Dharmawangsa Teguh Anantawikrama: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
Ariandi Lie (bicara | kontrib) k Ariandi Lie memindahkan halaman Dharmawangsa Teguh ke Dharmawangsa Teguh Anantawikrama |
||
(6 revisi perantara oleh 2 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 12:
|birth_name = Wijayamretawardhana
|religion = [[Hindu]]
|regnal name = Śrī Mahārāja Īśāna Dharmmawaṅsa Teguh Anantawikramotunggadewa
}}
Baris 46 ⟶ 47:
Prasasti Pucangan mengisahkan kehancuran [[Kerajaan Medang]] yang dikenal dengan sebutan ''Mahapralaya'' atau '''Kematian Besar'''.
Diceritakan '''Dharmawangsa Teguh''' menikahkan putrinya dengan seorang pangeran berdarah [[Jawa]]-[[Bali]] yang baru berusia 16 tahun, bernama [[Airlangga]]. Di tengah keramaian tersebut, beserta keluarga raja yang tenggelam dalam kemewahan pesta, tiba-tiba istana diserang pasukan A'''ji Wurawari''' dari '''[[Ngloram, Cepu, Blora|Lwaram]]''' seorang vasal kerajaan Medang. Serangan bagai air bah yang mematikan tersebut benar-benar menenggelamkan [[Medang]] dalam kehancuran, mengakibatkan istana Dharmawangsa yang terletak di kota '''Wwatan''' hangus terbakar. Dharmawangsa Teguh sendiri dan seluruh kerabat raja tewas dalam serangan tersebut, sedangkan [[Airlangga]] yang merupakan menantu sekaligus keponakannya beserta putri Dharmawangsa lolos dari maut, dengan ditemani
kematian dari raja Dharmawangsa serta hancurnya ibukota '''[[Simbatan, Nguntoronadi, Magetan|Wwatan]]''' di bawah tekanan pemberontak Lwaram mengakhiri kerajaan [[Medang]] dan membuatnya jatuh dalam situasi kekacauan karena tidak adanya seorang penguasa tertinggi, para panglima perang di setiap provinsi, daerah dan pemukiman di [[Jawa Tengah]] dan [[Jawa Timur]] memberontak, dan melepaskan diri dari pemerintahan pusat Medang untuk membentuk daerah otonom atau pemerintahannya sendiri, selanjutnya perampokan merajalela, kerusuhan, kekerasan dan kejahatan lebih lanjut terjadi beberapa tahun setelah kejatuhan Medang hingga merusak situasi negara.
Tiga tahun kemudian [[Airlangga]] tampil dengan dukungan dari para pendeta dan permintaan rakyat [[Medang]] dirinya membangun sebuah istana baru di '''[[Wotanmas Jedong, Ngoro, Mojokerto|Watan Mas]]''' serta mendirikan kerajaan baru, [[Kahuripan]], sebagai penerus takhta mertuanya. Keturunan Dharmawangsa yang lain, menurut [[Prasasti Sirah Keting]], yaitu [[Sri Jayawarsa]] disebut juga [[Sri Digjaya Resi]], membangun kembali ibukota '''Wwatan''' dan menjadi penguasanya dengan gelar '''Sri Jayawarsa Digjaya Sasastraprabhu''', diperkuat juga dengan [[Prasasti Mruwak]] (1186) dan [[Prasasti Pamotoh]] II (1198). Dari [[Prasasti Pucangan]] diketahui adanya perpindahan ibu kota kerajaan. Prasasti Turyyan menyebut ibu kota Kerajaan Medang terletak di '''[[Tembelang, Jombang|Tamwlang]]''', dan kemudian pindah ke '''[[Watugaluh, Diwek, Jombang|Watugaluh]]''' menurut prasasti Anjukladang. Kedua kota tersebut terletak di Desa tembelang daerah [[Jombang]] sekarang. Sementara itu kota Wwatan diperkirakan terletak di daerah Simbatan Nguntoronadi perbatasan [[Madiun]]
Mengenai alasan '''Raja Wurawari''' membunuh Dharmawangsa Teguh terjadi beberapa penafsiran. Ada yang berpendapat bahwa Wurawari sakit hati karena lamarannya terhadap putri Dharmawangsa ditolak. Ada pula yang berpendapat bahwa Wurawari merupakan bawahan yang ambisius yang hendak mengambil alih kekuasaan Dharmawangsa. Prasasti Pucangan yang saat ini berada di museum [[Kolkata]], [[India]] melahirkan dua versi terhadap tahun berdirinya istana '''Watan Mas'''. Golongan pertama membaca angka tahun berupa kalimat ''Suryasengkala'' yaitu ''Locana agni vadane'' sedangkan golongan kedua membacanya ''Sasalancana abdi vadane''. Dengan demikian, versi pertama menyebut kehancuran istana '''Wwatan''' atau kematian raja Dharmawangsa Teguh terjadi pada tahun [[1007]], sedangkan versi kedua menyebut peristiwa Mahapralaya tersebut terjadi pada tahun [[1016]].
|