Nyadâr: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Ledgeknew memindahkan halaman Nyadar (upacara adat) ke Nyadâr: Judul salah eja Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
|||
(20 revisi perantara oleh 12 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
'''
▲'''{{PAGENAME}}''' adalah kekayaan tradisi masyarakat petani garam Desa Pinggir Papas. Nyadar dilakukan di sekitar komplek makam leluhur, disebut juga asta, yang oleh masyarakat setempat lebih dikenal dengan nama Bujuk Gubang. Dalam setahun dilakukan tiga kali berturut-turut dengan rentang waktu satu bulan berselang. Pada Nyadar ketiga biasa mereka sebut dengan Nyadar Bengko. Lokasi Upaca adat tersebut berada di [[Dusun]] Kolla, Desa Kebundadap Barat, Kecamatan Saronggi. Dari [[Kota Sumenep, Sumenep|kota Sumenep]] sendiri untuk menuju lokasi masih harus menempuh jarak sekitar 13 kilometer lagi ke arah Selatan.
== Waktu ==
Penentuan waktu pelaksanaan Nyadar berdasar musyawarah para pemuka adat, yang masih merupakan keturunan dari leluhur Anggasuta. Jika dihubungkan dengan kalender Masehi, biasanya dilaksanakan sekitar bulan Juli, Agustus, dan September.
Hari pelaksanaan selalu Jumat dan Sabtu. Ada beberapa syarat sehubungan dengan pelaksanaan Nyadar Dari syarat tersebut selain mengindikasikan bahwa Nyadar tumbuh dan berkembang setelah Islam masuk. Selain itu juga mengimplikasikan bahwa penghormatan terhadap leluhur mereka tidak boleh melebihi penghormatan terhadap [[Rasulullah]].▼
▲Dari syarat tersebut selain mengindikasikan bahwa Nyadar tumbuh dan berkembang setelah [[Islam]] masuk. Selain itu juga mengimplikasikan bahwa penghormatan terhadap leluhur mereka tidak boleh melebihi penghormatan terhadap [[Rasulullah]].
== Tempat Pelaksanaan ==▼
Nyadar pertama dan kedua dilakukan di sekitar asta Syeh Anggasuto, Syeh Kabasa, Syeh Dukun, dan Syeh Bangsa yang ada di Desa Kebundadap Barat, pada Nyadar ketiga dilakukan di desa Pinggir Papas. Konon hal ini juga berangkat dari nadar Syeh Dukun, yang juga ingin melakukan syukur tetapi hanya di lingkungan rumahnya (dalam Bahasa Madura disebut bengko) atau diantara keluarganya sendiri. Namun demikian ada yang khas dari pelekasanaan Nyadar ketiga ini.▼
Di Nyadar ketiga ini, pada malam harinya biasanya diikuti dengan kesenian mocopat atau membaca layang. Dimana tulisannya masih menggunakan tulisan Jawa kuno dengan media daun [[lontar]]. Jalannya cerita dalam mocopat tersebut, yang pertama adalah Jatiswara. Cerita Jatiswara ini mengisahkan jalannya nyawa dan raga dari perjalanan hidup manusia. Kemudian yang kedua ceritanya Sampurnaning Sembah. Yang kedua ini lebih mengisahkan jalannya bakti manusia kepada sang Pencipta, atau hal Syari’at.▼
▲Nyadar pertama dan kedua dilakukan di
▲Di Nyadar ketiga ini, pada malam harinya biasanya diikuti dengan kesenian mocopat/mamaca
== Sejarah Awal Mula Nyadar ==▼
Lontar Jatiswara adalah salah satu lontar bergenre santri lelana, sejenis dengan serat Centini. Lontar Jatiswara juga dibaca tiap 3 tahun sekali pada perayaan Mangayu-ayu di Desa Sembahlun Bumbung di Kaki Gunung Rinjani. Tampaknya ada hubungan antara orang Pinggirpapas dan orang Sasak. Hal ini perlu diteliti lebih lanjut.
Pangeran Anggasuto adalah salah satu tokoh masyarakat yang menyelamatkan orang-orang Bali yang terdesak ketika kalah perang melawan Pasukan [[Keraton Sumenep|Karaton Sumenep]]. Dikisahkan, pada suatu malam melakukan Istigharah. Memohon kepada Tuhan yang maha Esa, jika dia memang ditakdirkan hidup di daerah tersebut. Apa yang bisa dijadikannya sebagai sumber hidup atau mata pencaharian baginya. Sebab di daerah tersebut adalah daerah pesisir pantai. Yang bisa dibayangkan bagaimana kondisinya.▼
Mbah Anggasuto adalah salah satu tokoh masyarakat yang menyelamatkan prajurit kerjaan Bali yang terdesak ketika kalah perang melawan Pasukan [[Keraton Sumenep|Karaton Sumenep]]. Tidak jelas kerajaan Bali mana yang berperang dengan Sumenep, namun dipercaya kejadian ini berlangsung oafa pemerintahan Pangeran Lor dan Pangeran Timur di Sumenep.
▲
Konon, Tuhan mengabulkan dan memberinya petunjuk. Pangeran Anggasuto semacam diminta untuk berjalan menuju pesisir pantai. Pada suatu waktu, Pangeran Anggasuto berjalan ke arah pantai. Karena tanah di pantai itu begitu lembek, hingga membentuk tapak kakinya. Selang waktu berjalan, bekas tapak kaki tersebut terisi oleh air laut.
Beberapa hari kemudian, Anggasuto kembali berjalan ke arah pantai. Dia memperhatikan sesuatu di bekas tapak kakinya itu. Dijumpainya bekas tapak kaki itu dipenuhi oleh benda yang berwarna putih. Anggasuto sempat bertanya-tanya dalam hati. Apa gerangan benda putih tersebut? Adakah benda putih itu adalah madduna sagara (Madunya Samudra, red)?
Akhir kata, benda itu kemudian oleh Pangeran Anggasuto disebut dengan Buja, yang merupakan istilah [[
Seiring perputaran
▲Seiring perputaran jaman, temuannya itu ternyata memberi manfaat bagi seluruh manusia di penjuru Nusantara. Dimana pola mata pencaharian sebagai petani garam kemudian juga dilakukan oleh beberapa masyarakat di daerah lain seperti di Bali dan Sumatera. Dan waktu terus berjalan, orang-orang di daerah Pinggirpapas masa itu, dengan bimbingan Anggasuto terus mempelajari bagaimana memetak tanah untuk ladang garam. Selain itu juga cara memindah-mindah air laut.
Dari air kesatu hingga air kedua puluh lima yang baru menjadi garam. Yang dimaksud disini adalah kadar air. Kemudian daerah tersebut disebut dengan padaran atau sekarang dikenal dengan talangan. Maka jadilah daerah tersebut dengan hamparan ladang garam, dan mayoritas masyarakatnya mempunyai mata pencaharian sebagai petani garam.
Konon setelah garam-garam itu menunjukkan hasil, Anggasuto sebagai manusia yang senantiasa tidak lupa pada sang pemberi rejeki. Suatu ketika dia pun bernadar, setiap jatuh pada bulan dan tanggal panas matahari (masuk musim kemarau) akan melakukan Nyadar, semacam bakti syukur atas anugerah yang diberikan Tuhan. Maka jadilah dilakukan upacara Nyadar pertama.
Dalam perjalanan waktu adik dari Anggasuto, Kabasa, juga melakukan nadar yang sama. Maka jadilah upacara Nyadar yang kedua. Yang waktunya satu bulan berselang setelah Nyadar pertama dilakukan. Demikian halnya pada pelaksanaan Nyadar ketiga, yang merupakan nadar dari Dukun. Berdasar referensi dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumenep menyebutkan Syeh Dukun ini adalah pembantu Anggasuto yang berasal dari [[Banten]].
==
{{reflist}}▼
== Bibliografi ==
* Aneka Ragam Kesenian Sumenep, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumenep 2004
* Panduan Wisata Kabupaten Sumenep 2011, Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kab. Sumenep
▲{{reflist}}
{{Topik Sumenep}}
[[
[[
[[Kategori:Upacara adat di Indonesia]]
|