Sultan Agung dari Mataram: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k namun (di tengah kalimat) → tetapi |
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
(142 revisi perantara oleh 51 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{untuk|film|Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta}}
{{Infobox royalty
| embed =
| name = Anyakrakusuma<br />{{java|ꦲꦚꦏꦿꦏꦸꦱꦸꦩ}}
|
| type =
|
| image_size = 240px
|
| caption = Lukisan Sultan Agung Anyakrakusuma
| succession = [[Sultan Mataram]]
| moretext = ke-3
| reign = 1613–1645 <small>(32 tahun berkuasa)</small>
| reign-type = Berkuasa
| coronation = {{Start date and age|1613}}
| cor-type = Naik takhta
| predecessor = [[Anyakrawati]]
| pre-type = Pendahulu
| successor = [[Amangkurat I]]
| suc-type = Penerus
| regent =
| reg-type =
| succession1 =
| moretext1 =
| reign1 =
| reign-type1 =
| coronation1 =
| cor-type1 =
| predecessor1 =
| pre-type1 =
| successor1 =
| suc-type1 =
| regent1 =
| reg-type1 =
| succession2 =
| moretext2 =
| reign2 =
| reign-type2 =
| coronation2 =
| cor-type2 =
| predecessor2 =
| pre-type2 =
| successor2 =
| suc-type2 =
| regent2 =
| reg-type2 =
| succession3 =
| moretext3 =
| reign3 =
| reign-type3 =
| coronation3 =
| cor-type3 =
| predecessor3 =
| pre-type3 =
| successor3 =
| suc-type3 =
| regent3 =
| reg-type3 = <!-- succession4 to succession9 are also available -->
| birth_name = Raden Mas Jatmika
| birth_date = 1593
| birth_place = {{negara|Kesultanan Mataram}} [[Keraton Kutagede|Kotagede, Mataram]]
| death_date = 1645 (umur 51-52)
| death_place = {{negara|Kesultanan Mataram}} [[Keraton Karta|Karta, Mataram]]
| burial_date =
| burial_place = [[Astana Pajimatan Himagiri|Imogiri]]
| spouse = Ratu Kulon <small>(pertama)</small> <br> Ratu Wetan <small>(kedua)</small>
| spouse-type = Permaisuri
| consort = <!-- yes or no -->
| issue = KP. Tumenggung Pajang<br/>KP. Rangga Kajiwan<br/>GRA. Winongan<br/>KP. Ng. Loring Pasar<br/>KP. Purbaya<br/>[[Amangkurat I]]<br/>GRA. Wiromantri<br/>KP. Danupaya (RM. Alit)<br/>
| issue-link =
| issue-pipe =
| issue-type =
| full name =
| era name =
| era dates =
| regnal name = ''Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Agung Adi Prabu Anyakrakusuma Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawi''
| posthumous name = Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani al-Jawi
| temple name =
| house = [[Wangsa Mataram|Mataram]]
| house-type = Wangsa
| native_lang1 = [[Bahasa Jawa]]
| native_lang1_name1 = ꦲꦚꦏꦿꦏꦸꦱꦸꦩ
| father = [[Anyakrawati]]
| mother = Dyah Banawati (Ratu Mas Adi)
| religion = [[Islam]]
| occupation =
| signature_type =
| signature =
| module = '''[[Pahlawan Nasional Indonesia]]'''<br> S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975.
}}
[[Berkas:Stamps of Indonesia, 050-06.jpg|jmpl|ka|Perangko [[Republik Indonesia]] cetakan tahun [[2006]] edisi Sultan Agung.]]
'''Sultan Agung
''Sultan Agung'' atau ''Susuhunan Agung'' (secara harfiah, ''"Sultan Besar"'' atau ''"Yang Dipertuan Agung"'') adalah sebutan gelar dari sejumlah besar literatur yang meriwayatkan karena warisannya sebagai raja Jawa, pejuang, budayawan dan filsuf peletak pondasi [[Kejawen|Kajawen]]. Keberadaannya mempengaruhi dalam kerangka [[budaya Jawa]] dan menjadi pengetahuan kolektif bersama. Sastra Belanda menulis namanya sebagai ''Agoeng de Grote'' (secara harfiah, ''"Agoeng yang Besar"'').
Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung telah ditetapkan menjadi [[pahlawan nasional Indonesia]] berdasarkan [[Keputusan Presiden (Indonesia)|S.K. Presiden]] No. 106/TK/1975 tanggal [[3 November]] [[1975]].<ref>{{cite book|author=Said, Julinar & Wulandari, Triana|year=1995|title=Ensiklopedi Pahlawan Nasional|location=Jakarta|publisher=Direktorat Jenderal Kebudayaan}}</ref>
== Silsilah ==
Nama asli dari Sultan Agung adalah Raden Mas Jatmika. Selain itu, ia juga dikenal dengan nama Raden Mas Rangsang. Dia adalah putra dari Susuhunan [[Anyakrawati]] dan Ratu Mas Adi Dyah Banawati. Ayahnya adalah raja kedua dari [[Kesultanan Mataram]]. Sedangkan ibunya adalah putri dari [[Prabuwijaya dari Pajang|Pangeran Benawa]], raja terakhir dari [[Kesultanan Pajang]].<ref>{{Cite journal|last=Hariyanto|date=2018|title=Gerakan Dakwah Sultan Agung: Arti Penting Perubahan Gelar Sultan Agung Terhadap Gerakan Dakwah di Jawa pada Tahun 1613 M - 1645 M|url=https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/bayan/article/download/3176/3007|journal=Jurnal Al-Bayan|volume=24|issue=1|pages=129-130}}</ref>
Versi lain mengatakan bahwa Sultan Agung adalah putra Raden Mas Damar (Pangeran Purbaya), cucu [[Ki Ageng Giring]]. Dikatakan bahwa Pangeran Purbaya menukar bayi yang dilahirkan oleh istrinya dengan bayi yang dilahirkan oleh Dyah Banawati. Versi ini adalah pendapat minoritas yang kebenarannya harus dibuktikan.
Sultan Agung memiliki dua permaisuri utama yang merupakan tradisi Kesultanan Mataram. Kedua permaisuri ini disebut Ratu Kulon dan Ratu Wetan. Ratu Kulon merupakan putri dari sultan [[Kesultanan Cirebon]]. Sedangkan Ratu Wetan merupakan putri dari Adipati Batang sekaligus cucu [[Ki Juru Martani]].<ref>{{Cite journal|last=Jalaludin, Ghulam, Z., dan Ghofur, A.|date=2021|title=Analisis Wacana Strategi Dakwah Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo|url=https://ejournal.iaisyarifuddin.ac.id/index.php/dakwatuna/article/download/923/440/|journal=Dakwatuna: Jurnal Dakwah dan Komunikasi Islam|volume=7|issue=1|pages=64|issn=2443-0617}}</ref> Nama asli Ratu Kulon adalah Ratu Mas Tinumpak. Ia melahirkan Raden Mas Syahwawrat yang dikenal sebagai Pangeran Alit. Sedangkan nama asli dari Ratu Wetan adalah Ratu Ayu Batang. Ia melahirkan Raden Mas Sayyidin yang dikenal sebagai [[Amangkurat I]].{{Butuh rujukan}}
== Gelar ==
=== Susuhunan ===
Di awal pemerintahannya, Raden Mas Jatmika bergelar Susuhunan Anyakrakusuma dan dikenal juga sebagai Prabu Pandita Anyakrakusuma. Setelah menaklukkan [[Madura]] pada tahun [[1624]], ia mengubah gelarnya sebagai ''Susuhunan Agung Adi Prabu Anyakrakusuma'' atau ''Sunan Agung''. Gelar sultan, baru didapatkan Sunan Agung ketika ia mengirim utusannya kepada [[syarif Mekkah]].<ref name ="rick08">{{cite book|author=Ricklefs, M.C. |year=2008|title=A History of Modern Indonesia Since c. 1200|publisher=Palgrave}}</ref>
=== Sultan ===
Karena keberhasilanya dalam menaklukan banyak wilayah dan memenangkan pertempuran. Sunan Agung melakukan langkah simbolisnya yaitu mengirim utusan ke [[Makkah]] untuk meminta gelar [[sultan]]. Ia tak mau kalah dengan pesaingnya. Pangeran Ratu dari Banten, raja pertama di Jawa yang menerima gelar sultan dari Makkah bergelar Sultan Abulmafakir Mahmud Abdulkadir.
Pada 1641, utusan Sunan Agung tiba di Mataram, mereka menganugrahkan gelar sultan melalui perwakilan syarif Makkah, Zaid ibnu Muhsin Al Hasyimi. Gelar tersebut adalah ''Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani al-Jawi'',<ref name ="rick08"/><ref>{{cite book|author=Ooi, Keat Gin|year=2004|title=Southeast Asia: A Historical Encyclopedia|publisher=ABC-CLIO}}</ref> disertai kuluk untuk mahkotanya, bendera, pataka, dan sebuah guci yang berisi air zamzam. Guci yang dulunya berisi air zamzam itu kini ada di makam Astana Kasultanagungan di [[Imogiri]] dengan nama Enceh Kyai Mendung.
Gelar sultan hanya digunakan selama empat tahun (1641-1645), dimulai semenjak Sultan Agung menerima gelar tersebut dari 1641 hingga wafat pada 1645. Ia menjadi satu-satunya raja Mataram yang bergelar sultan. Setelah ia mangkat penerusnya kembali bergelar [[susuhunan]].
== Pemerintahan ==
=== Kenaikan takhta ===
Sultan Agung menjadi sultan dari Kesultanan Mataram pada tahun 1613 M. Masa pemerintahannya berlangsung hingga tahun 1645 M.<ref>{{Cite journal|last=Septriani, L. D., Wahyuni, A., dan Purnomo, B.|date=2020|title=Analisis Karakter Cinta Tanah Air melalui Novel Berjudul Sultan Agung: Tonggak Kokoh Bumi Mataram|url=https://media.neliti.com/media/publications/346521-analisis-karakter-cinta-tanah-air-melalu-682bfe10.pdf|journal=Literacy : Jurnal Ilmiah Sosial|volume=2|issue=2|pages=66}}</ref> Ia naik takhta untuk menggantikan posisi dari [[Pangeran Martapura]].<ref>{{Cite book|last=Sekretaris Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta|date=2017|url=https://birotapem.jogjaprov.go.id/berita/22.pdf|title=Sejarah Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta|location=Yogyakarta|publisher=Biro Tata Pemerintah, Sekretaris Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta|pages=17|url-status=live}}</ref> Sultan Agung ketika menjadi raja baru berusia 20 tahun.<ref>{{Cite journal|last=Maharsi|date=2016|title=Sultan Agung: Simbol Kejayaan Kasultanan Islam Jawa|url=https://jrd.bantulkab.go.id/wp-content/uploads/2017/03/2016-08-03-sultanagung.pdf|journal=Jurnal Riset Daerah|volume=XV|issue=2|pages=2475}}</ref> Pangeran Martapura merupakan saudara tirinya yang menjadi Sultan Mataram ketiga selama satu hari. Sultan Agung secara teknis adalah sultan Mataram keempat, tetapi ia umumnya dianggap sebagai sultan ketiga, karena penobatan saudara tirinya yang [[tunagrahita]] hanya untuk memenuhi janji ayahnya kepada istrinya, Ratu Tulungayu, ibu Pangeran Martapura.{{Butuh rujukan}}
Pada tahun kedua pemerintahan Sultan Agung, [[Ki Juru Martani|Patih Mandaraka]] meninggal karena usianya sudah tua, dan posisinya sebagai patih diduduki oleh [[Tumenggung Singaranu]].{{Butuh rujukan}}
Ibu kota Mataram pada era penobatannya masih berada di [[Kutagede, Mataram|Kutagede]]. Pada 1614, sebuah istana baru dibangun di [[Karta]], sekitar 5 km di barat daya Kutagede, yang mulai ditempati 4 tahun kemudian.{{Butuh rujukan}}
===
{{further|Penyerbuan ke Batavia}}
[[File:AMH-6775-KB Siege of Batavia by the sultan of Mataram.jpg|thumb|[[Penyerbuan ke Batavia]] oleh Sultan Agung pada tahun [[1628]].]]
Pendudukan [[Belanda]] di ujung barat [[Jawa]], sepanjang [[Banten]], dan pemukiman Belanda di [[Batavia]] merupakan wilayah di luar kendali Sultan Agung. Dalam upayanya mempersatukan Jawa, Sultan Agung menyatakan Banten yang secara historis sebagai daerah bawahan [[Kesultanan Demak|Demak]] dan [[Kesultanan Cirebon|Cirebon]]. Namun, semenjak kedatangan Belanda, mereka berdaulat atas Banten. Klaim itu mendesak Sultan Agung untuk melancarkan penaklukan militer sebagai upaya untuk mengambil alih Banten dari pengaruh Belanda. Namun, jika Sultan Agung menempatkan baris pasukannya ke Banten, kota pelabuhan Batavia akan berdiri sebagai lawan potensial terlalu dekat dengan kedekatan wilayah Banten. Sultan Agung menganggap keberadaan Belanda di Batavia sebagai ancaman terhadap hegemoni Mataram, sehingga mengharuskan alasan lebih lanjut untuk menempatkan pasukan Mataram di Batavia.<ref name ="Soekmono60">{{cite book | author= Soekmono | title= Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3 | publisher = Kanisius | page =60 }}</ref>
Pada [[1628]], Sultan Agung dan pasukan Mataram mulai menyerbu Belanda di Batavia.<ref name="Britannica">{{cite web | title = Mataram, Historical kingdom, Indonesia | publisher = Encyclopædia Britannica | url = http://www.britannica.com/EBchecked/topic/368940/Mataram | accessdate = 4 Agustus 2020}}</ref> Tahap awal kampanye melawan Batavia terbukti sulit karena kurangnya dukungan logistik untuk pasukan Mataram.
Sultan Agung kembali menyerang Batavia untuk kedua kalinya pada tahun berikutnya. Pasukan pertama dipimpin [[Dipati Ukur]] berangkat pada bulan Mei [[1629]], sedangkan pasukan kedua dipimpin Adipati Juminah berangkat bulan Juni. Total semua 14.000 orang prajurit. Kegagalan serangan pertama diantisipasi dengan cara mendirikan lumbung-lumbung beras tersembunyi di [[Karawang]] dan [[Cirebon]]. Namun pihak Belanda yang menggunakan mata-mata berhasil menemukan dan memusnahkan semuanya. Hal ini menyebabkan pasukan Mataram kurang perbekalan, ditambah wabah penyakit malaria dan kolera yang melanda mereka, sehingga kekuatan pasukan Mataram tersebut sangat lemah ketika mencapai [[Batavia]].<ref name ="Soekmono61">{{cite book | author= Soekmono | title= Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3 | publisher = Kanisius | page =61 }}</ref>
Serangan kedua Sultan Agung ini berhasil membendung dan mengotori sungai [[Ciliwung]], yang mengakibatkan timbulnya wabah penyakit kolera melanda Batavia. Gubernur jenderal Belanda yaitu [[Jan Pieterszoon Coen|J.P. Coen]] meninggal menjadi korban wabah tersebut.
==
Perkembangan [[bedaya]] sebagai tarian sakral, [[gamelan]] dan [[wayang]] dikaitkan dengan pencapaian artistik Sultan Agung sebagai budayawan. Beberapa bukti tertulis berasal dari sejumlah kecil dalam catatan Belanda.<ref>[[Sumarsam]]. ''Gamelan: Cultural Interaction and Musical Development in Central Java''. Chicago: University of Chicago Press, 1995. Page 20.</ref> Namun dalam tutur cerita rakyat yang kompleks, menyebutkan Sultan Agung dengan berbagai bidang pencapaiannya jauh lebih besar. Sultan Agung juga dikenal sebagai pendiri [[kalender Jawa]] yang masih digunakan hingga saat ini. Selain itu, Sultan Agung telah menulis karya sastra berjudul [[Serat Sastra Gendhing]], yang terdiri dari Pupuh Sinom (14 pada), Pupuh Asmaradana (11 pada), Pupuh Dandanggula (17 pada), dan Pupuh Durma (20 pada) membahas mengenai filosofi hubungan sastra dan gendhing. Ajaran-ajaran mengenai hubungan kosmis, yakni antara manusia dengan Tuhan. Menyatukan sastra dan bunyi gendhing.
Di lingkungan karaton Mataram, Sultan Agung membentuk bahasa standar yang disebut [[bahasa Bagongan]], digunakan oleh para bangsawan dan pejabat Mataram untuk menghilangkan kesenjangan di antara para bangsawan dan keluarga raja. Bahasa itu diciptakan untuk membentuk persatuan antara pejabat karaton.
Pengaruh politik feodal Sultan Agung menjadikan diberlakukannya penggunaan tingkatan bahasa di wilayah [[Jawa Barat]], ditandai dengan penciptaan bahasa yang disempurnakan yang sebelumnya hanya dikenal di [[Jawa Tengah]] dan [[Jawa Timur]].
{{quote box
| width = 35%
| align = right
| quote = ''Lamun sira tinitah bupati anggea ambek kasudarman den dadi surya padhane sumadya lwir ramu mungwing cala lumawan ening mwang kadi ta samudra pamotireng tuwuh rehing amawi santana wruhanira lwir warsa taru rata nglih mangsaning labuh kapat''
| salign = right
| source = ''Serat Nitipraja'' karya Sultan Agung
}}
Namun warisan utama Sultan Agung terletak pada reformasi administrasi yang ia lakukan di wilayah otoritasnya. Ia menciptakan struktur administrasi yang inovatif dan rasional.<ref>Bertrand, Romain, ''Etat colonial, noblesse et nationalisme à Java'', Paris, 2005</ref> Dia menciptakan "provinsi" dengan menunjuk orang sebagai [[Adipati]] sebagai kepala wilayah [[Kadipaten]], khususnya wilayah-wilayah di bagian barat Jawa, di mana Mataram menghadapi Belanda di Batavia. Sebuah kabupaten seperti Karawang, misalnya, diciptakan ketika Sultan Agung mengangkat pangeran Kertabumi sebagai adipati pertamanya pada 1636.
Di masa ketika Belanda menguasai Nusantara, mereka mempertahankan struktur administrasi yang diwarisi oleh Sultan Agung. Di bawah pemerintahan [[Hindia Belanda]] di Nusantara, oleh mereka kabupaten disebut ''regentschappen''. Gelar bupati umumnya terdiri atas nama resmi, misalnya "Sastradiningrat" dalam kasus Karawang, didahului oleh "Raden Aria Adipati", maka "Raden Aria Adipati Sastradiningrat" (disingkat menjadi RAA Sastradiningrat). Kata adipati bertahan dalam sistem pemerintahan kolonial.
Setelah kemerdekaan pemerintah Indonesia mempertahankan istilah Kabupaten tetapi membubarkan residen pada tahun 1950-an, sehingga kabupaten menjadi subdivisi administratif langsung di bawah provinsi. Undang-undang tentang otonomi daerah yang diundangkan pada tahun 1999 memberikan otonomi tingkat tinggi kepada kabupaten, bukan kepada provinsi. Warisan Sultan Agung juga diakui oleh pemerintah Indonesia hingga saat ini.
Sultan Agung dihormati di Jawa secara kontemporer baik perjuangannya membela tanah air, warisan tradisi atau budaya yang ia sumbangkan untuk negara. Di era presiden [[Soeharto]] ia dikukuhkan sebagai [[Pahlawan Nasional Indonesia]].
== Keluarga ==
Sepanjang hidupnya Hanyakrakusuma menikah dengan tiga istri permaisuri dan beberapa istri selir. Istri permaisuri Hanyakrakusuma yaitu Ratu Kulon I / Ratu Mas Tinumpak dari Cirebon, Ratu Kulon II / Ratu Wetan dari Batang, dan Ratu Kidul. Istri selir Hanyakrakusuma yang memberinya keturunan yaitu Mas Ayu Wangen, Mas Ayu Sekarrini, Mas Ayu Sulanjari, Mas Ayu Sulanjani, Raden Ayu Kadipaten, Rara Pilih, dan Rara Sariyah.
Dari pernikahan-pernikahannya Hanyakrakusuma memiliki 12 orang anak. Sesuai urutan kelahiran, anak-anaknya yaitu:
# Raden Mas Kasim / Pangeran Demang Tanpanangkil, anak dari Mas Ayu Wangen.
# Raden Mas Hina / Raden Mas Hindu / Pangeran Rangga Kajiwan, anak dari Mas Ayu Sekarrini.
# Raden Ajeng Jenab / Raden Ayu Winongan, anak dari Mas Ayu Wangen.
# Raden Mas Rarangin, anak dari Mas Ayu Sulanjari.
# Raden Mas Paranging, anak dari Mas Ayu Sulanjani.
# Raden Ajeng Wegang, anak dari Mas Ayu Sulanjani.
# Raden Mas Sarip Mustapa / Pangeran Ngabehi Loring Pasar, anak dari Raden Ayu Kadipaten.
# Raden Mas Kaseliran, anak dari Rara Pilih.
# Raden Mas Syah Wawrat / Pangeran Tumenggung Pajang / Panembahan Purbaya II / Pangeran Tumenggung Mataram, anak dari Ratu Kulon I.
# Raden Mas Sayidin / Raden Mas Jabus / Raden Mas Rageh / Pangeran Adipati Anom Mataram / [[Amangkurat I]], anak dari Ratu Kulon II.
# Raden Ajeng Riwangan / Raden Ajeng Dilah / Raden Ayu Wiramantri, anak dari Rara Sariyah.
# Raden Mas Timur / Raden Mas Alit / Pangeran Harya Mataram / Pangeran Harya Danupaya, anak dari Ratu Kulon II.
== Dalam budaya populer ==
* Dalam film ''[[Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta]]'' (2018), Sultan Agung dari Mataram diperankan oleh [[Ario Bayu]].
== Referensi ==
{{reflist}}
==
* M.C. Ricklefs. 1991. ''Sejarah Indonesia Modern'' (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
* Moedjianto. 1987. ''Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram''. Yogyakarta: Kanisius
Baris 123 ⟶ 185:
== Lihat pula ==
* [[Gelar kebangsawanan Jawa]]
* [[Kesultanan Mataram]]
* [[Amangkurat]]
{{s-start}}
{{s-hou|[[Wangsa Mataram]]||1593||1645}}
{{s-reg|}}
{{s-bef|before=[[Anyakrawati]]}}
{{s-ttl|title=[[Kesultanan Mataram|Sultan Mataram]]|years=1613 ‒ 1645}}
{{s-aft|after=[[Amangkurat I]]}}
{{
{{Pahlawan Indonesia}}
{{Daftar yang Agung}}
{{Authority control}}
{{DEFAULTSORT:Anyakrakusuma}}
[[Kategori:Sultan Mataram]]
[[Kategori:Tokoh Yogyakarta]]
[[Kategori:Tokoh Jawa]]
[[Kategori:Pahlawan nasional Indonesia]]
|