Lubuk Benteng, Bathin III, Bungo: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
(3 revisi perantara oleh 2 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 9:
|penduduk = ... jiwa
|kepadatan = ... jiwa/km²
|kampung = 2 kampung
|rio = Hairul}}
= PROFIL DUSUN LUBUK BENTENG =
Baris 232 ⟶ 233:
'''Adat bersendi syarak, syarak Bersendi kitabbullah, alam tebentang jadikan guru'''
Sebelum Islam masuk, manusia memanfaatkan alam untuk dijadikan sebagai sumber hukum dalam mengatur kehidupan dan penghidupannya. Mereka mendapat bimbingan dalam hidupnya dalam menjalankan aktivitas sehari-hari, bersosialisasi dan
Hukum alam adalah hukum yang nyata, tidak terbantahkan, sakral, nyata dan tidak berubah, hukum-hukum itu dituangkan dalam bentuk peribahasa, ucapan dan sekarang dengan peribahasa kuno dan peribahasa baru. Seluko dalam pantun, Seluko dalam gurindam dan Seluko dalam puisi, dalam Seluko merupakan ayat-ayat hukum alam. Itulah yang dikatakan dalam filsafatnya: ''”Alam tebentang jadikan guru“ (''Alam terungkap sebagai guru) dalam hukum adat.
Setelah masuknya Islam, agama yang diridhai Allah bagi umat manusia, yang diturunkan melalui Rasul-Nya, Nabi Muhammad SAW, dengan Kitabnya Al Qur’anulkarim. Alam
Pasca Perang Padri, konflik adat dan syarak yang dipertentangkan oleh Belanda pada abad XIX di Minang Kabau berakhir dengan kesepakatan antara adat dan syarak yang dikenal dengan Piagam Bukit Marapalam. Isi Piagam tersebut adalah: “Adat bapaneh, syarak balindung, syarak mangato, adat mamakai” Artinya adat bapaneh adalah adat istiadat seperti jasad, syarak balindung artinya raga/jiwa batin, artinya raga dan ruh tidak terpisahkan, syarak mangato artinya syarak memberi hukum-hukum dan syariat, adat mamakai artinya adat mengamalkan apapun yang di fatwakan oleh syarak.
|