Jalan Tengah: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tjmoel (bicara | kontrib)
Pierrewee (bicara | kontrib)
Referensi: +{{Buddha Gautama}}
 
(40 revisi perantara oleh 20 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Buddhisme|dhamma}}
Pada dasarnya, '''Jalan Tengah''' (Pali: ''majjhimā paṭipadā''<ref name="Kohn (1991)">Kohn (1991), p. 143. Lihat pula versi Pali dari ''Dhammacakkappavattana Sutta'' (tersedia online pada at SLTP, n.d.-b, sutta 12.2.1) dimanayang kalimat majjhimā patipadā digunakan berulang-ulang.</ref>;SansekertaSanskerta:''madhyamā-pratipad'') adalah ajaran Agama[[agama Buddha]] akan ketidak-kerasan.<ref name="Kohn (1991)"></ref>
 
Lebih jelas, dalam [[Tipitaka|Kitab Suci Pali]] Ajaran [[Theravada]], '''Jalan Tengah''' menjelaskan jalur menuju [[Nirwana]] yang ditempuh [[Sang Buddha]] yang lebih sederhana mengenai kegemaran hawa nafsuindryawi, penyiksaan diri dan menuju kepada pelaksanaan kebijaksanaa, pengembahanga moral dan mental. Dalam beberapa sutta lain, baik dalam Ajaran [[Theravada]], [[Mahayana]] dan [[Vajrayana]], Jalan Tengah menunjuk kepada sebuah konsep, seperti yang dituliskan dalam Kitab Suci, akan pengetahuan langsung yang melampaui suatu pemahaman yang sepertinya berlawanan dengan pendapat mengenai keberadaan.<ref>{{en}}David Kalupahana, Mulamadhyamakakarika of Nagarjuna. Motilal Banarsidass, 2006, page 1. "Two aspects of the Buddha's teachings, the philosophical and the practical, which are mutually dependent, are clearly enunciated in two discourses, the Kaccaayanagotta-sutta and the Dhammacakkappavattana-sutta, both of which are held in high esteem by almost all schools of Buddhism in spite of their sectarian rivalries. The Kaccaayanagotta-sutta, quoted by almost all the major schools of Buddhism, deals with the philosophical "middle path", placed against the backdrop of two absolutistic theories in Indian philosophy, namely, permanent existence (atthitaa) propounded in the early Upanishads and nihilistic non-existence (natthitaa) suggested by the Materialists."</ref>
 
== Ajaran Theravada ==
Dalam Kitab Suci Pali Agama Buddha - Ajaran Theravada, kalimat "jalan tengah" dianggap berasal dari Sang Buddha sendiri dalam penjelasannya akan [[Jalan Utama Berunsur Delapan]] sebagai sebuah jalan antara pengajaran yang keras dan lembut. Naskah berbahasa Pali juga menggunakan kalimat "jalan tengah" guna menerangkan ajaran Sang Buddha akan [[paticcasamuppada|hukum sebab musabab]] sebagai sebuah pandangan akan pendapat keras mengenai keabadian dan ketidak-adaan (nihilisme).
 
=== Jalan Utama Berunsur Delapan ===
{{main|Jalan Utama Berunsur Delapan}}
 
Dalam Tipitaka, kata "Jalan Tengah" (Pali:''majjhimā paṭipadā'') disebut pertama kali oleh Sang Buddha pada khotbah pertamanya, [[Dhammacakkappavattana Sutta]] (SN 56.11).
 
{{cquote|''Dua hal yang berlebihan (extrim) ini, O, para Bhikkhu, tidak patut dijalankan oleh mereka yang telah meninggalkan rumah untuk menempuh kehidupan tak berkeluarga. <{{br>}} Menuruti kesenangan hawa nafsu yang rendah (kāmasukhallikānuyoga), yang tidak berharga dan tidak berfaedah, biadab, duniawi; atau melakukan penyiksaan diri ''(attakilamathānuyoga)'', yang menyakitkan, tidak berharga dan tidak berfaedah''.<{{br>}}
''Setelah menghindari kedua hal yang berlebih-lebihan ini, O, para Bhikkhu, JALANJalan TENGAHTengah (MAJJHIMAMajjhima PATIPADApatipada) yang telah sempurna diselami oleh Tathagata, yang membukakan Mata Batin ''(Cakkhu karani), ''yang menimbulkan Pengetahuan ''(Ñana karani), ''yang membawa Ketentraman ''(Upasamaya), ''Kemampuan Batin luar biasa ''(Abhiññaya), ''Kesadaran Agung'' (Sambodhaya), ''Pencapaian Nibbana'' (Nibbanaya).<{{br>}} ''Apakah, O para Bhikkhu, JALANJalan TENGAHTengah yang telah sempurna diselami Tathagata, yang membukakan Mata Batin, yang menimbulkan Pengetahuan, yang membawa Ketentraman, Kemampuan Batin luar biasa, Kesadaran Agung, Pencapaian Nibbana itu? Tiada lain Jalan Utama Berunsur Delapan.''
Tiada lain Jalan Utama Berunsur Delapan.
|4=[[Dhammacakkappavattana Sutta]]
|5=<ref>Dhammacakkappavattana Sutta - Samyutta Nikaya 56.11 - yang merupakan khotbah pertama Sang Buddha, setelah mencapai pencerahan sempurna, dihadapan lima orang bhikkhu ((Assajji, Vappa, Bhadiya, Kondañña, Mahanama)</ref>}}
 
Dengan Demikiandemikian, guna pencapaian [[Nibbana]] (Pali; Sansekerta Sanskerta: [[Nirwana]]), Jalan Tengah mencakup:
* Menjauhkan diri dari nafsu duniawi dan penyiksaan diri
* memupuk kesatuan tindakan "benar" yang dikenal pula dengan sebutan Jalan Utama Berunsur Delapan.
 
Dalam ceramah ini, [[Sang Buddha]] mengenali Jalan Tengah sebagai suatu jalan untuk "mereka yang berkeinginan untuk meninggalkan kehidupan awam" (Pali: ''pabbajitena'') walaupun penganut [[Agama Buddha]] biasa dapat pula menerapkan petunjuk ini dalam kehidupan mereka.
 
Berdasarkan nasihat Sang Buddha terhadap "kegemaran akan kesenangan indryawi" (Pali: ''kāmesu kāma-sukha-allika''), bhikkhu [[Rewata Dhamma|Dr. Rewata Dhamma]] menuliskan:
{{cquote|''... pelatihan semacam ini berhubungan dengan cara 'hidup perkotaan', yang menerima kesenangan indriyawi sebagai faktor tertinggi kebahagiaan; semakin tinggi kegemaran, semakin bahagia ....''{{br}}{{br}}
''Sang Buddha mengajarkan bahwa kegemaran akan kesenangan indriawi bukanlah pelatihan bagi yang tercerahkan, mereka yang terhormat ''(ariya). ''Para Ariya yang menjalani kehidupan duniawi tidak memiliki keterikatan akan objek indriawy. Sebagai contoh, pada tingkatan pertama dalam hidupan mulia, sotapanna, atau pemenang arus, belum lagi mengalahkan nafsu atau hasrat. Pengertian pada tahap awal akan kegemaran jasmani yang masih ditoleransi (sukhasaññā) masih lemah. Akan tetapi, seorang pemenang arus tidak akan merasa perlu untuk menggemari keinginan duniawi''.<ref>{{en}} Dhamma (1997), p. 25.</ref>
|4=
|5=}}
 
Berdasarkan naskah dalam kitab suci, ketika Sang Buddha menyampaikan [[Dhammacakkappavattana Sutta]], Ia menyampaikan hal ini kepada lima orang bhikkhu (([[Assajji]], [[Vappa]], [[Bhadiya]], [[Kondañña]], [[Mahanama]]) yang dahulu bersama-sama melakukan kehidupan pertapaan yang keras. Dengan demikian, hal ini dan juga hubungan yang lebih luas dengan ajaran [[Shramanic]] dari [[India]] yang memberikan hubungan utama dengan perbedaan pendapat akan penyiksaan diri yang keras (Pali: ''atta-kilamatha'')
In regard to the Buddha's admonition against the "indulgence of sense-pleasures" (Pali: kāmesu kāma-sukha-allika), Ven. Dr. Rewata Dhamma has written:
 
"...This kind of practice is the concern of so-called 'urban civilization,' which condones sensuous pleasures as the highest attributes of bliss; the greater the pleasures, the greater the happiness....
 
"The Buddha taught that indulgence in sensuous pleasures is not the practice of enlightened, noble ones (ariyas). Noble ones who live the worldly life do not have attachment to sense objects. For example, in the first stage of an enlightened noble life, the sotāpanna, or stream winner, has not yet overcome lust and passions. Incipient perceptions of the agreeableness of carnal pleasures (sukhasaññā) still linger. Nevertheless, the stream-winner will not feel the need to indulge in worldly pleasures."[6]
 
Berdasarkan naskah dalam kitab suci, ketika Sang Buddha menyampaikan Dhammacakkappavattana Sutta, Ia menyampaikan hal ini kepada lima orang bhikkhu ((Assajji, Vappa, Bhadiya, Kondañña, Mahanama) yang dahulu bersama-sama melakukan kehidupan pertapaan yang keras. Dengan demikian, hal ini dan juga hubungan yang lebih luas dengan ajaran Shramanic dari India yang memberikan hubungan utama dengan perbedaan pendapat akan penyiksaan diri yang keras (Pali: atta-kilamatha)
 
=== Hukum Sebab Musabab ===
{{main|Paticcasamuppada}}
Harvey (2007) writes, "Conditioned Arising is ... a 'Middle Way' which avoids the extremes of 'eternalism' and 'annihilationism': the survival of an eternal self, or the total annihilation of a person at death."[8] In Theravadan literature, this usage of the term "Middle Way" can be found in 5th c. CE Pali commentaries.[9]
 
Dalam [[Tipitaka]] [[Pali]] sendiri, pandangan ini tidak disebut dengan jelas sebagai "Jalan Tengah" (''majjhimā paṭipadā'') tetapi secara harafiah mengacu sebagai "mengajar di tengah" (''majjhena dhamma'') sebagaimana disebutkan dalama kalimat ini:
 
{{cquote|''’Segala sesuatu ada’: Ini adalah satu pandangan ekstrimekstrem.<''{{br>}}
In the Pali Canon itself, this view is not explicitly called the "Middle Way" (majjhimā paṭipadā) but is literally referred to as "teaching by the middle" (majjhena dhamma) as in this passage from the Samyutta Nikaya's Kaccāyanagotta Sutta (in English and Pali):
''‘Segala sesuatu tidak ada‘: ini adalah pandangan ekstrimekstrem kedua.<''{{br>}}
 
''Menghindari kedua pandangan ekstrimekstrem ini,<''{{br>}}
{{cquote|’Segala sesuatu ada’: Ini adalah satu pandangan ekstrim.<br>
''Sang Tathagata mengajarkan Dhamma melalui jalan tengah:<''{{br>}}
‘Segala sesuatu tidak ada‘: ini adalah pandangan ekstrim kedua.<br>
{{br}}
Menghindari kedua pandangan ekstrim ini,<br>
:''‘Sabbaṃ atthī’ti kho, kaccāna, ayameko anto.''{{br}}
Sang Tathagata mengajarkan Dhamma melalui jalan tengah:<br>
:''‘Sabbaṃ natthī’ti ayaṃ dutiyo anto.<''{{br>}}
<br>
:‘Sabbaṃ''Ete atthī’ti khote, kaccāna, ayamekoubho anto.<br>ante anupagamma ''{{br}}
:''majjhena tathāgato dhammaṃ deseti''
:‘Sabbaṃ natthī’ti ayaṃ dutiyo anto.<br>
:Ete te, kaccāna, ubho ante anupagamma <br>
:majjhena tathāgato dhammaṃ deseti
|4=
|5=}}
 
Dalam khotbah ini, Sang Buddha kemudian menjelaskan asal-mula penyebab [[Dukkha|penderitaan]] (''dukkha'') - dari [[Avijja|kebodohoan]] (''avijja'') kepada penuaan dan kematian (''jaramarana'') - dan urutan sebalik-nya yang paralel akan hilangnya faktor-faktor tersebut (lihat pula - [[Paticcasamuppada|Hukum sebab akibat]] dan [[dua belas nidana]]). Dengan demikian, pengajaran Mazhab Theravada, tidak terdapat baik diri yang sejati atau ketiadaan sepenuhnya akan 'manusia' pada saat kematian'; hanya terdapat kemunculan atau ketiadaan akan keadaan yang sesungguhnya terjadi.
Sabbamatthī'ti kho ..., ayameko anto.
SeeLihat alsopula: [[Anatta]]
Sabbaṃ natthī'ti ayaṃ dutiyo anto.
... [U]bho ante anupagamma
majjhena tathāgato dhammaṃ deseti.[11]
 
In this discourse, the Buddha next describes the conditioned origin of suffering (dukkha) — from ignorance (avijja) to aging and death (jaramarana) — and the parallel reverse-order interdependent cessation of such factors (see Dependent Origination and Twelve Nidanas).[12] Thus, in Theravada Buddhist soteriology, there is neither a permanent self nor complete annihilation of the 'person' at death; there is only the arising and ceasing of causally related phenomena.[13]
See also: Anatta
 
== Ajaran Mahayana ==
Baris 68 ⟶ 59:
* [[Agama Buddha]]
* [[Jalan Utama Berunsur Delapan]]
* [[Paticcasamuppada]]
* [[Anatta]]
* [[Dua Belas Nidana]]
 
== Referensi ==
{{reflist}}
 
{{Topik Buddhisme}}
{{Buddha Gautama}}
[[Kategori:Buddhisme]]