Ki Bagus Abdurrahman: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Daeng Hanif (bicara | kontrib)
Mencipta artikel Ki Bagus Abdurrahman
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Daeng Hanif (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
 
(6 revisi perantara oleh 5 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
Ki Bagus Abdurrahman Bodrowongso bin [[Fatahillah|Pangeran Fatahillah]] bergelar Pangeran Bodrowongso, atau Panglima Bawah Manggis. Ayahnya, Pangeran [[Fatahillah|Fatahillah / Pangeran Fathullah / Falatehan]], adalah Panglima Gabungan Armada Islam ( [[Kesultanan Demak|Demak]], [[Kesultanan Cirebon|Cirebon]], [[Kesultanan Banten|Banten]] ) yang berhasil mengalahkan Portugis pada tahun 1527 di [[Sunda Kelapa]] ( Wafat 1570). Ia hijrah ke [[Kota Palembang|Palembang]] bersama rombongan pelarian politik dari [[Kesultanan Demak]] yang masih keturunan Demang Lebar Daun. Rombongan yang berjumlah 80 orang ini, kembali ketanah asal nenek moyangnya yaitu [[Kota Palembang|Palembang]] dan diangkat menjadi [[Kesultanan Palembang|raja-raja Palembang]]. Mereka membangun istana Kuto Gawang dan Masjid di Candi Laras Palembang Lamo (sekarang komplek Pusri, 1 ilir). Penguasa mula-mula adalah Ki Gede Ing Suro Tuo (1552-1573), kemudian Ki Gede Ing Suro Mudo (1573-1590) dan seterusnya sampailah ke masa Pangeran Ratu Sultan Jamaluddin Mangkurat IV atau Pangeran Sido Ing Kenayan (1639-1650).
 
Pada masa Pangeran Sido Ing Kenayan dan isterinya [[Ratu Sinuhun]] inilah lahirnya produk hukum adat yang termasyur dengan nama “[[Undang-Undang Simbur Cahaya]]” yang tertulis dan berlaku di seluruh wilayah [[SumatraSumatera Selatan|Sumatera Selatan]]. Pada masa ini, Ki Bagus Abdurrahman selain sebagai ulama, guru agama, juga menjabat sebagai Hulubalang kerajaan bersama dengan sohib kentalnya, Jaladeri.  
 
Seperti ditulis dalam buku Sejarah Melayu Palembang yang ditulis R.M. Akib, diceritakan Jaladeri yang hanya memiliki satu istri dan dua anak, diminta istrinya yang bernama Nyi Marta, untuk beristri lagi. Menurut Nyi Marta, cukup memalukan jika seorang panglima hanya memiliki satu istri.
Baris 19:
Ada kepercayaan buat sebagian keturunan Ki Bagus Abdurrahman ini, dia menyerahkan kekuasaan kepada kerabat Pangeran Sido Ing Kenayan, dengan syarat harus tetap menjunjung adat istiadat yang ditulis [[Ratu Sinuhun]] dalam buku Simbur Cahaya. Sebuah buku yang isinya memadukan ajaran Islam dan kearifan lokal masyarakat [[Suku Melayu|Melayu]]
 
Panglima Ki Bagus Abdurrahman, Pangeran Sido Ing Kenayan, dan istrinya, Ratu Sinuhun, saat ini dimakamkam di Sabokingking, Palembang.<ref>{{id}} [http://www.indomedia.com/sripo/2002/06/13/1306opini1.htm Palembang Sebuah Negeri yang Hilang (Refleksi Hari Jadi Palembang ke-1319)] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20070310213257/http://www.indomedia.com/sripo/2002/06/13/1306opini1.htm |date=2007-03-10 }}</ref>
 
== Zuriat ==
Dari Ki Bagus Abdurrahman ini kemudian    menurunkan zuriat (keturunan) Kiagus-Nyayu dan Kemas-Nyimas asli di Palembang. Karena jasa dan peranannya yang begitu besar, oleh semua pedalem-pedalem turunan raja-raja yang memerintah Palembang telah diwasiatkan tidak boleh bermusuh-musuhan dengan zuriat Ki Bagus Abdurrahman ini, melainkan hendaklah selalu hidup rukun dan damai.
 
Ki Bagus Abdurrahman mempunyai lima orang putera, masing-masing bernama: Ki Panggung, Ki Matuk, Kiagus Abdul Ghani, Khalifah Gemuk, dan Ki Bodrowongso Muda. Dari keturunan mereka ini, sejak zaman kesultanan, masa kolonial, dan awal kemerdekaan, bertugas sebagai pejabat agama, seperti: Hoofd [[Penghulu]], [[imam]], [[khatib]], [[kiai]], [[Ustaz|guru agama]], serta menjadi Syekh pengamal dan penyiar “Ratib Samman” yang berdomisili di  Guguk Pengulon belakang Masjid Agung, di lingkungan Keraton/Benteng Kuto Lamo dan [[Benteng Kuto Besak|Kuto Besak]]. <ref>Perbincangan Sejarah bersama Kemas H. Andi Syarifuddin, S.Ag (Sejarawan Palembang) </ref>
 
== Rujukan ==
 
[[Kategori:Kesultanan Palembang]]
[[Kategori:Alawiyyin]]
<references />
[[Kategori:AlawiyyinSayyid]]