La Galigo merupakan epos terpanjang di dunia yang dituliskan ke dalam aksara Lontara dan menjadi bukti dari penciptaan dan peradaban Bugis di Sulawesi Selatan dengan catatan usia ratusan tahun lampau.
Abstrak
Karya sastra ini telah diakui oleh UNISCO dan tercatat sebagai warisan kolektif dunia pada tahun 2011. La Galigo bukan sekadar naskah kuno yang berisi cerita kehidupan manusia saja, tetapi juga berisi kalimat indah dalam bentuk puisi yang berasal dari tradisi lisan pada abad ke-14.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan pemrosesan bahasa pada tokoh utama yang menjadi tuli dalam film ''Silent'' (2022) menggunakan pendekatan psikolinguistik. Film ini menceritakan seorang karakter yang awalnya hidup sebagai orang yang mendengar, namun kemudian kehilangan pendengaran secara bertahap. Kehilangan pendengaran tersebut memengaruhi cara dia memproses bahasa, baik dalam hal produksi, pemahaman, maupun interaksi sosial. Dengan menggunakan teori psikolinguistik, penelitian ini mengeksplorasi dampak perubahan sensorik ini pada kemampuan berbahasa, serta bagaimana film menggambarkan transisi tersebut. Hasil analisis menunjukkan adanya perubahan signifikan dalam kemampuan pemrosesan bahasa pada tingkat fonologis, morfologis, sintaksis, dan pragmatis. Penelitian ini juga menggali dampak sosial dan emosional dari transisi ke bahasa isyarat dan pengabaian bahasa verbal.
Dalam penulisannya, La Galigo berbentuk sajak yang terdiri dari lima suku kata atau dapat dimasukkan ke dalam kategori naskah sastra kuno atau puisi kuno yang ditulis pada media daun lontar dalam bahasa aksara Lontara. Namun sayangnya naskah yang ditulis dengan media ini sudah banyak yang hilang.
Kata Kunci: Tuli, Psikolinguistik, Pemrosesan Bahasa, Film Jepang ''Silent'' (2022), Kognisi Bahasa, Bahasa Isyarat.
Bentuk dari naskah La Galigo berupa nyanyian, mantra, doa, dongeng, dan lagu pengantar tidur hingga lagu yang digunakan dalam prosesi ritual dan tradisi. Sampai saat ini, karya sastra La Galigo dikembangkan dari generasi ke generasi dalam bentuk tradisi lisan.
# '''Pendahuluan'''
Film Jepang ''Silent'' (2022) mengisahkan perjalanan cinta Tsumugi Aoba dan Sou Sakura yang terputus saat Sou kehilangan pendengarannya. Kisah ini menjadi latar belakang yang menarik untuk menggali lebih dalam mengenai perubahan pemrosesan bahasa pada individu tuli. Melalui lensa psikolinguistik, penelitian ini akan menganalisis bagaimana karakter Sou mengalami perubahan dalam produksi dan pemahaman bahasa seiring dengan perkembangan ketulinya.
''Silent'' menyajikan potret mendalam tentang tantangan yang dihadapi oleh individu tuli dalam berkomunikasi dan berinteraksi sosial. Dengan fokus pada tiga aspek utama, yaitu produksi bahasa, pemahaman bahasa, dan faktor sosial, penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana bahasa dan kognisi beradaptasi terhadap gangguan sensorik seperti ketulian.
Melalui analisis mendalam terhadap karakter Sou, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan dalam pemahaman yang lebih baik mengenai dampak ketulian terhadap kognisi bahasa, proses adaptasi individu tuli, dan peran bahasa isyarat dalam kehidupan sehari-hari. Hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan penting bagi berbagai disiplin ilmu, termasuk psikolinguistik, ilmu saraf, pendidikan, dan ilmu sosial.
# '''Tinjauan Pustaka'''
2.1. Psikolinguistik dan Pemrosesan Bahasa
Psikolinguistik merupakan cabang ilmu yang mempelajari bagaimana bahasa dihasilkan, dipahami, dan digunakan oleh manusia. Fokus utama psikolinguistik adalah pada mekanisme kognitif yang terlibat dalam proses bahasa, mulai dari pemahaman kata hingga penyusunan kalimat. Salah satu komponen kunci dalam pemrosesan bahasa adalah input sensorik, khususnya pendengaran, yang memainkan peran penting dalam kemampuan manusia untuk memproses dan menghasilkan bahasa secara efisien (Pinker, 1994). Dalam kasus individu tuli, input auditori yang terbatas atau hilang menyebabkan perubahan yang signifikan dalam pemrosesan bahasa, karena mereka harus mengandalkan modalitas lain seperti visual untuk memahami dan menghasilkan bahasa.
Individu tuli, terutama yang kehilangan pendengaran di usia dewasa, sering kali mengalami perubahan dalam cara otak mereka memproses bahasa. Proses adaptasi ini memerlukan penggunaan strategi visual seperti membaca gerak bibir dan bahasa isyarat (Emmorey, 2002). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun input auditori tidak tersedia, otak tetap mampu beradaptasi dengan menggunakan input dari modalitas sensorik lainnya. Dalam kasus film Silent (2022), proses adaptasi ini tergambar jelas pada tokoh utama yang harus belajar memproses bahasa melalui modalitas visual, setelah kehilangan pendengarannya di usia dewasa. Adaptasi ini menunjukkan fleksibilitas otak dalam mengatasi perubahan sensorik yang mendadak.
Lebih jauh lagi, psikolinguistik juga menekankan pentingnya input lingkungan dalam perkembangan dan pemrosesan bahasa. Penelitian oleh Tomasello (2003) menunjukkan bahwa lingkungan sosial dan interaksi memainkan peran krusial dalam perkembangan bahasa anak, terutama dalam hal memahami konteks dan makna dalam komunikasi. Pada individu tuli, lingkungan sosial yang mendukung penggunaan bahasa isyarat atau bentuk komunikasi visual lainnya akan memudahkan proses adaptasi. Sebaliknya, individu yang kehilangan pendengaran di usia dewasa, seperti yang digambarkan dalam film ''Silent'' (2022), sering kali menghadapi tantangan emosional dan sosial saat berusaha menyesuaikan diri dengan bahasa isyarat, terutama ketika lingkungan mereka kurang mendukung.
2.2. Perubahan Pemrosesan Bahasa pada Individu Tuli
Penelitian menunjukkan bahwa pemrosesan bahasa pada individu tuli sangat bergantung pada usia kehilangan pendengaran dan keterpaparan terhadap bahasa lisan sebelumnya (Marschark, 1997). Pada individu yang lahir tuli atau kehilangan pendengaran di usia dini, otak akan lebih cenderung beralih sepenuhnya ke modalitas visual seperti bahasa isyarat. Mereka menggunakan strategi visual, termasuk bahasa isyarat dan gerak bibir, untuk memahami dan memproduksi bahasa (Emmorey, 2002). Dalam situasi ini, bahasa isyarat bukan hanya alat komunikasi tetapi juga bahasa utama yang mereka kuasai dan gunakan dalam interaksi sosial.
Namun, bagi individu yang kehilangan pendengaran setelah menguasai bahasa lisan, seperti yang dialami oleh tokoh utama dalam film ''Silent'' (2022), perubahan pemrosesan bahasa melibatkan penyesuaian yang lebih kompleks. Mereka harus belajar untuk mengkompensasi hilangnya input auditori dengan memaksimalkan modalitas visual dan mengurangi ketergantungan pada ciri fonologis yang sebelumnya didukung oleh pendengaran (Marschark, 1997). Dalam film ini, karakter utama menunjukkan proses adaptasi ini dengan mulai menggunakan bahasa isyarat, sementara tetap menghadapi tantangan emosional yang terkait dengan kehilangan identitas bahasa lisan yang pernah dimiliki.
Beberapa studi telah mengonfirmasi bahwa otak individu yang mengalami tuli dapat beradaptasi secara plastis, mengalihkan fungsi pemrosesan bahasa dari area yang biasanya mendukung pendengaran ke area yang lebih banyak mendukung pemrosesan visual (Neville, 1990). Studi ini memperlihatkan bahwa ketika input auditori hilang, otak memanfaatkan input visual untuk mengisi celah dalam pemrosesan bahasa. Proses ini, yang disebut reorganisasi kortikal, dapat dilihat dalam film ''Silent'' (2022), di mana karakter utama mulai mengandalkan sepenuhnya pada bahasa isyarat dan visual untuk berkomunikasi.
Bahasa isyarat, meskipun berbeda secara modalitas dari bahasa lisan, memiliki struktur linguistik yang kompleks dan diakui sebagai bentuk bahasa yang sah (Stokoe, 1960). Penelitian oleh Emmorey (2002) menunjukkan bahwa bahasa isyarat menggunakan sistem gramatikal yang terstruktur, sama halnya dengan bahasa lisan, dan pemrosesan kognitif yang mendasarinya sangat mirip dengan bahasa lisan. Hal ini berarti bahwa meskipun individu tuli tidak memiliki akses ke bahasa lisan melalui pendengaran, mereka tetap dapat mengembangkan kemampuan bahasa yang sama kompleksnya melalui modalitas visual.
Selain itu, literatur psikolinguistik juga menekankan bahwa bahasa isyarat memerlukan keterampilan motorik yang berbeda dari bahasa lisan. Ini melibatkan koordinasi tangan, wajah, dan tubuh untuk menyampaikan pesan. Emmorey (2002) menjelaskan bahwa bahasa isyarat bukan hanya tentang gerakan tangan, tetapi juga melibatkan ekspresi wajah dan gerakan tubuh untuk menandai intonasi dan makna pragmatis. Dalam film ''Silent'' (2022), perubahan pemrosesan bahasa pada karakter utama tidak hanya melibatkan transisi dari bahasa lisan ke bahasa isyarat, tetapi juga penyesuaian pada penggunaan gerakan tubuh dan ekspresi wajah untuk menggantikan intonasi suara dalam percakapan.
2.3. Bahasa Isyarat dalam Pemrosesan Kognitif
Bahasa isyarat memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan individu tuli, terutama sebagai modalitas utama untuk berkomunikasi dan mengekspresikan diri. Bahasa ini bukan sekadar pengganti bahasa lisan, tetapi merupakan sistem linguistik penuh yang memiliki tata bahasa, morfologi, dan semantik yang kompleks (Stokoe, 1960). Dalam konteks psikolinguistik, bahasa isyarat tidak hanya penting sebagai alat komunikasi tetapi juga berfungsi sebagai bentuk representasi mental yang unik dalam pemrosesan kognitif bahasa.
Penelitian oleh MacSweeney et al. (2008) menunjukkan bahwa individu tuli yang menggunakan bahasa isyarat memproses bahasa di area otak yang sama dengan individu pendengar yang memproses bahasa lisan. Hal ini menunjukkan bahwa otak manusia dirancang untuk memproses bahasa, terlepas dari modalitasnya, dengan cara yang serupa. Bahasa isyarat dan bahasa lisan, meskipun menggunakan modalitas sensorik yang berbeda, tetap melibatkan mekanisme kognitif yang sama dalam hal pemahaman makna dan struktur bahasa.
Dalam film ''Silent'' (2022), penggunaan bahasa isyarat oleh karakter utama mencerminkan bagaimana bahasa ini menjadi komponen penting dalam kehidupan sehari-hari mereka setelah kehilangan pendengaran. Proses adaptasi terhadap bahasa isyarat ini bukan hanya tentang belajar gerakan tangan, tetapi juga tentang bagaimana otak mereka beradaptasi dengan modalitas bahasa baru. Hal ini konsisten dengan temuan penelitian bahwa bahasa isyarat memerlukan pemrosesan kognitif yang mendalam dan melibatkan area otak yang sama dengan pemrosesan bahasa lisan (Neville, 1990).
# '''Metodologi'''
Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif dengan pendekatan psikolinguistik terhadap karakter utama dalam film ''Silent'' (2022). Data yang dianalisis meliputi dialog, interaksi sosial, serta perubahan perilaku komunikasi karakter setelah mengalami tuli. Pengamatan difokuskan pada bagaimana karakter memproses informasi bahasa sebelum dan sesudah kehilangan pendengaran, dengan fokus pada elemen-elemen psikolinguistik seperti fonologi, morfologi, sintaksis, dan pragmatik. Metodologi ini dipilih untuk memahami bagaimana karakter bereaksi terhadap kehilangan pendengaran dalam hal pemrosesan bahasa dan bagaimana perubahan tersebut tercermin dalam interaksi sosial yang lebih luas.
# '''Hasil dan Pembahasan'''
Dalam kajian ini, penelitian diarahkan untuk memahami perubahan pemrosesan bahasa yang dialami oleh tokoh tuli dalam film ''Silent'' (2022) melalui pendekatan psikolinguistik. Berdasarkan kata kunci utama seperti tuli, psikolinguistik, pemrosesan bahasa, kognisi bahasa, dan bahasa isyarat, analisis film ini dilakukan untuk mengungkapkan bagaimana tokoh mengalami perubahan dalam proses bahasa, serta bagaimana lingkungan komunikasi mendukung perubahan tersebut.
=== 1. Perubahan Pemrosesan Bahasa pada Tokoh Tuli ===
Pemrosesan bahasa pada individu tuli, terutama mereka yang mengalami kehilangan pendengaran di usia dewasa, menunjukkan beberapa aspek menarik yang memengaruhi cara otak memahami dan mengolah bahasa. Film ''Silent'' (2022) mengisahkan seorang tokoh utama yang awalnya merupakan orang dengan pendengaran normal, tetapi kemudian kehilangan pendengarannya. Berdasarkan pendekatan psikolinguistik, proses adaptasi terhadap kondisi tuli ini dapat dikaitkan dengan pergeseran cara kerja otak dalam memproses bahasa.
Pemrosesan bahasa bagi orang tuli biasanya lebih bergantung pada modalitas visual. Dalam film ''Silent'', tokoh tersebut mulai memperlihatkan peningkatan ketergantungan pada bahasa isyarat sebagai salah satu modalitas utama dalam komunikasi. Selain itu, dalam berbagai adegan, ditunjukkan bahwa tokoh ini juga mengandalkan lip-reading atau membaca gerak bibir sebagai bagian dari pemrosesan bahasa. Ini sesuai dengan teori psikolinguistik yang menjelaskan bahwa modalitas visual akan lebih dominan saat input auditorik menjadi terbatas atau tidak dapat diakses sama sekali.
Berdasarkan penelitian sebelumnya, otak manusia memiliki kapasitas plastisitas yang luar biasa dalam beradaptasi terhadap kehilangan sensorik. Dalam konteks film ini, peralihan dari modalitas auditorik ke visual menunjukkan bahwa otak dapat mengalihkan sumber daya pemrosesan bahasa ke area-area yang lebih aktif saat bahasa harus diproses secara visual. Fenomena ini juga dapat diamati dalam adegan di mana tokoh menggunakan bahasa isyarat, yang menjadi komponen kognitif penting bagi mereka yang mengalami tuli mendadak di usia dewasa.
=== 2. Kognisi Bahasa pada Tokoh Tuli ===
Kognisi bahasa mengacu pada proses mental yang mendasari pemahaman dan produksi bahasa. Pada individu tuli, terutama yang mengalami tuli di usia dewasa, proses kognisi bahasa mungkin berubah, tetapi tidak sepenuhnya terganggu. Film ''Silent'' (2022) memperlihatkan bagaimana perubahan ini terjadi, baik pada pemahaman maupun pada produksi bahasa.
Salah satu aspek utama dari perubahan kognisi bahasa yang diperlihatkan dalam film ini adalah adaptasi terhadap bahasa isyarat. Dalam kehidupan sehari-hari, bahasa isyarat menjadi alat utama untuk berkomunikasi dengan orang lain. Dalam konteks kognisi bahasa, hal ini menunjukkan bahwa meskipun saluran auditorik terganggu, kemampuan kognitif untuk memahami dan menghasilkan bahasa tetap utuh. Tokoh dalam film ''Silent'' tetap mampu melakukan percakapan, hanya saja mereka memproses informasi bahasa melalui modalitas visual.
Teori psikolinguistik tentang bilingualisme juga dapat diterapkan dalam memahami kognisi bahasa tokoh tuli dalam film ini. Sebagai individu yang pernah mendengar dan menggunakan bahasa lisan, tokoh ini kini menjadi semacam "bilingual" dengan bahasa isyarat. Otak mereka harus mengelola dua sistem bahasa yang berbeda bahasa lisan dan bahasa isyarat yang memerlukan kontrol kognitif yang berbeda.
Sebagai contoh, saat berbicara dengan orang yang tidak bisa menggunakan bahasa isyarat, tokoh tersebut harus beralih ke metode lain, seperti tulisan atau menggunakan aplikasi terjemahan. Kemampuan ini menunjukkan bahwa mereka mampu mempertahankan dua jenis bahasa dalam pemrosesan kognitif mereka, yang membutuhkan fleksibilitas mental dan adaptasi terhadap konteks komunikasi yang berbeda.
=== 3. Bahasa Isyarat sebagai Komponen Psikolinguistik ===
Film ''Silent'' (2022) juga menyoroti peran penting bahasa isyarat dalam kehidupan tokoh yang mengalami tuli mendadak. Bahasa isyarat tidak hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai cerminan dari kemampuan kognitif untuk memahami dan memproses bahasa secara visual. Menurut pendekatan psikolinguistik, bahasa isyarat memiliki struktur linguistik yang sama kompleksnya dengan bahasa lisan, dan individu tuli mampu mempelajari dan menggunakan bahasa ini secara efektif.
Penelitian psikolinguistik menunjukkan bahwa bahasa isyarat, meskipun berbasis visual, memiliki aturan sintaksis, morfologis, dan semantis yang sama kompleksnya dengan bahasa lisan. Tokoh dalam film ''Silent'' (2022) mulai mengembangkan kemampuan untuk menggunakan bahasa isyarat setelah kehilangan pendengarannya. Proses belajar bahasa isyarat ini mencerminkan kemampuan otak dalam memproses input bahasa baru, meskipun modalitasnya berbeda dari yang sebelumnya digunakan.
Dalam film ini, transisi dari penggunaan bahasa lisan ke bahasa isyarat tidak hanya berdampak pada komunikasi sosial, tetapi juga pada kognisi bahasa tokoh. Tokoh tersebut harus mengembangkan kemampuan baru dalam memproses bahasa melalui gerakan tangan, ekspresi wajah, dan gerak tubuh, yang semuanya berperan dalam pembentukan makna. Selain itu, film ini juga menunjukkan bagaimana tokoh harus mengatasi tantangan emosional dan sosial yang terkait dengan adaptasi terhadap bahasa isyarat, terutama ketika berinteraksi dengan orang-orang yang tidak terbiasa dengan bahasa ini.
=== 4. Dampak Sosial dan Emosional dalam Pemrosesan Bahasa ===
Selain perubahan dalam cara otak memproses bahasa, film ''Silent'' (2022) juga menyoroti dampak emosional dan sosial dari tuli mendadak. Psikolinguistik tidak hanya berkaitan dengan proses kognitif, tetapi juga bagaimana bahasa terkait dengan identitas dan interaksi sosial. Kehilangan pendengaran dapat mempengaruhi cara seseorang berinteraksi dengan dunia di sekitarnya, yang sering kali memicu perasaan isolasi dan frustasi.
Dalam film ini, tokoh mengalami perubahan drastis dalam hubungan sosialnya. Mereka harus beradaptasi dengan cara berkomunikasi yang berbeda, sering kali mengalami kesulitan dalam memahami orang-orang di sekitar mereka. Ini mencerminkan tantangan psikolinguistik yang dihadapi oleh individu tuli dalam lingkungan sosial yang tidak mendukung penggunaan bahasa isyarat.
Selain itu, proses adaptasi terhadap bahasa isyarat dalam film ini juga memperlihatkan bagaimana pemrosesan bahasa dapat mempengaruhi hubungan interpersonal. Tokoh dalam film ''Silent'' sering kali merasa terputus dari orang-orang terdekatnya, karena mereka tidak bisa lagi berkomunikasi dengan cara yang sama seperti sebelumnya. Ini menggambarkan bahwa bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai jembatan emosional antara individu dan lingkungannya.
=== 5. Studi Psikolinguistik pada Film ''Silent'' (2022) ===
Film ''Silent'' (2022) memberikan contoh nyata mengenai bagaimana seseorang yang mengalami tuli mendadak harus beradaptasi terhadap kondisi barunya dari sudut pandang psikolinguistik. Beberapa teori psikolinguistik yang relevan dengan kasus ini adalah teori plastisitas otak dan teori bilingualisme.
Pertama, teori plastisitas otak menunjukkan bahwa otak manusia mampu beradaptasi dengan perubahan sensorik, termasuk kehilangan pendengaran. Dalam film ini, plastisitas otak tokoh dapat dilihat dari bagaimana mereka beralih dari pemrosesan bahasa auditorik ke visual, melalui penggunaan bahasa isyarat dan membaca bibir.
Kedua, teori bilingualisme psikolinguistik relevan dalam kasus tokoh ini karena mereka harus belajar mengelola dua sistem bahasa yang berbeda: bahasa lisan dan bahasa isyarat. Bilingualisme ini menuntut kemampuan kognitif yang tinggi, karena tokoh harus dapat berpindah antara kedua sistem ini tergantung pada situasi komunikasi.
Selain itu, teori psikolinguistik tentang akuisisi bahasa juga relevan, karena tokoh harus mempelajari bahasa isyarat dari awal, mirip dengan proses akuisisi bahasa kedua. Ini menunjukkan bahwa meskipun otak tokoh telah beradaptasi untuk menggunakan bahasa lisan selama bertahun-tahun, mereka masih dapat belajar dan menguasai bahasa isyarat sebagai modalitas baru.
=== 6. Implikasi bagi Studi Psikolinguistik dan Pemahaman tentang Tuli ===
Kajian terhadap film ''Silent'' (2022) memberikan wawasan berharga mengenai bagaimana psikolinguistik dapat digunakan untuk memahami pengalaman individu tuli. Film ini menunjukkan bahwa pemrosesan bahasa tidak terikat pada satu modalitas sensorik saja, tetapi dapat beradaptasi ketika terjadi perubahan drastis pada salah satu modalitas, seperti kehilangan pendengaran. Dalam konteks ini, psikolinguistik menyediakan kerangka teoretis yang kuat untuk menjelaskan bagaimana otak beradaptasi dengan perubahan sensorik dan lingkungan komunikasi.
Penelitian lebih lanjut dapat difokuskan pada bagaimana proses bilingualisme pada individu tuli berkembang, serta bagaimana kognisi bahasa mereka berubah seiring dengan waktu. Film ini juga mengingatkan kita akan pentingnya lingkungan sosial dan dukungan emosional dalam proses adaptasi terhadap kondisi tuli. Hal ini membuka peluang bagi studi lintas disiplin antara psikolinguistik, sosiolinguistik, dan kajian budaya dalam memahami tuli dan bahasa isyarat.
7. Dampak Sosial dari Transisi ke Bahasa Isyarat
Film ''Silent'' juga menyoroti dampak sosial dari transisi ke bahasa isyarat. Meskipun belajar bahasa isyarat membantu karakter berkomunikasi lebih baik, ada tantangan sosial yang tetap muncul. Banyak orang di sekitarnya tidak menguasai bahasa isyarat, sehingga komunikasi dengan mereka menjadi terbatas. Hal ini membuat karakter sering merasa terisolasi dan kesulitan berinteraksi dengan orang lain, bahkan dalam situasi sosial yang biasa.
Psikolinguistik pragmatis menyoroti bahwa perubahan bahasa pada individu tuli tidak hanya memerlukan adaptasi kognitif, tetapi juga dukungan sosial. Tanpa dukungan sosial yang memadai, proses adaptasi bahasa menjadi lebih sulit, meningkatkan rasa keterasingan dan isolasi sosial. Film ini dengan jelas menggambarkan perasaan terpisah yang dialami oleh karakter, di mana lingkungan sosial yang tidak mendukung memperparah tantangan komunikasi dan integrasi sosial.
=== Kesimpulan ===
Film ''Silent'' (2022) memberikan gambaran mendalam mengenai perubahan pemrosesan bahasa pada individu yang mengalami tuli mendadak. Pendekatan psikolinguistik terhadap tokoh dalam film ini menunjukkan bahwa pemrosesan bahasa dapat beradaptasi secara fleksibel, beralih dari modalitas auditorik ke visual melalui penggunaan bahasa isyarat dan membaca bibir. Studi ini juga menyoroti pentingnya kognisi bahasa dan bilingualisme dalam proses adaptasi ini, serta dampak emosional dan sosial dari perubahan pemrosesan bahasa.
Film ini memperlihatkan bahwa tuli bukanlah akhir dari kemampuan berbahasa, melainkan awal dari perjalanan baru dalam pemrosesan bahasa yang melibatkan modalitas dan strategi kognitif yang berbeda.
|