Era Demokrasi Liberal (1950–1959): Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
menambahkan infobox |
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
(43 revisi perantara oleh 27 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{Short description|Parliamentary democracy era in Indonesia}}
{{More citations needed|date=September 2020}}▼
{{EngvarB|date=September 2015}}
{{Infobox country▼
| name = Era Demokrasi Liberal Indonesia
|
| end = 1959
| image = 1955 Indonesian Election Posters.png
| alt =
| caption = Papan iklan yang mempromosikan partai politik untuk pemilihan umum 1955.
| before = [[Revolusi Nasional Indonesia]]
| including =
| after = [[Demokrasi Terpimpin di Indonesia|Demokrasi Terpimpin]]
| monarch =
| leaders= [[Soekarno]]
| key_events = {{bulleted list|[[Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia]]|[[Konferensi Bandung]]|[[Konstituante Republik Indonesia]]|[[Pemilihan umum legislatif Indonesia 1955]]|[[Pemilihan umum Konstituante Republik Indonesia 1955]]}}
▲|today = [[Indonesia]]
}}
{{Sejarah Indonesia}}
'''Era Demokrasi Liberal''', juga dikenal sebagai '''Era Demokrasi Parlementer''', adalah suatu era dalam [[sejarah politik]] Indonesia, ketika negara tersebut berada di bawah [[demokrasi liberal|sistem demokrasi liberal]]. Selama periode ini, Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum legislatif pertama dan satu-satunya yang bebas dan adil hingga tahun 1999 (saat memasuki [[Era Reformasi]]), tetapi juga mengalami ketidakstabilan politik yang berkelanjutan. Periode ini dimulai pada 17 Agustus 1950 setelah pembubaran negara federal [[Republik Indonesia Serikat]], kurang dari setahun setelah pembentukannya, dan berakhir dengan penerapan [[darurat militer]] dan [[Dekrit Presiden Republik Indonesia 1959|dekrit Presiden Sukarno]], yang menghasilkan diperkenalkannya periode [[Demokrasi Terpimpin di Indonesia|Demokrasi Terpimpin]] pada 5 Juli 1959.
Pada tanggal 17 Agustus 1950, [[Republik Indonesia Serikat]] (RIS), yang merupakan negara hasil [[Konferensi Meja Bundar]] dan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh [[Belanda]], resmi dibubarkan. Sistem pemerintahannya pun diubah menjadi demokrasi parlementer berdasarkan [[Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia|Undang-Undang Dasar Sementara 1950]].
Periode [[demokrasi liberal]] ditandai oleh pertumbuhan partai-partai politik dan pemberlakuan [[sistem pemerintahan parlementer]], namun juga oleh periode ketidakstabilan politik yang panjang, dengan jatuhnya pemerintahan satu demi satu. [[Pemilihan umum legislatif Indonesia 1955|Pemilihan umum legislatif 1955]] merupakan pemilihan umum pertama yang bebas dan adil dalam sejarah Indonesia, sekaligus satu-satunya pemilihan umum yang bebas dan adil hingga [[Pemilihan umum legislatif Indonesia 1999|Pemilihan umum legislatif 1999]], yang diadakan pada akhir rezim [[Orde Baru]].{{sfn|Witton|2003}}
== Latar belakang ==
Seiring dengan berakhirnya [[Revolusi Nasional Indonesia|perjuangan untuk mengamankan kemerdekaan Indonesia]], perpecahan di kalangan masyarakat Indonesia mulai muncul. Perbedaan antardaerah dalam hal adat istiadat, moral, tradisi, agama, pengaruh [[Marxisme]], serta ketakutan akan dominasi politik Jawa, semuanya berkontribusi pada perpecahan. Sebagai [[negara]] baru, Indonesia memiliki masalah kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, dan tradisi otoriter.<ref>Ricklefs (1991), page 237</ref> Berbagai gerakan separatis juga muncul untuk menentang Republik Indonesia: militan [[Negara Islam Indonesia|Darul Islam]] memproklamasikan "Negara Islam Indonesia" dan bergerilya melawan Republik Indonesia di Jawa Barat dari tahun 1948 hingga 1962; di Maluku, orang-orang Ambon yang dulunya adalah [[Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger|Tentara Kerajaan Hindia Belanda]] (KNIL) memproklamasikan kemerdekaan [[Republik Maluku Selatan]]; ditambah dengan pemberontakan di Sumatra dan Sulawesi antara tahun 1955 dan 1961.
Perekonomian Indonesia terpuruk setelah [[Sejarah Nusantara (1942–1945)|tiga tahun pendudukan Jepang]], kemudian empat tahun perang melawan Belanda. Di tangan pemerintahan yang masih muda dan belum berpengalaman, perekonomian tidak mampu mendorong produksi pangan dan kebutuhan lain untuk mengimbangi pertambahan penduduk. Sebagian besar penduduk buta huruf, tidak terampil, dan tidak memiliki kemampuan manajerial. Inflasi meningkat, banyak penyelundupan yang merugikan pemerintah pusat yang sangat membutuhkan devisa, dan banyak perkebunan hancur selama pendudukan penjajah dan perang.<ref name="LONELYPLANET">{{cite book|last=Witton|first=Patrick|year=2003|title=Indonesia|url=https://archive.org/details/indonesia0000unse_i2g4|location=Melbourne|publisher=Lonely Planet|isbn=1-74059-154-2|pages=[https://archive.org/details/indonesia0000unse_i2g4/page/26 26]–28}}</ref>
Baris 66 ⟶ 36:
=== Mulainya Demokrasi Parlementer ===
Pada 17 Agustus 1950, Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Pemerintahan Republik Indonesia masih melanjutkan model demokrasi parlementer yang liberal. Kabinet dipimpin oleh seorang perdana menteri sebagai [[kepala pemerintahan]] dan bertanggung jawab kepada [[parlemen]]. Presiden hanya berkedudukan sebagai [[kepala negara]]. Sementara itu, [[Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia]] (UUDS) 1950 digunakan sebagai konstitusi berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, dalam Sidang Pertama Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta. Konstitusi ini dinamakan “sementara”, karena hanya bersifat sementara, menunggu terpilihnya Konstituante hasil pemilihan umum yang akan menyusun konstitusi baru.
UUDS 1950 sangat berbeda dengan UUD 1945 dalam banyak hal; ia mengamanatkan sistem pemerintahan parlementer dan menetapkan secara panjang lebar jaminan konstitusional untuk hak asasi manusia, yang sangat mengacu pada [[Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia]] oleh PBB tahun 1948.<ref>{{cite book|last=Schwarz|first=A.|year=1994|url=https://archive.org/details/nationinwaitingi00schw|title=A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s|publisher=Westview Press|isbn=1-86373-635-2|url-access=registration}}</ref>
=== Konstituante ===
Baris 132 ⟶ 102:
|-
|<center>6.
|[[Kabinet Ali Sastroamidjojo II|Ali Sastroamidjojo II / Ali Wongso]]
|[[Ali Sastroamidjojo]]
|<center>25
Baris 145 ⟶ 115:
|9 April 1957
|5 Juli 1959
|
|}
Baris 158 ⟶ 128:
* Memperjuangkan penyelesaian soal Irian Barat
Hasil kerja kabinet ini yaitu berlangsungnya perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat. Sementara kendala atau masalah yang dihadapi yaitu upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan Belanda mengalami jalan buntu (kegagalan) dan timbul masalah keamanan dalam negeri berupa pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti gerakan DI/TII, gerakan Andi Azis, gerakan APRA, dan gerakan RMS.
Kabinet Natsir jatuh pada 21 Maret 1951 dalam periode 6,5 bulan dan belum sempat melaksanakan program-programnya. Jatuhnya kabinet ini karena adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disetujui parlemen sehingga Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden.
Baris 165 ⟶ 135:
=== Kabinet Sukiman-Suwirjo ===
Kabinet ini merupakan kabinet kedua pada Era Demokrasi Parlementer. Kabinet ini bertugas pada masa bakti [[27 April]] [[1951]] hingga [[3 April]] [[1952]], tetapi telah didemosioner sejak 23 Februari 1952. Kabinet ini merupakan kabinet koalisi antara Masyumi dan PNI. Program kerja kabinet Sukiman:
Baris 197 ⟶ 167:
* Mengatasi gerakan separatisme yang terjadi di berbagai daerah
* Penekanan Presiden Soekarno yang dilakukan oleh sejumlah perwira Angkatan Darat pada tanggal 17 Oktober 1952 agar parlemen dibubarkan
* Kejadian Tangjung Morawa yang terjadi di
Kabinet Wilopo harus mengakhiri masa tugas karena tidak berhasil menyelesaikan masalah peristiwa 17 oktober 1952. Peristiwa itu dipicu oleh adanya gerakan yang diprakarsai oleh sejumlah perwira angkatan darat yang tidak puas terhadap kebijakan pemerintah. Mereka menghendaki agar Presiden Sukarno membubarkan parlemen.
Baris 203 ⟶ 173:
=== Kabinet Ali Sastroamidjojo I ===
{{Main|Kabinet Ali Sastroamidjojo I}}
Program kerja Kabinet [[Ali Sastroamidjojo]] I yang disebut juga Ali-Wongsonegoro:
* Menumpas pemberontakan DI/TII di berbagai daerah
* Meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta melaksanakan pemilihan umum
Baris 211 ⟶ 181:
* Penyelesaian pertikaian politik
Pada masa kabinet Ali-Wongsonegoro, gangguan keamanan makin meningkat, antara lain munculnya [[Negara Islam Indonesia|pemberontakan DI/TII]] di Jawa Barat, [[Daud Beureu'eh|Daud Beureuh]] Aceh, dan [[Abdul Kahar Muzakkar|Kahar Muzakar]] di Sulawesi Selatan. Meskipun dihinggapi berbagai kesulitan, kabinet Ali-Wongsonegoro berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika. Oleh karena itu, kabinet Ali-Wongsonegoro ikut terangkat namanya. Selain berhasil menyelenggarakan Konfereni Asia Afrika, pada masa ini juga terjadi persiapan pemilu untuk memilih anggota parlemen yang akan diselenggarakan pada 29 September 1955. Kabinet Ali-Wongsonegoro akhirnya jatuh pada bulan Juli 1955 dalam usia 2 tahun (usia terpanjang). Penyebab jatuhnya kabinet Ali-Wongsonegoro adalah perselisihan pendapat antara TNI-AD dan pemerintah tentang tata cara pengangkatan Kepala Staf TNI-AD.
Pada masa pemerintahan Kabinet Ali Sastroamidjojo I, diselenggarakan [[Konferensi Asia–Afrika|Konferensi Asia-Afrika]] di Bandung pada 18-25 April 1955. Konferensi ini dihadiri 29 negara Asia dan Afrika yang kemudian membawa pengaruh penting bagi terbentuknya solidaritas dan perjuangan kemerdekaan dari bangsa-bangsa Asia-Afrika. [[Pertama di Indonesia|Pemilihan umum pertama]] yang diselenggarakan pada 1955 juga merupakan rancangan kabinet ini, tetapi pelaksanaannya kemudian dilanjutkan oleh kabinet berikutnya.
=== Kabinet Burhanuddin Harahap ===
Baris 223 ⟶ 193:
Keberhasilan kabinet ini di antaranya mengadakan perbaikan ekonomi, termasuk mengendalikan harga dengan menjaga agar tidak terjadi inflasi dan sebagainya. Dalam masalah ekonomi, kabinet ini telah berhasil cukup baik. Dapat dikatakan bahwa kehidupan rakyat semasa kabinet ini cukup makmur karena harga-harga barang kebutuhan pokok tidak melonjak naik akibat inflasi. Dalam periode kabinet ini, pemilihan umum pertama tahun 1955 dilaksanakan untuk memilih anggota-anggota DPR. Selain itu, kabinet ini juga mengembalikan wibawa pemerintah Republik Indonesia di mata pihak Angkatan Darat.
Kabinet ini jatuh tidak diakibatkan oleh keretakan di dalam tubuh kabinet, juga bukan karena dijatuhkan oleh kelompok oposisi yang mencetuskan mosi tidak percaya dari parlemen, tetapi karena merasa tugasnya sudah selesai. Pada tanggal 2 Maret 1956 pukul 10.00 siang, Kabinet Burhanuddin Harahap mengundurkan diri, sekaligus menyerahkan mandatnya kepada Presiden untuk dibentuk kabinet baru berdasarkan hasil pemilihan umum. Kabinet ini terus bekerja sebagai kabinet demisioner selama 20 hari sampai terbentuknya kabinet baru yakni Kabinet Ali–Roem–Idham yang dilantik tanggal 24 Maret 1956 dan serah terima dengan Kabinet Burhanuddin Harahap dilakukan tanggal 26 Maret 1956.
=== Kabinet Ali Sastroamidjojo II ===
Baris 237 ⟶ 207:
* mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
Kerja Kabinet Ali Sastroamidjojo II mendapat dukungan penuh dari presiden dan dianggap sebagai titik tolak dari periode ''planning and investment'', yang hasilnya adalah pembatalan seluruh perjanjian KMB. Kabinet ini pun berumur tidak lebih dari satu tahun dan akhirnya digantikan oleh Kabinet Djuanda karena mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi yang membuat kabinet hasil Pemilu I ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada Presiden.
=== Kabinet Djuanda ===
Baris 270 ⟶ 240:
Lain halnya dengan Kabinet Ali I (kabinet koalisi antara PNI dan NU), kabinet ini jatuh karena tidak dapat menyelesaikan kemelut yang ada di tubuh Angkatan Darat dan pemberontakan DI/TII yang berkobar di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh. Selain itu, ada pula konflik antara PNI dan NU yang mengakibatkan NU menarik semua menterinya yang duduk di kabinet.
Jatuh bangunnya kabinet dalam waktu yang singkat menimbulkan ketidakstabilan politik yang mengakibatkan program-program kabinet tidak berjalan dengan baik. Kondisi ini yang kemudian membuat Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959.
== Dekret Presiden 5 Juli 1959 ==
Baris 278 ⟶ 248:
# Pembubaran Konstituante hasil Pemilu 1955;
# Pemberlakuan kembali UUD 1945 menggantikan UUDS 1950;
# Pembentukan MPRS yang terdiri dari para anggota DPR
Beberapa alasan mengapa Presiden Soekarno harus mengeluarkan dekrit adalah sebagai berikut.
Baris 286 ⟶ 256:
# Konflik antarpartai yang terus-menerus terjadi sangat mengganggu stabilitas nasional.
# Para politisi partai yang saling berbeda pendapat sering bersikap membenarkan segala cara agar tujuan kelompok/partai tercapai.
# Sejumlah pemberontakan yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia semakin mengarah kepada gerakan separatis.
Baris 301 ⟶ 270:
== Referensi ==
{{reflist}}
{{Notelist}}
{{Topik Indonesia}}
{{Sejarah Indonesia navbox}}
|