Gerakan 30 September: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Add 1 book for Wikipedia:Pemastian (20231209)) #IABot (v2.0.9.5) (GreenC bot
Dwinug (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(27 revisi perantara oleh 15 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{lindungidarianon2|small=yes}}{{Refimprove}}
{{Infobox military conflict
{{Infobox military conflict|conflict=Gerakan 30 September|partof=|image=potret gestapu.jpg|image_size=250px|caption=Proses pengangkatan 7 jenazah korban G30S dari sebuah sumur lama di kawasan [[Lubang Buaya]] pada tanggal 3 Oktober 1965|date=30 September malam - 1 Oktober menjelang pagi|place=Kelurahan [[Lubang Buaya|Lubang Buaya, Cipayung, Jakarta Timur]]|territory=|result=|combatant1=|combatant2=|commander1=|commander2=|units1=|units2=|strength1=|strength2=|casualties1=1. [[Ahmad Yani|Letnan Jenderal TNI Ahmad Yani]] (43 tahun) <br/> 2. [[R. Soeprapto (pahlawan revolusi)|Mayor Jenderal TNI Raden Soeprapto]] (45 tahun) <br/> 3. [[Mas Tirtodarmo Haryono|Mayor Jenderal TNI Mas Tirtodarmo Haryono]] (41 tahun) <br/> 4. [[Siswondo Parman|Mayor Jenderal TNI Siswondo Parman]] (47 tahun) <br/> 5. [[D.I. Pandjaitan|Brigadir Jenderal TNI Donald Isaac Panjaitan]] (40 tahun) <br/> 6. [[Sutoyo Siswomiharjo|Brigadir Jenderal TNI Sutoyo Siswomiharjo]] (43 tahun) <br/> 7. [[Pierre Tendean|Letnan Satu Pierre Andreas Tendean]] (26 tahun) <br/> dan korban-korban lainnya.|casualties2=|casualties3=|notes=}}'''Gerakan 30 September (G30S)''' adalah sebuah peristiwa berlatar belakang kudeta yang terjadi selama satu malam pada tanggal 30 September hingga 1 Oktober 1965 yang mengakibatkan gugurnya enam jenderal serta satu orang perwira pertama [[Tentara Nasional Indonesia|militer Indonesia]] dan jenazahnya dimasukkan ke dalam suatu lubang sumur lama di area [[Lubang Buaya]][[Kota Administrasi Jakarta Timur|, Jakarta Timur]].<ref>{{Harvnb|Crouch|1978|p=101|Ref=none}}</ref> Penyebutan persitiwa ini memiliki ragam jenis, Presiden [[Soekarno]] menyebut peristiwa ini dengan istilah '''GESTOK''' (Gerakan Satu Oktober), sementara Presiden [[Soeharto]] menyebutnya dengan istilah '''GESTAPU''' (Gerakan September Tiga Puluh), dan pada [[Orde Baru]], Presiden [[Soeharto]] mengubah sebutannya menjadi '''G30S/PKI''' (Gerakan 30 September PKI) oleh karena tudingan bahwa [[Partai Komunis Indonesia]] (PKI) bertanggung jawab atas peristiwa ini. Korban kekejaman tragedi ini berada di [[Daerah Istimewa Yogyakarta|Yogyakarta]] dan [[Daerah Khusus Ibukota Jakarta|Jakarta]]. Salah satu korban kekejaman tragedi ini di Yogyakarta adalah [[Katamso Darmokusumo]] dan [[Sugiyono Mangunwiyoto]].
| conflict = Gerakan 30 September
| partof = [[Perang Dingin]] di Asia dan [[Transisi ke Orde Baru]]
| image = [[File:Monumen Pancasila Sakti.jpg|300px]]
Monumen Pancasila Sakti<br/><br/>
[[File:Ahmad Yani.jpg|60px]] [[File:D. I. Pandjaitan.jpg|60px]] [[File:Soeprapto.jpg|60px]]
[[File:Sutoyo.jpg|60px]] [[File:MT Haryono.jpg|60px]] [[File:S Parman.jpg|60px]] [[File:Tendean.jpg|60px]]
| image_size =
| caption = '''Korban yang ditemukan di [[Lubang Buaya]]. Dari kiri ke kanan:''' Jenderal [[Ahmad Yani]], Brigadir Jenderal [[D.I. Pandjaitan]], Mayor Jenderal [[R. Soeprapto (pahlawan revolusi)|R. Soeprapto]], Brigadir Jenderal [[Sutoyo Siswomiharjo]], Mayor Jenderal [[Mas Tirtodarmo Haryono|M.T. Haryono]], Mayor Jenderal [[Siswondo Parman|S. Parman]], Letnan Satu [[Pierre Tendean]].
| date = {{start date and age|1965|10|1|df=yes}}
| place = [[Indonesia]], [[Jawa]] dan [[Daerah Khusus Ibukota Jakarta|Jakarta]]
| territory =
| result = Upaya kudeta gagal
* [[Pembantaian di Indonesia 1965–1966|Pecahnya pembersihan antikomunis di Indonesia]]
* [[Soeharto]] mulai naik ke tampuk kekuasaan
* [[Partai Komunis Indonesia|PKI]] dan "[[Komunisme]]/[[Marxisme–Leninisme]]" secara bersamaan dilarang dalam sidang [[Majelis Permusyawaratan Rakyat|MPRS]] tahun 1966
| combatant1 = {{Tree list}}
* ''Gerakan 30 September''
** [[File:Logo tjakrabirawa.png|19px]] [[Tjakrabirawa]]
** {{flagicon image|Red flag.svg}} ''Berbagai Milisi Kiri'' di [[Lubang Buaya]]
** {{flagicon image|Flag of the Communist Party of Indonesia.svg}} [[Partai Komunis Indonesia]]
| combatant2 = {{Tree list}}
* {{flagicon|Indonesia}} [[Pemerintah Indonesia]]
** {{flagicon image|Flag of the Indonesian Army.svg}} [[Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat]]
{{Tree list/end}}
| commander1 = [[Untung Syamsuri]]{{Executed}} <ref name="CROUCH159205242">Crouch (2007) pp. 159, 205, 242</ref><br>[[Mustafa Sjarief Soepardjo|Soepardjo]]<br>[[D.N. Aidit]]
| commander2 = [[Soekarno]]<br>[[Soeharto]]<br>[[Abdul Haris Nasution|A.H. Nasution]]{{WIA}}<br>[[Sarwo Edhie Wibowo]]
| units1 =
| units2 =
| strength1 =
| strength2 =
| casualties1 = 6 perwira tinggi [[Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat|TNI Angkatan Darat]] terbunuh selama kudeta, bersama dengan korban militer dan sipil lainnya.
| casualties2 =
| casualties3 =
| notes =
}}
{{Sejarah Indonesia}}
{{Seri Soekarno}}
{{Infobox military conflict|conflict=Gerakan 30 September|partof=|image=potret gestapu.jpg|image_size=250px|caption=Proses pengangkatan 7 jenazah korban G30S dari sebuah sumur lama di kawasan [[Lubang Buaya]] pada tanggal 3 Oktober 1965|date=30 September malam - 1 Oktober menjelang pagi|place=Kelurahan [[Lubang Buaya|Lubang Buaya, Cipayung, Jakarta Timur]]|territory=|result=|combatant1=|combatant2=|commander1=|commander2=|units1=|units2=|strength1=|strength2=|casualties1=1. [[Ahmad Yani|Letnan Jenderal TNI Ahmad Yani]] (43 tahun) <br/> 2. [[R. Soeprapto (pahlawan revolusi)|Mayor Jenderal TNI Raden Soeprapto]] (45 tahun) <br/> 3. [[Mas Tirtodarmo Haryono|Mayor Jenderal TNI Mas Tirtodarmo Haryono]] (41 tahun) <br/> 4. [[Siswondo Parman|Mayor Jenderal TNI Siswondo Parman]] (47 tahun) <br/> 5. [[D.I. Pandjaitan|Brigadir Jenderal TNI Donald Isaac Panjaitan]] (40 tahun) <br/> 6. [[Sutoyo Siswomiharjo|Brigadir Jenderal TNI Sutoyo Siswomiharjo]] (43 tahun) <br/> 7. [[Pierre Tendean|Letnan Satu Pierre Andreas Tendean]] (26 tahun) <br/> dan korban-korban lainnya.|casualties2=|casualties3=|notes=}}'''Gerakan 30 September (G30S)''' adalah sebuah peristiwa berlatar belakang kudeta yang terjadi selama satu malam pada tanggal 30 September hingga 1 Oktober 1965 yang mengakibatkan gugurnya enam jenderal serta satu orang perwira pertama [[Tentara Nasional Indonesia|militer Indonesia]] dan jenazahnya dimasukkan ke dalam suatu lubang sumur lama di area [[Lubang Buaya]][[Kota Administrasi Jakarta Timur|, Jakarta Timur]].<ref>{{Harvnb|Crouch|1978|p=101|Ref=none}}</ref> Penyebutan persitiwaperistiwa ini memiliki ragam jenis, Presiden [[Soekarno]] menyebut peristiwa ini dengan istilah '''GESTOK''' (Gerakan Satu Oktober), sementara Presiden [[Soeharto]] menyebutnya dengan istilah '''GESTAPU''' (Gerakan September Tiga Puluh), dan pada [[Orde Baru]], Presiden [[Soeharto]] mengubah sebutannya menjadi '''G30S/PKI''' (Gerakan 30 September PKI) oleh karena tudingan bahwa [[Partai Komunis Indonesia]] (PKI) bertanggung jawab atas peristiwa ini. Korban kekejaman tragedi ini berada di [[Daerah Istimewa Yogyakarta|Yogyakarta]] dan [[Daerah Khusus Ibukota Jakarta|Jakarta]]. Salah satu korban kekejaman tragedi ini di Yogyakarta adalah [[Katamso Darmokusumo]] dan [[Sugiyono Mangunwiyoto]].
[[File:HarianRakjat2Oct1965.jpg|thumb|180px|Kartun editorial dari halaman depan koran PKI ''[[Harian Rakyat]]'', 2 Oktober 1965]]
 
== Latar belakang ==
{{utama|Partai Komunis Indonesia}}
[[Berkas:45tahunPKI.jpg|ka|jmpl|Perayaan Milad PKI yang ke -45 di Jakarta pada awal tahun 1965]][[Partai Komunis Indonesia]] (PKI) merupakan partai komunis<ref>{{cite web|url= http://www.etymonline.com/index.php?search=communism|title= Online Etymology Dictionary:Communism|accessdate= 2008-08-27|last= Harper|first= Douglas|date= November 2001|format= HTML|work= Online Etymology Dictionary|publisher= Douglas Harper|language= English|quote= Originally a theory of society; as name of a political system, 1850, a translation of Ger. Kommunismus, in Marx and Engels' "Manifesto of the German Communist Party."|archive-date= 2015-10-09|archive-url= https://web.archive.org/web/20151009191144/http://www.etymonline.com/index.php?search=communism|dead-url= no}}</ref> terbesar di seluruh dunia, di luar [[Tiongkok]] dan [[Uni Soviet]]. Sampai pada tahun 1965, anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan para petani anggota [[Barisan Tani Indonesia]] yang berjumlah 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita ([[Gerwani]]), organisasi penulis dan artis serta pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
 
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan. Kemudian, Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekret presiden – sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jenderal militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem "[[Demokrasi Terpimpin]]". PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan [[NASAKOM]].
Baris 10 ⟶ 49:
=== Angkatan kelima ===
{{utama|Angkatan Kelima}}
Pada kunjungan [[Menlu]] [[Subandrio]] ke [[RRT|Tiongkok]], [[Perdana Menteri Tiongkok|Perdana Menteri]] [[Zhou Enlai]] menjanjikan 100.000 pucukbuah [[senapan serbu Tipe 56]] (dikenal di Indonesia senjatasebagai jenistipe ''chung''"Chung"), penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S.
 
Pada awal tahun 1965, Bung Karno atas saran dari PKI akibat dari tawaran perdana menteri RRC, mempunyai ide tentang [[Angkatan Kelima]] yang berdiri sendiri terlepas dari ABRI. Akan tetapi, petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini lebih menimbulkan nuansa curiga-mencurigai antara militer dan PKI.
 
Dari tahun [[1963]], kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dengan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI juga menginfiltrasi polisi dan tentara dengan slogan "kepentingan bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI [[DN Aidit]] mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di bulan Agustus [[1964]], Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara" subjek karya-karya mereka.
 
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani anggota Barisan Tani Indonesia (BTI) bergerak merampas tanah dengan dasar Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dengan polisi dan para pemilik tanah.
Baris 44 ⟶ 83:
Kaum nasionalis pro-Taipei (Guomintang) dan kaum komunis pro-Beijing (PKT) dan suporter mereka di Indonesia yang masing-masing memiliki agenda di Indonesia, ikut memprovokasi, saling melakukan tindakan yang saling merugikan, asal tujuan mereka tercapai, dll, perlu penelitian lebih lanjut.
-->
 
=== Faktor Malaysia ===
Negara [[Federasi Malaysia]] yang baru terbentuk pada tanggal [[16 September]] 1963 adalah salah satu faktor penting dalam insiden ini.<ref>{{Cite web |url=http://www.kompas.com/kompas-cetak/0709/29/opini/3873018.htm |title=Artikel Kompas bertajuk "Sukarno, Malaysia, dan PKI" tanggal Sabtu, 29 September 2007 |access-date=2009-05-20 |archive-date=2011-01-11 |archive-url=https://web.archive.org/web/20110111062312/http://www.kompas.com/kompas-cetak/0709/29/opini/3873018.htm |dead-url=no }}</ref> [[Konfrontasi Indonesia-Malaysia]] merupakan salah satu penyebab kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI, menjelaskan motivasi para tentara yang menggabungkan diri dalam gerakan G30S/Gestok (Gerakan Satu Oktober), dan juga pada akhirnya menyebabkan PKI melakukan penculikan petinggi Angkatan Darat.
 
{{cquote|Sejak demonstrasi anti-Indonesia di [[Kuala Lumpur]], di mana para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto [[Soekarno]], membawa lambang negara [[Garuda Pancasila]] ke hadapan [[Tunku Abdul Rahman]]—[[Perdana Menteri Malaysia]] saat itu—dan memaksanya untuk menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak.}}
Baris 60 ⟶ 98:
Di pihak PKI, mereka menjadi pendukung terbesar gerakan "ganyang Malaysia" yang mereka anggap sebagai antek Inggris, antek [[nekolim]]. PKI juga memanfaatkan kesempatan itu untuk keuntungan mereka sendiri, jadi motif PKI untuk mendukung kebijakan Soekarno tidak sepenuhnya idealis.
 
Pada saat PKI memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah yang menghadapi keadaan yang buruk; mereka melihat posisi PKI yang semakin menguat sebagai suatu ancaman, ditambah hubungan internasional PKI dengan [[Partai Komunis]] sedunia, khususnya dengan adanya poros [[Jakarta]]-[[Beijing]]-[[Moskow]]-[[Pyongyang]]-[[Phnom Penh]]. Soekarno juga mengetahui hal ini, namun ia memutuskan untuk mendiamkannya karena ia masih ingin meminjam kekuatan PKI untuk konfrontasi yang sedang berlangsung, karena posisi Indonesia yang melemah di lingkungan internasional sejak keluarnya Indonesia dari PBB ([[7 Januari]] 1965).
 
Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat ([[CIA]]) yang baru dibuka yang bertanggalkan [[13 Januari]] 1965 menyebutkan sebuah percakapan santai Soekarno dengan para pemimpin sayap kanan bahwa ia masih membutuhkan dukungan PKI untuk menghadapi Malaysia dan oleh karena itu ia tidak bisa menindak tegas mereka. Namun ia juga menegaskan bahwa suatu waktu "giliran PKI akan tiba. "Soekarno berkata, "Kamu bisa menjadi teman atau musuh saya. Itu terserah kamu. … Untukku, Malaysia itu musuh nomor satu. Suatu saat saya akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang."<ref name="detikforum" />
 
Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai mencuat ketika banyak tentara yang kebanyakan dari Divisi Diponegoro yang kesal serta kecewa kepada sikap petinggi Angkatan Darat yang takut kepada Malaysia, berperang hanya dengan setengah hati, dan berkhianat terhadap misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk berhubungan dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat dari para jenderal ini.
Baris 70 ⟶ 108:
Amerika Serikat pada waktu itu sedang terlibat dalam [[perang Vietnam]] dan berusaha sekuat tenaga agar Indonesia tidak jatuh ke tangan [[komunisme]]. Peranan badan intelejen Amerika Serikat ([[CIA]]) pada peristiwa ini sebatas memberikan 50 juta rupiah (uang saat itu) kepada [[Adam Malik]] dan ''[[Walkie talkie|walkie-talkie]]'' serta obat-obatan kepada tentara Indonesia. Politisi Amerika pada bulan-bulan yang menentukan ini dihadapkan pada masalah yang membingungkan karena mereka merasa ditarik oleh Sukarno ke dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia ini.
 
Salah satu pandangan mengatakan bahwa peranan Amerika Serikat dalam hal ini tidak besar, hal ini dapat dilihat dari telegram Duta Besar Green ke Washington pada tanggal [[8 Agustus]] 1965 yang mengeluhkan bahwa usahanya untuk melawan propaganda anti-Amerika di Indonesia tidak memberikan hasil bahkan tidak berguna sama sekali. Dalam telegram kepada Presiden Johnson tanggal [[6 Oktober]], agen CIA menyatakan ketidakpercayaan kepada tindakan PKI yang dirasa tidak masuk akal karena situasi politis Indonesia yang sangat menguntungkan mereka, dan hingga akhir Oktober masih terjadi kebingungan atas pembantaian di [[Jawa Tengah]], [[Jawa Timur]], dan [[Bali]] dilakukan oleh PKI atau [[NU]]/[[PNI]].
 
Pandangan lain, terutama dari kalangan korban dari insiden ini, menyebutkan bahwa Amerika menjadi aktor di balik layar dan setelah dekret Supersemar Amerika memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada militer untuk dibunuh. Namun hingga saat ini kedua pandangan tersebut tidak memiliki banyak bukti-bukti fisik.
 
=== Faktor ekonomi ===
Baris 83 ⟶ 119:
== Peristiwa ==
[[Berkas:"Sumur Maut" at Lubang Buaya.jpg|ka|jmpl|Sumur Lubang Buaya]]
Pada [[1 Oktober]] 1965 dini hari, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya [[kudeta]] yang disalahkan kepada para pengawal istana ([[Cakrabirawa]]) yang dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. [[Untung Syamsuri|Untung]]. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen [[Soeharto]] kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut.
 
=== Isu Dewan Jenderal ===
Baris 90 ⟶ 126:
=== Isu Dokumen Gilchrist ===
{{Main|Dokumen Gilchrist}}
 
[[Dokumen Gilchrist]] yang diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia [[Andrew Gilchrist]] beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini, yang oleh beberapa pihak disebut sebagai pemalsuan oleh intelejen [[Ceko]] di bawah pengawasan Jenderal Agayant dari [[KGB]] [[Rusia]], menyebutkan adanya "''Our local army friends''" (Teman tentara lokal kita) yang mengesankan bahwa perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli oleh pihak Barat.<ref name="Dinuth">Alex Dinuth "Dokumen Terpilih Sekitar G30S/PKI" Intermasa, Jakarta 1997 ISBN 979-8960-34-3</ref> Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada tentara untuk "ditindaklanjuti". Dinas intelejen Amerika Serikat mendapat data-data tersebut dari berbagai sumber, salah satunya seperti yang ditulis John Hughes, wartawan The Nation yang menulis buku
"''Indonesian Upheaval''", yang dijadikan basis skenario film ''[[The Year of Living Dangerously]]'', ia sering menukar data-data apa yang ia kumpulkan untuk mendapatkan fasilitas teleks untuk mengirimkan berita.
<!--===Isu PKI===
Selain itu ada pula isu mengenai PKI yang ingin membuat gerakan untuk menguasai parlemen yang membuat militer ketakutan dan ingin menyerang PKI terlebih dahulu. Namun setelah munculnya isu Dokumen Gilchrist, maka PKI memutuskan untuk bertindak terlebih dahulu.-->
 
=== Penculikan dan pembunuhan jenderal ===
=== Isu Keterlibatan Soeharto ===
Sekitar pukul 03.15 tanggal 1 Oktober, tujuh detasemen pasukan dalam truk dan bus diberangkatkan oleh Letkol Untung Syamsuri (Panglima Tjakrabirawa, pengawal presiden), yang terdiri dari pasukan Resimen Tjakrabirawa (Pengawal Presiden), Diponegoro (Jawa Tengah). ), dan Divisi Brawijaya (Jawa Timur), meninggalkan markas G-30-S di Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusumah, selatan Jakarta untuk menculik tujuh jenderal, semuanya anggota Staf Umum Angkatan Darat. Tiga orang yang dituju sebagai korban, (Menteri/Panglima TNI Letjen Ahmad Yani, Mayjen M. T. Haryono, dan Brigjen D. I. Pandjaitan) tewas di rumahnya masing-masing, sedangkan tiga orang lainnya (Mayjen Soeprapto, Mayjen S. Parman, dan Brigjen Sutoyo) ditangkap hidup-hidup. Sementara sasaran utama mereka, Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan serta Kepala Staf TNI Jenderal Abdul Haris Nasution berhasil lolos dari upaya penculikan tersebut dengan melompati tembok menuju taman kedutaan Irak. Namun ajudan pribadinya, Letnan Satu Pierre Tendean, ditangkap setelah disangka Nasution dalam kegelapan. Putri Nasution yang berusia lima tahun, Ade Irma Suryani Nasution, ditembak oleh kelompok penyerang dan meninggal pada 6 Oktober. Selain itu seorang polisi yang menjaga tetangga Nasution, Kapolri Brigadir Karel Sadsuitubun, ditembak mati oleh kelompok penculik. Korban terakhir adalah Albert Naiborhu, keponakan Jenderal Pandjaitan, yang tewas dalam penggerebekan di rumah Jenderal. Para jenderal dan jenazah rekan-rekan mereka yang tewas dibawa ke suatu tempat yang dikenal sebagai Lubang Buaya dekat Halim di mana mereka yang masih hidup disiksa sebelum ditembak mati. Jenazah semua korban kemudian dibuang ke sumur bekas di dekat pangkalan.
Hingga saat ini tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksi penculikan tersebut. Satu-satunya bukti yang bisa dielaborasi adalah pertemuan Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (pada zaman itu jabatan Panglima Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat tidak membawahi pasukan, berbeda dengan sekarang) dengan Kolonel [[Abdul Latief]] di Rumah Sakit Angkatan Darat.
 
Meski demikian, Suharto merupakan pihak yang paling diuntungkan dari peristiwa ini. Banyak penelitian ilmiah yang sudah dipublikasikan di jurnal internasional mengungkap keterlibatan Suharto dan CIA. Beberapa diantaranya adalah, [[Cornell Paper]], karya Benedict R.O'G. Anderson and Ruth T. McVey (Cornell University), Ralph McGehee (The Indonesian Massacres and the CIA), Government Printing Office of the US (Department of State, INR/IL Historical Files, Indonesia, 1963–1965. Secret; Priority; Roger Channel; Special Handling), John Roosa (Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia), Prof. Dr. W.F. Wertheim (Serpihan Sejarah Thn 1965 yang Terlupakan).
 
<!--
== Keterlibatan pihak luar ==
 
Seeing the nationalist Sukarno as a threat to their interests, the West was keen to exploit the situation to its advantage. Suharto's portrayal of events as 'communist carnage' was the official version promoted in the West. Christopher Koch's popular novel ''[[The Year of Living Dangerously]]'' later helped cement this view. Yet a large body of evidence has since emerged that the killings were encouraged by the US and UK governments.
 
According to a CIA memo, Prime Minister [[Harold Macmillan]] and President [[John F. Kennedy]] had agreed to "liquidate President Sukarno, depending on the situation and available opportunities". In 1990 the American journalist Kathy Kadane revealed the extent of the secret American collaboration with the massacres of 1965–66 that allowed Suharto to seize the Presidency. She interviewed many former US officials and CIA members, who spoke of systematically compiled lists of PKI operatives, which the Americans ticked off as the victims were killed or captured. They worked closely with the British who were keen to protect their interests in Malaysia. Sir Andrew Gilchrist cabled the Foreign Office in London saying: "…a little shooting in Indonesia would be an essential preliminary to effective change". According to Australian historian Harold Crouch, "the PKI had won widespread support not as a revolutionary party, but as an organization defending the interests of the poor within the existing system". It was this popularity, rather than any armed insurgency that alarmed the American government. Like Vietnam in the North, Indonesia might 'go communist'.
 
=== Peristiwa di Jawa Tengah ===
In his ''Year 501 – The Conquest Continues'' [[Noam Chomsky]] writes:
Menyusul siaran radio pukul 7 pagi di RRI, pasukan Divisi Diponegoro di Jawa Tengah menguasai lima dari tujuh batalyon dan satuan lainnya atas nama Gerakan 30 September. Walikota PKI Solo, Utomo Ramelan, mengeluarkan pernyataan mendukung gerakan tersebut. Pasukan pemberontak di Yogyakarta, dipimpin oleh Mayor Muljono, menculik dan kemudian membunuh Kolonel Katamso dan kepala stafnya Letkol Sugiyono. Namun, begitu berita kegagalan G-30-S di Jakarta diketahui, sebagian besar pengikutnya di Jawa Tengah menyerah. Pada tanggal 5 Oktober, Katamso dan Sugiyono, komandan dan pejabat eksekutif Daerah Militer ke-72 pada saat pembunuhan mereka, juga secara anumerta dinobatkan sebagai Pahlawan Revolusi.
:In a 1964 [[RAND]] memorandum, [Guy] Pauker expressed his concern that groups backed by the US "would probably lack the ruthlessness that made it possible for the [[Nazis]] to suppress the Communist Party of Germany... [These right-wing and military elements] are weaker than the Nazis, not only in numbers and in mass support, but also in unity, discipline, and leadership".
 
-->== Korban ==
:Pauker's pessimism proved unfounded. After an alleged Communist coup attempt on September 30, 1965 and the murder of six Indonesian generals, pro-American General Suharto took charge and launched a bloodbath in which hundreds of thousands of people, mostly landless peasants, were slaughtered. Reflecting on the matter in 1969, Pauker noted that the assassination of the generals "elicited the ruthlessness that I had not anticipated a year earlier and resulted in the death of large numers of Communist cadres."
-->== Korban ==
{{Lihat juga|Pahlawan Revolusi}}
 
Baris 123 ⟶ 148:
*[[Pierre Tendean|Letnan Satu Pierre Andreas Tendean]] (ajudan Jenderal [[A.H. Nasution|Abdul Harris Nasution]] yang tewas karena G30S mengira ia adalah Jenderal Nasution)
 
Para korban tersebut kemudian dibuang dan dikubur ke suatu sumur lama di area [[Pondok Gede]], [[Jakarta]] yang dikenal sebagai [[Lubang Buaya]] dan jenazah mereka ditemukan pada 3 Oktober 1965. Setelah itu, semuanya ditetapkan oleh Presiden Soekarno (dalam kapasitasnya sebagai Panglima Komando Operasi Tertinggi/KOTI) sebagai [[Pahlawan Revolusi]] (secara resmi pembedaan ini sudah dihapuskan sejak 2009).
 
Sedangkan korban dari massa rakyat yang dituduh sebagai simpatisan PKI terus bertambah sejak 1 Oktober hingga tahun 1966. Beberapa sumber menyebutkan bahwa korban dari rakyat yang dituduh simpatisan PKI dan PNI mencapai 3 juta penduduk.
 
== Setelah itu ==
== Pasca Tragedi ==
[[Berkas:Suharto at funeral.jpg|ka|jmpl|Pemakaman para pahlawan revolusi. Tampak Mayjen Soeharto di sebelah kanan]]
[[Berkas:Anti PKI Literature.jpg|jmpl|Literatur propaganda anti-PKI yang pasca kejadian G30S banyak beredar di masyarakat dan menuding PKI sebagai dalang peristiwa percobaan "kudeta" tersebut.]]
 
PascapembunuhanPasca pembunuhan beberapa perwira TNI AD, PKI mampu menguasai dua sarana komunikasi vital, yaitu studio [[RRI]] di Jalan Merdeka Barat dan Kantor [[Telekomunikasi]] yang terletak di Jalan Merdeka Selatan.<ref>{{butuhCite book|last=Max|first=Boli Sabon|date=2019|url=https://www.google.co.id/books/edition/MENGENAL_INDONESIA/tHbDDwAAQBAJ?hl=id&gbpv=1&dq=Pasca+Pembunuhan+beberapa+perwira+TNI+AD,+PKI+mampu+menguasai+dua+sarana+komunikasi+vital,+yaitu+studio+RRI+di+Jalan+Merdeka+Barat+dan+Kantor+Telekomunikasi+yang+terletak+di+Jalan+Merdeka+Selatan&pg=PA291&printsec=frontcover|title=Mengenal Indonesia: Aku Cinta Indonesia, Tak Kenal Maka Tak Sayang|location=Jakarta|publisher=Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya|isbn=978-623-7247-20-3|editor-last=Manalu|editor-first=Sonta rujukanFrisca|pages=291|url-status=live}}</ref> Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.
 
Pada tanggal [[1 Oktober]] 1965 Sukarno dan sekretaris jenderal PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke [[Pangkalan Angkatan Udara Halim]] di Jakarta untuk mencari perlindungan.
Di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI membunuh Kolonel Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta).{{butuh rujukan}} Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua perwira ini dibunuh karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi.
Pada tanggal [[1 Oktober]] 1965 Sukarno dan sekretaris jenderal PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke [[Pangkalan Angkatan Udara Halim]] di Jakarta untuk mencari perlindungan.
 
Pada tanggal [[6 Oktober]] Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune".
 
Pada tanggal [[12 Oktober]] 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Soviet [[Brezhnev]], [[Anastas Mikoyan|Mikoyan]] dan [[Kosygin]] mengirim pesan khusus untuk Sukarno: "Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."
 
Pada tanggal [[16 Oktober]] 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di [[Istana Negara]]. Berikut kutipan amanat presiden Sukarno kepada Suharto pada saat Suharto disumpah:<ref name="Revolusi">Setiyono, Budi; "REVOLUSI BELUM SELESAI: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965"; Nawaksara, Jakarta; 2003</ref>
 
{{cquote|Saya perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat pimpinannya saya berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu Angkatan daripada Republik Indonesia, Angkatan Bersenjata daripada Republik Indonesia yang sama sekali menjalankan Panca Azimat Revolusi, yang sama sekali berdiri di atas Trisakti, yang sama sekali berdiri di atas Nasakom, yang sama sekali berdiri di atas prinsip Berdikari, yang sama sekali berdiri atas prinsip Manipol-USDEK.
Baris 147 ⟶ 172:
Soeharto, sebagai panglima Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam kabinetku, saya perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan kepadamu dengan sebaik-baiknya. Saya doakan Tuhan selalu beserta kita dan beserta engkau!}}
 
Dalam sebuah [[Konferensi Tiga Benua]] di [[Havana]] pada bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha untuk menghindari pengutukan atas pembantaian orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rezim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal [[11 Februari]], menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Soviet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia."
 
=== Penangkapan dan pembantaian ===
Baris 155 ⟶ 180:
Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa [[Sungai Brantas]] di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".
 
Pada akhir 1965, antara lima ratus ribu sampai dengan satu juta anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana [[CIA]] {{ref}} menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:
 
: "''Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatera Utara, di mana udara yang lembap membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius.''"
Baris 163 ⟶ 188:
Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis "anti-Tionghoa" terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.
 
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir [[1969]]. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan orang sejak tahun [[1980-an]]. Empat tapol, '''Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman''' dan '''Nobertus Rohayan''', dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.
 
=== Supersemar ===
{{Wikisource|Surat Perintah (11 Maret 1966)}}
{{artikel|Supersemar}}
Lima bulan setelah itu, pada tanggal [[11 Maret]] [[1966]], Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas melalui [[Surat Perintah Sebelas Maret]]. Ia memerintah Suharto untuk mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan sebagai ''presiden tituler diktatur militer'' itu sampai Maret [[1967]].
 
Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh [[TNI]] pada tanggal [[24 November]], tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI [[Nyoto]].
 
=== "Konferensi Investasi Indonesia" ===
Baris 181 ⟶ 206:
Sejak 1967, setelah [[Soeharto]] [[Kepresidenan Sementara Soeharto|diangkat menjadi Pejabat Presiden]] menggantikan [[Soekarno]], tanggal 1 Oktober ditetapkan oleh Soeharto (dengan Keputusan Presiden Nomor 153 Tahun 1967) sebagai [[Hari Kesaktian Pancasila]]. Pada masa pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah [[Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI|film mengenai kejadian tersebut]] juga ditayangkan di seluruh stasiun televisi di [[Indonesia]] setiap tahun pada tanggal 30 September. Selain itu pada masa Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera di [[Monumen Pancasila Sakti]] di Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di makam para pahlawan revolusi di [[TMP Kalibata]]. Namun sejak era [[Reformasi]] bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya tradisi upacara dan tabur bunga yang dilanjutkan.
 
Pada [[29 September]][[4 Oktober]] [[2006]], para eks pendukung PKI mengadakan rangkaian acara peringatan untuk mengenang peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di Fakultas Ilmu Budaya [[Universitas Indonesia]], [[Depok]]. Selain ''civitas academica'' Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, dan Putmainah.
 
== Teori tentang Gerakan 30 September ==
 
=== Isu Keterlibatan Soeharto ===
Hingga saat ini tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksi penculikan tersebut. Satu-satunya bukti yang bisa dielaborasi adalah pertemuan Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (pada zaman itu jabatan Panglima Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat tidak membawahi pasukan, berbeda dengan sekarang) dengan Kolonel [[Abdul Latief]] di Rumah Sakit Angkatan Darat.
 
Meski demikian, Suharto merupakan pihak yang paling diuntungkan dari peristiwa ini. Banyak penelitian ilmiah yang sudah dipublikasikan di jurnal internasional mengungkap keterlibatan Suharto dan CIA. Beberapa diantaranya adalah, [[Cornell Paper]], karya Benedict R.O'G. Anderson and Ruth T. McVey (Cornell University), Ralph McGehee (The Indonesian Massacres and the CIA), Government Printing Office of the US (Department of State, INR/IL Historical Files, Indonesia, 1963–1965. Secret; Priority; Roger Channel; Special Handling), John Roosa (Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia), Prof. Dr. W.F. Wertheim (Serpihan Sejarah Thn 1965 yang Terlupakan).
 
== Lihat pula ==
Baris 203 ⟶ 235:
== Bacaan lebih lanjut ==
{{Col|2}}
* {{Citation | title = Selected Documents Relating to the 30 September Movement and Its Epilogue | url = http://cip.cornell.edu/seap.indo/1107134819 | journal = Indonesia | publisher = Cornell Modern Indonesia Project | place = Ithaca, NY | volume = 1 | pages = 131–205 | accessdate = 20 September 2009 | doi = 10.2307/3350789 | jstor = 3350789 | issue = 1 | date = April 1966 | archive-date = 2023-08-01 | archive-url = https://web.archive.org/web/20230801020309/https://ecommons.cornell.edu/handle/1813/52499 | dead-url = no |issn = 0019-7289 }}
* The appendices of Roosa (2006) contain translations of two primary sources: a 1966 document by [[Supardjo]] and the 1967 court testimony of [[Kamaruzaman Sjam]]. Roosa also lists interviews he conducted which are archived at the Institute of Indonesian Social History in Jakarta.
* Easter, David, '"Keep the Indonesian pot boiling": Western intervention in Indonesia, October 1965-March 1966', Cold War History, Volume 5, Number 1, February 2005.