Paku Alam I: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Andri.h (bicara | kontrib)
rapikan
Akuindo (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
 
(64 revisi perantara oleh 39 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{kegunaanlain|Natakusuma}}
'''BPH Notokusumo''' dilahirkan pada [[21 Maret]] [[1764]] (versi lain [[1760]]) di Yogyakarta. Beliau adalah putera ketiga [[Hamengkubuwono I]] dan Raden Ayu Srenggoro, seorang selir yang berasal dari desa Karangnongko. Di dalam urutan seluruh putra-putri [[Hamengkubuwono I]] Notokusumo adalah urutan ke 11. Beliau merupakan salah satu putra terkasih Sultan HB I
{{Infobox royalty
| embed =
| name = Paku Alam I<br/>{{jav|ꦦꦏꦸꦄꦭꦩ꧀꧇꧑꧇}}
|image_size = 220px
| title = Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya
| titletext =
| more =
| type =
| succession = [[Kadipaten Pakualaman|Adipati Kadipaten Pakualaman]]
| moretext = pertama
| reign = 1813-1829
| reign-type = Bertakhta
| coronation =28 Januari 1813<ref name="bio"/>
| cor-type = Penobatan
| predecessor =
| successor = [[Paku Alam II]]
| suc-type =
| regent =
| reg-type =Pemahkotaan
 
| birth_name = Bendara Pangeran Harya Natakusuma
Kiprah BPH Notokusumo dalam kancah politik telah dilakukan ketika masih muda. Sekitar 1780 beliau mendapat gelar Bandoro Pangeran Hario (disingkat BPH), sebuah gelar pejabat senior di Kasultanan Yogyakarta. Putra Raden Ayu Srenggoro ini sangat dekat hubungannya dengan Pangeran Adipati Anom (gelar putra mahkota) yang kelak menjadi [[Hamengkubuwono II]].
| birth_date = 21 Maret 1764
| birth_place = [[Kraton Yogyakarta Hadiningrat|Kraton Yogyakarta]], [[Yogyakarta]]
| death_date = {{death date and age|1829|10|4|1764|3|31|df=y}}
| death_place = [[Pura Pakualaman]], [[Yogyakarta]]<ref name="bio"/>
| burial_place = [[Kotagede]], [[Yogyakarta]]
| spouse =
| spouse-type =
| consort =
| issue =
| issue-link =
| issue-pipe =
| issue-type =
| full name =
| era name =
| era dates =
| regnal name = Sampeyandalem Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam ingkang Jumeneng Kaping Satunggal
| posthumous name=
| temple name =
| house =[[Wangsa Mataram|Mataram]]
| father = [[Hamengkubuwana I]]
| mother = Bendara Raden Ayu Srenggana<ref name="bio">[https://id.rodovid.org/wk/Istimewa%3AChartInventory/26189 ''Biografi singkat PA I'']. id.rodovid.org. 2019. Diakses tanggal 25/07/2019</ref>
| religion =Islam
| occupation =
| signature_type = Tanda tangan
| signature =
| module =
}}
 
'''Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam I''' (lahir dengan nama '''Bendara Pangeran Harya Natakusuma''' pada [[21 Maret]] [[1764]] (versi lain [[1760]])) adalah Adipati Pakualaman yang pertama. Ia adalah putera ketiga [[Hamengkubuwono I]] dan Raden Ayu (R.Ay.) Srenggara, seorang selir yang berasal dari desa Karangnangka. Di dalam urutan seluruh putra-putri [[Hamengkubuwono I]] Notokusumo adalah urutan ke 11. Ia merupakan salah satu putra terkasih Sultan HB I.
Pada masa pemerintahan [[Hamengkubuwono II]] timbul intrik-intrik istana yang disulut oleh Patih [[Danurejo II]] (semacam Sekretaris Negara) dan van Braam, minister untuk [[Surakarta]]. Pertentangan antara Sultan HB II dan Patihnya membawa banyak sekali akibat. Hubungan antara [[Hamengkubuwono II]] dan Pangeran Adipati Anom yang kelak menjadi [[Hamengkubuwono III]] tidak harmonis. Untuk meredam ambisi [[Danurejo II]], Sultan mengangkat RT Notodiningrat (kelak menjadi Paku Alam II) menjadi sekretaris istana dan menyerahkan hampir semua urusan Sekretariat Negara padanya. Hal ini semakin memperuncing keadaan yang ada.
 
== Perjalanan Panjang Menuju Tahta Paku Alam ==
Dengan sedikit intrik, [[Danurejo II]] berhasil memancing pemberontakan Bupati [[Madiun]], R Rangga. BPH Notokusumo dan terutama putranya RT Notodiningrat ikut terseret dan dituduh mendalangi pemberontakan. Berkat laporan keliru yang dibuat [[Danurejo II]] dan van Braam, [[Daendels]], Gubernur Jenderal Belanda-Perancis di [[Batavia]], memerintahkan pembebasan tugas RT Notodiningrat dari sekretaris istana.
Kiprah BPH Natakusuma dalam kancah politik telah dilakukan ketika masih muda. Sekitar 1780 ia mendapat gelar Bendara Pangeran Harya (disingkat BPH), sebuah gelar pejabat senior di Kasultanan Yogyakarta. Putra Raden Ayu Srenggara ini sangat dekat hubungannya dengan Pangeran Adipati Anom (gelar putra mahkota) yang kelak menjadi [[Hamengkubuwana II]].
Selanjutnya [[Daendels]] meminta [[Hamengkubuwono II]] untuk menyerahkan Notokusumo dan Notodiningrat ke [[Semarang]]. Akhirnya Notokusumo dan Notodiningrat diberangkatkan ke Semarang dan ditawan disana. Kemudian kedua tawanan dibawa ke Tegal dan selanjutnya ke Cirebon, dimana terjadi upaya pembunuhan terhadap mereka. Setelah dari [[Cirebon]] Notokusumo dan Notodiningrat dipindahkan ke [[Batavia]]. Pada saat yang sama, dengan perundingan dan kekuatan 7000 pasukan Belanda-Perancis, [[Hamengkubuwono II]] dimakzulkan paksa dari tahtanya. Sebagai pengganti diangkatlah Pangeran Adipati Anom sebagai [[Hamengkubuwono III]].
 
Pada masa pemerintahan [[Hamengkubuwana II]] timbul intrik-intrik istana yang disulut oleh Patih [[Danureja II]] (jabatan kepala pemerintahan yang menjalankan pemerintahan sebuah negara) dan Van Braam, minister untuk [[Kota Surakarta|Surakarta]]. Pertentangan antara Sultan HB II dan Patihnya membawa banyak sekali akibat. Hubungan antara [[Hamengkubuwana II]] dan Pangeran Adipati Anom yang kelak menjadi [[Hamengkubuwana III]] tidak harmonis. Untuk meredam ambisi Danureja II, Sultan mengangkat RT Natadiningrat (kelak menjadi Paku Alam II) menjadi sekretaris istana dan menyerahkan hampir semua urusan Sekretariat Negara padanya. Hal ini semakin memperuncing keadaan yang ada.
Di [[Batavia]] ternyata juga terjadi kejadian yang tak terduga. Daendels dicopot dari jabatannya dan digantikan oleh [[Janssens]]. Gubernur Jenderal yang baru ini berusaha memulihkan keadaan dengan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dilakukan pendahulunya. Notokusumo dan Notodiningrat tidak lagi diperlakukan sebagai tawanan kriminal. Namun beliau berdua tetap belum diperbolehkan kembali ke [[Yogyakarta]].
 
Dengan sedikit intrik, Danureja II berhasil memancing pemberontakan Bupati [[Madiun]], [[Ronggo Prawirodirjo III|Raden Rangga]]. BPH Natakusuma dan terutama putranya RT Natadiningrat ikut terseret dan dituduh mendalangi pemberontakan. Berkat laporan keliru yang dibuat Danureja II dan van Braam, [[Herman Willem Daendels]], Gubernur Jenderal Belanda-Prancis di [[Batavia]], memerintahkan pembebasan tugas RT Natadiningrat dari sekretaris istana.
Pada jeda waktu yang tak terlalu lama terdengar berita Bala Tentara Pemerintah Kerajaan [[Inggris]] mulai masuk perairan [[Laut Jawa]]. BPH Notokusumo dan RT Notodiningrat diminta ke Bogor dan diserahkan pada adik Sekretaris Jendral Belanda- Perancis. Setelah tentara Belanda-Perancis kalah di [[Batavia]] dan [[Meester Cornelis]] (sekarang kawasan Jatinegara) serta pasukan Kerajaan Inggris menuju [[Bogor]], Kedua bangsawan [[Yogyakarta]] dipindahkan ke [[Semarang]] dan akhirnya ke [[Surabaya]].
 
Selanjutnya Daendels meminta [[Hamengkubuwana II]] untuk menyerahkan Natakusuma dan Natadiningrat ke [[Kota Semarang|Semarang]]. Akhirnya Natakusuma dan Natadiningrat diberangkatkan ke Semarang dan ditawan disana. Kemudian kedua tawanan dibawa ke Tegal dan selanjutnya ke Cirebon, dimana terjadi upaya pembunuhan terhadap mereka. Setelah dari [[Kota Cirebon|Cirebon]], Natakusuma dan Natadiningrat dipindahkan ke [[Batavia]]. Pada saat yang sama, dengan perundingan dan kekuatan 7000 pasukan Belanda-Prancis, [[Hamengkubuwana II]] dimakzulkan paksa dari tahtanya. Sebagai pengganti diangkatlah Pangeran Adipati Anom sebagai [[Hamengkubuwana III]].
Di [[Surabaya]] Notokusumo ditemui Pejabat Kerajaan [[Inggris]]. Pemerintah Kerajaan [[Inggris]] tertarik dengan kasus pengasingannya. Setelah proses penyelidikan akhirnya Raad van Indie berpendapat kedua bangsawan hanya merupakan korban kelicikan intrik-intrik pejabat Belanda-Perancis. Inggris berpendapat bahwa BPH Notokusumo adalah orang yang tepat untuk melunakkan [[Hamengkubuwono II]] yang menentang Inggris. Kemudian beliau diminta Gubernur Jawa di Semarang untuk tinggal di kota tersebut.
 
Di [[Batavia]] ternyata juga terjadi kejadian yang tak terduga. Daendels dicopot dari jabatannya dan digantikan oleh Gubernur Jenderal [[Jan Willem Janssens]]. Gubernur Jenderal yang baru ini berusaha memulihkan keadaan dengan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dilakukan pendahulunya. Natakusuma dan Natadiningrat tidak lagi diperlakukan sebagai tawanan kriminal. Namun ia berdua tetap belum diperbolehkan kembali ke [[Kesultanan Yogyakarta]].
Di kota lumpia itu BPH Notokusumo mendapat sambutan yang baik. Beliau berterima kasih kepada [[Inggris]] atas kepercayaan terhadapnya dan putranya. Inggris berharap Notokusumo bersedia menjadi mediator antara Inggris dengan Sultan Sepuh yang bertahta kembali dan menentang Inggris. Setidaknya [[Soedarisman Poerwokoesoemo]] mencatat ada dua versi yang berbeda mengenai peran Notokusumo di tahun 1811-1812 di [[Yogyakarta]].
 
Pada jeda waktu yang tak terlalu lama terdengar berita Bala Tentara Pemerintah Kerajaan [[Inggris]] mulai masuk perairan [[Laut Jawa]]. BPH Natakusuma dan RT Natadiningrat diminta ke Bogor dan diserahkan pada adik Sekretaris Jendral Belanda- Prancis. Setelah tentara Belanda-Prancis kalah di [[Batavia]] dan [[Meester Cornelis]] (sekarang kawasan Jatinegara) serta pasukan Kerajaan Inggris menuju [[Kota Bogor|Bogor]], Kedua bangsawan Yogyakarta dipindahkan ke Semarang dan akhirnya ke [[Kota Surabaya|Surabaya]].
Versi pertama mengatakan setelah kembali ke Yogyakarta BPH Notokusumo menjelaskan maksud kedatangannya pada Sultan. Sultan dalam pernyataannya menerima proposal Inggris untuk menyerahkan tahta kepada Adipati Anom dan meminta maaf kepada Inggris atas insiden pembunuhan [[Danurejo II]] yang dilakukan menurut perintahnya dengan kompensasi Inggris memberi amnesty kepada Sultan. Sultan juga meminta agar sikapnya jangan dipublikasikan. Sultan menyambut sendiri Letnan Jenderal Thomas Stamford [[Raffles]] ketika datang ke [[Yogyakarta]] dan mengadakan jamuan kenegaraan.
 
Di Surabaya, Natakusuma ditemui Pejabat Kerajaan [[Inggris]]. Pemerintah Kerajaan [[Inggris]] tertarik dengan kasus pengasingannya. Setelah proses penyelidikan akhirnya [[Raad van Indie]] berpendapat kedua bangsawan tersebut hanya merupakan korban kelicikan intrik-intrik pejabat Belanda-Prancis. Inggris berpendapat bahwa BPH Natakusuma adalah orang yang tepat untuk melunakkan [[Hamengkubuwana II]] yang menentang Inggris. Kemudian ia diminta Gubernur Jawa di Semarang untuk tinggal di kota tersebut.
Konflik dan intrik berdarah ternyata tidak berhenti. Kondisi yang berbalik seratus delaan puluh derajat ini menyebabkan Adipati Anom menjadi ketakutan. Kali ini konflik turut menyeret [[Kasunanan Surakarta]] dan [[Kadipaten Mangkunagaran]]. Setelah ibundanya ditahan oleh Sultan Sepuh-karena dianggap ikut mempengaruhi Adipati Anom-, Adipati Anom bekerja sama dengan Kapten Tan Djiem Sing menemui Crawfurd, residen [[Inggris]] untuk Yogyakarta. Dari hasil pertemuannya Crawfurd dalam suratnya kepada Raffles mengusulkan Adipati Anom di angkat lagi menjadi sultan. Dalam surat itu pula Notokusumo diusulkan menjadi Pangeran Merdiko. Akhirnya diusulkan Letnan Gubernur Jenderal datang ke Yogyakarta dengan membawa pasukan untuk berperang.
 
Di kota lumpia itu BPH Natakusuma mendapat sambutan yang baik. Ia berterima kasih kepada [[Inggris]] atas kepercayaan terhadapnya dan putranya. Inggris berharap Natakusuma bersedia menjadi mediator antara Inggris dengan Sultan Sepuh yang bertahta kembali dan menentang Inggris. Setidaknya [[Soedarisman Poerwokoesoemo]] mencatat ada dua versi yang berbeda mengenai peran Natakusuma pada tahun 1811-1812 di Yogyakarta.
Versi kedua mencatat segera setelah penyerahan kekuasaan dari Belanda-Perancis kepada [[Inggris]], Hamengkubuwono II kembali mengambil alih tahta dari putranya. Kepada pemerintah [[Inggris]] Sultan mengusulkan bebrapa tuntutan, diantaranya, pembayaran kembali uang ganti rugi daerah pesisiran yang diambil Belanda, Penyerahan makam-makam leluhur, dan diserahkannya BPH Notokusumo dan RT Notodiningrat.
 
'''Versi pertama:'''
Oleh [[Raffles]] Sultan Sepuh dibiarkan dalam kedudukannya dan bahkan diperkuat kedudukannya. Tuntutan Sultan untuk membebaskan kedua kerabatnya dipenuhi. Sebaliknya Sultan diminta untuk membubarkan Angkatan Bersenjata Kasultanan. Akibat campur tangan Inggris terlalu jauh dalam urusan istana, Sultan segera mengadakan perundingan dengan Sunan [[Surakarta]] untuk melepaskan diri dari Inggris.
 
Setelah kembali ke Yogyakarta BPH Natakusuma menjelaskan maksud kedatangannya pada Sultan. Sultan dalam pernyataannya menerima proposal Inggris untuk menyerahkan tahta kepada Adipati Anom dan meminta maaf kepada Inggris atas insiden pembunuhan Danureja II yang dilakukan menurut perintahnya dengan kompensasi Inggris memberi [[amnesti]] kepada Sultan. Sultan juga meminta agar sikapnya jangan dipublikasikan. Sultan menyambut sendiri Letnan Jenderal [[Thomas Stamford Raffles]] ketika datang ke [[Yogyakarta]] dan mengadakan jamuan kenegaraan.
Sultan secara terang-terangan menentang Inggris dengan menolak pembubaran korps prajuritnya dan memperkuat pertahanan di istana serta menambah jumlah milisi bersenjata. Notokusumo dan Kapten Tan Djiem Sing-lah yang memberi tahu kepada Inggris segala rencana Sultan.
 
Konflik dan intrik berdarah ternyata tidak berhenti. Kondisi yang berbalik seratus delaan puluh derajat ini menyebabkan Adipati Anom menjadi ketakutan. Kali ini konflik turut menyeret [[Kasunanan Surakarta]] dan [[Kadipaten Mangkunagaran]]. Setelah ibundanya ditahan oleh Sultan Sepuh-karena dianggap ikut memengaruhi Adipati Anom, Adipati Anom bekerja sama dengan Kapten [[Tan Jin Sing]] menemui [[John Crawford]], residen [[Inggris]] untuk Yogyakarta. Dari hasil pertemuannya Crawford dalam suratnya kepada Raffles mengusulkan Adipati Anom di angkat lagi menjadi sultan. Dalam surat itu pula Natakusuma diusulkan menjadi Pangeran Merdika. Akhirnya diusulkan Wakil Gubernur Jenderal datang ke Yogyakarta dengan membawa pasukan untuk berperang.
Dan akibatnya pada pertengahan Juni 1812, Admiral [[Gillespie]] datang ke Yogyakarta dengan pasukan bersenjata lengkap. Selain itu Legiun Pangeran Prangwadono ([[Mangkunagaran]]) juga diperbantukan. Segera [[Gillespie]] mengirim ultimatum kepada Sultan untuk segera merealisasikan sikapnya dengan menyerahkan tahta pada Adipati Anom dan menjadikan BPH Notokusumo menjadi pangeran merdiko. Sultan dengan tegas enggan memenuhi ultimatum.
 
'''Versi kedua:'''
Sebuah versi mengemukakan mulai 18 Juni [[1812]] istana mulai dihujani meriam. Setelah mengepung tiga hari dan mengadakan serangan kilat pada hari terakhir istana dapat ditaklukkan pada 20 Juni 1812. Versi lain berpendapat mulai 20 Juni [[1812]] keraton mulai diserang dan pada 28 Juni 1812 istana sepenuhnya dapat dikuasai Inggris. Pada tanggal itu pula Sultan Sepuh untuk kedua kalinya diberhentikan dan sekali lagi [[Hamengkubuwono III]] ditahtakan sebagai Sultan [[Yogyakarta]].
 
Segera setelah penyerahan kekuasaan dari Belanda-Prancis kepada [[Inggris]], Hamengkubuwana II kembali mengambil alih tahta dari putranya. Kepada pemerintah [[Inggris]] Sultan mengusulkan bebrapa tuntutan, diantaranya, pembayaran kembali uang ganti rugi daerah pesisiran yang diambil Belanda, Penyerahan makam-makam leluhur, dan diserahkannya BPH Natakusuma dan RT Natadiningrat .
 
Oleh [[Raffles]] Sultan Sepuh dibiarkan dalam kedudukannya dan bahkan diperkuat kedudukannya. Tuntutan Sultan untuk membebaskan kedua kerabatnya dipenuhi. Sebaliknya Sultan diminta untuk membubarkan Angkatan Bersenjata Kasultanan. Akibat campur tangan Inggris terlalu jauh dalam urusan istana, Sultan segera mengadakan perundingan dengan [[Sri Susuhunan]] di [[Surakarta]] untuk melepaskan diri dari Inggris.
 
Sultan secara terang-terangan menentang Inggris dengan menolak pembubaran korps prajuritnya dan memperkuat pertahanan di istana serta menambah jumlah milisi bersenjata. Natakusuma dan Kapten Tan Jin Sing-lah yang memberi tahu kepada Inggris segala rencana Sultan.
 
Dan akibatnya pada pertengahan [[Juni 1812]], Admiral [[Gillespie]] datang ke Yogyakarta dengan pasukan bersenjata lengkap. Selain itu Legiun Pangeran Prangwadana ([[Mangkunagaran]]) juga diperbantukan. Segera [[Gillespie]] mengirim ultimatum kepada Sultan untuk segera merealisasikan sikapnya dengan menyerahkan tahta pada Adipati Anom dan menjadikan BPH Natakusuma menjadi pangeran merdika. Sultan dengan tegas enggan memenuhi ultimatum.
 
Sebuah versi mengemukakan mulai [[18 Juni]] [[1812]] istana mulai dihujani meriam. Setelah mengepung tiga hari dan mengadakan serangan kilat pada hari terakhir istana dapat ditaklukkan pada [[20 Juni]] 1812. Versi lain berpendapat mulai 20 Juni [[1812]] keraton mulai diserang dan pada [[28 Juni]] 1812 istana sepenuhnya dapat dikuasai Inggris. Pada tanggal itu pula Sultan Sepuh untuk kedua kalinya diberhentikan dan sekali lagi [[Hamengkubuwana III]] ditahtakan sebagai Sultan [[Yogyakarta]].
 
== Tahta Paku Alaman ==
Pada [[29 Juni]] 1812 Natakusuma diangkat oleh Pemerintah Kerajaan [[Inggris]] menjadi Gusti Pangeran Adipati Paku Alam. Pengangkatan ini berdasarkan jasa-jasanya terhadap Pemerintah Inggris (lihat Perjalanan Panjang Menuju Tahta Paku Alam di atas). Melalui [[Perjanjian Politik 17 Maret 1813]] (sering disebut dengan ''Politiek Contract'') Natakusuma secara resmi diangkat sebagai Pangeran Merdika dibawah Pemerintah Inggris dengan gelar Pangeran Adipati Paku Alam. Kepadanya diberikan tanah dan tunjangan, [[Legiun Pakualaman|tentara kavaleri]], hak memungut pajak, dan hak tahta yang turun temurun. Semua ini diperoleh dengan imbalan kesetiaan kepada Pemerintah [[Inggris]]. Daerah kekuasaan Paku Alam meliputi sebuah [[kemantren]] di kota Yogyakarta (sekarang menjadi wilayah kecamatan Pakualaman) dan Daerah Karang Kemuning (Adikarto) di bagian selatan Kabupaten [[Kulon Progo]] sekarang.
 
Pekerjaan sebagai penguasa baru telah menunggu. Di samping mengurusi daerahnya sendiri Paku Alam I juga diangkat Raffles menjadi wali [[Hamengkubuwana IV]] antara 1814-1820. Tugas perwalian ini sangat terbatas karena harus berbagi dengan GK Ratu Ageng dan GK Ratu Kencana, nenek dan bunda Sultan, serta Patih Kasultanan. Semasa [[Hamengkubuwana V]] (ditahtakan ketika berusia balita), Paku Alam tidak lagi diikutkan pada perwalian. Pada [[7 Maret]] [[1822]] secara resmi oleh Pemerintah Hindia Belanda diberi gelar Pangeran Adipati. Selanjutnya gelar ini hanya digunakan untuk para penguasa Kadipaten yang telah berusia lebih dari 40 tahun. Dalam [[Perang Jawa]] 1825-1830 Paku Alam bersifat pasif. Setelah memerintah selama sekitar 16 tahun Paku Alam mangkat dan dimakamkan di [[Kotagede, Yogyakarta]].{{Butuh rujukan}} Ia meninggal pada tanggal 19 Desember 1829.<ref>{{Cite book|last=Sulistyowati, N. A., dan Priyatmoko, H.|date=2019|url=http://repository.usd.ac.id/37889/1/Ebook_Toponim%20Jogja-.pdf|title=Toponim Kota Yogyakarta|location=Jakarta|publisher=Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan|isbn=978-623-7092-08-7|pages=320|url-status=live}}</ref> Pendiri Kadipaten Pakualaman ini meninggalkan 11 putra-putri.
 
== Referensi ==
{{reflist}}
 
== Bacaan tambahan ==
* [[Soedarisman Poerwokoesoemo]], KPH, Mr. ''Kadipaten Pakualaman''. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1985.
* Fredy Heryanto, Mengenal Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
 
== Pranala luar ==
 
* {{en}} [http://www.4dw.net/royalark/Indonesia/pakuala2.htm Pakualaman - The Kartasura Dynasty - Genealogy]
Pada 29 Juni 1812 Notokusumo diangkat oleh Pemerintah Kerajaan [[Inggris]] menjadi Gusti Pangeran Adipati Paku Alam. Pengangkatan ini berdasarkan jasa-jasanya terhadap Pemerintah Inggris (lihat Perjalanan Panjang Menuju Tahta Paku Alam di atas). Melalui perjanjian politik (Politiek Contract) 17 Maret 1813 Notokusumo secara resmi diangkat sebagai Pangeran Merdiko dibawah Pemerintah Inggris dengan gelar Pangeran Adipati Paku Alam. Kepadanya diberikan tanah dan tunjangan, tentara kavaleri, hak memungut pajak, dan hak tahta yang turun temurun. Semua ini diperoleh dengan imbalan kesetiaan kepada Pemerintah [[Inggris]]. Daerah kekuasaan Paku Alam meliputi sebuah kemantren di kota Yogyakarta (sekarang menjadi wilayah kecamatan Pakualaman) dan Daerah Karang Kemuning (Adikarto) di bagian selatan Kabupaten [[Kulon Progo]] sekarang.
 
{{kotak mulai}}
Pekerjaan sebagai penguasa baru telah menunggu. Di samping mengurusi daerahnya sendiri Paku Alam I juga diangkat Raffles menjadi wali [[Hamengkubuwono IV]] antara 1814-1820. Tugas perwalian ini sangat terbatas karena harus berbagi dengan GK Ratu Ageng dan GK Ratu Kencono, nenek dan bunda Sultan, serta Patih Kasultanan. Semasa [[Hamengkubuwono V]] (ditahtakan ketika berusia balita), Paku Alam tidak lagi diikutkan pada perwalian. Pada [[7 Maret]] [[1822]] secara resmi oleh Pemerintah Hindia Belanda diberi gelar Pangeran Adipati. Selanjutnya gelar ini hanya digunakan untuk para penguasa Kadipaten yang telah berusia lebih dari 40 tahun. Dalam [[Perang Jawa]] 1825-1830 Paku Alam bersifat pasif. Setelah memerintah selama sekitar 16 tahun Paku Alam mangkat dan dimakamkan di [[Kota Gede Yogyakarta]]. Pendiri Kadipaten Pakualaman ini meninggalkan 11 putra-putri.
{{s-reg}}
{{kotak suksesi|jabatan = [[Paku Alam|Adipati Pakualaman]]|pendahulu=[[tidak ada]]|pengganti = [[Paku Alam II]]|tahun = 1813-1829}}
{{kotak selesai}}
 
{{lifetime|1760|1829|Paku Alam 01}}
{{indo-bio-stub}}
 
[[Kategori:RajaPaku JawaAlam|1]]
[[Kategori:KelahiranTokoh 1760Jawa]]
[[Kategori:Kelahiran 1764]]
[[Kategori:Kematian 1829]]