Kesultanan Kutai Kertanegara ing Martapura: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Bimo K.A. (bicara | kontrib)
JongjavaV1 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(44 revisi perantara oleh 11 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 21:
| s2 = Provinsi Kalimantan Timur
| flag_s2 = Flag of Indonesia.svg
| image_map = Wilayah-kesultananPeta kutaiKesultanan kartanegaraKutai Kartanegara.jpgpng
| image_map_caption = Wilayah kekuasaan Kesultanan Kutai (berwarna hijau tua) sejak masa pemerintahan [[Aji Muhammad Sulaiman|Sultan Aji Muhammad Sulaiman]], yang mencakup hampir seluruh wilayah [[Provinsi Kalimantan Timur]] saat ini.
| capital = [[Kutai Lama]] ([[1300]]-[[1732]]){{br}}[[Jembayan, Loa Kulu, Kutai Kartanegara|Pemarangan]] ([[1732]]-[[1782]]){{br}}[[Tenggarong, Kutai Kartanegara|Tenggarong]] ([[1782]]-Sekarang)
Baris 27:
| demonym = Urang Kutai
| currency =
| title_leader = [[Daftar Sultan Kutai|Sultan]]
| leader1 = [[Aji Batara Agung Dewa Sakti|Raja Aji Batara Agung Dewa Sakti]]
| year_leader1 = 1300-1325
Baris 34:
| leader3 = [[Aji Muhammad Parikesit|Sultan Aji Muhammad Parikesit]]
| year_leader3 = 1920-1981<br>(1960 status diturunkan)
| leader4 = [[Aji Muhammad Salehuddin II|Sultan Aji Muhammad Salehuddin II]]
| year_leader4 = 1999-2018
| leader5 = [[Aji Muhammad Arifin|Sultan Aji Muhammad Arifin]]
Baris 40:
}}
 
'''Kesultanan Kutai Kertanegara ing Martapura''' alias '''Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura''', atau umumnya disebut '''Kesultanan Kutai''', adalah sebuah kerajaan di [[Kalimantan|Pulau Kalimantan]] bagian timur yang bermula dari [[Kerajaan Kutai Martapura|kerajaan Hindu]] yang berdiri pada tahun 1300 di [[Kutai Lama, Anggana, Kutai Kartanegara|Kutai Lama]] dan kemudian berubah menjadi kerajaan Islam di tahun 1575, sampai pemerintahannya secara politik dan administratif berakhir pada tahun 1960. Kerajaan ini berawal di [[Kutai Lama, Anggana, Kutai Kartanegara|Jaitan Layar]] dan kemudian berpusat di [[Kutai Lama, Anggana, Kutai Kartanegara|Tepian Batu]]. Dengan alasan stabilitas dan pertahanan, pusat kerajaan kemudian berpindah ke [[Jembayan, Loa Kulu, Kutai Kartanegara|Pemarangan]], dan terakhir di [[Tenggarong, Kutai Kartanegara|Tepian Pandan]]. Pada tahun 1635, Kerajaan Kutai Kertanegara berhasil memenangi perang terhadap [[Kerajaan Kutai|Kerajaan Kutai Martapura]]. Atas kemenangan tersebut, wilayah Kerajaan Kutai Kertanegara bertambah luas melalui aneksiasi dan nama kerajaan pun diubah menjadi Kerajaan Kutai Kertanegara ing Martapura.<ref name="Ensiklopedia">{{cite book|url=|fisrt=Muhammad|last=Muhammad Sarip|location= Indonesia|title= Dari Jaitan Layar sampai Tepian Pandan Sejarah Tujuh Abad Kerajaan Kutai Kertanegara|publisher= RV Pustaka Horizon|year= 2018|isbn= 9786025431159}}</ref>
 
Dengan alasan stabilitas dan pertahanan, pusat kerajaan kemudian berpindah ke [[Jembayan, Loa Kulu, Kutai Kartanegara|Pemarangan]], dan terakhir di [[Tenggarong, Kutai Kartanegara|Tepian Pandan]]. Pada tahun 1635, Kerajaan Kutai Kertanegara berhasil memenangkan perang melawan [[Kerajaan Kutai|Kerajaan Kutai Martapura]]. Atas kemenangan tersebut, wilayah Kerajaan Kutai Kertanegara bertambah luas melalui aneksiasi terhadap Kerajaan Martapura, dan nama Kerajaan Kutai pun diubah menjadi Kerajaan Kutai Kertanegara ing Martapura (yang pada masa selanjutnya disebut pula sebagai Kutai Kartanegara ing Martadipura).<ref name="Ensiklopedia">{{cite book|url=|fisrt=Muhammad|last=Muhammad Sarip|location= Indonesia|title= Dari Jaitan Layar sampai Tepian Pandan Sejarah Tujuh Abad Kerajaan Kutai Kertanegara|publisher= RV Pustaka Horizon|year= 2018|isbn= 9786025431159}}</ref>
Pada tahun 1999, Kesultanan Kutai secara resmi dihidupkan lagi oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai upaya pelestarian adat dan budaya kutai keraton,<ref>[https://regional.kompas.com/read/2020/02/06/15490921/jejak-sejarah-muara-kaman-kecamatan-yang-viral-sejak-muncul-raja-kutai?page=all https://regional.kompas.com/read/2020/02/06/15490921/jejak-sejarah-muara-kaman-kecamatan-yang-viral-se] wang dan [https://regional.kompas.com/read/2020/02/06/15490921/jejak-sejarah-muara-kaman-kecamatan-yang-viral-sejak-muncul-raja-kutai?page=all -muncul-raja-kutai?page=all]</ref> ditandai dengan penabalan sang pewaris takhta dua tahun kemudian, yaitu Putra Mahkota [[Aji Muhammad Salehuddin II|Aji Pangeran Prabu Anum Surya Adiningrat]] menjadi Sultan Kutai Kartanegara ing Martadipura ke-20 bergelar [[Aji Muhammad Salehuddin II|Sultan Aji Muhammad Salehuddin II]] pada tanggal [[22 September]] [[2001]].
 
PadaSetelah bergabungnya Kesultanan Kutai dengan [[Indonesia|Republik Indonesia]] sampai dihapuskannya [[Daerah Istimewa|Daerah Istimewa Tingkat II Kutai]] di tahun 19991960, pada tahun 1999 Kesultanan Kutai secara resmi dihidupkan lagi oleh Pemerintah [[Kabupaten Kutai Kartanegara]] sebagai upaya pelestarian adat dan budaya kutai[[Suku Kutai|Kutai]] keraton,<ref>[https://regional.kompas.com/read/2020/02/06/15490921/jejak-sejarah-muara-kaman-kecamatan-yang-viral-sejak-muncul-raja-kutai?page=all https://regional.kompas.com/read/2020/02/06/15490921/jejak-sejarah-muara-kaman-kecamatan-yang-viral-se] wang dan [https://regional.kompas.com/read/2020/02/06/15490921/jejak-sejarah-muara-kaman-kecamatan-yang-viral-sejak-muncul-raja-kutai?page=all -muncul-raja-kutai?page=all]</ref> ditandai dengan penabalanpenobatan sang pewaris takhta yang dilangsungkan dua tahun kemudian, yaitu ditabalkannya Putra Mahkota [[Aji Muhammad Salehuddin II|Aji Pangeran Prabu Anum Surya Adiningrat]] menjadi Sultan Kutai Kartanegara ing Martadipura ke-20 bergelar [[Aji Muhammad Salehuddin II|Sultan Aji Muhammad Salehuddin II]], pada tanggal [[22 September]] [[2001]].
 
== Sejarah ==
Baris 56 ⟶ 58:
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Kleurenlitho getiteld Straatgezicht te Tengaroeng TMnr 5795-6.jpg|jmpl|265px|Litografi rumah-rumah penduduk di kota [[Tenggarong]], ibu kota Kesultanan Kutai, sekitar tahun 1879-1880.]]
 
Menurut [[Hikayat Banjar]] dan [[Kotawaringin]] (1663), negeri Kutai merupakan salah satu ''tanah di atas angin'' (sebelah utara) yang mengirim upeti kepada Maharaja Suryanata, raja Banjar-Hindu (Negara Dipa) pada abad ke-14 hingga kerajaan ini digantikan oleh [[Kesultanan Banjar]]. Sekitar tahun 1620 Kutai berada di bawah pengaruh Kesultanan Makassar. Perjanjian [[VOC]] dan Kesultanan Banjar tahun 1635 menyebutkan [[VOC]] membantu Banjar untuk menaklukan Paser dan Kutai kembali. Dengan demikian sejak tahun [[1636]], Kutai diklaim oleh [[Kesultanan Banjar]] sebagai salah satu [[vazal|vasal]]nya karena Banjarmasin sudah memiliki kekuatan militer yang memadai untuk menghadapi serangan Kesultanan Mataram yang berambisi menaklukan seluruh Kalimantan dan sudah menduduki wilayah Sukadana (1622).<ref name="Gazali">M. Gazali Usman, Kerajaan Banjar: Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi, Perdagangan dan Agama Islam, Banjarmasin: Lambung Mangkurat Press, 1994.</ref> Sebelumnya Banjarmasin merupakan vazalvasal [[Kesultanan Demak]] (penerus [[Majapahit]]), tetapi semenjak runtuhnya Demak (1548), Banjarmasin tidak lagi mengirim upeti kepada pemerintahan di Jawa. Sekitar tahun 1638 (sebelum [[perjanjian Bungaya]]) Sultan Makassar (Gowa-Tallo) meminjam [[Pasir]] serta [[Kutai]], [[Berau]] dan Karasikan ([[Kepulauan Sulu]]/Banjar Kulan) sebagai tempat berdagang kepada Sultan Banjar IV Mustain Billah/Marhum Panembahan dan berjanji tidak akan menyerang Banjarmasin. Hal tersebut terjadi ketika Kiai Martasura diutus ke Makassar dan mengadakan perjanjian dengan I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang Sultan Mahmud yaitu Raja [[Tallo, Makassar|Tallo]] yang menjabat mangkubumi bagi Sultan Malikussaid Raja Gowa tahun [[1638]]-[[1654]].<ref name="Hikayat Banjar">[[Johannes Jacobus Ras]], Hikayat Banjar terjemahan dalam [[Bahasa Malaysia]] oleh [[Siti Hawa Salleh]], Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS - Ampang/Hulu Kelang - [[Selangor]] Darul Ehsan, [[Malaysia]] [[1990]]</ref>
 
Sekitar tahun 1638 (sebelum [[Perjanjian Bungaya]]) Sultan Makassar (Gowa-Tallo) meminjam [[Paser]] serta [[Kutai]], [[Berau]] dan Karasikan ([[Kepulauan Sulu]]/Banjar Kulan) sebagai tempat berdagang kepada Sultan Banjar IV Mustain Billah/Marhum Panembahan dan berjanji tidak akan menyerang Banjarmasin. Hal tersebut terjadi ketika Kiai Martasura diutus ke Makassar dan mengadakan perjanjian dengan I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang Sultan Mahmud yaitu Raja [[Tallo, Makassar|Tallo]] yang menjabat mangkubumi bagi Sultan Malikussaid Raja Gowa tahun [[1638]]-[[1654]].<ref name="Hikayat Banjar">[[Johannes Jacobus Ras]], Hikayat Banjar terjemahan dalam [[Bahasa Malaysia]] oleh [[Siti Hawa Salleh]], Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS - Ampang/Hulu Kelang - [[Selangor]] Darul Ehsan, [[Malaysia]] [[1990]]</ref>
Tahun 1747, VOC Belanda mengakui Pangeran Tamjidullah I sebagai Sultan Banjar padahal yang sebenarnya dia hanyalah mangkubumi. Pada [[1765]], VOC Belanda berjanji membantu [[Sultan]] [[Tamjidullah I dari Banjar|Tamjidullah I]] yang pro VOC Belanda untuk menaklukan kembali daerah-daerah yang memisahkan diri di antaranya Kutai berdasarkan [[perjanjian]] [[20 Oktober]] [[1756]].<ref name="Bandjermasin">{{id}} Bandjermasin (Sultanate), Surat-surat perdjandjian antara Kesultanan Bandjarmasin dengan pemerintahan2 V.O.C.: Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia- Belanda 1635-1860, Penerbit Arsip Nasional Republik Indonesia, Kompartimen Perhubungan dengan Rakjat 1965</ref>, karena VOC bermaksud menyatukan daerah-daerah di Kalimantan sebagai daerah pengaruh VOC. Padahal Kutai di bawah pengaruh [[La Maddukelleng]] (raja [[Wajo]]) yang anti VOC. Pangeran Amir, pewaris mahkota Kesultanan Banjar yang sah dibantu pamannya - Arung Turawe (kelompok anti VOC) berusaha merebut takhta tetapi mengalami kegagalan.
 
Tahun 1747, [[VOC Belanda]] mengakui Pangeran Tamjidullah I sebagai Sultan Banjar padahal yang sebenarnya dia hanyalah mangkubumi. Pada [[1765]], VOC Belanda berjanji membantu [[Sultan]] [[Tamjidullah I dari Banjar|Tamjidullah I]] yang pro VOC Belanda untuk menaklukan kembali daerah-daerah yang memisahkan diri di antaranya Kutai berdasarkan [[perjanjian]] [[20 Oktober]] [[1756]].<ref name="Bandjermasin">{{id}} Bandjermasin (Sultanate), Surat-surat perdjandjian antara Kesultanan Bandjarmasin dengan pemerintahan2 V.O.C.: Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia- Belanda 1635-1860, Penerbit Arsip Nasional Republik Indonesia, Kompartimen Perhubungan dengan Rakjat 1965</ref>, karena VOC bermaksud menyatukan daerah-daerah di Kalimantan sebagai daerah pengaruh VOC. Padahal Kutai di bawah pengaruh [[La Maddukelleng]] (raja [[Wajo]]) yang anti VOC. Pangeran Amir, pewaris mahkota Kesultanan Banjar yang sah dibantu pamannya - Arung Turawe (kelompok anti VOC) berusaha merebut takhta tetapi mengalami kegagalan.
Pada [[13 Agustus]] [[1787]], Sultan Banjar [[Sunan Nata Alam]] membuat perjanjian dengan VOC yang menjadikan Kesultanan Banjar sebagai daerah protektorat VOC sedangkan daerah-daerah lainnya di Kalimantan yang dahulu kala pada abad ke-17 pernah menjadi vazal Banjarmasin diserahkan secara sepihak sebagai properti VOC Belanda. Tahun 1778 Landak dan Sukadana (sebagian besar Kalbar) telah diperoleh VOC dari [[Sultan Banten]]. Pada 9 September 1809 VOC meninggalkan Banjarmasin (kota Tatas) dan menyerahkan benteng [[Antasan Besar, Banjarmasin Tengah, Banjarmasin|Tatas]] dan benteng [[Tabanio, Takisung, Tanah Laut|Tabanio]] kepada Sultan Banjar yang ditukar dengan intan 26 karat. Kemudian wilayah Hindia Belanda diserahkan kepada Inggris karena Belanda kalah dalam peperangan, Alexander Hare menjadi wakil Inggris di Banjarmasin sejak 1812. Tanggal 1 Januari 1817 Inggris menyerahkan kembali wilayah Hindia Belanda termasuk Banjarmasin dan daerah-daerahnya kepada Belanda dan kemudian Belanda memperbaharui perjanjian dengan Sultan Banjar.<ref name="Bandjermasin" /> Negeri Kutai diserahkan sebagai daerah pendudukan [[Hindia Belanda]] dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan I pada [[1 Januari]] [[1817]] antara Sultan [[Sulaiman dari Banjar]] dengan Hindia Belanda diwakili Residen Aernout van Boekholzt.<ref>{{id icon}}{{cite book|last=Poesponegoro|year=1992|url=http://books.google.co.id/books?id=N5jc0h1BktwC&lpg=PA276&dq=balangan&hl=id&pg=PA273#v=onepage&q=balangan&f=true|title=Sejarah nasional Indonesia: Nusantara pada abad ke-18 dan ke-19|location=Indonesia|publisher=PT Balai Pustaka|isbn=979-407-410-1|access-date=2012-05-27|archive-url=https://web.archive.org/web/20141220192121/http://books.google.co.id/books?id=N5jc0h1BktwC&lpg=PA276&dq=balangan&hl=id&pg=PA273#v=onepage&q=balangan&f=true|archive-date=2014-12-20|coauthors=Nugroho Notosusanto|fisrt=Marwati Djoened|dead-url=yes}}ISBN 978-979-407-410-7</ref> Perjanjian berikutnya pada tahun [[1823]], negeri Kutai diserahkan menjadi daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan II pada [[13 September]] [[1823]] antara Sultan [[Sulaiman dari Banjar]] dengan Hindia Belanda diwakili Residen Mr. Tobias.<ref name="Bandjermasin" />
 
Pada [[13 Agustus]] [[1787]], Sultan Banjar [[Sunan Nata Alam]] membuat perjanjian dengan VOC yang menjadikan Kesultanan Banjar sebagai daerah protektorat VOC sedangkan daerah-daerah lainnya di Kalimantan yang dahulu kala pada abad ke-17 pernah menjadi vazalvasal Banjarmasin diserahkan secara sepihak sebagai properti VOC Belanda. Tahun 1778 Landak dan Sukadana (sebagian besar Kalbar) telah diperoleh VOC dari [[Sultan Banten]]. Pada 9 September 1809 VOC meninggalkan Banjarmasin (kota Tatas) dan menyerahkan benteng [[Antasan Besar, Banjarmasin Tengah, Banjarmasin|Tatas]] dan benteng [[Tabanio, Takisung, Tanah Laut|Tabanio]] kepada Sultan Banjar yang ditukar dengan intan 26 karat. Kemudian wilayah Hindia Belanda diserahkan kepada Inggris karena Belanda kalah dalam peperangan, Alexander Hare menjadi wakil Inggris di Banjarmasin sejak 1812. Tanggal 1 Januari 1817 Inggris menyerahkan kembali wilayah Hindia Belanda termasuk Banjarmasin dan daerah-daerahnya kepada Belanda dan kemudian Belanda memperbaharui perjanjian dengan Sultan Banjar.<ref name="Bandjermasin" /> Negeri Kutai diserahkan sebagai daerah pendudukan [[Hindia Belanda]] dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan I pada [[1 Januari]] [[1817]] antara Sultan [[Sulaiman dari Banjar]] dengan Hindia Belanda diwakili Residen Aernout van Boekholzt.<ref>{{id icon}}{{cite book|last=Poesponegoro|year=1992|url=http://books.google.co.id/books?id=N5jc0h1BktwC&lpg=PA276&dq=balangan&hl=id&pg=PA273#v=onepage&q=balangan&f=true|title=Sejarah nasional Indonesia: Nusantara pada abad ke-18 dan ke-19|location=Indonesia|publisher=PT Balai Pustaka|isbn=979-407-410-1|access-date=2012-05-27|archive-url=https://web.archive.org/web/20141220192121/http://books.google.co.id/books?id=N5jc0h1BktwC&lpg=PA276&dq=balangan&hl=id&pg=PA273#v=onepage&q=balangan&f=true|archive-date=2014-12-20|coauthors=Nugroho Notosusanto|fisrt=Marwati Djoened|dead-url=yes}}ISBN 978-979-407-410-7</ref> Perjanjian berikutnya pada tahun [[1823]], negeri Kutai diserahkan menjadi daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan II pada [[13 September]] [[1823]] antara Sultan [[Sulaiman dari Banjar]] dengan Hindia Belanda diwakili Residen Mr. Tobias.<ref name="Bandjermasin" />
Secara hukum Kutai dianggap negara bagian di dalam negara Banjar. Negeri Kutai ditegaskan kembali termasuk daerah-daerah pendudukan Hindia Belanda di Kalimantan menurut Perjanjian [[Adam dari Banjar|Sultan Adam al-Watsiq Billah]] dengan Hindia Belanda yang ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal [[4 Mei]] [[1826]].<ref name="Bandjermasin" />
 
Secara hukum, Kutai dianggap negara bagian di dalam negara[[Kesultanan Banjar|Negara Banjar]]. Negeri Kutai ditegaskan kembali termasuk daerah-daerah pendudukan [[Hindia Belanda]] di Kalimantan menurut Perjanjian [[Adam dari Banjar|Sultan Adam al-Watsiq Billah]] dengan Hindia Belanda, yang ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal [[4 Mei]] [[1826]].<ref name="Bandjermasin" />
 
=== Pemindahan Ibu Kota Kerajaan ===
Baris 68 ⟶ 72:
[[Berkas:Gewoon Maleisch woonhuis te Samarinda, KITLV 36C114.tiff|jmpl|265px|Litografi rumah panggung milik warga [[Suku Kutai]] di tepi [[Sungai Mahakam]], [[Samarinda]], sekitar tahun 1879-1880.]]
 
La Madukelleng menawan daerah Paser dan Kutai. [[Aji Muhammad Idris]] merupakan raja Kutai Kertanegara pertama yang memakai gelar [[Sultan]] sebagai upaya melepaskan diri dari dominasi [[Tamjidullah I dari Banjar|Sultan Banjar]] yang berada dalam pengaruh [[VOC]]. Sultan [[Aji Muhammad Idris]] yang merupakan menantu dari Sultan Wajo [[La Madukelleng]] berangkat ke tanah [[Kesultanan Wajo|Wajo]], [[Sulawesi Selatan]] untuk turut bertempur melawan [[VOC]] bersama rakyat [[Bugis]]. Pemerintahan Kesultanan Kutai Kertanegara untuk sementara dipegang oleh [[Dewan Perwalian]].<ref name="Kesultanan Kutai 1" />
 
Pada tahun [[1739]], Sultan [[Aji Muhammad Idris]] gugur di medan laga. Sepeninggal Sultan Aji Muhammad Idris, terjadi kudeta takhta kerajaan oleh [[Aji Muhammad Aliyeddin|Aji Kado]]. Putra mahkota kerajaan, yakni [[Aji Muhammad Muslihuddin|Aji Imbut]] yang saat itu masih belia kemudian dilarikan ke Wajo.<ref name="Kesultanan Kutai 1" /> Aji Kado kemudian mengangkat dirinya sebagai Sultan Kutai Kertanegara dengan gelar Sultan [[Aji Muhammad Aliyeddin]].
 
Setelah dewasa, [[Aji Muhammad Muslihuddin|Aji Imbut]] sebagai Putra Mahkota yang sah dari Kesultanan Kutai Kertanegara kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia pada mendiang Sultan Aji Muhammad Idris, Aji Imbut mengangkat diri sebagai Sultan Kutai Kertanegara dengan gelar Sultan [[Aji Muhammad Muslihuddin]], yang dilaksanakan di [[Palaran, Samarinda|Mangkujenang]]. Sejak itu dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado.
 
Perlawanan berlangsung dengan siasat [[embargo]] yang ketat oleh Mangkujenang terhadap Pemarangan. [[Armada]] [[bajak laut]] [[Sulu]] terlibat dalam perlawanan ini dengan melakukan penyerangan dan pembajakan terhadap [[Jembayan, Loa Kulu, Kutai KertanegaraKartanegara|Pemarangan]]. Tahun [[1778]], Aji Kado meminta bantuan [[VOC]] namun tidak dapat dipenuhi.<ref name="Kesultanan Kutai 1" />
 
Pada tahun [[1780]], Aji Imbut berhasil merebut kembali ibu kota Pemarangan dan secara resmi menabalkan diri sebagai Sultan Kutai Kertanegara ing Martapura ke-15 dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin di istana Kesultanan Kutai Kertanegara. Aji Kado sendiri dijatuhi hukuman mati dan dikuburkan di [[Jembayan, Loa Kulu, Kutai Kartanegara|Pulau Jembayan]].<ref name="Kesultanan Kutai 1" />
 
Aji Imbut dengan gelar Sultan [[Aji Muhammad Muslihuddin]] memindahkan ibu kota Kesultanan Kutai Kertanegara ke [[Tenggarong|Tepian Pandan]] pada tanggal [[28 September]] [[1782]]. Perpindahan ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh kenangan pahit masa pemerintahan [[Aji Muhammad Aliyeddin|Aji Kado]] dan Pemarangan dianggap telah kehilangan tuahnya. Nama Tepian Pandan kemudian diubah menjadi [[Tangga Arung]] yang berarti Rumah Raja, lama-kelamaan Tangga Arung lebih populer dengan sebutan [[Tenggarong]] dan tetap bertahan hingga kini.<ref name="Kesultanan Kutai 2">[http://www.kutaikartanegara.com/kesultanan/sejarah2.html Sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura halaman 2]</ref>
 
Pada tahun [[1838]], Kesultanan Kutai Kertanegara dipimpin oleh [[Aji Muhammad Salehuddin|Sultan Aji Muhammad Salehuddin I]] setelah Sultan Aji Muhammad Muslihuddin mangkat pada tahun tersebut.
Baris 86 ⟶ 90:
[[Berkas:Pendoppo van den Sultan van Koetei, KITLV 36C113.tiff|jmpl|265px|Litografi bangunan pendopo Keraton alias Kedaton Kesultanan Kutai sekitar tahun 1879-1880, di masa pemerintahan [[Aji Muhammad Sulaiman|Sultan Aji Muhammad Sulaiman]].]]
 
Pada tahun [[1844]], dua buah kapal dagang pimpinan [[:en:James Erskine Murray|James Erskine Murray]] asal [[Inggris]] memasuki perairan Tenggarong. Murray datang ke Kutai untuk berdagang dan meminta tanah untuk mendirikan pos dagang serta hak eksklusif untuk menjalankan [[kapal uap]] di perairan [[Mahakam]]. Namun [[Aji Muhammad Salehuddin|Sultan Aji Muhammad Salehuddin I]] mengizinkan Murray untuk berdagang hanya di wilayah [[Samarinda]] saja. Murray kurang puas dengan tawaran Sultan ini. Setelah beberapa hari di perairan Tenggarong, Murray melepaskan tembakan [[meriam]] ke arah istana dan dibalas oleh pasukan kerajaan Kutai. Pertempuran pun tak dapat dihindari. Armada pimpinan Murray akhirnya kalah dan melarikan diri menuju laut lepas. Lima orang terluka dan tiga orang tewas dari pihak armada Murray, dan Murray sendiri termasuk di antara yang tewas tersebut.<ref name="Kesultanan Kutai 2" />
 
Insiden pertempuran di [[Tenggarong]] ini sampai ke pihak Inggris. Sebenarnya Inggris hendak melakukan serangan balasan terhadap Kutai, namun ditanggapi oleh pihak Belanda bahwa Kutai adalah salah satu bagian dari wilayah Hindia Belanda dan Belanda akan menyelesaikan permasalahan tersebut dengan caranya sendiri. Kemudian Belanda mengirimkan armadanya di bawah komando t'Hooft, dengan membawa [[senjata|persenjataan]] yang lengkap. Setibanya di Tenggarong, armada t'Hooft menyerang istana Sultan Kutai. Sultan Aji Muhammad Salehuddin I diungsikan ke [[Kota Bangun, Kutai Kartanegara|Kota Bangun]].<ref name="Kesultanan Kutai 2" /> Kota Tenggarong dibakar dan menghanguskan lebih dari 500 rumah penduduk. Kesultanan Kutai Kertanegara akhirnya kalah dan takluk pada Belanda.<ref name="Nur">Moh. Nur Ars dkk, Sejarah Kota Samarinda, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1986.</ref>
 
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Temenggoeng van Kendisik met familie en notabelen te Kutai Muara Pahu Borneo TMnr 10001688.jpg|jmpl|265px|Potret penduduk Kesultanan Kutai di [[Muara Pahu, Kutai Barat|Muara Pahu]], pada tahun 1900-an.]]
Pada tanggal [[11 Oktober]] [[1844]], [[Aji Muhammad Salehuddin|Sultan Aji Muhammad Salehuddin I]] harus menandatangani [[perjanjian]] dengan Belanda yang menyatakan bahwa Sultan Kutai mengakui pemerintahan Hindia Belanda dan mematuhi pemerintah Hindia Belanda di [[Kalimantan]] yang diwakili oleh seorang [[Residen]] yang berkedudukan di [[Banjarmasin]].<ref>{{en icon}} {{cite book|last=Magenda|first=Burhan Djabier|year=2010|url=http://books.google.co.id/books?id=f9T74ges6DIC&lpg=PT31&dq=sultan%20sulaiman&pg=PT31#v=onepage&q=sultan%20sulaiman&f=true|title=East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy|publisher=Equinox Publishing|isbn=602-8397-21-0}}ISBN 978-602-8397-21-6</ref>
 
Pada tanggal [[11 Oktober]] [[1844]], [[Aji Muhammad Salehuddin|Sultan Aji Muhammad Salehuddin I]] harus menandatangani [[perjanjian]] dengan Belanda yang menyatakan bahwa Sultan Kutai mengakui pemerintahan Hindia Belanda dan mematuhi pemerintah Hindia Belanda di [[Kalimantan]] yang diwakili oleh seorang [[Residen]] yang berkedudukan di [[Banjarmasin]].<ref>{{en icon}} {{cite book|last=Magenda|first=Burhan Djabier|year=2010|url=http://books.google.co.id/books?id=f9T74ges6DIC&lpg=PT31&dq=sultan%20sulaiman&pg=PT31#v=onepage&q=sultan%20sulaiman&f=true|title=East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy|publisher=Equinox Publishing|isbn=602-8397-21-0}}ISBN 978-602-8397-21-6</ref>
Tahun [[1846]], [[H. von Dewall]] menjadi administrator sipil Belanda yang pertama di pantai timur Kalimantan.<ref name="Kesultanan Kutai 2" /> Menurut Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849, wilayah Kesultanan Kutai termasuk dalam zuid-ooster-afdeeling berdasarkan ''Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie'', pada 27 Agustus 1849, No. 8<ref>{{nl icon}} (1849){{cite book|url=http://books.google.co.id/books?id=KJFBAAAAYAAJ&dq=Verdeeling%20van%20het%20Eiland%20Borneo%20in%20tteee%20%20afdeelingen%2C%20onder%20de%20benaming%20van%20Wester%20afdeeling%20en%20Zuid%20en%20Ooster%20afdeeling.&pg=PA55-IA22#v=onepage&q=Verdeeling%20van%20het%20Eiland%20Borneo%20in%20tteee%20%20afdeelingen,%20onder%20de%20benaming%20van%20Wester%20afdeeling%20en%20Zuid%20en%20Ooster%20afdeeling.&f=false|title=Staatsblad van Nederlandisch Indië|publisher= s.n.}}</ref>
 
Tahun [[1846]], [[H. von Dewall]] menjadi administrator sipil Belanda yang pertama di pantai timur Kalimantan.<ref name="Kesultanan Kutai 2" /> Menurut Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849, wilayah Kesultanan Kutai termasuk dalam zuid-ooster-afdeeling berdasarkan ''BêsluitBesluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie'' No. 8, pada 27 Agustus 1849, No. 8<ref>{{nl icon}} (1849){{cite book|url=http://books.google.co.id/books?id=KJFBAAAAYAAJ&dq=Verdeeling%20van%20het%20Eiland%20Borneo%20in%20tteee%20%20afdeelingen%2C%20onder%20de%20benaming%20van%20Wester%20afdeeling%20en%20Zuid%20en%20Ooster%20afdeeling.&pg=PA55-IA22#v=onepage&q=Verdeeling%20van%20het%20Eiland%20Borneo%20in%20tteee%20%20afdeelingen,%20onder%20de%20benaming%20van%20Wester%20afdeeling%20en%20Zuid%20en%20Ooster%20afdeeling.&f=false|title=Staatsblad van Nederlandisch Indië|publisher= s.n.}}</ref>
Pada tahun [[1850]], [[Aji Muhammad Sulaiman|Sultan Aji Muhammad Sulaiman]] memegang tampuk kepemimpinan Kesultanan Kutai Kertanegara ing Martapura.
 
Lima tahun setelah ditetapkan sebagai Sultan, baru pada tahun [[1850]], [[Aji Muhammad Sulaiman|Sultan Aji Muhammad Sulaiman]] memegang tampuk kepemimpinan Kesultanan Kutai Kertanegara ing Martapura secara penuh. Dalam beberapa catatan pejabat [[Belanda]], ia dikenal sebagai seorang Sultan yang cerdas dan piawai dalam berpolitik. Pada tahun [[1853]], pemerintah Hindia Belanda menempatkan [[J. Zwager]] sebagai Assisten Residen di [[Samarinda]]. Saat itu kekuatan [[politik]] dan [[ekonomi]] masih berada dalam genggaman Sultan A.M.Aji Muhammad Sulaiman (1850-1899). Dalam tahun 1853, penduduk Kesultanan Kutai berjumlah 100.000 jiwa.<ref>{{nl}} {1853){{cite book|pages=358|url=http://books.google.co.id/books?id=c6AAAAAAMAAJ&dq=tanah-koessan&pg=PA358#v=onepage&q&f=false|title=Verhandelingen en berigten betrekkelijk het zeewezen en de zeevaartkunde|volume=13}}</ref> Tahun 1855, Kesultanan Kutai termasuk sebagai bagian dari ''de zuid-Zuid en oosterafdeelingOosterafdeeling van Borneo''.<ref>{{nl}} {{cite book|pages=242|url=http://books.google.co.id/books?id=0GM-AAAAcAAJ&dq=tanah-koessan&pg=PA242#v=onepage&q&f=false|title=Bydragen tot de kennis van verschillende overzeesche landen, volken, enz|volume=1|author=J. B. J Van Doren|publisher=J. D. Sybrandi|year=1860}}</ref>
Pada tahun [[1863]], kerajaanKerajaan Kutai Kertanegara kembali mengadakan perjanjian dengan [[Belanda]]. Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Kerajaan Kutai Kertanegara menjadi bagian dari Pemerintahan [[Hindia Belanda]].
 
=== Kemakmuran dan Modernisasi Kesultanan ===
Baris 103 ⟶ 107:
[[Berkas:Keratonlawas.gif|jmpl|265px|Keraton alias Kedaton Kesultanan Kutai sekitar tahun 1910-1920, yang dibangun di masa pemerintahan [[Aji Muhammad Alimuddin|Sultan Aji Muhammad Alimuddin]]. Pada masa [[Aji Muhammad Parikesit|Sultan Aji Muhammad Parikesit]] di tahun 1936, keraton ini dibongkar dan digantikan dengan keraton berbahan beton.]]
 
Tahun 1888, pertambangan batubara pertama di Kutai dibuka di [[Loa Bakung, Sungai Kunjang, Samarinda|Batu Panggal]] oleh insinyur tambang asal Belanda, [[J.H. Menten]]. Menten juga meletakkan dasar bagi [[eksploitasi]] minyak pertama di wilayah Kutai. Kemakmuran wilayah Kutai pun tampak semakin nyata sehingga membuat Kesultanan Kutai Kertanegara menjadi sangat terkenal pada masa itu. Royalti atas pengeksloitasian sumber daya alam di Kutai diberikan kepada Sultan Sulaiman.<ref name="Kesultanan Kutai 2" />
 
Tahun [[1899]], Sultan Sulaiman wafat dan digantikan putra mahkotanya Aji Mohammad dengan gelar Sultan [[Aji Muhammad Alimuddin]]. Pada tahun [[1907]], misi [[Katolik]] pertama didirikan di [[Laham, Kutai Barat]]. Setahun kemudian, wilayah hulu Mahakam ini diserahkan kepada Belanda dengan kompensasi sebesar 12.990 [[Gulden]] per tahun kepada Sultan Kutai Kertanegara. [[Aji Muhammad Alimuddin|Sultan Alimuddin]] hanya bertahta dalam kurun waktu 11 tahun saja, dia wafat pada tahun [[1910]]. Berhubung pada waktu itu putra mahkota [[Aji Muhammad Parikesit|Aji Kaget]] masih belum dewasa, tampuk pemerintahan Kesultanan Kutai Kertanegara kemudian dipegang oleh Dewan Perwalian yang dipimpin oleh [[Aji Pangeran Mangkunegoro]].
Baris 109 ⟶ 113:
[[Berkas:Kroning van de sultan van Koetei Aji Muhammad Parikesit te Tenggarong, KITLV 116449.tiff|jmpl|265px|[[Aji Muhammad Parikesit|Sultan Aji Muhammad Parikesit]] tampil di beranda keraton usai upacara penobatannya pada tahun 1920, didampingi permaisuri, para pangeran, serta para pejabat tinggi [[Hindia Belanda]] di Karesidenan Kalimantan Selatan dan Timur (''Zuid en Oost Borneo Residentie'').]]
 
Pada tanggal [[14 NopemberNovember]] [[1920]], Aji Kaget dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kertanegara dengan gelar Sultan [[Aji Muhammad Parikesit]] namun hal ini juga banyak mengalami kontroversi karena ada beberapa kerabat tidak setuju dengan pengangkatan Aji Muhammad Parikesit Tersebut, hal ini dikarenakan anggapan bahwa Aji Pangeran Soemantri I-lah yang sebenarnya berhak diangkat menjadi Sultan Kutai. Dalam beberapa media juga di sebutkan bahwa pengangkatan Aji Muhamad Parikesit dikarenakan ke dua saudaranya telah meninggal. Hal inilah yang mengundang banyak kontroversi dari berbagai pihak; menurut cerita, yang seharusnya menjadi raja adalah anak dari permaisuri, dan permaisuri tidak harus istri pertama, karena terkadang permaisuri diangkat menurut status kedudukan orang tuanya. Itu Peraturan Kerajaan, berbeda dengan hukum Islam, jadi Aji Muhammad Parikesit adalah pemegang takhta yang sah, yang mendapat dukungan dari mayoritas masyarakat Kutai pada saat itu (sempat dilakukan semacam permintaan dukungan dari masyarakat terhadap kedua orang calon raja tersebut).
 
Sejak awal abad ke-20, ekonomi Kutai berkembang dengan sangat pesat sebagai hasil pendirian perusahaan Borneo-Sumatra Trade Co. Pada tahun-tahun tersebut, kapital yang diperoleh Kutai tumbuh secara mantap melalui [[:en:Economic surplus|surplus]] yang dihasilkan tiap tahunnya. Hingga tahun [[1924]], Kutai telah memiliki dana sebesar 3.280.000 Gulden - jumlah yang sangat fantastis untuk masa itu. Tahun [[1936]], Sultan Aji Muhammad Parikesit mendirikan keraton baru yang megah dan kokoh yang terbuat dari bahan [[beton]]. Dalam kurun waktu satu tahun, istana tersebut selesai dibangun, dan diresmikan pada awal tahun [[1938]].
Baris 123 ⟶ 127:
Indonesia merdeka pada tahun 1945. Dua tahun kemudian, Kesultanan Kutai Kertanegara dengan status Daerah [[Swapraja]] masuk ke dalam [[Negara Kalimantan Timur]] bersama-sama daerah kesultanan lainnya seperti [[Kesultanan Bulungan|Bulungan]], [[Kesultanan Sambaliung|Sambaliung]] dan [[Kesultanan Gunung Tabur|Gunung Tabur]], dengan membentuk Dewan Kesultanan. Setelah pengakuan kedaulatan [[Indonesia]] pada [[27 Desember]] [[1949]], Kutai masuk ke dalam [[Republik Indonesia Serikat]]. Pada tahun [[1950]], Kutai menjadi bagian dari Karesidenan Kalimantan Timur, yang selanjutnya dinaikkan statusnya menjadi [[Provinsi Kalimantan Timur]].
 
Daerah Swapraja Kutai pada masa itu diubah menjadi [[Kabupaten Kutai|Daerah Istimewa Tingkat II Kutai]], yang merupakan [[daerah istimewa]] setingkat [[kabupaten]] berdasarkan UU Darurat No. 3 Th.tahun 1953. Pada tahun [[1959]], berdasarkan UU No. 27 Tahuntahun 1959 tentang "Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Kalimantan", wilayah Daerah Istimewa Kutai dipecah menjadi 3 Daerah Tingkat II, yakni:
 
# Daerah Tingkat II [[Kabupaten Kutai]] dengan ibu kota [[Tenggarong]]
Baris 132 ⟶ 136:
 
# [[Aji Raden Padmo]] sebagai Bupati Kabupaten Kutai
# [[Soedjono AJ|Kapt.Kapten Soedjono]] sebagai Wali kota Kotapraja Samarinda
# [[Aji Raden Sayid Mohammad]] sebagai Wali kota Kotapraja Balikpapan
 
Sehari kemudian, pada tanggal [[21 Januari]] [[1960]] dan bertempat di Balairung Keraton Kutai, Tenggarong, diadakan Sidang Khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai. Inti dari acara ini adalah serah terima pemerintahan dari Kepala Kepala Daerah Istimewa Kutai, yaitu Sultan Aji Muhammad Parikesit, kepada Aji Raden Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai, Kapten Soedjono (Wali kota Samarinda) dan Aji Raden Sayid Mohammad (Wali kota Balikpapan). Pemerintahan Kesultanan Kutai Kertanegara di bawah Sultan Aji Muhammad Parikesit berakhir, dan dia pun hidup menjadi rakyat biasa.<ref name="Kesultanan Kutai 2" />
 
== Penghidupan Kembali Kesultanan Kutai Kertanegara ==
Baris 151 ⟶ 155:
[[Berkas:Lambang-kesultanankutai.gif|jmpl|kanan|200px|Lambang Kesultanan Kutai Kertanegara dalam versi lain.]]
 
Pada masa kejayaannya hingga tahun 1960, Kesultanan Kutai Kertanegara ing Martapura memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas. Wilayah kekuasaannya hampir meliputi semua wilayah otonom yang ada di provinsi[[Provinsi Kalimantan Timur]] saat ini kecuali [[Kabupaten PaserBerau]] dan [[Kabupaten BerauPaser]]. Wilayah Kesultanan Kutai Kertanegara ing Martapura mencakup:
 
# Seluruh [[Kabupaten Kutai Kartanegara]]
Baris 157 ⟶ 161:
# Seluruh [[Kabupaten Kutai Barat]]
# Seluruh [[Kabupaten Mahakam Ulu]]
# SebagianSeluruh [[Kabupaten Penajam Paser Utara]]
# Seluruh [[Kota Balikpapan]]
# Seluruh [[Kota Bontang]]
# Seluruh [[Kota Samarinda]]
# Seluruh [[Nusantara (ibu kota terencana)|Ibu Kota Nusantara]]
# Sebagian [[Kabupaten Penajam Paser Utara]]
# PerairanSebagian perairan [[Selat Makassar]]
 
Dengan demikian, luas dari wilayah Kesultanan Kutai Kertanegara hingga tahun 1960 adalah seluas 115.426,03 km2&nbsp;km².
 
Pada tahun 1960, wilayah Kesultanan Kutai Kertanegara atau Daerah Istimewa Kutai dibagi menjadi 3 wilayah Pemerintah Daerah Tingkat II, yakni Kabupaten Kutai, Kotamadya Balikpapan dan Kotamadya Samarinda. Dan sejak saat itu berakhirlah pemerintahan Kesultanan Kutai Kertanegara setelah disahkannya Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Kutai melalui UU No. 27 Tahuntahun 1959 tentang "Pencabutan Status Daerah Istimewa Tingkat II Kutai".
 
== Keraton alias Kedaton Kesultanan ==
Baris 179 ⟶ 184:
[[Berkas:Kedaton Kutai Kartanegara.jpg|jmpl|kanan|265px|[[Kedaton Kutai Kartanegara]] yang baru, terletak di belakang keraton lama, di samping [[Masjid Jami Aji Amir Hasanuddin]].]]
 
Setelah pemerintahan Kesultanan Kutai berakhir pada tahun [[1960]], bangunan kedaton dengan luas 2.270 m2 ini tetap menjadi tempat kediaman [[Aji Muhammad Parikesit|Sultan Aji Muhammad Parikesit]] hingga tahun 1971. Kedaton yang juga dikenal dengan sebutan Kedaton Putih ini kemudian diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur pada tanggal 25 NopemberNovember 1971. Pada tanggal 18 Februari 1976, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menyerahkan bekas kedaton Kutai Kertanegara ini kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk dikelola menjadi sebuah museum negeri dengan nama [[Museum Mulawarman|Museum Negeri Mulawarman]]. Di dalam museum ini disajikan beraneka ragam koleksi peninggalan Kesultanan Kutai Kertanegara, di antaranya singgasana, arca, perhiasan, perlengkapan perang, tempat tidur, seperangkat gamelan, koleksi keramik kuno dari Cina, dan lain-lain.
 
Dalam lingkungan kedaton Sultan Kutai terdapat makam raja dan keluarga kerajaan Kutai Kertanegara. Jirat atau nisan Sultan dan keluarga kerajaan ini kebanyakan terbuat dari kayu besi yang dapat tahan lama dengan tulisan huruf Arab yang diukir. Sultan-sultan yang dimakamkan disini di antaranya adalah [[Aji Muhammad Muslihuddin|Sultan Aji Muhammad Muslihuddin]], [[Aji Muhammad Salehuddin|Sultan Aji Muhammad Salehuddin I]], [[Aji Muhammad Sulaiman|Sultan Aji Muhammad Sulaiman]] dan [[Aji Muhammad Parikesit|Sultan Aji Muhammad Parikesit]]. Hanya Sultan Alimuddin saja yang tidak dimakamkan di lingkungan kedaton, dia dimakamkan di tanah miliknya di daerah [[Melayu, Tenggarong, Kutai Kartanegara|Gunung Gandek]], [[Tenggarong]].
Baris 216 ⟶ 221:
 
* [[Suku Kutai]]
* [[Bahasa Kutai]]
* [[Provinsi Kalimantan Timur]]
* [[Kabupaten Kutai Kartanegara]]
Baris 223 ⟶ 229:
{{reflist}}
 
== Pranala Luarluar ==
 
* {{id}} [http://dualmode.kemenag.go.id/acis10/file/dokumen/7.AnisMaskhur.pdf] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20120118112711/http://dualmode.kemenag.go.id/acis10/file/dokumen/7.AnisMaskhur.pdf |date=2012-01-18 }}