A Starting Point and a Unifying Point—A Convergence for Success and Prosperity|location=Nakhon Pathom|publisher=Wat Nyanavesakavan|isbn=9749414381|pages=10-11|chapter-url=|url-status=live}}</ref><ol>
<li> '''Keyakinan terhadap Buddha''', yaitu meyakini para Buddha masa lalu, Buddha masa kini ([[Siddhattha Gotama]]), dan kedatangan [[bodhisatwa]] masa depan; juga pencapaian [[Kebuddhaan]]-Nya di [[Nibbāna|Nirwana]].</li>
<li>'''Keyakinan terhadap Dhamma''', yaitu meyakini ajaran yang disampaikan oleh Buddha.</li>
<li>'''Keyakinan terhadap Saṅgha''', yaitu meyakini komunitas rahib yang didirikan oleh Buddha; mereka yang dianggap maju secara spiritual (''ariya-saṅgha'') atau komunitas konvensional yang berupaya mencapai [[Kecerahan (Buddhisme)|kecerahan]] (''sammuti-saṅgha'').</li>
Baris 35:
* '''Fungsi''' (''rasa''): untuk menjernihkan (''pasādana'') hati dari kotoran-kotoran batin atau untuk melompati (''pakkhandana'') hal-hal sulit.
* '''Manifestasi''' (''paccupaṭṭhāna''): bebas dari kotoran (''akālussiya''), atau keputusan/ketetapan hati (''adhimutti'').
* '''Sebab-terdekat''' (''padaṭṭhāna''): objek yang pantas untuk memunculkan keyakinan (''saddheyyavatthu''), yaitu Tiga PermataTriratna, atau faktor-faktor [[Empat tingkat kesucian|Pengarungan Arus]] (''sotāpattiyaṅga'').
 
Keyakinan adalah [[Cetasika|faktor mental]] yang memercayai (''saddahati'') objek. Faktor-mental keyakinan dalam Buddhisme bukanlah kepercayaan yang sepenuhnya memerlukan kepatuhan buta (''amūlika-saddhā'') dengan mengesampingkan fakta, investigasi, dan kebijaksanaan. Seseorang juga tidak akan bisa menyakiti makhluk lain atas dasar keyakinannya.<ref name=":0" />
Baris 41:
[[Tradisi Abhidhamma]] Theravāda juga menguraikan ''saddhā'' menjadi dua jenis:<ref name=":0" />
 
# '''Keyakinan tanpa dasar pengalaman langsungawal''' (''amūlika-saddhā''), yaitu keyakinan awal yang didasarkan tanpa dasar pengalaman secara langsung.
# '''Keyakinan kukuh''' atau '''sempurna''' (''aveccapasāda''), yaitu keyakinan yang didasarkan denganpada pengalaman secara langsung.
 
Konsep ''saddhā'' erat kaitannya dengan konsep "menjaga atau melestarikan kebenaran" (''saccānurakkhaṇa'') dan "mengalami kebenaran" (''saccānubodha''). Penjagaan atau pelestarian kebenaran dilakukan dengan tidak menyimpulkan "hanya ini saja yang benar, yang lainnya salah," sebelum mengalami kebenaran secara langsung.<ref name=":0" />
 
Secara tradisional, pernyataan keyakinan ditunjukkan dengan pengambilan perlindungan kepada [[Tiga Permata|Triratna]] dalam syair "Tiga Perlindungan" (Tisaraṇa):
 
{{Verse translation|Buddhaṁ saraṇaṁ gacchāmi,
Baris 54:
Aku berlindung kepada Saṅgha|attr1=Khuddakapāṭha 1, Khuddaka Nikāya}}
 
Seorang umat awam yang berlindung kepada [[Tiga Permata]]Triratna disebut [[upasaka dan Upasika|''upāsaka'' atau ''upāsika'']], sedangkan yang tidak berlindung kepada Tiga PermataTriratna disebut ''[[titthiya]]''.
 
Sementara itu, [[Buddhisme awal|agama Buddha awal]] secara moral tidak mengecam pemberian persembahan secara damai kepada [[Brahma (Buddhisme)|brahma]] dan [[Dewa (Buddhisme)|dewa-dewi]]. Sepanjang sejarah agama BuddhaBuddhisme, pemujaan brahma dan dewa-dewi, sering kali berasal dari keyakinan pra-Buddhis dan [[animisme|animis]], kemudian disesuaikan menjadi praktik dan kepercayaan Buddhis. Sebagai bagian dari proses itu, brahma dan dewa-dewi tersebut dinyatakan sebagai bawahan dari [[Tiga Permata]]Triratna, yang masih terus memegang peran utama.
 
Pada masa berikutnya dalam sejarah agama BuddhaBuddhisme, khususnya [[Buddha Mahāyāna|Buddhisme Mahāyāna]], keyakinan memiliki peran yang jauh lebih penting. Aliran Mahāyāna memperkenalkan [[Bakti Buddhis|bakti]] kepada para Buddha dan bodhisatwa yang berada di [[Tanah Murni]]. Dengan berkembangnya bakti kepada [[Buddha Amitābha]] dan [[Buddha Tanah Murni|agama BuddhaBuddhisme aliran Tanah Murni]], keyakinan memperoleh peran utama dalam praktik agama BuddhaBuddhisme. Agama BuddhaBuddhisme aliran Tanah Murni versi Jepang, yang dipimpin oleh [[Hōnen]] dan [[Shinran]], bahkan meyakini bahwa satu-satunya praktik yang bermanfaat bagi umat Buddha adalah [[shinjin|keyakinan penuh kepercayaan]] kepada Buddha Amitābha, karena aliran tersebut menganggap [[Selibat|selibasi]], meditasi, dan praktik Buddhis lainnya sebagai praktik yang tidak lagi mujarab atau bertolak belakang dengan sifat utama keyakinan. Sementara itu, umat BuddhaBuddhis Tanah Murni pada umumnya mengartikan keyakinan sebagai sebuah keadaan yang mirip dengan pencerahan. Dampak keyakinan dalam religiositas umat Buddhis kemudian menjadi sangat penting dalam gerakan-gerakan [[milenarianisme|milenarian]] di beberapa negara Buddhis, yang terkadang mengakibatkan kehancuran dinasti-dinasti kerajaan dan perubahan politik penting lainnya.
 
Dengan demikian, peran keyakinan terus meningkat sepanjang sejarah agama BuddhaBuddhisme. Namun, semenjak abad ke-19, [[modernisme Buddhis]] di negara-negara seperti Sri Lanka dan Jepang (dan juga di dunia Barat) cenderung memandang rendah dan mengkritik peran keyakinan dalam agama BuddhaBuddhisme. Keyakinan dalam agama BuddhaBuddhisme masih memiliki peran di Asia dan negara-negara Barat pada zaman modern, tetapi dipahami dan diartikan secara berbeda, dengan nilai-nilai modern dan [[eklektisisme]] menjadi lebih penting. Di sisi lain, komunitas [[Gerakan Buddha Dalit|BuddhaBuddhis Dalit]], khususnya gerakan [[Nawayana]], menafsirkan konsep-konsep Buddhis melalui sudut pandang keadaan politik kaum Dalit, dan dalam gerakan tersebut terdapat ketegangan antara rasionalisme modern dengan praktik kebaktian setempat.
 
== Peran dalam ajaran Buddha ==
 
Keyakinan diartikan sebagai kepercayaan bahwa praktik ajaran Buddha akan membuahkan hasil.{{sfn|Gómez|2004b|p=277}}{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Śraddhā}} Keyakinan adalah rasa percaya dan berserah diri kepada tokoh-tokoh yang tercerahkan atau mereka yang dianggap sudah maju secara spiritual, seperti para Buddha atau ''[[bodhisatwa]]'',<!--Gomez--> atau bahkan [[bhikkhu|biksu]] atau [[lama]] tertentu yang sangat dihormati.{{sfn|Gómez|2004b|p=277}}{{sfn|Kinnard|2004|p=907}}{{sfn|Melton|2010|p=2392}} Umat Buddha biasanya mengakui berbagai objek keyakinan, tetapi beberapa penganut secara khusus berbakti kepada satu objek keyakinan tertentu, seperti seorang Buddha tertentu.{{sfn|Gómez|2004b|p=277}} Namun, agama BuddhaBuddhisme tidak pernah memiliki satu wewenang pusat, baik itu dalam bentuk manusia maupun kitab suci. Kitab suci biasanya dijadikan sebagai panduan, dan konsensus yang berkenaan dengan praktik biasanya dibentuk melalui perdebatan dan diskusi.{{sfn|Nakamura|1997|page=392}}
 
Berikut adalah beberapa istilah dipakai dalam agama BuddhaBuddhisme untuk mengacu kepada keyakinan, dan istilah-istilah ini memiliki aspek kognitif maupun afektif:{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Śraddhā}}
* ''Śraddhā'' ([[Sansekerta|Sanskerta]]; {{lang-pi|saddhā|italics=yes}}; [[Tionghoa klasik]]: ''wen-hsin'') yang berarti komitmen atau kepercayaan kepada orang lain, atau bentuk ikrar atau komitmen untuk berpraktik.{{sfn|Gómez|2004b|p=277}}{{sfn|Jayatilleke|1963|pp=388–9}} ''Śraddhā'' sering kali dipandang sebagai penawar niat buruk dalam pikiran.{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Ānanda, Pañcabala, Śraddhā}}{{sfn|Conze|2003|page=14}} Lawan kata ''śraddhā'' adalah ''āśraddhya'', yang merujuk kepada ketiadaan kemampuan untuk mengembangkan keyakinan kepada guru dan ajaran-ajarannya, sehingga tak dapat mengembangkan energi pada perjalanan spiritual.{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Āśraddhya}} Kata ''śraddhā'' berasal dari kata ''śrat'', "memiliki keyakinan", dan ''dhā'', "mempertahankan".{{refn|group=note|Beberapa cendekiawan tak sepakat dengan pengartian tersebut. Selain itu, ''śraddhā'' dalam [[Weda]] diartikan sebagai "sikap pikiran berdasarkan pada kebenaran".{{sfn|Rotman|2008|loc=Footnotes n.23}}}} Dengan demikian, cendekiawan kajian agama Sung-bae Park menyimpulkan bahwa ''śraddhā'' berarti "mempertahankan kelangsungan kepercayaan, tetap bertekad kuat, atau menopang kepercayaan, yang berarti berpegang teguh".{{sfn|Park|1983|page=15}}
* ''Prasāda'' ([[Sansekerta|Sanskerta]]; {{lang-pi|pasāda|italics=yes}}; [[Tionghoa klasik]]: ''ching-hsin'') yang lebih afektif ketimbang ''śraddhā''. Istilah ini digunakan dalam konteks yang berkenaan dengan ritual dan upacara. Istilah tersebut merujuk kepada penerimaan diri secara khusyuk atas berkah dan keagungan objek bakti.{{sfn|Gómez|2004b|p=278}} Kata ''prasāda'' berasal dari awalan ''pra'' dan ''sād'', yang artinya "tenggelam, duduk", dan diartikan oleh Park sebagai "duduk dalam kejernihan dan kesejukan".{{sfn|Park|1983|page=15}} Dengan demikian, ''prasāda'' merujuk kepada fokus pikiran sang penganut, komitmennya, dan kualitasnya yang telah mengalami peningkatan.{{sfn|Findly|2003|page=200}}<!-- Istilah tersebut dideskripsikan dengan pemaknaan yang lebih spontan ketimbang ''śraddhā''.{{sfn|Rotman|2008|loc=Seeing and Knowing}}-->
 
Keyakinan biasanya dikaitkan dengan [[Tiga Mestika]], yang meliputi Buddha, [[Dharma (Buddha)|Dharma]] (ajarannya), dan [[sangha|Saṅgha]] (komunitasnya). Oleh sebab itu, keyakinan sering kali menjadikan individu tertentu sebagai objeknya. Walaupun begitu, keyakinan dalam agama BuddhaBuddhisme berbeda dengan bakti dalam agama-agama India lainnya (''[[bhakti]]''), karena keyakinan tersebut berhubungan dengan objek-objek impersonal seperti kerja karma dan efikasi dari [[pelimpahan jasa]].{{sfn|Rotman|2008|loc=Seeing and Knowing, Getting and Giving}} Keyakinan tampaknya berfokus pada atau bermuara pada [[Jalan Utama Berunsur Delapan#Pengertian Benar|pandangan benar]] atau pemahaman atas aspek-aspek utama ajaran Buddha, seperti bagaimana sistem kerja [[karma (Buddha)|hukum karma]], [[Kebajikan (Buddha)|kebajikan]], dan [[kelahiran kembali (Buddha)|kelahiran kembali]].{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Śraddhā, Mūrdhan, Pañcabala, Xinxin}}{{sfn|Conze|2003|p=78}}{{sfn|Findly|2003|p=203}} Terkait dengan Tiga Mestika, keyakinan berfokus pada dan bersukacita atas karakteristik Buddha, Dharma, dan Saṅgha.{{sfn|Barua|1931|pages=332–3}} Berkaitan dengan hukum karma, keyakinan merujuk kepada anggapan bahwa segala perbuatan memiliki dampak: perbuatan baik menghasilkan dampak baik, dan perbuatan buruk menghasilkan dampak buruk.{{sfn|Findly|2003|pp=205–6}} Dengan demikian, keyakinan memberikan panduan dalam menuju kehidupan kedermawanan, moralitas, dan sifat religius.{{sfn|Barua|1931|page=333}} Keyakinan juga meliputi gagasan seperti keberadaan, [[Tiga Corak Umum|ketidakkekalan dan hakikat pengondisian]], dan pada akhirnya, [[Buddhabhāva|pencerahan]] sempurna Buddha atau [[Nirwana]] dan metode praktik menuju Nirwana.{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Śraddhā, Mūrdhan, Pañcabala, Xinxin}}{{sfn|Conze|2003|p=78}}{{sfn|Findly|2003|p=203}} Keyakinan berarti harus percaya bahwa sudah ada orang yang telah mencapai Nirwana dan mereka dapat mengajarkan cara untuk mewujudkan hal yang sama.{{sfn|Robinson|Johnson|1997|page=35}}
 
== Sejarah ==
<!--[[Hajime Nakamura]] membedakan dua arus dalam agama BuddhaBuddhisme, yang ia sebut sebagai pendekatan bakti dan pendekatan "pengetahuan batin".{{sfn|Nakamura|1997|p=392}} Sementara itu, antropolog [[Melford Spiro]] membedakan antara bakti dengan ''[[magga]]'' (jalan menuju pembebasan).{{sfn|Spiro|1982|p=34 n.6}} -->Dalam agama BuddhaBuddhisme, perihal perkembangan pemahaman keyakinan, ada dua tahapan sejarah, yaitu tahapan agama BuddhaBuddhisme awal dan tahapan Buddha aliran Mahāyāna yang berkembang pada periode berikutnya. Beberapa cendekiawan awal abad ke-20, seperti [[Louis de La Vallée-Poussin]], [[Arthur Berriedale Keith]], dan [[Caroline Rhys Davids]], dikritik oleh para cendekiawan dari Sri Lanka karena tak membedakan dengan jelas dua tahapan tersebut.{{sfn|Suvimalee|2005|p=601}}{{sfn|Jayatilleke|1963|pp=384–5}}
 
=== Buddhisme awal ===
{{utama|Sejarah Buddhisme#Tahap awal Buddhisme|Aliran Buddhis awal}}
 
Dalam teks-teks agama BuddhaBuddhisme awal, seperti teks-teks dalam [[bahasa Pāli]], ''saddhā'' biasanya diterjemahkan sebagai "keyakinan", tetapi dengan makna tambahan yang berbeda ketimbang istilah Inggris-nya.{{sfn|De Silva|2002|p=214}} Istilah tersebut terkadang juga diterjemahkan menjadi "kepercayaan", dalam hal kepercayaan akan doktrin.{{sfn|Findly|2003|p=203}}{{sfn|Gombrich|1995|pages=69–70}} Menurut cendekiawan John Bishop, keyakinan dalam agama BuddhaBuddhisme awal pada dasarnya "religius tanpa nuansa teistik".{{sfn|Bishop|2016}} Keyakinan BuddhaBuddhis awal tidaklah menjadikan [[teosentrisme|Tuhan sebagai pusat dari agama]].{{sfn|Gombrich|1995|page=71}} Berlawanan dengan [[Brahmanisme Weda]], yang mendahului agama BuddhaBuddhisme, gagasan keyakinan dalam agama BuddhaBuddhisme lebih berkaitan dengan ajaran-ajaran yang dipelajari dan dipraktikkan, ketimbang berfokus pada dewa-dewi.{{sfn|Findly|1992|p=258}} Hal ini bukan berarti bahwa pendekatan realitas menurut agama BuddhaBuddhisme tak dipengaruhi oleh tradisi lain: pada saat agama BuddhaBuddhisme berkembang, beberapa komunitas agama India sudah mengajarkan pendekatan kritis dalam memahami kebenaran.{{sfn|Jayatilleke|1963|page=277}}
 
Keyakinan bukan sekadar komitmen batin atas sejumlah prinsip,{{sfn|Lamotte|1988|pp=74–5}} tetapi juga memiliki sifat afektif.{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Śraddhā}}{{sfn|Werner|2013|page=45}} Para cendekiawan dalam agama BuddhaBuddhisme awal membedakan antara keyakinan sebagai [[Pīti|kebahagiaan]] dan keyakinan sebagai ketenangan, memperluas pikiran menuju tingkat yang lebih tinggi;{{sfn|Werner|2013|page=45}} dan keyakinan sebagai sebuah [[Vīrya|energi]] yang memproduksi kepercayaan diri, wajib menghadapi cobaan dan pengendalian diri.{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Śraddhā}}{{sfn|De Silva|2002|p=216}} Karena keyakinan membantu mengurangi kebingungan, ini menginspirasi dan memberikan energi kepada penganutnya.{{sfn|Barua|1931|page=332}}
 
Seorang penganut Buddha berkeyakinan kepada Tiga Mestika, yang meliputi Buddha, [[Dharma (Buddha)|Dharma]] dan Saṅgha, serta kedisiplinan. Namun, dalam teks agama BuddhaBuddhisme awal, keyakinan bukan berarti bermusuhan atau menyangkal keberadaan dewa-dewi lainnya. Meskipun Buddha menolak pengurbanan hewan, ia sendiri tidaklah menentang persembahan damai kepada dewa-dewi, tetapi menganggap hal tersebut kurang bermanfaat bila dibandingkan dengan persembahan amal kepada saṅgha biksu.{{sfn|Giustarini|2006|p=162}}{{sfn|Lamotte|1988|pp=74–5}} Oleh sebab itu, segala hal memiliki kodratnya tersendiri terkait dengan kemanfaatannya, dan perilaku moral lebih dihargai dibandingkan upacara atau ritual.{{sfn|Lamotte|1988|p=81}}
 
Keyakinan adalah konsekuensi dari ketidakkekekalan dan pemahaman benar atas penderitaan (''[[dukkha]]''). Refleksi tentang penderitaan dan ketidakkekekalan menuntun para penganut merasakan [[samvega|takut dan agitasi]] ({{lang-pi|saṃvega|italic=yes}}), yang memotivasi mereka untuk mengambil perlindungan kepada Tiga Mestika dan menumbuhkan keyakinan sebagai sebuah hasil.{{sfn|Trainor|1989|pages=185–6}} Kemudian, keyakinan pada gilirannya mengantarkan kepada beberapa kualitas mental penting lainnya sepanjang jalan menuju ''[[Nirwana]]'', seperti sukacita, konsentrasi, dan kebijaksanaan.{{sfn|Harvey|2013a|pp=31, 49}} Namun, hanya berbekal keyakinan saja tak pernah dianggap cukup untuk mencapai ''Nirwana''.{{sfn|Thomas|1953|p=258}}{{sfn|Jayatilleke|1963|p=384}}
Baris 90:
Umat Buddha awam laki-laki dan perempuan yang berbudi luhur disebut ''[[upasaka dan Upasika|upāsaka atau upāsika]]''. Untuk menjadi umat Buddha, tak ada ritual formal yang diwajibkan.{{sfn|Tremblay|2007|p=87}}{{sfn|Lamotte|1988|p=247}} Beberapa ayat dalam [[Kitab Pāli]], serta para ahli tafsir pada masa berikutnya seperti [[Buddhaghosa]], menyatakan bahwa umat awam Buddhis dapat mencapai surga hanya dengan memperkuat keyakinan mereka dan kasih sayang kepada Buddha, demikian juga dalam ayat lainnya, menyatakan bahwa keyakinan disandingkan dengan kebajikan lainnya, seperti moralitas, sebagai penyebab yang menuntun penganutnya terlahir ke surga.{{sfn|De Silva|2002|p=215}}{{sfn|Thomas|1953|pp=56, 117}} Terlepas dari semua itu, keyakinan adalah bagian penting dari cara pandang umat awam Buddhis, karena keyakinan diwujudkan dalam bentuk kebiasaan bertemu dengan saṅgha, menyimak ajarannya, dan yang terpenting, memberikan dana kepada saṅgha. ''Saddhā'' dalam kehidupan awam berkaitan erat dengan [[dana (Buddha)|''dāna'' (kedermawanan)]]: Pemberian tulus adalah pemberian spritual yang paling penting.{{sfn|Findly|2003|pp=200, 202}}
 
Keyakinan termasuk dalam daftar kebajikan untuk umat awam, sehingga dideskripsikan sebagai kualitas progresif untuk para umat Buddha, karena umat yang baru masuk agama BuddhaBuddhisme memiliki ciri-ciri "hijau dalam bakti".{{sfn|Findly|2003|p=202}} Sehingga, terdapat berbagai daftar kebajikan yang mana keyakinan diikutsertakan,{{sfn|Lamotte|1988|p=74}}{{sfn|De Silva|2002|p=215}} dan tradisi Buddhis awal lainnya juga menekankan betapa pentingnya peranan keyakinan, seperti tradisi [[Sarwāstiwāda]].{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Śraddhā}} Selain itu, agama BuddhaBuddhisme awal mendeskripsikan keyakinan sebagai kualitas berpengaruh dalam [[Sotāpanna|pemasuk arus]], sebuah keadaan yang mendahului pencerahan.{{sfn|Harvey|2013b|pp=85, 237}}{{sfn|De Silva|2002}} Dalam deskripsi standar dari mereka yang [[Pabbajja|meninggalkan rumah]] (menerima penahbisan biksu), keyakinan disebut sebagai motivasi penting. Disamping peran tersebut, beberapa pakar Indologi seperti [[André Bareau]] dan Lily De Silva meyakini bahwa agama BuddhaBuddhisme awal tak memegang nilai yang sama dengan kepercayaan seperti dalam beberapa agama lain, seperti Kristen. Bareau berpendapat bahwa "agama BuddhaBuddhisme tak memiliki keyakinan murni sebagai padanannya dalam agama Kristen, ... Pandangan tentang kepercayaan membuta, keyakinan absolut akan firman seorang master, secara terang-terangan berbertolak belakang dengan semangat agama BuddhaBuddhisme awal."{{sfn|De Silva|2002|pp=214–5}}{{sfn|Ergardt|1977|p=1}} Namun, penerjemah [[Caroline Rhys Davids]] tak sepakat dengan pernyataan tersebut, dengan menyatakan bahwa "keyakinan sama pentingnya bagi semua penganut agama karena itulah yang disebut sebagai penganut agama".{{sfn|Jayatilleke|1963|p=383}}{{sfn|Findly|2003|p=201}} Indologis [[Richard Gombrich]] berpendapat bahwa agama BuddhaBuddhisme tak menentukan [[credo quia absurdum|percaya akan seseorang atau sesuatu sampai taraf berlawanan dengan penalaran]].<!--pp=119-20--> Selain itu, Gombrich meyakini bahwa Buddha tak berniat untuk membuat sebuah agama yang berfokus pada bakti kepada dirinya, meskipun ia mengakui bahwa bakti semacam itu telah dimulai saat Buddha masih hidup.{{sfn|Gombrich|2006a|pages=119–22}}{{sfn|Gombrich|2009|p=199}} Gombrich menyatakan bahwa ada banyak catatan dalam naskah-naskah awal yang menjelaskan betapa pentingya pengaruh keyakinan tersebut,{{sfn|Gombrich|2006a|pages=120–22}} namun ia juga berpendapat bahwa "perkembangan seremoni dan liturgi Buddhis benar-benar sebuah [[konsekuensi tanpa tujuan|konsekuensi tanpa disengaja]] secara keseluruhan kotbahkhotbah dari Buddha".{{sfn|Gombrich|2009|p=200}}
 
==== Mengambil perlindungan ====
Baris 96:
{{Main|Perlindungan (Buddha)}}
[[Berkas:Luang Prabang Takuhatsu ルアンパバーン 托鉢僧 DSCF6990.JPG|jmpl|Dalam [[Kitab Pāli]], [[biksu Buddha]] memberikan peran signifikan dalam mempromosikan dan menegakkan keyakinan di kalangan [[Upāsaka dan Upāsikā|kaum awam]].{{sfn|Wijayaratna|1990|pages=130–1}}{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Kuladūșaka}}]]
Sejak agama BuddhaBuddhisme awal, para penganut menyatakan keyakinannya melalui mengambil perlindungan, yang terdiri dari [[tiga perlindungan|tiga lapisan]]. Dalam hal ini berpusat pada otoritas Buddha sebagai sosok yang telah tercerahkan sepenuhnya, dengan menempatkan peran Buddha sebagai guru umat manusia dan para ''[[dewa (Buddha)|dewā]]'' (makhluk surgawi). Perlinungan ini juga mencakup para Buddha dari masa lampau, dan Buddha yang belum hadir di dunia ini. Kedua, mengambil perlindungan dengan cara menghormati kebenaran dan efikasi [[Dharma (Buddha)|ajaran spiritual]] Buddha, yang mencakup karakteristik [[saṅkhāra|fenomena]] ({{lang-pi|saṅkhāra|italic=yes}}) seperti [[anicca|ketidakkekalan]] ({{lang-pi|anicca|italic=yes}}) fenomena, dan jalan menuju pembebasan.{{sfn|Harvey|2013b|p=245}}{{sfn|Kariyawasam|1995}} Mengambil perlindungan terakhir yaitu dengan menerima [[sangha (Buddha)|komunitas para praktisi yang telah berkembang secara spiritual]] (saṅgha), yang kebanyakan didefinisikan sebagai komunitas monastik, selain itu juga meliputi kaum awam dan bahkan para ''dewā'' dengan anggapan bahwa mereka sudah hampir atau sepenuhnya mencapai [[empat tahap pencerahan|pencerahan]].{{sfn|Harvey|2013b|p=246}}{{sfn|Robinson|Johnson|1997|p=43}} Agama BuddhaBuddhisme awal tak mengikutsertakan elemen ''[[bodhisatwa]]'' dalam Tiga Perlindungan, karena para bodhisatwa dianggap masih berada dalam perjalanan menuju pencerahan.{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Paramatthasaṅgha}}
 
Teks-teks awal mendeksripsikan saṅgha sebagai "[[ladang kasih|ladang kebajikan]]", karena penganut Buddha awal memberikan persembahan kepada mereka sehingga bisa mendatangkan karma baik.{{sfn|Harvey|2013b|p=246}} Para penganut awam mendukung dan menghormati saṅgha, mereka yakin dengan cara demikian akan menghasilkan kebajikan dan membawa mereka semakin dekat dengan pencerahan.{{sfn|Werner|2013|page=39}} Sementara itu, biksu Buddhis memberikan peran signifikan dalam meningkatkan dan mempertahankan keyakinan umat awam. Meskipun ada banyakcontoh dalam kitab suci menyebutkan perilaku baik para monastik, tetapi ada juga kasus para biksu berperilaku buruk. Kasus biksu berperilaku buruk ditanggapi dengan hati-hati sebagaimana reaksi dari para umat, hal demikian disebutkan dalam kitab suci. Saat Buddha mulai menetapkan aturan baru dalam [[Vinaya|peraturan monastik]] untuk menangani perilaku buruk monastiknya, Beliau menyatakan bahwa perilaku demikian hendaknya dihentikan, karena tak akan "menyakinkan umat lain" dan "umat sendiri akan menjauh". Beliau mengharapkan para biksu, biksuni dan [[samanera]]-samaneri untuk hidup bukan hanya demi memberikan manfaat untuk diri sendiri saja, tetapi juga menopang keyakinan masyarakat. Di sisi lain, tugas menginspirasi keyakinan umat bukanlah demi menyuburkan kemunafikan atau hal yang tidak sepantasnya, sebagai contohnya, monastik yang tidak menjalankan tugas sebagai monastik malahan berprofesi lain, atau memberikan oleh-oleh kepada umat awam dengan harapan untuk meminta bantuannya.{{sfn|Wijayaratna|1990|pages=130–1}}{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Kuladūșaka}}
Baris 102:
Dengan demikian, mengambil perlindungan merupakan sebuah bentuk aspirasi untuk menjadikan Tiga Mestika sebagai pedoman inti kehidupan. Mengambil perlindungan dilakukan lewat formula singkat, seseorang menyebutkan Buddha, Dharma dan Saṅgha sebagai perlindungan.{{sfn|Irons|2008|p=403}}{{sfn|Robinson|Johnson|1997|p=43}} Pada naskah-naskah Buddhis awal, mengambil perlindungan adalah sebuah pernyataan tekad untuk mengikuti petunjuk dari Buddha, tetapi bukan berarti melepaskan tanggung jawab.{{sfn|Kariyawasam|1995}}
 
Secara tradisional, pernyataan iman ditunjukkan dengan pengambilan perlindungan kepada [[Tiga Permata|Triratna]] dalam syair "Tiga Perlindungan" (Tisaraṇa):<ref>{{Cite web|title=SuttaCentral: Saraṇattaya|url=https://suttacentral.net/kp1/|website=SuttaCentral|language=en|access-date=2024-05-22}}</ref><ref>{{Cite web|title=The Threefold Refuge: tisarana|url=https://www.accesstoinsight.org/ptf/tisarana.html|website=www.accesstoinsight.org|access-date=2024-05-22}}</ref><ref>{{Cite web|title=Refuge in the Buddha|url=https://www.accesstoinsight.org/lib/authors/bodhi/bps-essay_21.html|website=www.accesstoinsight.org|access-date=2024-05-22}}</ref>
 
{{Verse translation|Buddhaṁ saraṇaṁ gacchāmi,
Baris 112:
==== Melalui verifikasi ====
[[Berkas:Kesariya.jpg|jmpl|upright=1.3|[[Stupa Kesaria|Stūpa]] Buddha di [[Kesaria|Kesariya]], [[Bihar]], India, didirikan untuk menghormati [[Kalama Sutta|Kalāma Sutta]]]]
Keyakinan dapat menuntun para praktisi untuk memegang teguh perlindungan kepada Tiga Mestika, hal ini juga yang membukakan jalan menuju pengalaman spiritual baru yang belum pernah mereka ketahui. Ini adalah aspek bakti atau aspek mistis dari keyakinan. Namun, ada juga aspek rasional, makna perlindungan berakar pada verifikasi pribadi.{{sfn|Nakamura|1997|p=392}} Dalam ''[[Kalama Sutta|Kalāma Sutta]]'', Buddha menegaskan bahwa Ia tidak setuju dengan prinsip seseorang mengikuti otoritas suci, tradisi, doktrin logika, atau demi menghormati seorang guru.{{sfn|Suvimalee|2005|p=604}} Pengetahuan yang datang dari sumber seperti itu berdasarkan pada [[kilesa|kesombongan, kebencian dan delusi]] dan para buddhis harus menyerap pengetahuan demikian secara berimbang dan jangan percaya begitu saja. Namun, ajaran seperti itu juga perlu dipertanyakan. Mereka perlu mencari tahu apakah ajaran itu benar melalui verifikasi pribadi atas kebenaran spiritual, membedakan apa saja yang menuntun kepada kebahagiaan dan memberikan manfaat, dan apa saja yang sebaliknya.{{sfn|Jayatilleke|1963|p=390}}{{sfn|Fuller|2004|page=36}}{{refn|group=note|Catatan tersebut dapat ditemukan di dunia maya di [http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an03/an03.065.soma.html Kalāma Sutta, diterjemahkan oleh [[Soma Thera]]]}} Setelah memberikan contoh melalui pendekatan seperti itu, Buddha menyatakan bahwa praktik yang mengurangi kebencian, keserakahan, dan kegelapan batin akan bermanfaat bagi para praktisi, terlepas dari apakah retribusi karma dan kelahiran kembali itu ada atau tiada.{{sfn|Blakkarly|2014}} Dengan demikian, pengalaman pribadi dan penilaian sangat ditekankan apabila berkenaan dengan apakah seseorang berkenan menerima Buddha dan agama BuddhaBuddhisme. Seseorang seharusnya juga mendengarkan arahan dari para bijaksana.{{sfn|De Silva|2002|p=215}}
 
Dalam ''Canki Sutta'', Buddha menekankan bahwa cara seseorang memunculkan keyakinan terdiri dari dua bentuk: keyakinan tulus yang berlandaskan fakta dan tidak keliru atau sia-sia, kosong dan palsu. Sehingga, saat seseorang menganut keyakinan tertentu, mereka tak harus memberikan pernyataan "Hanya ini yang benar, sisanya keliru," namun sebagai gantinya "menyajikan kebenaran" dengan kesadaran "Ini adalah keyakinanku".{{sfn|Suvimalee|2005|p=603}}{{sfn|Fuller|2004|page=36}}{{refn|group=note|Catatan tersebut dapat ditemukan di:
Baris 125:
Selain ''saddhā'', istilah lainnya yaitu ''pasāda'', dan sinonim-sinonim terkaitnya ''pasanna'' dan ''pasidati'', terkadang juga diterjemahkan menjadi 'keyakinan', tetapi memberi nilai yang lebih tinggi daripada ''saddhā''.<!--p=214--> ''Saddhā'' menjadi semakin mendalam ketika seseorang semakin maju dalam perjalanan spiritualnya, dan teks-teks awal terkadang menyebutnya sebagai ''pasāda'',<!--p=216-->{{sfn|De Silva|2002|pp=214, 216}}{{sfn|Harvey|2013b|p=31}}{{sfn|Trainor|1989|page=187}} dan terkadang sebagai ''bhakti''.{{sfn|Barua|1931|page=333}} ''Pasāda'' adalah keyakinan dan kecenderungan tertarik kepada seorang guru, tetapi dibarengi oleh kejernihan batin, kedamaian hati, dan pengertian..{{sfn|Trainor|1989|page=187}} Sang murid yang berlatih mulai mengembangkan dan menstabilkan keyakinannya berlandaskan kewawasan spiritual.{{sfn|De Silva|2002|p=216}}{{sfn|Jayatilleke|1963|p=297}} Semua ini menuntun keyakinan menjadi "tak tergoyahkan".{{sfn|Suvimalee|2005|pp=601–2}}{{sfn|De Silva|2002|p=217}}
 
Dengan demikian, keyakinan saja belumlah cukup untuk mencapai keselamatan, tetap itu hanyalah langkah pertama menuju kebijaksanaan dan pencerahan..{{sfn|Findly|1992|page=265}} Beberapa ajaran dalam agama BuddhaBuddhisme awal menyebut keyakinan sebagai langkah awal, sementara kebijaksanaan disebutkan sebagai yang terakhir.{{sfn|Harvey|2013b|p=237}}{{sfn|Jayatilleke|1963|pp=396–7}} Pada tahap akhir jalan praktik Buddhis, untuk menuju ''[[Arhat|arahat]]'', seorang praktisi secara keseluruhan mengganti keyakinan dengan kebijaksanaan. Pada titik tersebut, ''arahat'' tak lagi mengandalkan keyakinan,{{sfn|Barua|1931|p=336}}{{sfn|Lamotte|1988|pp=49–50}}{{sfn|Jayatilleke|1963|p=384}} walaupun sudah tiba pada tahap tersebut, kadang-kadang bentuk keyakinan komplet juga pernah dijelaskan.{{sfn|Hoffmann|1987|pages=405, 409}} Sehingga, Buddha memuji sebagian besar muridnya karena kebijaksanaannya bukan keyakinannya. Pengecualian pada Bhant Vakkali, ia dipuji oleh buddha sebagai "Dia yang tertinggi dalam keyakinan diantara orang lain", Buddha juga mengajarkan muridnya agar fokus pada ajarannya, bukan pada sosok Buddha.{{sfn|De Silva|2002|p=216}}{{sfn|Lamotte|1988|pp=49–50}}{{sfn|Jayatilleke|1963|p=384}} Tampaknya Buddha juga menegur muridnya, Bhante Ānanda melalui cara yang serupa.{{sfn|Findly|1992|pp=268–9}}
 
Dalam Kitab Pali menjelaskan beberapa pendekatan berbeda berkenaan dengan keyakinan. Saat mengembangkan keyakinan kepada seseorang atau kepada Buddha, upaya ini memberikan manfaat kecil apalagi terlalu berlebihan berkaitan dengan fitur tidak signifikan seperti tampak fisik, lalu tidak terlalu fokus pada ajaran Buddha. Pendekatan keyakinan seperti ini mengarahkan kepada perasaan sayang dan marah dan juga ada kekurangan lainnya. Hal demikian merupakan penghalang dalam menyusuri jejak Buddha dan pencapaian pencerahan, serupa dengan kasus Vakkali. Keyakinan dan bakti perlu berjalan bersama-sama dengan dibarengi dengan [[upekkha|Ekuanimitas]].{{sfn|Harvey|2013b|p=28}}{{sfn|Jayatilleke|1963|p=388}}{{sfn|Werner|2013|page=47}}
 
=== Theravāda ===
{{Theravada}}
Pada umumnya, praktik-pratik dalam aliran [[Theravāda]] serupa dengan praktik-praktik dalam [[Buddhisme awal|Buddhisme Awal]]. Akan tetapi, aliran Theravāda juga secara khusus membahas tentang keyakinan dalam [[Aṭṭhakathā|kitab-kitab komentarnya]].
 
==== Formula ====
Menurut aliran [[Theravāda]], ''saddhā'' dipusatkan pada keyakinan terhadap [[Kecerahan (Buddhisme)|kecerahan]] Buddha (''tathāgatabodhi-saddhā'') atau, secara alternatif, kepadaterhadap Tiga Permata[[Triratna]] (''ratanattaya-saddhā''):<ref name=":032" /><ref name=":1" /><ref name=":2" /><ref name=":3" /><ref name=":4" />
 
# '''Keyakinan terhadap Buddha''', yaitu meyakini para Buddha masa lalu, Buddha masa kini ([[Siddhattha Gotama]]), dan kedatangan [[bodhisatwa]] masa depan; juga pencapaian [[Kebuddhaan]]-Nya di [[Nibbāna|Nirwana]].
# '''Keyakinan terhadap Dhamma''', yaitu meyakini ajaran yang disampaikan oleh Buddha.
# '''Keyakinan terhadap Saṅgha''', yaitu meyakini komunitas rahib yang didirikan oleh Buddha; mereka yang dianggap maju secara spiritual (''ariya-saṅgha'') atau komunitas konvensional yang berupaya mencapai [[Kecerahan (Buddhisme)|kecerahan]] (''sammuti-saṅgha'').
Baris 150 ⟶ 151:
* '''Fungsi''' (''rasa''): untuk menjernihkan (''pasādana'') hati dari kotoran-kotoran batin atau untuk melompati (''pakkhandana'') hal-hal sulit.
* '''Manifestasi''' (''paccupaṭṭhāna''): bebas dari kotoran (''akālussiya''), atau keputusan/ketetapan hati (''adhimutti'').
* '''Sebab-terdekat''' (''padaṭṭhāna''): objek yang pantas untuk memunculkan keyakinan (''saddheyyavatthu''), yaitu Tiga Permata[[Triratna]], atau faktor-faktor [[Empat tingkat kesucian|Pengarungan Arus]] (''sotāpattiyaṅga'').
 
==== Dua jenis keyakinan ====
[[Tradisi Abhidhamma]] Theravāda juga menguraikan ''saddhā'' menjadi dua jenis:<ref name=":0" />
 
# '''Keyakinan tanpa dasar pengalaman langsungawal''' (''amūlika-saddhā''), yaitu keyakinan awal yang didasarkan tanpa dasar pengalaman secara langsung.
# '''Keyakinan kukuh''' atau '''sempurna''' (''aveccapasāda''), yaitu keyakinan yang didasarkan denganpada pengalaman secara langsung.
 
Konsep ''saddhā'' erat kaitannya dengan konsep "menjaga atau melestarikan kebenaran" (''saccānurakkhaṇa'') dan "mengalami kebenaran" (''saccānubodha''). Penjagaan atau pelestarian kebenaran dilakukan dengan tidak menyimpulkan "hanya ini saja yang benar, yang lainnya salah," ketika meyakini sesuatu yang didasarkan pada keyakinan tanpa dasar pengalaman langsung sebelum muncul keyakinan kukuh atau sempurna karena telah mengalami kebenaran secara langsung.<ref name=":0" />
Baris 162 ⟶ 163:
=== Mahāyāna ===
[[Berkas:Shakyamuni Buddha with Avadana Legend Scenes - Google Art Project.jpg|jmpl|upright=1.1|[[Buddha Gautama]] dengan adegan-adegan dari legenda [[Awadāna]]]]
{{Mahayana}}
Dalam periode [[Ashoka|kaisar Ashoka]] (abad ke-3 sampai ke-2 SM), umat Buddha banyak menitikberatkan pada keyakinan, karena Ashoka membantu mengembangkan agama BuddhaBuddhisme sebagai agama populer untuk menyatukan kekuasaanya. Tren baru ini berujung pada peningkatan pemujaan ''stūpa'' dan bertambah banyaknya sastra berlandaskan keyakinan yaitu [[Awadāna]].{{sfn|Harvey|2013b|p=103}}{{sfn|Swearer|2010|p=77}} Pada abad ke-2 SM, Buddha semakin lumrah digambarkan dalam bentuk lukisan, dan ada peralihan penekanan pada [[Bhakti|bakti emosional]] dalam [[agama India]]. Ini menuntun pada perspektif baru dalam agama BuddhaBuddhisme, seperti yang dirangkum oleh Peter Harvey, seorang cendekiawan studi agama BuddhaBuddhisme, dia menyatakan bawah "welas asih, keyakinan, dan kebijaksanaan". Perspektif tersebut membuka jalan lahirnya Aliran [[Mahāyāna]].<!--p=105-->{{sfn|Harvey|2013b|pp=103, 105}}{{sfn|Smart|1997|page=282}}
 
Pada umumnya, peran keyakinan dalam Mahāyāna mirip dengan Theravāda{{sfn|Harvey|2013b|p=31}}{{sfn|Spiro|1982|p=34 n.6}}—keyakinan merupakan bagian tak terhindarkan dari praktik Mahāyāna maupun Theravāda.{{sfn|Blakkarly|2014}} Bahkan dalam aliran Theravāda saat ini, yang bermula dari teks Pāli, keyakinan masih merupakan bagian penting dalam masyarakat Buddhis tradisional. Penganut aliran Theravāda memandang keyakinan kepada Tiga Mestika sebagai unsur protektif dalam kehidupan sehari-hari, khususnya saat dipadukan dengan [[Sila|etika Buddhis]].{{sfn|Spiro|1982|p=15m1}} Namun, dengan kebangkitan aliran Mahāyāna, kedalaman dan rangkaian ajaran tentang keyakinan semakin intensif. Sejumlah besar ''[[bodhisatwa]]'' menjadi fokus bakti dan keyakinan, memberikan nuansa "teistik" kepada aliran Mahāyāna.{{sfn|Harvey|2013b|p=172}}{{sfn|Leaman|2000|page=212}} Dalam agama BuddhaBuddhisme awal, ada beberapa sumber tulisan yang menyatakan bahwa Buddha dan makhluk tercerahkan lainnya yang memiliki alam di luar batas dunia. Kemudian, penganut Theravāda meyakini bahwa [[Maitreya]], Buddha masa depan, menunggu mereka di surga dan secara hari demi hari mereka semakin menghormati Maitreya. Selain itu, penganut Mahāyāna membawa gagasan tersebut lebih lanjut.{{sfn|Reynolds|Hallisey|1987|p=1064}}{{sfn|Conze|2003|p=154}} Setelah [[parinirwāṇa|Buddha mangkat]], ada sebuah perasaan menyesal dari komunitas pengikut Buddha, mereka merasa Buddha sudah tiada lagi di dunia ini, dan ada keinginan untuk "bertemu" dengan Buddha ({{lang-sa|[[Darśana#Dalam Buddha Mahayana|darśana]]}}) dan menerima kekuatannya.{{sfn|Getz|2004|page=699}}{{sfn|Barber|2004|page=707}} Penganut Mahāyāna memperluas pengertian Tiga Mestika dengan mengikutsertakan para Buddha yang berdiam di surga, dan yang kemudian disebut sebagai Buddha ''[[sambhogakāya]]'' ('perwujudan dari kesenangan Dharma').{{sfn|Barber|2004|p=707}}{{sfn|Smart|1997|pp=283–4}} Seiring dengan penekanan pada para Buddha di tanah murni, Buddha yang bermanifestasi setiap waktu dan tempat, kondisi ini membuat peranan Buddha Gautama semakin kabur dalam keyakinan Buddhis.{{sfn|Reynolds|Hallisey|1987|p=1067}}{{sfn|Snellgrove|1987|pp=1078–9}} [[Buddha Tanah Murni|Buddhisme Tanah Murni]] banyak memfokuskan keyakinannya ke Buddha di alam tersebut, khususnya Buddha Amitābha.{{sfn|Harvey|2013b|p=175}}{{sfn|Leaman|2000|p=215}}
 
Dimulai dari bakti kepada para Buddha di tanah murni,{{sfn|Harvey|2013b|p=175}}{{sfn|Leaman|2000|p=215}} sosok-sosok ''bodhisatwa'' tingkat tinggi, yang merupakan gagasan-gagasan Mahāyāna, secara bertahap menjadi fokus dari ibadah dan kultus ekstensif.{{sfn|Conze|2003|p=150}} Semenjak abad ke-6, penggambaran para bodhisatwa dalam ikonografi buddhis menjadi suatu hal yang lumrah,{{sfn|Harvey|2013b|p=175}} seperti ''bodhisatwa'' Awalokiteśwara yang mewakili welas asih, dan [[Manjusri]] manifestasi dari kebijaksanaan.{{sfn|Higham|2004|p=210}} Catatan tentang para ''bodhisatwa'' akan perbuatan baik mereka sering kali meliputi tindakan-tindakan dengan pengorbanan besar, dan para penulis tampaknya mengartikan catatan tersebut lebih condong pada praktik bakti ketimbang sebagai panutan.{{sfn|Derris|2005|page=1084}}
 
Berdasarkan itulah, pada abad ke-12 dan ke-13, agama BuddhaBuddhisme di Jepang mulai terjadi pergeseran dari tujuan akhir pencapaian pencerahan berubah menjadi praktik yang berkaitan dengan [[Sifat kebuddhaan|hakikat Buddha universal]] dan tanah murni tempat para Buddha bersemayam.{{sfn|Bielefeldt|2004|pages=389–90}} Seiring dengan perkembangan sistem pemikiran [[Mādhyamaka]], Buddha Sakyamuni tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya tokoh sejarah, dan gagasan persatuan esensial dalam seluruh makhluk hidup menjadi bagian intrinsik dari teori dan praktik Buddha.{{sfn|Murti|1955|p=6}} Perkembangan tersebut berujung pada gerakan bakti dari agama BuddhaBuddhisme aliran Tanah Murni, sementara dalam agama BuddhaBuddhisme aliran Zen bertujuan menemukan [[Sifat kebuddhaan|Hakikat Buddha]] dalam dirinya sendiri.{{sfn|Kiyota|1985|p=222}}
 
Istilah untuk keyakinan yang umum dipakai dalam BuddhaBuddhisme Mahāyāna adalah ''Xin'' (Tionghoa) dan ''shin'' (Jepang):<!--only Buswell--> istilah-istilah tersebut dapat merujuk kepada rasa percaya, selain juga penerimaan tanpa dipertanyakan atas objek bakti seseorang. Istilah itu juga dipakai tradisi [[Buddhisme Chan|Chan]] atau [[Buddhisme Zen|Zen]], yang mana berkaitan dengan keyakinan terhadap Hakikat Buddha (''tathāgatagarbha'') yang terbenam dalam pikiran seseorang, dan Hakikat Buddha akan muncul ketika seseorang berhasil menghentikan kebiasaan-kebiasaan pikiran.{{sfn|Gómez|2004b|p=278}}{{sfn|Bielefeldt|2004|page=390}}{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Śraddhā}} Sehingga, aliran Chan atau Zen menganggap keyakinan sebagai salah satu dari ''Tiga Esensial'' dalam praktik meditasi, bersama dengan ketekunan dan keraguan.{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Sanyao, Zongmen huomen}}{{sfn|Powers|2013|loc=dai funshi ("great resolve")}} Di sisi lain, aliran Tanah Murni membedakan antara aspek pikiran yaitu kepercayaan, dan aspek yang disadarkan oleh praktik bakti dan kerendahan hati kepada Buddha [[Amitābha]], yang disebut sebagai ''xinji'' (Tionghoa) atau ''[[shinjin]]'' (Jepang);<!--all three--> dan sukacita dan keyakinan karena dapat bertemu dengan Buddha Amitābha, yang disebut sebagai ''xinfa'' (Tionghoa) atau ''shingyō'' (Jepang).<!--Gomez and Buswell-->{{sfn|Bielefeldt|2004|page=390}}{{sfn|Gómez|2004b|p=279}}{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Xinxin}} Tradisi Tanah Murni mendeskripsikan bahwa bangkitnya keyakinan merupakan pengalaman transendental melampaui waktu, mirip dengan keadaan yang mendahului pencerahan.{{sfn|Harvey|2013b|p=255}} Ajaran dari Master Tanah Murni yaitu [[Shinran]] menyatakan bahwa pengalaman keyakinan itu disebut "Cahaya Terang" (''[[bahasa Jepang|Jepang]]: kōmyō''), melibatkan perasaan sepenuh hati pada tekad dan kebijaksanaan Buddha Amitabha yang mampu menyelamatkannya, juga mengandalkan sepenuhnya kepada Amitabha karena para penganut sama sekali tidak berdaya.{{sfn|Dobbins|2002|p=29}}{{sfn|Bloom|1987|p=8355}}
 
Terlepas dari betapa pentingnya perkembangan yang terjadi pada kemunculan BuddhaBuddhisme Mahāyāna, jika disebutkan bahwa tiada pergerakan tentang bakti sebelum Mahayana maka itu pernyataan terlalu dangkal. Bakti telah ditemukan dalam teks dan praktik yang bersamaan dengan periode ketika teks [[Abhidhamma]] mulai dikompilasi, bahkan sebelum kemunculan Mahāyāna.{{sfn|Schopen|2004|p=496}} Lebih jauh lagi, tradisi Theravada dikemudian hari mulai menekankan pada hagiografi tentang Buddha dan bodhisatwa lebih banyak lagi, dan banyak catatan menyebutkan bahwa Buddha memainkan peranan utama dalam pencerahan banyak orang.{{sfn|Derris|2005|pp=1085, 1087}}
 
==== Aliran Tiantai, Tendai, dan Nichiren ====
Baris 190 ⟶ 192:
{{Main|Aliran Tanah Murni|Shinjin}}
[[Berkas:Chinesischer Maler des 8. Jahrhunderts 001.jpg|jmpl|Buddha [[Amitābha]]]]
Tampaknya sutra dari aliran "Tanah Murni" yang menjadi keyakinan dan bakti menjadi hal paling penting tertinggi dalam konteks [[soteriologi]]. Ketika bakti kepada emanasi para Buddha di tanah murni mulai berkembang dalam Mahāyāna, gagasan yang berkembang menyatakan bahwa para Buddha tersebut dapat menciptakan 'Setra Buddha' {{lang-sa|buddha-kṣetra|italic=yes}}), atau Tanah-Tanah Murni ({{lang-sa|sukhāwatī|italic=yes}}).{{sfn|Smart|1997|p=282}} Dalam Aliran Tanah Murni, ini adalah keyakinan seseorang dalam welas kasih dari Buddha Amitābha,{{sfn|Green|2013|p=122}} didukung dengan kombinasi permintaan tulus untuk memasuki Tanah Murni-Nya yang dijelaskan bahwa akan merealisasi pembebasan di sana. Aliran Tanah Murni tersebut mempersiapkan para penganutnya untuk merealisasi pencerahan dan Nirwana.{{sfn|Hsieh|2009|pp=236–7}}{{sfn|Green|2013|p=123}} Aliran Tanah Murni memiliki beberapa perbedaan dengan agama BuddhaBuddhisme pada umumnya pada masa itu, yang mana pada zaman itu pada umumnya agama BuddhaBuddhisme mengandalkan upaya pribadi dan teknik pengendalian diri.{{sfn|Irons|2008|p=394}}
 
Penganut Mahāyāna menganggap Amitābha ([[Sansekerta|Sanskerta]], 'terang tanpa batas') sebagai salah satu emanasi Buddha.{{sfn|Smart|1997|page=282}}{{sfn|Gómez|2004a|p=14}} [[Sūtra Sukhāvatīvyūha Panjang]] mendeskripsikan Buddha Amitābha sebagai seorang biksu yang berpraktik di bawah bimbingan seorang Buddha pada masa sebelumnya, berkomitmen untuk menciptakan sebuah area melalui kekuatan spiritualnya. Melalui area ideal tersebut, Amitabha akan dengan mudah menuntun banyak makhluk merealisasikan pencerahan final.{{sfn|Harvey|2013b|p=173}} Dengan demikian Ia bertekad seketika mencapai pencerahan sebagai seorang Buddha, melalui penjapaan namanya saja akan cukup untuk terlahir ke Tanah Murni itu.{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Dharmākara}} Praktik bakti kepada Amitabha tersebar di Jepang, Korea, Tiongkok, dan Tibet,<!--Smart--> yang mana tradisi ini awalnya berkembang di India pada permulaan Era Masehi.<!--Gomez-->{{sfn|Gómez|2004a|p=14}}{{sfn|Smart|1997|page=284}} Inti dari Aliran Tanah Murni adalah gagasan bahwa manusia masa sekarang hidup dalam Zaman Kemunduran Dharma (''[[bahasa Tionghoa|Tionghoa:]] mofa'', ''[[bahasa Jepang|Jepang:]] mappō''), tahap akhir dari periode [[Buddha Gautama|Buddha saat ini]].{{sfn|Hsieh|2009|pp=236–7}}{{sfn|Green|2013|p=123}} Umat Buddha penganut Aliran Tanah Murni meyakini bahwa pada periode ini, kemampuan rata-rata orang sangat terbatas dalam meraih pembebasan. Mereka perlu mengandalkan kekuatan eksternal (Buddha Amitābha) untuk mencapai pembebasan, dan menunda perealisasian Nirwana pada kehidupan lain (yaitu merealisasi Nirwana pada kelahiran kembali ke Tanah Murni).{{sfn|Hsieh|2009|pp=236–7}}{{sfn|Green|2013|p=123}} Kepercayaan serupa ini terjadi barangkali disebabkan oleh kekerasan, konflik sipil, kelaparan, kebakaran dan kehancuran institusi monastik.{{sfn|Andrews|1987|p=4119}} Namun, gagasan tentang mengandalkan kekuatan ekstenal bisa saja juga merupakan konsekuensi dari ajaran Mahāyāna tentang hakikat Buddha, yang mana konsep tersebut membedakan antara yang belum tercerahkan dan pencapaian Buddha yang lebih tinggi.{{sfn|Williams|2008|page=247}}
Baris 204 ⟶ 206:
Konsep keyakinan yang diadopsi oleh Shinran berasal dari Shandao:{{sfn|Williams|2008|page=262}} mula-mula, kepercayaan tulus pada sosok Buddha Amitābha; kedua, kepercayaan mendalam atas tekad Buddha Amitābha, dan menyadari bahwa kemampuan diri sendiri yang masih lemah, dan terakhir, keinginan kuat untuk mendedikasikan tumpukan kebajikan dari berbuat kebajikan agar bisa terlahir ke Tanah Murni yang merupakan tempat Amitābha Buddha bersemayam.<!--both--> Tiga kepercayaan itu juga dikenal sebagai 'hati tanpa bentuk' (''[[bahasa Jepang|Jepang]]: isshin'').<!--only Dobbins-->{{sfn|Conze|2003|p=158}}{{sfn|Dobbins|2002|pp=34–5}} Lebih jauh lagi, Shinran mengajarkan bahwa dengan membangkitkan keyakinan penuh seperti itu membuat seseorang setara dengan Maitreya (Buddha akan datang), karena sudah bisa dipastikan bahwa pencerahan yang akan mereka cara sudah tidak bisa mundur lagi.{{sfn|Dobbins|2002|pp=42–3}}{{sfn|Williams|2008|p=264}}
 
Shinran menganut ajaran Hōnen sampai titik ekstrem: dia yakin bahwa dirinya akan jatuh ke dalam neraka tanpa bantuan Buddha Amitābha, bakti dan kepercayaan akan tekadnya Buddha Amitābha adalah jalan tunggal menuju pembebasan.{{sfn|Abe|1997|p=692}}{{sfn|Porcu|2008|page=17}} Walaupun Hōnen juga pada umumnya menitikberatkan praktik bakti kepada Buddha Amitābha, ia tak melakukannya secara eksklusif berlebihan: sementara itu, Shinran hanya mengajarkan bakti tunggal kepada Buddha Amitābha.{{sfn|Irons|2008|page=258}} Kemudian, BuddhaBuddhisme Tanah Murni pimpinan Shinran berfokus pada serangkaian praktik tertentu, kontras dengan beberapa praktik aliran Tendai. Karakteristik agama BuddhaBuddhisme di Jepang pada periode tersebut merupakan kondisi selektif dari keyakinan: para guru Tanah Murni Jepang seperti Shinran mengajarkan bahwa Tanah Murni adalah satu-satunya bentuk agama BuddhaBuddhisme yang merupakan jalan yang benar;<!--both refs--> bentuk agama BuddhaBuddhisme lainnya dikritik karena tak efektif untuk Zaman Kemunduran Dharma. (Kelanjutan dari 'selektif agama BuddhaBuddhisme', [[bahasa Jepang|Jepang]]:''senchaku bukkyō'', juga berdampak pada aliran Nichiren.<!--Bielefeldt-->{{sfn|Bielefeldt|2004|pages=388–9}}{{sfn|Dobbins|2004a|page=412}}) Ketiga, walaupun pada perkembangan awal agama BuddhaBuddhisme menitikberatkan pada pelepasan sang aku yang tidak nyata melalui mempraktikkan Dharma, pada aliran Tanah Murni berikutnya diperdalam lagi melalui pernyataan bahwa setiap manusia perlu meletakkan semua "kekuatan diri" dan mengizinkan kekuatan penyembuhan Amitābha agar mereka bisa mencapai pembebasan.{{sfn|Harvey|2013b|p=230}}{{sfn|Conze|2003|p=159}} Kekuatan ini bahkan diyakini melampaui hukum karma.<!--4934--> Selain itu, meskipun Honen mengajarkan bahwa keyakinan dapat dibangun dengan praktik ''nembutsu'', Shinran menyatakan bahwa keyakinan dibutuhkan sebagai kebutuhan awal, dan tak dapat dibangun melalui praktik.<!--4935-->{{sfn|Shōto|1987|page=4934–5}} Karakteristik keempat dari gerakan tersebut adalah hakikat demokratisnya:{{sfn|Andrews|1987|p=4119}}{{sfn|Abe|1997|page=689}} dalam beberapa pasal, Shinran menyatakan bahwa orang yang "jahat" memiliki banyak kesempatan untuk mencapai Tanah Murni sebagai orang yang "baik", sebuah gagasan yang mirip dengan konsep "keselamatan pendosa" dari agama Kristen.{{sfn|Harvey|2000|p=143}}{{refn|group=note|Namun, bberapa cendekiawan menurunkan peran gerakan-gerakan baru seperti Buddhisme Tanah Murni pada [[periode Kamakura]], dengan alasan bahwa reformasi juga terjadi dalam aliran-aliran Buddhis lama, dan beberapa gerakan baru hanya meraih signifikansi lebih pada masa berikutnya.{{sfn|Dobbins|2004a|page=414}}}}
 
Ordo-ordo Buddhis lama sangat menentang gerakan tersebut, karena memulai sebuah aliran baru, menyingkirkan ajaran-ajaran Buddha, dan memelintir Buddha Gautama. Saat kaisar merasa bahwa ada beberapa monastik Honen bertindak tak pantas, Hōnen dicekal pada sebuah provinsi terpencil selama empat tahun.{{sfn|Abe|1997|pp=691–2}}{{sfn|Andrews|1987|p=4120}}{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=namu Amidabutsu}} Saat Shinran mulai mengajarkan tentang ketidaksetujuannya terhadap praktik selibat, menyatakan bahwa ini mengindikasikan kurangnya kepercayaan terhadap Buddha Amitābha, ia juga dicekal.{{sfn|Abe|1997|pp=691–2}}{{sfn|Dobbins|2004a|page=413}} Selain Shinran, para pendeta lain yang menunjung keyakinan dalam tafsiran-tafsiran mereka juga dicekal, karena ajaran mereka sering kali tak diterima otoritas aristokrat yang berkuasa.{{sfn|Dobbins|2002|page=19}}
Baris 218 ⟶ 220:
{{Main|Awalokiteswara}}
[[Berkas:Sculpture of Khasarpana Lokeshvara (c 11th–12th century), Indian Museum, Kolkata, India - 20150807.jpg|jmpl|Patung [[Awalokiteswara|Awalokiteśwara]], dengan lima Buddha Kelestial di tepi atas luar]]
Dalam agama BuddhaBuddhisme yang menyebar di Asia Timur, terdapat fokus kuat terhadap pemujaan Bodhisatwa Awalokiteśwara. Pemujaannya bermula di perbatasan utara India, tetapi ia dihormati karena sifat welas asihnya di beberapa negara, seperti Tiongkok, Tibet, Jepang, Sri Lanka dan belahan Asia Tenggara lainnya, dan berbagai tingkat masyarakat.{{sfn|Higham|2004|p=29}}{{sfn|Birnbaum|1987|p=704}}
 
Teks yang disebut ''Sūtra Awalokiteśwara'' menyatakan bahwa Awalokiteśwara akan membantu siapapun yang menyebut namanya dengan penuh keyakinan, memenuhi berbagai jenis harapan, dan membangkitkan sifat welas asih Buddha setiap orang.{{sfn|Harvey|2013b|pp=250–1, 253}}{{sfn|Irons|2008|p=98}} Awalokiteśwara berkaitan erat dengan Buddha Amitābha, saat ia diyakini berada di Tanah Murni yang sama, dan akan datang untuk menyelamatkan mereka yang menyebut nama Buddha Amitābha.{{sfn|Gómez|2004a|p=15}}{{sfn|Birnbaum|1987|p=705}} Berfokus pada manfaat keduniawian dan keselamatan,<!--Ford--> bakti kepada Awalokiteśwara dipromosikan melalui penyebaran Sūtra Teratai, terdapat satu bab tentang Awalokiteśwara,<!--Stone and Birnbaum-->{{sfn|Stone|2004a|p=474}}{{sfn|Birnbaum|1987|p=705}}{{sfn|Ford|2006|p=90}} serta melalui ''sūtra''-''sūtra'' [[Prajnaparamita|Kesempurnaan Kebijaksanaan]].{{sfn|Powers|2013|loc=Avalokiteśvara}} Para pengikut Awalokiteśwara sering kali menggambarkannya sebagai seorang perempuan, dan dalam bentuk perempuannya, ia dikenal sebagai [[Guanyin]] di Tiongkok,<!--all refs--> bermula dari sebuah asosiasi dengan Istadewata [[Tara (Buddha)|Tārā]].<!--Snellgrove-->{{sfn|Harvey|2013b|pp=250–1, 253}}{{sfn|Irons|2008|p=98}}{{sfn|Snellgrove|1987|p=1079}} Saat ini, Awalokiteśwara dan bentuk perempuannya Guanyin adalah salah satu figur yang paling banyak digambarkan dalam agama BuddhaBuddhisme, dan Guanyin juga dipuja oleh penganut [[Taoisme]].{{sfn|Irons|2010|p=2721}}
 
=== Perkembangan sejarah lain ===
==== Dewa-dewi ====
 
Dalam agama BuddhaBuddhisme, para Buddha dan makhluk tercerahkan merupakan fokus utama penghormatan, berbeda dengan dewa-dewi dalam agama lain. Walaupun demikian, agama BuddhaBuddhisme juga mengakui keberadaan dewa-dewi, para Buddha dan makhluk tercerahkan telah terbebas dari [[samsara]] (siklus kelahiran dan kematian) oleh karena itulah dianggap berbeda dengan dewa-dewi. Hal demikian bukan berarti para dewa-dewi tidak eksis dalam agama BuddhaBuddhisme. Namun, pemujaan para dewa-dewi sering dikaitkan dengan ketakhayulan atau bentuk upaya mahir dalam membimbing mereka yang belum tercerahkan agar memiliki kehidupan lebih baik, dan tak lebih dari itu.<!--p=466-->{{sfn|Rambelli|2004|pages=465–6}}
 
Dalam sejarah penyebaran agama BuddhaBuddhisme, hubungan antara agama BuddhaBuddhisme dan dewa-dewi lokal adalah aspek kesuksesan yang berpengaruh, tetapi umat Buddha sering kali menolaknya karena gerakan lokal yang bersifat ortodoks. Selain itu, para cendekiawan kurang menaruh perhatian kepada peran dewa-dewi lokal, karena hal tersebut tak disoroti oleh disiplin akademik standar manapun yang mengkaji agama BuddhaBuddhisme, seperti kajian Buddha atau antropologi. Meskipun demikian, dewa-dewi memiliki peran dalam kosmologi Buddhis dari masa-masa awal. Namun, tradisi-tradisi Buddhis memandang hal tersebut sebagai bawahan Buddha, dan mengaitkan beberapa cerita dari dewa-dewi tersebut dengan ajaran Buddha dan bahkan menjadi pelindung Buddha. Ketika para guru besar Buddhis mengadopsi kosmologi yang sama, selain menempatkan Buddha di bagian atas sistem tersebut, [[kosmologi Buddha|kosmologi Buddhis]] mulai berkembang.{{sfn|Glassman|2004}}{{sfn|Rambelli|2004|page=466}} Bagian dari proses tersebut menggambarkan dewa-dewi tersebut secara kasar dan kacau berantakan, karena bertolak belakang dengan prinsip agama BuddhaBuddhisme dan para praktisinya—ini mendekati kebenaran, karena para misionaris Buddhis sering kali berasal dari budaya tanpa kekerasan dan lebih tertata rapi. Dengan demikian, dewa-dewi seperti ular (''[[nāga]]''), [[garuda|dewa-dewi mirip burung]] dan [[yaksha|makhluk halus jahat]] yang sebelumnya menjadi fokus pemujaan-pemujaan pra-Buddhis menjadi pelindung ajaran Buddha.{{sfn|Rambelli|2004|page=467}} Proses adopsi para dewa-dewi menjadi bagian dari agama BuddhaBuddhisme tampaknya terjadi ketika pada umat Buddha atau para biksu tidak sepenuhnya meninggalkan kepercayaan terdahulunya ketika memeluk agama BuddhaBuddhisme.{{sfn|Snellgrove|1987|p=1076}} Ada suatu masa ketika agama BuddhaBuddhisme harus bersaingan dengan pemujaan nāga, kejadian itu masih bisa ditemukan dalam kitab Pali dan beberapa budaya tradisional masyarakat Buddhis, tidak heran jika pemujaan itu diadopsi ke dalam agama BuddhaBuddhisme.{{sfn|Gombrich|2006b|pp=72-5}}
 
Di beberapa negara buddhis seperti Jepang, muncul beberapa perspektif tentang manusia di muka bumi ini merupakan mikrokosmos dari makrokosmik ranah para Buddha. Hal demikian mengizinkan tolerasi lebih lebar bagi tradisi lokal dan kepercayaan leluhur, yang mana tradisi tersebut berkaitan dengan makrokosmos tersebut, oleh karena itulah dianggap bagian dari agama BuddhaBuddhisme.{{sfn|Bielefeldt|2004|p=390}} Semua perkembangan tersebut membuat agama BuddhaBuddhisme memasukkan beberapa dewa-dewi ke dalam sistem keyakinannya, selain setiap dewa diberi tempat dan peran yang merupakan bawahan dari Buddha.{{sfn|Rambelli|2004|pages=465–7}}{{sfn|Swearer|1987|page=3154}} Bahkan secara eksklusif, Jōdo Shinshu tak menyingkirkan pemujaan dewa-dewi [[Shinto]] yang dikenal dengan ''[[kami]]'', meskipun aliran tersebut tak mengizinkan pemujaan tersebut.{{sfn|Dobbins|2002|pp=39, 58}} Lebih jauh lagi, banyak ritual di beberapa negara Buddhis dari masa pra-Buddhis juga mendapat tugas selain biksu. Tugas khusus tersebut biasanya dilakukan oleh umat awam, mereka yang menunaikan fungsi tersebut disampaing menunaikan tugas sebagai umat perumah tangga.<!--p=468-->{{sfn|Rambelli|2004|pages=467–8}}{{sfn|Kariyawasam|1995}}
 
Agama BuddhaBuddhisme tak hanya memasukkan dewa-dewi ke dalam agama, tetapi juga mengadaptasi ajaran-ajarannya sendiri. Menurut cendekiawan kajian agama Donald Swearer, para ''bodhisatwa'', pemujaan relik dan hagiografi para guru Buddhis adalah cara dari agama BuddhaBuddhisme untuk mengadaptasi dewa-dewi pra-Buddhis dan kepercayaan [[animisme|animistik]], dengan menyelaraskannya ke dalam sistem pemikiran Buddhis. Gerakan-gerakan Buddhis Asia Timur seperti Teratai Putih Tiongkok adalah transformasi dari kepercayaan animistik sejenis itu. Transformasi semacam itu dari kepercayaan pra-Buddhis juga menjelaskan popularitas gerakan-gerakan seperti aliran Tanah Murni Jepang di bawah Hōnen dan Shinran, bahkan meskipun dalam ajaran-ajaran mereka, mereka menentang animisme.{{sfn|Swearer|1987|page=3155–6}}
 
==== Milenarianisme ====
 
{{Main|Milenarianisme}}
Agama BuddhaBuddhisme adalah bentuk terkuat dari milenarianisme non-barat.{{sfn|Landes|2000|p=463}} Dalam beberapa tradisi Buddhis ada konsep [[apokalips|periode waktu dunia akan berakhir]]. Konsep figur [[milenarian]] yang timbul di dunia pada zaman apokaliptik tersebar dalam beberapa tradisi Buddhis. Dalam agama BuddhaBuddhisme, perkembangan dan keruntuhan dunia ini diyakini terjadi dalam [[Kalpa (satuan waktu)|siklus-siklus]], dan periode kehancuran diyakini berakhir dengan kebangkitan ''[[cakrawartin]]'' dan pada akhirnya, kedatangan Buddha masa depan yang akan memulai periode kemakmuran baru. Bakti kepada figur Buddha [[mesianisme|mesianik]] semacam itu telah menjadi bagian dari hampir setiap tradisi Buddhis.{{sfn|DuBois|2004|pp=537–8}} Gerakan milenarian biasanya adalah bentuk kekhasan budaya dari budaya dominan, berseberangan dengan "upaya untuk memegang akal budi dan logika daripada keyakinan", menurut ilmuwan politik, William Miles.{{sfn|Miles|2011|p=647}}
 
Tradisi-tradisi Asia Timur secara khusus mengasosiasikan berakhirnya dunia ini dengan kedatangan Buddha masa depan, yakni [[Maitreya]].<!--p=537, p=66--> Teks-teks Pāli awal hanya secara singkat menyebutkannya, tetapi Maitreya banyak disebutkan dalam tradisi-tradisi Sanskerta yang berkembang belakangan seperti [[Mahāsāṃghika]]. Tiongkok, Myanmar, dan Thailand, menghormati Maitreya sebagai bagian dari gerakan-gerakan milenarian, dan mereka meyakini bahwa Buddha Maitreya akan hadir pada masa-masa penderitaan dan krisis, untuk mengantarkan mereka ke era kebahagiaan yang baru.<!--p=538, p=67 (last sentence)-->{{sfn|DuBois|2004|pp=537–8}}{{sfn|Lazich|2000|pp=66–7}} Dari abad ke-14, sektarianisme [[Teratai Putih]] berkembang di Tiongkok, yang mencakup keyakinan akan kedatangan Maitreya pada zaman apokalips.{{sfn|DuBois|2004|p=537}} Para penganut sekte Teratai Putih mempercayai bahwa keyakinan mereka akan ajaran-ajaran yang benar akan menyelamatkan mereka ketika era dunia baru.{{sfn|Naquin|1976|p=13}} Kepercayaan milenarianis Teratai Putih akan menunjang persisten dan selamat sepanjang jalan menuju abad ke-19, saat Tiongkok mengaitkan zaman Maitreya dengan revolusi politik. Namun, abad ke-19 tak menjadi abad pertama yang mana kepercayaan milenarian menimbulkan perubahan politik: pada sebagian besar sejarah Tiongkok, keyakinan dan pemujaan terhadap Buddha Maitreya sering kali menyulut pemberontakan untuk mengubah masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik, untuk menunggu Maitreya.{{sfn|DuBois|2004|pp=537, 539}}{{sfn|Lazich|2000|pp=67–8}} Beberapa pemberontakan tersebut berujung pada revolusi-revolusi berpengaruh dan kehancuran dinasti-dinasti kerajaan.{{sfn|Landes|2000|p=463}} Meskipun demikian, keyakinan akan kedatangan era baru Maitreya tak sekadar propaganda politik untuk menyulut pemberontakan, tetapi "mengakar dalam kehidupan pemujaan yang ada secara berkelanjutan" menurut cendekiawan kajian Tiongkok Daniel Overmyer.{{sfn|Overmyer|2013|pp=83–4}}
Baris 245 ⟶ 247:
==== Modernisme Buddhis ====
{{Main|Modernisme Buddhis}}
Meskipun pada zaman pra-modern, beberapa aliran agama BuddhaBuddhisme tidak terlalu menekankan pada sisi keyakinan dalam praktik,{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Baotang zong}} peran keyakinan benar-benar baru dikritik secara besar-besaran pada zaman modern. Pada abad ke-18, [[Abad Pencerahan]], para intelektual barat memandang agama sebagai kerabat budaya, berseberangan dengan kebenaran akal budi tunggal. Pada akhir abad ke-19, pandangan tentang agama tersebut menunjukkan bagaimana dunia Barat merespons agama BuddhaBuddhisme. Para penulis Barat seperti [[Edwin Arnold]] mulai menghadirkan agama BuddhaBuddhisme sebagai jawaban untuk kontradiksi antara sains dan agama, karena agama rasional bukanlah budaya. Saat sains barat dan rasionalisme menyebar ke Asia, para intelektual Asia seperti di Sri Lanka mengembangkan gagasan serupa.{{sfn|Robinson|Johnson|1997|p=302}} Karena ancaman pemerintah kolonial dan agama Kristen, dan kebangkitan kelas menengah perkotaan, pada akhir abad ke-19, agama BuddhaBuddhisme di Sri Lanka mulai berubah. Dideskripsikan oleh para cendekiawan saat ini sebagai [[modernisme Buddhis|"modernisme Buddhis" atau "Buddhisme protestan"]], masyarakat Barat dan Sri Lanka bersama-sama yang berasal dari didikan Inggris mengadvokasikan agama BuddhaBuddhisme sebagai filsafat rasional, bebas dari keyakinan dan pemberhalaan buta, menyanjung sains dan gagasan modern.<!--all refs-->{{sfn|Baumann|1987|page=1187}}{{sfn|Harvey|2013b|p=378}}{{sfn|Gombrich|2006a|pp=196–7}} Mereka memandang praktik tradisional seperti pemujaan relik dan kegiatan bakti lainnya sebagai kesalahan dari sebuah gagasan, bentuk rasional dari agama BuddhaBuddhisme,{{sfn|Trainor|1997|pp=19–20}}{{sfn|McMahan|2008|pp=65, 69}} sementara itu mengasimilasikan nilai-nilai [[Zaman Victorian|Victorian]] dan nilai-nilai modern lainnya dan menyebut mereka sebagai Buddhis tradisional, sering kali tidak mengetahui dari mana asal-usulnya tradisi itu.{{sfn|Gombrich|2006a|pp=191–2}}
 
[[Berkas:Daisetsu Teitarō Suzuki photographed by Shigeru Tamura.jpg|kiri|jmpl|lurus|[[Daisetsu Teitarō Suzuki]], difoto oleh [[Shigeru Tamura (fotografer)|Shigeru Tamura]]]]
Di Jepang, dari [[zaman Meiji]], Jepang sangat menyerang agama BuddhaBuddhisme sebagai sistem keyakinan asing dan takhayul. Dalam menanggapinya, aliran-aliran Buddha seperti Zen mengembangkan sebuah gerakan yang disebut "agam Buddha Baru" (''Jepang: [[D. T. Suzuki#Buddhisme Baru|shin bukkyo]]''), yang mengedepankan rasionalisme, modernisme, dan gagasan keprajuritan.{{sfn|Ahn|2004|p=924}} Masih di agama BuddhaBuddhisme Jepang, pada abad ke-20, tanggapan kritikal terhadap agama BuddhaBuddhisme tradisional berkembang, yang dipimpin oleh dua akademisi Hakamaya Noriaki dan Matsumoto Shirō, disebut [[Buddhisme Kritikal]]. Aliran pemikiran Noriaki dan Shirō mengkritik gagasan agama BuddhaBuddhisme Tiongkok dan Jepang karena merendahkan pemikiran kritis, mempromosikan kepercayaan buta dan kurang mendukung perkembangan masyarakat. Namun, cendekiawan [[kajian Asia Timur]] Peter Gregory menyatakan bahwa upaya Buddhis Kritikal untuk menemukan agama BuddhaBuddhisme murni tanpa campur tangan secara ironi diikuti dengan kritikal terhadap esensialisme yang sangat sama.{{sfn|Dennis|2005|p=1250}}{{sfn|Gregory|1997}} Cendekiawan lainnya juga menyatakan argumen serupa. Agama BuddhaBuddhisme Kritikal mengkritik bahwa kepercayaan membabi buta dan kepercayaan akan hakikat Buddha, namun tidak ada tempat bagi keyakinan: Keyakinan buddhis sebagaimana yang dinyatakan oleh Noriaki adalah kapasitas kritital tanpa kompromi untuk membedakan antara agama BuddhaBuddhisme benar dan yang keliru, dan komitmen pada agama BuddhaBuddhisme yang benar. Noriaki mengontraskan keyakinan dengan [[Wa (budaya Jepang)|gagasan harmoni Jepang]] (''wa''), yang ia percaya bisa saling bergandengan tangan dengan penerimaan non kritikal dari ideal non Buddhis, termasuk kekerasan..{{sfn|Swanson|1993|pages=133–4}}{{sfn|Williams|2008|p=324 n.61}}
 
Walaupun tren modernisasi di Asia semakin merebak, para cendekiawan juga menemukan bahwa rasionalisme dan kemunculan kembali ajaran dan praktik religius pra modern semakin menurun. Dari tahun 1980an dan setelah itu, mereka juga menemukan bahwa agama BuddhaBuddhisme Sri Lanka yaitu sisi bakti religius, praktik magis, memuja dewa-dewi demikian juga kebingungan moralitas telah merebak kemana-mana, sebagai efek dari agama BuddhaBuddhisme Protestan menjadi semakin lemah. Richard Gombrich dan antropolog [[Gananath Obeyesekere]] telah menyebutkan istilah AgamaBuddhisme ''Buddha pasca-protestan'' untuk mendeskripsikan tren tersebut.{{sfn|Harvey|2013b|p=384}}{{sfn|Cousins|1997|p=188}}{{sfn|Gombirch|1990|415–7}}
 
==== Buddhisme abad kedua puluh di dunia Barat ====
[[Berkas:Bhikku Bodhi.jpg|jmpl|lurus|[[Bhikkhu Bodhi]]|alt=Bhikkhu Bodhi]]
Melalui penyebaran agama BuddhaBuddhisme di dunia Barat pada abad ke-20, praktik-praktik kebaktian masih memainkan peran penting di kalangan komunitas etnis Asia, namun tidak begitu berperan dalam komunitas Barat yang "berpindah agama". Pengaruh modernisme Buddhis juga terasa di dunia Barat, ada organisasi-organisasi yang dipimpin oleh awam sering kali menawarkan kursus-kursus meditasi tanpa ada kaitan dengan bakti. Para penulis seperti [[D. T. Suzuki]] mendeskripsikan meditasi sebagai praktik trans-kultural dan non-relijius, yang banyak diterapkan di kalangan dunia Barat.{{sfn|Robinson|Johnson|1997|p=303}}{{refn|group=note|Pada kenyataannya, [[D. T. Suzuki]] membuat sebuah poin dalam beberapa tulisannya bahwa [[Zen]] tak dapat terpisahkan dari agama BuddhaBuddhisme.{{sfn|Robinson|Johnson|1997|p=303}}}} Dengan demikian, di dunia Barat, meditasi [[Buddhisme sekuler|Buddhis sekuler]] lebih diutamakan ketimbang dalam komunitas Buddhis tradisional, dan tanpa ada kaitan dengan keyakinan atau bakti.{{sfn|McMahan|2008|page=5}}{{sfn|Harvey|2013b|pp=429, 444}} Seperti di Asia modern, aspek-aspek rasional dan intelektual dari agama BuddhaBuddhisme banyak diutamakan di dunia Barat, karena agama BuddhaBuddhisme sering kali dibandingkan dengan agama Kristen.{{sfn|Baumann|1987|page=1189}} Pengarang dan guru Buddhis [[Stephen Batchelor (pengarang)|Stephen Batchelor]] berupaya mendorong bentuk agama BuddhaBuddhisme yang ia yakini adalah agama BuddhaBuddhisme asli, agama BuddhaBuddhisme kuno, sebelum agama BuddhaBuddhisme menjadi "terlembagakan sebagai agama".{{sfn|McMahan|2008|page=244}}
 
Berseberangan dengan tipikal tren modernis, beberapa komunitas Buddhis barat juga tampak menunjukkan komitmen besar kepada praktik dan keyakinan mereka, dan untuk itu, akal budi menjadi lebih relijius tradisional ketimbang kebanyakan bentuk spiritualitas [[Zaman Baru]].{{sfn|Phillips|2005|p=228}} Lebih jauh lagi, ada beberapa guru Buddhis telah menyuarakan ketidaksetujuan atas interpretasi agama BuddhaBuddhisme yang menafikan keyakinan dan bakti, termasuk penerjemah dan biarawan, [[Bhikkhu Bodhi|Biksu Bodhi]]. Biksu Bodhi menyatakan bahwa banyak kalangan barat yang keliru dalam memahami ''[[Kalama Sutta|Kalāma Sutta]]'' {{see above|Verifikasi|mid=yes}}, sebagaimana agama BuddhaBuddhisme mengajarkan bahwa keyakinan dan pembuktian secara personal seharusnya berjalan bersamaan, lalu keyakinana tidak seharusnya dicampakkan.{{sfn|McMahan|2008|p=248}}
 
Di penghujung abad ke-20 muncul keadaan unik berkaitan dengan agama BuddhaBuddhisme di dunia barat: Untuk pertama kali sejak agama BuddhaBuddhisme meninggalkan India, sejak itu banyak tradisi Buddhis bisa berkomunikasi dengan satu bahasa. Hal ini meningkatkan [[eklestisisme]] antar tradisi berbeda.{{sfn|Robinson|Johnson|1997|p=307}} Lebih jauh lagi, saat penelitian saintifik semakin maju dalam menelaah metode meditasi, para penulis Buddhis terkenal juga merujuk pada bukti-bukti saintifik untuk membuktikan apakah praktik Buddhis sungguh efektif atau tidak, daripada sekadar merujuk pada naskah kitab suci atau otoritas monastik.{{sfn|Wilson|2018}}
 
==== Nawayāna ====
{{Main|Nawayāna|Gerakan Buddha Dalit}}
Pada 1956, ''[[Dalit]]'' (kaum tak berkasta) India dan tokoh ikonik [[Babasaheb Ambedkar|Ambedkar]] (1891–1956) memimpin perpindahan agama massal ke agama BuddhaBuddhisme, memulai [[nawayana|gerakan Buddha baru]] (''Nawayāna''). Gerakan baru tersebut berujung pada serangkaian perpindahan agama massal, beberapa diantaranya mencapai lebih dari 500,000 orang yang berpindah agama. ''Dalit'' yang terpinggirkan akibat [[sistem kasta]] India mengambil perlindungan dalam agama BuddhaBuddhisme sebagai jalan keluar. Pada 2010an, insiden kekerasan yang dialami para ''dalit'' membuat kebangkitan perpindahan agama massal di [[Gujarat]] dan negara bagian lainnya. Beberapa orang yang berpindah agama menyatakan bahwa perpindahan agama adalah adalah pilihan politik untuk mereorganisasikan diri mereka sendiri, karena perpindahan agama dapat membantu mereka tak lagi terklasifikasi oleh sistem kasta Hindu.{{sfn|Dore|2016}}
 
Para cendekiawan mendeskripsikan [[Ambedkarisme|sudut pandang Ambedkar tentang agama BuddhaBuddhisme]] sebagai sekuler dan modernis ketimbang relijius, karena ia mengedepankan [[ateisme Buddha|aspek-aspek ateis dari agama BuddhaBuddhisme]] dan rasionalitas, dan menyangkal hierarki dan [[soteriologi Hindu]].{{sfn|Ganguly|2006|pags=54}}{{sfn|Contursi|1989|p=448}} Para cendekiawan lainnya menyatakan bahwwa gerakan Ambedkarisme merupakan bentuk kritis terhadap pandangan tradisional, Ambedkar menginterpretasikan ulang tentang berbagai konsep tradisi Hindu daripada menyangkal semuanya. Secara spesifik, cendekiawan {{ill|Gauri Vishwanathan|de}} menyatakan bahwa perpindahan agama ''Dalit'' oleh Ambedkar memberikan keyakinan yang lebih sentral, lebih berperan ketimbang sebelumnya. Namun, peneliti lintas budaya Ganguly Debjani menekankan unsur-unsur keagamaan dalam deskripsi Ambedkar tentang kehidupan dan ajaran Buddha, dan menyatakan bahwa Ambedkar men[[deifikasi]] Buddha sebagai "fondasi rasionalitas". Beberapa cendekiawan berpendapat bahwa Buddha dan Ambedkar dihargai oleh para pengikutnya melalui praktik kebaktian tradisional ({{lang-sa|bhakti|script=Latn}}), seperti pengisahan cerita, lagu dan syair, perayaan dan gambar, meskipun Ambedkar menolak praktik semacam itu.<!--pp=59-60; Gokhale-->{{sfn|Ganguly|2006|pages=54–7, 59–60}}{{sfn|Gokhale-Tuerner|1980|pp=38-9}}
 
== Lihat pula ==
Baris 391 ⟶ 393:
* [https://www.youtube.com/watch?v=MuHi9Zpx7zo Debate held by the Melbourne Insight Meditation Group about being Buddhist, orthodoxy and faith], between Ajahn Brahmali and [[Stephen Batchelor (author)|Stephen Batchelor]]
 
{{topikTopik Buddhisme}}
 
[[Kategori:Kepercayaan, tradisi, dan pergerakan agama]]