Jati: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Pierrewee (bicara | kontrib)
''
Menambah referensi penting
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(33 revisi perantara oleh 23 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{kegunaanlain}}
{{Speciesbox
{{Taxobox
| colorfill = lightgreenyes
| name genus= Jati<br>''Tectona grandis''
| species = '''''T. grandis'''''
| image =Starr_010304-0485_Tectona_grandis.jpg
|authority=[[Carolus Linnaeus yang Muda|L.f.]]
| image_width = 240px
| image_caption = Pucuk jati dan buahnya
| regnum = [[Plantae]]
| divisio = [[Tumbuhan berbunga|Magnoliophyta]]
| classis = [[Magnoliopsida]]
| ordo = [[Lamiales]]
| familia = [[Lamiaceae]]
| genus = '''''Tectona'''''
| species = '''''T. grandis'''''
| binomial = ''Tectona grandis''
| binomial_authority = Linn. f.
}}
 
'''Jati''' adalah sejenis [[pohon]] penghasil [[kayu]] bermutu tinggi. Pohon besar, berbatang lurus, dapat tumbuh mencapai tinggi 3050-4070 [[meter|m]]. Berdaun besar, yang luruh di musim kemarau. Jati dikenal dunia dengan nama ''teak'' ([[bahasa Inggris]]). Nama ini berasal dari kata ''thekku'' (തേക്ക്) dalam [[bahasa Malayalam]], bahasa di negara bagian [[Kerala]] di [[India]] selatan. Nama ilmiah jati adalah ''Tectona grandis'' L.f.
 
Jati dapat tumbuh di daerah dengan [[curah hujan]] 1 500 – 2 000&nbsp;mm/tahun dan [[suhu]] 27 – 36&nbsp;°C baik di dataran rendah maupun dataran tinggi.<ref name=akram>{{en}} Akram M, Aftab F. 2007. In vitro micropropagation and rhizogenesis of teak (Tectona grandis L.). ''Pak J Biochem Mol Biol'' 40(3): 125-128.</ref> Tempat yang paling baik untuk pertumbuhan jati adalah tanah dengan [[pH]] 4.5 – 7 dan tidak dibanjiri dengan air.<ref>{{en}} BIOTROP. 2010. Services laboratory – SEAMEO BIOTROP. [terhubung berkala]. http://sl.biotrop.org {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20211211205612/http://sl.biotrop.org/ |date=2021-12-11 }} [5 Feb 2010].</ref> Jati memiliki daun berbentuk elips yang lebar dan dapat mencapai 30 – 60&nbsp;cm saat dewasa.<ref name=akram/>
 
Jati memiliki pertumbuhan yang lambat dengan [[germinasi]] rendah (biasanya kurang dari 50%) yang membuat proses propagasi secara alami menjadi sulit sehingga tidak cukup untuk menutupi permintaan atas kayu jati.<ref name=tiwari>{{en}} Tiwari SK, Tiwari KP, Siril EA. 2002. An improved micropropagation protocol for teak. ''Plant Cell Tissue Organ Cul'' 71: 1-6.</ref> Jati biasanya diproduksi secara [[konvensional]] dengan menggunakan [[biji]]. Akan tetapi produksi bibit dengan jumlah besar dalam waktu tertentu menjadi terbatas karena adanya lapisan luar biji yang keras.<ref name=tiwari/> Beberapa alternatif telah dilakukan untuk mengatasi lapisan ini seperti merendam biji dalam air, memanaskan biji dengan api kecil atau pasir panas, serta menambahkan asam, basa, atau bakteri.<ref name=ahuja>{{en}} Ahuja MR. 1993. Micropropagations of Woody Plants. Kluwer Academic Publishers: Netherlands.</ref> Akan tetapi alternatif tersebut masih belum optimal untuk menghasilkan jati dalam waktu yang cepat dan jumlah yang banyak.<ref name=ahuja/>
 
Umumnya, Jati yang sedang dalam proses pembibitan rentan terhadap beberapa penyakit antara lain ''leaf spot disease'' yang disebabkan oleh ''Phomopsis'' sp., ''Colletotrichum gloeosporioides'', ''Alternaria'' sp., dan ''Curvularia'' sp., ''leaf rust'' yang disebabkan oleh ''[[Olivea tectonea]]'', dan ''powdery mildew'' yang disebabkan oleh ''[[Uncinula tectonae]]''.<ref name=bala>{{en}} Balasundaran M, Sharma JK, Florence EJM, Mohanan C. 1995. Leaf spot diseases of teak and their impact on seedling production in nurseries. [terhubung berkala]. http://www.metla.fi/iufro/iufro95abs/d2pap88.htm {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20050222234323/http://www.metla.fi/iufro/iufro95abs/d2pap88.htm |date=2005-02-22 }} [5 Feb 2010].</ref> Phomopsis sp. merupakan penginfeksi paling banyak, tercatat 95% bibit terkena infeksi pada tahun 1993-1994.<ref name=bala/> [[Infeksi]] tersebut terjadi pada bibit yang berumur 2 – 8 bulan.<ref name=bala/> Karakterisasi dari infeksi ini adalah adanya [[necrosis]] berwarna coklat muda pada pinggir daun yang kemudian secara bertahap menyebar ke pelepah, infeksi kemudian menyebar ke bagian atas daun, [[petiol]], dan ujung batang yang mengakibatkan bagian daun dari batang tersebut mengalami kekeringan.<ref name=bala/> Jika tidak disadari dan tidak dikontrol, infeksi dari Phomopsis sp. akan menyebar sampai ke seluruh bibit sehingga proses penanaman jati tidak bisa dilakukan.<ref name=bala/>
 
== Habitus ==
Pohon besar dengan batang yang bulat lurus, tinggi total mencapai 40 m. Batang bebas cabang (''clear bole'') dapat mencapai 18–20 m. Pada hutan-hutan alam yang tidak terkelola ada pula individu jati yang berbatang bengkok-bengkok. Sementara varian jati ''blimbing'' memiliki batang yang berlekuk atau beralur dalam; dan jati ''pring'' ([[bahasa Jawa|Jw.]], bambu) tampak seolah berbuku-buku seperti [[bambu]]. Kulit batang coklat kuning keabu-abuan, terpecah-pecah dangkal dalam alur memanjang batang.dan seringkalisering kali masyarakat indonesia salah mengartikan jati dengan tanaman [[jabon]]( antocephalus cadamba ) padahal mereka dari jenis yang berbeda.
 
Pohon jati (Tectona grandis sp.) dapat tumbuh meraksasa selama ratusan tahun dengan ketinggian 40-45 meter dan diameter 1,8-2,4 meter. Namun, pohon jati rata-rata mencapai ketinggian 9-11 meter, dengan diameter 0,9-1,5 meter.
 
Pohon jati yang dianggapdikatakan baik adalah pohon yang bergaris lingkar besar, berbatang lurus, dan sedikit cabangnya. Kayu jati terbaik biasanya berasal dari pohon yang berumur lebih daripada 80 tahun.
 
Daun umumnya besar, bulat telur terbalik, berhadapan, dengan tangkai yang sangat pendek. Daun pada anakan pohon berukuran besar, sekitar 60–70&nbsp;cm × 80–100&nbsp;cm; sedangkan pada pohon tua menyusut menjadi sekitar 15 × 20&nbsp;cm. Berbulu halus dan mempunyai rambut kelenjar di permukaan bawahnya. Daun yang muda berwarna kemerahan dan mengeluarkan getah berwarna merah [[darah]] apabila diremas. Ranting yang muda berpenampang segi empat, dan berbonggol di buku-bukunya.
Baris 64 ⟶ 54:
Di [[Indonesia]] sendiri, selain di Jawa dan [[Muna]], jati juga dikembangkan di [[Bali]] dan [[Nusa Tenggara]].
 
Dalam beberapa tahun terakhir, ada upaya untuk mengembangkan jati di SumatraSumatera Selatan dan Kalimantan Selatan. Hasilnya kurang menggembirakan. Jati mati setelah berusia dua atau tiga tahun. Masalahnya, tanah di kedua tempat ini sangat asam. Jati sendiri adalah jenis yang membutuhkan zat kalsium dalam jumlah besar, juga zat fosfor. Selain itu, jati membutuhkan cahaya matahari yang berlimpah.
 
Sekarang, di luar Jawa, kita dapat menemukan hutan jati secara terbatas di beberapa tempat di Pulau Sulawesi, Pulau Muna, daerah Bima di Pulau Sumbawa, dan Pulau Buru. Jati berkembang juga di daerah Lampung di Pulau Sumatra.
Baris 75 ⟶ 65:
 
=== Daerah sebaran hutan jati di Jawa ===
[[Berkas:Jati-cepu-09Hutan Bojonegoro.jpg|jmpl|250pxKebun jati di Bojonegoro]]
Sedini 1927, hutan jati tercatat banyak menyebar di [[Pegunungan Kapur Utara]] dan [[Pegunungan Kendeng]] dan [[Gunung Muria]], mulai dari [[kabupaten Jepara]] hingga ke ujung timur [[Kabupaten Probolinggo]]. Namun, hutan jati paling banyak menyebar di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, yaitu sampai ketinggian 650 meter di atas permukaan laut. Hanya di daerah Besuki jati tumbuh tidak lebih daripada 200 meter di atas permukaan laut.
 
Di kedua provinsi ini, hutan jati sering terbentuk secara alami akibat iklim muson yang menimbulkan kebakaran hutan secara berkala. Hutan jati yang cukup luas di Jawa terpusat dan Terbesarterbesar di daerah Hutanhutan [[Kabupaten BloraBojonegoro]], Grobogan, dan Patihutan [[Kabupaten Blora]]. Bahkan, jati jawa dengan mutu terbaik dan sudah diakui dunia furniture internasional dihasilkan didari daerah tanahKabupaten perkapuranBojonegoro dan Blora. Kedua daerah tersebut memiliki keunggulan masing-masing. Jati dari daerah Blora disukai para perajin furniture karna serat jati lurus terutama untuk bahan flooring kualitas export, sedangkan Jati dari Kabupaten Bojonegoro disukai para perajin rumah kayu jati untuk bahan joglo atau rumah penduduk karna paling kuat dan memiliki berat jenis paling tinggi dibanding jati dari daerah lainya serta serat mahkota yang variatif. Hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya penemuan kayu jati purbalaka (kayu pendem) yang berusia ribuan tahun dari hutan sekitaran Bojonegoro dan Blora. Kayu jati Jawa, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur paling disukai dunia internasional terutama negara-negara 4 musim di Eropa dan Amerika karena hanya jati kualitas terbaik yang bisa bertahan di 4 musim yang berbeda.
 
Saat ini, sebagian besar lahan hutan jati di Jawa dikelola oleh Perhutani, sebuah perusahaan umum milik negara di bidang kehutanan. Pada 2003, luas lahan hutan Perhutani mencapai hampir seperempat luas Pulau Jawa. Luas lahan hutan jati Perhutani di Jawa mencapai sekitar 1,5 juta hektare. Ini nyaris setara dengan setengah luas lahan hutan Perhutani atau sekitar 11% luas Pulau Jawa dwipaDwipa.
 
== Sifat-sifat kayu dan pengerjaan ==
Baris 89 ⟶ 79:
Meskipun keras dan kuat, kayu jati mudah dipotong dan dikerjakan, sehingga disukai untuk membuat [[furniture]] dan ukir-ukiran. Kayu yang diampelas halus memiliki permukaan yang licin dan seperti berminyak. Pola-pola lingkaran tahun pada kayu teras tampak jelas, sehingga menghasilkan gambaran yang indah.
 
Dengan kehalusan tekstur dan keindahan warna kayunya, jati digolongkan sebagai kayu yang mewah. Oleh karena itu, jati banyak diolah menjadi mebel taman, mebel interior, kerajinan, panel, dan anak tangga yang berkelas.
 
Sekalipun relatif mudah diolah, jati terkenal sangat kuat dan awet, serta tidak mudah berubah bentuk oleh perubahan cuaca. Atas alasan itulah, kayu jati digunakan juga sebagai bahan dok pelabuhan, bantalan rel, jembatan, kapal niaga, dan kapal perang.
Baris 147 ⟶ 137:
Daun jati juga banyak digunakan di [[Yogyakarta]], Jawa Tengah dan [[Jawa Timur]] sebagai pembungkus [[tempe]].
 
Berbagai jenis serangga [[hama]] jati juga sering dimanfaatkan sebagai bahan makanan orang [[desa]]. Dua di antaranya adalah [[belalang]] jati ([[bahasa Jawa|Jw.]] ''walang kayu''), yang besar berwarna kecoklatan, dan [[Entung jati|ulat- jati]] (''EndoclitaHyblaea puera''). [[Kupu-kupu dan ngengat|Ulat]] jati bahkan kerap dianggap makanan istimewa karena lezatnya. Ulat ini dikumpulkan menjelang musim hujan, di pagi hari ketika ulat-ulat itu bergelantungan turun dari pohon untuk mencari tempat untuk membentuk kepompong (Jw. ''ungkrung''). Kepompong ulat jati pun turut dikumpulkan dan dimakan.
 
=== Fungsi ekonomis lain dari hutan jati jawaJawa ===
Jika berkunjung ke hutan-hutan jati di Jawa, kita akan melihat bahwa kawasan-kawasan itu memiliki fungsi ekonomis lain di samping menghasilkan kayu jati.
 
Baris 156 ⟶ 146:
Hutan jati terutama menyediakan lahan garapan. Di sela-sela pepohonan jati, para petani menanam palawija berbanjar-banjar. Dari hutan jati sendiri, mereka dapat memperoleh penghasilan tambahan berupa madu, sejumlah sumber makanan berkarbohidrat, dan obat-obatan.
 
Makanan pengganti nasi yang tumbuh di hutan jati misalnya adalah [[gadung]] (''Dioscorea hispida'') dan [[uwi]] (''Dioscorea alata''). Bahkan, masyarakat desa hutan jati juga memanfaatkan [[iles-iles]] (''AmmorphophallusAmorphophallus'') pada saat [[paceklik]]. Tumbuhan obat-obatan tradisional seperti [[kencur]] (''Alpina longa''), [[kunyit]] (''Curcuma domestica''), [[jahe]] (''Zingiber officinale''), dan [[temu lawak]] (''Curcuma longa'') tumbuh di kawasan hutan ini.
 
Pohon jati juga menghasilkan bergugus-gugus bunga keputihan yang merekah tak lama setelah fajar. Masa penyerbukan bunga jati yang terbaik terjadi di sekitar tengah hati —setiap bunga hidup hanya sepanjang satu hari. Penyerbukan bunga dilakukan oleh banyak serangga, tetapi terutama oleh jenis-jenis lebah. Oleh karena itu, penduduk juga sering dapat memanen madu lebah dari hutan-hutan jati.
Baris 162 ⟶ 152:
Masyarakat desa hutan jati di Jawa juga biasa memelihara ternak seperti kerbau, sapi, dan kambing. Jenis ternak tersebut memerlukan rumput-rumputan sebagai pakan. Walaupun para petani kadang akan mudah mendapatkan rerumputan di sawah atau tegal, mereka lebih banyak memanfaatkan lahan hutan sebagai sumber penghasil makanan ternak. Dengan melepaskan begitu saja ternak ke dalam hutan, ternak akan mendapatkan beragam jenis pakan yang diperlukan. Waktu yang tidak dipergunakan oleh keluarga petani untuk mengumpulkan rerumputan dapat dimanfaatkan untuk kegiatan lainnya.
 
=== Fungsi non-ekonomis hutan jati jawaJawa ===
Pada 2003, sekitar 76% lahan hutan jati Perhutani di Jawa dikukuhkan sebagai hutan produksi, yaitu kawasan hutan dengan fungsi pokok memproduksi hasil hutan (terutama kayu). Hanya kurang dari 24% hutan jati Perhutani dikukuhkan sebagai hutan lindung, suaka alam, hutan wisata, dan cagar alam.
 
Baris 175 ⟶ 165:
Jika hutan jati berbentuk hutan murni —sehingga lebih seperti ‘kebun’ jati— erosi tanah justru akan lebih besar terjadi. Tajuk jati rakus cahaya matahari sehingga cabang-cabangnya tidak semestinya bersentuhan. Perakaran jati juga tidak tahan bersaing dengan perakaran tanaman lain. Dengan demikian, serasah tanah cenderung tidak banyak. Tanpa banyak tutupan tumbuhan pada lantai hutan, lapisan tanah teratas lebih mudah terbawa oleh aliran air dan tiupan angin.
 
Untunglah, hutan jati berkembang dengan sejumlah tanaman yang lebih beragam. Di dalam hutan jati, kita dapat menemukan bungur (''Lagerstroemia speciosa''), dlingsem (''Homalium tomentosum''), dluwak (''Grewia paniculata''), katamaka (''Kleinhovia hospita''), kemloko (''Phyllanthus emblica''), [[Kepuh]] (''Sterculia foetida''), kesambi (''Schleichera oleosa''), laban (''Vitex pubscens''), ploso (''Butea monosperma''), serut (''Streblus asper''), trengguli (''Cassia fistula''), winong (''Tetrameles nudflora''), dan lain-lain. Lamtoro (''Leucenia leucocephalla'') dan akasia (''Acacia villosa'') pun ditanam sebagai tanaman sela untuk menahan erosi tanah dan menambah kesuburan tanah.
 
Daerah Gunung Kidul, Yogyakarta, yang gersang dan rusak parah sebelum 1978, ternyata berhasil diselamatkan dengan pola penanaman campuran jati dan jenis-jenis lain ini. Dalam selang waktu hampir 30 tahun, lebih dari 60% lahan rusak dapat diubah menjadi lahan yang menghasilkan.
Penduduk setempat paling banyak memilih menanam jati di lahan mereka karena melihat nilai manfaatnya, cara tanamnya yang mudah, dan harga jual kayunya yang tinggi. Mereka mencampurkan penanaman jati di kebun dan pekarangan mereka dengan mahoni (''Swietenia mahogany''), akasia (''Acacia villosa''), dan sonokeling (''Dalbergia latifolia'').
 
Daerah Gunung Kidul kini berubah menjadi lahan hijau yang berhawa lebih sejuk dan memiliki keragaman hayati yang lebih tinggi. Perubahan lingkungan itu telah mengundang banyak satwa untuk singgah, terutama burung —satwa yang kerap dijadikan penanda kesehatan suatu lingkungan. Selain itu, kekayaan lahan ini sekaligus menjadi cadangan sumberdaya untuk masa depan.
Baris 209 ⟶ 199:
== Referensi ==
* Awang, S.A. dkk., 2002, ''Etnoekologi Manusia di Hutan Rakyat''. Sinergi Press. Jogyakarta.
 
* Mahfudz dkk., ''t.t.'', ''Sekilas Jati''. Puslitbang Biotek dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Jogyakarta.
 
* Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid IV. Badan Litbang Kehutanan (penerj.). Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya.
 
* Lincoln, William dkk. 1989. The Encyclopedia of Wood. A Directory of Timbers and Their Special Uses. Oxford: Facts on File.
 
* Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya. Kajian Sejarah Terpadu. Bagian II: Jaringan Asia (Le Carrefour Javanais. Essai d’histoire globale. II. Les réseaux asiatiques). Winarsih Arifin dkk. (penerj.). Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama.
 
* Nandika, Dodi. 2005. Hutan bagi Ketahanan Nasional. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
 
* Salim, H S. 2003. Dasar-Dasar Hukum Kehutanan. Edisi Revisi. Jakarta: Sinar Grafika.
 
* Simon, Hasanu. 2004. Membangun Desa Hutan. Kasus Dusun Sambiroto. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
 
* Dah, U Saw Eh & U Shwe Baw. 2000. “Regional Teak Marketing and Trade”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
* Kertadikara, A.W.S. 1992. Variabilité génétique de quelques provenances de teck (Tectona grandis L.F.) et leur aptitude à la multiplication végétative. Thèse Université Nancy I.
 
* Lugt, Ch. S. ---. “Sejarah Penataan Hutan di Indonesia”. Dalam: Hardjosoediro, Soedarsono (penerj.). Cuplikan Het Boschbeheer in Nederlands Indie. Yogyakarta: Bagian Penerbitan Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan UGM.
 
* Perum Perhutani. 2000. “Marketing and Trade Policy of Perum Perhutani”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
 
* Simon, Hasanu. 2000. “The Evolvement of Teak Forest Management in Java, Indonesia”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
 
* Simatupang, Maruli H. 2000. “Some Notes on the Origin and Establishment of Teak Forest (Tectona grandis Lf.) in Java, Indonesia”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
 
* Somaiya, RT. 2000. “Marketing & Trading of Plantation Teakwood in India”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
 
* Suharisno. 2000. “Role and Prospect: Teak Plantation in Rural Areas of Gunung Kidul, Yogyakarta”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
 
* Suseno, Oemi Hani’in. 2000. “The History of Teak Silviculture in Indonesia”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
{{Taxonbar|from=Q156938}}
 
[[Kategori:Verbenaceae]]
[[Kategori:Pohon kayu]]
[[Kategori:Pohon]]
[[Kategori:Tectona]]
[[Kategori:Tumbuhan industri]]