Kesultanan Kutai Kertanegara ing Martapura: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Simplysimp (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
JongjavaV1 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(8 revisi perantara oleh 7 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 4:
| common_name = Kesultanan Kutai
| religion = [[Islam]] (resmi){{br}}[[Kaharingan]]{{br}}[[Animisme]]
| year_start = 7091300
| year_end = 1938Sekarang
| date_start =
| date_end = 1950
Baris 21:
| s2 = Provinsi Kalimantan Timur
| flag_s2 = Flag of Indonesia.svg
| image_map = Wilayah-kesultananPeta kutaiKesultanan kartanegaraKutai Kartanegara.jpgpng
| image_map_caption = Wilayah kekuasaan Kesultanan Kutai (berwarna hijau tua) sejak masa pemerintahan [[Aji Muhammad Sulaiman|Sultan Aji Muhammad Sulaiman]], yang mencakup hampir seluruh wilayah [[Provinsi Kalimantan Timur]] saat ini.
| capital = [[Kutai Lama]] ([[1300]]-[[1732]]){{br}}[[Jembayan, Loa Kulu, Kutai Kartanegara|Pemarangan]] ([[1732]]-[[1782]]){{br}}[[Tenggarong, Kutai Kartanegara|Tenggarong]] ([[1782]]-Sekarang)
Baris 40:
}}
 
'''Kesultanan Kutai Kertanegara ing Martapura''' alias '''Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura''', atau umumnya disebut '''Kesultanan Kutai''', adalah sebuah kerajaan di [[Kalimantan|Pulau Kalimantan]] bagian timur yang bermula dari [[Kerajaan Kutai Martapura|kerajaan Hindu]] yang berdiri pada tahun 1300 di [[Kutai Lama, Anggana, Kutai Kartanegara|Kutai Lama]] dan kemudian berubah menjadi kerajaan Islam di tahun 1575, sampai pemerintahannya secara politik dan administratif berakhir pada tahun 1960. Kerajaan ini berawal di [[Kutai Lama, Anggana, Kutai Kartanegara|Jaitan Layar]] dan kemudian berpusat di [[Kutai Lama, Anggana, Kutai Kartanegara|Tepian Batu]].

Dengan alasan stabilitas dan pertahanan, pusat kerajaan kemudian berpindah ke [[Jembayan, Loa Kulu, Kutai Kartanegara|Pemarangan]], dan terakhir di [[Tenggarong, Kutai Kartanegara|Tepian Pandan]]. Pada tahun 1635, Kerajaan Kutai Kertanegara berhasil memenangkan perang melawan [[Kerajaan Kutai|Kerajaan Kutai Martapura]]. Atas kemenangan tersebut, wilayah Kerajaan Kutai Kertanegara bertambah luas melalui aneksiasi terhadap Kerajaan Martapura, dan nama Kerajaan Kutai pun diubah menjadi Kerajaan Kutai Kertanegara ing Martapura (yang pada masa selanjutnya disebut pula sebagai Kutai Kartanegara ing Martadipura).<ref name="Ensiklopedia">{{cite book|url=|fisrt=Muhammad|last=Muhammad Sarip|location= Indonesia|title= Dari Jaitan Layar sampai Tepian Pandan Sejarah Tujuh Abad Kerajaan Kutai Kertanegara|publisher= RV Pustaka Horizon|year= 2018|isbn= 9786025431159}}</ref>
 
Setelah bergabungnya Kesultanan Kutai dengan [[Indonesia|Republik Indonesia]] sampai dihapuskannya [[Daerah Istimewa|Daerah Istimewa Tingkat II Kutai]] di tahun 1960, pada tahun 1999 Kesultanan Kutai secara resmi dihidupkan lagi oleh Pemerintah [[Kabupaten Kutai Kartanegara]] sebagai upaya pelestarian adat dan budaya [[Suku Kutai|Kutai]] keraton,<ref>[https://regional.kompas.com/read/2020/02/06/15490921/jejak-sejarah-muara-kaman-kecamatan-yang-viral-sejak-muncul-raja-kutai?page=all https://regional.kompas.com/read/2020/02/06/15490921/jejak-sejarah-muara-kaman-kecamatan-yang-viral-se] wang dan [https://regional.kompas.com/read/2020/02/06/15490921/jejak-sejarah-muara-kaman-kecamatan-yang-viral-sejak-muncul-raja-kutai?page=all -muncul-raja-kutai?page=all]</ref> ditandai dengan penobatan sang pewaris takhta yang dilangsungkan dua tahun kemudian, yaitu ditabalkannya Putra Mahkota [[Aji Muhammad Salehuddin II|Aji Pangeran Prabu Anum Surya Adiningrat]] menjadi Sultan Kutai Kartanegara ing Martadipura ke-20 bergelar [[Aji Muhammad Salehuddin II|Sultan Aji Muhammad Salehuddin II]], pada tanggal [[22 September]] [[2001]].
Baris 56 ⟶ 58:
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Kleurenlitho getiteld Straatgezicht te Tengaroeng TMnr 5795-6.jpg|jmpl|265px|Litografi rumah-rumah penduduk di kota [[Tenggarong]], ibu kota Kesultanan Kutai, sekitar tahun 1879-1880.]]
 
Menurut [[Hikayat Banjar]] dan [[Kotawaringin]] (1663), negeri Kutai merupakan salah satu ''tanah di atas angin'' (sebelah utara) yang mengirim upeti kepada Maharaja Suryanata, raja Banjar-Hindu (Negara Dipa) pada abad ke-14 hingga kerajaan ini digantikan oleh [[Kesultanan Banjar]]. Sekitar tahun 1620 Kutai berada di bawah pengaruh Kesultanan Makassar. Perjanjian [[VOC]] dan Kesultanan Banjar tahun 1635 menyebutkan [[VOC]] membantu Banjar untuk menaklukan Paser dan Kutai kembali. Dengan demikian sejak tahun [[1636]], Kutai diklaim oleh [[Kesultanan Banjar]] sebagai salah satu [[vazal|vasal]]nya karena Banjarmasin sudah memiliki kekuatan militer yang memadai untuk menghadapi serangan Kesultanan Mataram yang berambisi menaklukan seluruh Kalimantan dan sudah menduduki wilayah Sukadana (1622).<ref name="Gazali">M. Gazali Usman, Kerajaan Banjar: Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi, Perdagangan dan Agama Islam, Banjarmasin: Lambung Mangkurat Press, 1994.</ref> Sebelumnya Banjarmasin merupakan vazalvasal [[Kesultanan Demak]] (penerus [[Majapahit]]), tetapi semenjak runtuhnya Demak (1548), Banjarmasin tidak lagi mengirim upeti kepada pemerintahan di Jawa.
 
Sekitar tahun 1638 (sebelum [[Perjanjian Bungaya]]) Sultan Makassar (Gowa-Tallo) meminjam [[Paser]] serta [[Kutai]], [[Berau]] dan Karasikan ([[Kepulauan Sulu]]/Banjar Kulan) sebagai tempat berdagang kepada Sultan Banjar IV Mustain Billah/Marhum Panembahan dan berjanji tidak akan menyerang Banjarmasin. Hal tersebut terjadi ketika Kiai Martasura diutus ke Makassar dan mengadakan perjanjian dengan I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang Sultan Mahmud yaitu Raja [[Tallo, Makassar|Tallo]] yang menjabat mangkubumi bagi Sultan Malikussaid Raja Gowa tahun [[1638]]-[[1654]].<ref name="Hikayat Banjar">[[Johannes Jacobus Ras]], Hikayat Banjar terjemahan dalam [[Bahasa Malaysia]] oleh [[Siti Hawa Salleh]], Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS - Ampang/Hulu Kelang - [[Selangor]] Darul Ehsan, [[Malaysia]] [[1990]]</ref>
Baris 62 ⟶ 64:
Tahun 1747, [[VOC]] mengakui Pangeran Tamjidullah I sebagai Sultan Banjar padahal yang sebenarnya dia hanyalah mangkubumi. Pada [[1765]], VOC berjanji membantu [[Sultan]] [[Tamjidullah I dari Banjar|Tamjidullah I]] yang pro VOC untuk menaklukan kembali daerah-daerah yang memisahkan diri di antaranya Kutai berdasarkan [[perjanjian]] [[20 Oktober]] [[1756]].<ref name="Bandjermasin">{{id}} Bandjermasin (Sultanate), Surat-surat perdjandjian antara Kesultanan Bandjarmasin dengan pemerintahan2 V.O.C.: Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia- Belanda 1635-1860, Penerbit Arsip Nasional Republik Indonesia, Kompartimen Perhubungan dengan Rakjat 1965</ref>, karena VOC bermaksud menyatukan daerah-daerah di Kalimantan sebagai daerah pengaruh VOC. Padahal Kutai di bawah pengaruh [[La Maddukelleng]] (raja [[Wajo]]) yang anti VOC. Pangeran Amir, pewaris mahkota Kesultanan Banjar yang sah dibantu pamannya - Arung Turawe (kelompok anti VOC) berusaha merebut takhta tetapi mengalami kegagalan.
 
Pada [[13 Agustus]] [[1787]], Sultan Banjar [[Sunan Nata Alam]] membuat perjanjian dengan VOC yang menjadikan Kesultanan Banjar sebagai daerah protektorat VOC sedangkan daerah-daerah lainnya di Kalimantan yang dahulu kala pada abad ke-17 pernah menjadi vazalvasal Banjarmasin diserahkan secara sepihak sebagai properti VOC Belanda. Tahun 1778 Landak dan Sukadana (sebagian besar Kalbar) telah diperoleh VOC dari [[Sultan Banten]]. Pada 9 September 1809 VOC meninggalkan Banjarmasin (kota Tatas) dan menyerahkan benteng [[Antasan Besar, Banjarmasin Tengah, Banjarmasin|Tatas]] dan benteng [[Tabanio, Takisung, Tanah Laut|Tabanio]] kepada Sultan Banjar yang ditukar dengan intan 26 karat. Kemudian wilayah Hindia Belanda diserahkan kepada Inggris karena Belanda kalah dalam peperangan, Alexander Hare menjadi wakil Inggris di Banjarmasin sejak 1812. Tanggal 1 Januari 1817 Inggris menyerahkan kembali wilayah Hindia Belanda termasuk Banjarmasin dan daerah-daerahnya kepada Belanda dan kemudian Belanda memperbaharui perjanjian dengan Sultan Banjar.<ref name="Bandjermasin" /> Negeri Kutai diserahkan sebagai daerah pendudukan [[Hindia Belanda]] dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan I pada [[1 Januari]] [[1817]] antara Sultan [[Sulaiman dari Banjar]] dengan Hindia Belanda diwakili Residen Aernout van Boekholzt.<ref>{{id icon}}{{cite book|last=Poesponegoro|year=1992|url=http://books.google.co.id/books?id=N5jc0h1BktwC&lpg=PA276&dq=balangan&hl=id&pg=PA273#v=onepage&q=balangan&f=true|title=Sejarah nasional Indonesia: Nusantara pada abad ke-18 dan ke-19|location=Indonesia|publisher=PT Balai Pustaka|isbn=979-407-410-1|access-date=2012-05-27|archive-url=https://web.archive.org/web/20141220192121/http://books.google.co.id/books?id=N5jc0h1BktwC&lpg=PA276&dq=balangan&hl=id&pg=PA273#v=onepage&q=balangan&f=true|archive-date=2014-12-20|coauthors=Nugroho Notosusanto|fisrt=Marwati Djoened|dead-url=yes}}ISBN 978-979-407-410-7</ref> Perjanjian berikutnya pada tahun [[1823]], negeri Kutai diserahkan menjadi daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan II pada [[13 September]] [[1823]] antara Sultan [[Sulaiman dari Banjar]] dengan Hindia Belanda diwakili Residen Mr. Tobias.<ref name="Bandjermasin" />
 
Secara hukum, Kutai dianggap negara bagian di dalam [[Kesultanan Banjar|Negara Banjar]]. Negeri Kutai ditegaskan kembali termasuk daerah-daerah pendudukan [[Hindia Belanda]] di Kalimantan menurut Perjanjian [[Adam dari Banjar|Sultan Adam al-Watsiq Billah]] dengan Hindia Belanda, yang ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal [[4 Mei]] [[1826]].<ref name="Bandjermasin" />
 
=== Pemindahan Ibu Kota Kerajaan ===
Baris 111 ⟶ 113:
[[Berkas:Kroning van de sultan van Koetei Aji Muhammad Parikesit te Tenggarong, KITLV 116449.tiff|jmpl|265px|[[Aji Muhammad Parikesit|Sultan Aji Muhammad Parikesit]] tampil di beranda keraton usai upacara penobatannya pada tahun 1920, didampingi permaisuri, para pangeran, serta para pejabat tinggi [[Hindia Belanda]] di Karesidenan Kalimantan Selatan dan Timur (''Zuid en Oost Borneo Residentie'').]]
 
Pada tanggal [[14 November]] [[1920]], Aji Kaget dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kertanegara dengan gelar Sultan [[Aji Muhammad Parikesit]] namun hal ini juga banyak mengalami kontroversi karena ada beberapa kerabat tidak setuju dengan pengangkatan Aji Muhammad Parikesit Tersebut, hal ini dikarenakan anggapan bahwa Aji Pangeran Soemantri I-lah yang sebenarnya berhak diangkat menjadi Sultan Kutai. Dalam beberapa media juga di sebutkan bahwa pengangkatan Aji Muhamad Parikesit dikarenakan ke dua saudaranya telah meninggal. Hal inilah yang mengundang banyak kontroversi dari berbagai pihak; menurut cerita, yang seharusnya menjadi raja adalah anak dari permaisuri, dan permaisuri tidak harus istri pertama, karena terkadang permaisuri diangkat menurut status kedudukan orang tuanya. Itu Peraturan Kerajaan, berbeda dengan hukum Islam, jadi Aji Muhammad Parikesit adalah pemegang takhta yang sah, yang mendapat dukungan dari mayoritas masyarakat Kutai pada saat itu (sempat dilakukan semacam permintaan dukungan dari masyarakat terhadap kedua orang calon raja tersebut).
 
Sejak awal abad ke-20, ekonomi Kutai berkembang dengan sangat pesat sebagai hasil pendirian perusahaan Borneo-Sumatra Trade Co. Pada tahun-tahun tersebut, kapital yang diperoleh Kutai tumbuh secara mantap melalui [[:en:Economic surplus|surplus]] yang dihasilkan tiap tahunnya. Hingga tahun [[1924]], Kutai telah memiliki dana sebesar 3.280.000 Gulden - jumlah yang sangat fantastis untuk masa itu. Tahun [[1936]], Sultan Aji Muhammad Parikesit mendirikan keraton baru yang megah dan kokoh yang terbuat dari bahan [[beton]]. Dalam kurun waktu satu tahun, istana tersebut selesai dibangun, dan diresmikan pada awal tahun [[1938]].
Baris 134 ⟶ 136:
 
# [[Aji Raden Padmo]] sebagai Bupati Kabupaten Kutai
# [[Soedjono AJ|Kapten Soedjono]] sebagai Wali kota Kotapraja Samarinda
# [[Aji Raden Sayid Mohammad]] sebagai Wali kota Kotapraja Balikpapan
 
Sehari kemudian, pada tanggal [[21 Januari]] [[1960]] dan bertempat di Balairung Keraton Kutai, Tenggarong, diadakan Sidang Khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai. Inti dari acara ini adalah serah terima pemerintahan dari Kepala Daerah Istimewa Kutai, yaitu Sultan Aji Muhammad Parikesit, kepada Aji Raden Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai, Kapten Soedjono (Wali kota Samarinda) dan Aji Raden Sayid Mohammad (Wali kota Balikpapan). Pemerintahan Kesultanan Kutai Kertanegara di bawah Sultan Aji Muhammad Parikesit berakhir, dan dia pun hidup menjadi rakyat biasa.<ref name="Kesultanan Kutai 2" />
Baris 153 ⟶ 155:
[[Berkas:Lambang-kesultanankutai.gif|jmpl|kanan|200px|Lambang Kesultanan Kutai Kertanegara dalam versi lain.]]
 
Pada masa kejayaannya hingga tahun 1960, Kesultanan Kutai Kertanegara ing Martapura memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas. Wilayah kekuasaannya hampir meliputi semua wilayah otonom yang ada di [[Provinsi Kalimantan Timur]] saat ini kecuali [[Kabupaten Berau]], [[Kabupaten Paser]], serta sebagiandan [[Kabupaten Penajam Paser Utara]]. Wilayah Kesultanan Kutai Kertanegara ing Martapura mencakup:
 
# Seluruh [[Kabupaten Kutai Kartanegara]]
Baris 159 ⟶ 161:
# Seluruh [[Kabupaten Kutai Barat]]
# Seluruh [[Kabupaten Mahakam Ulu]]
# SebagianSeluruh [[Kabupaten Penajam Paser Utara]]
# Seluruh [[Kota Balikpapan]]
# Seluruh [[Kota Bontang]]
# Seluruh [[Kota Samarinda]]
# Seluruh [[Nusantara (ibu kota terencana)|Ibu Kota Nusantara]]
# Sebagian [[Kabupaten Penajam Paser Utara]]
# Sebagian perairan [[Nusantara (kota terencana)|Ibu KotaSelat NusantaraMakassar]]
# Perairan [[Selat Makassar]]
 
Dengan demikian, luas dari wilayah Kesultanan Kutai Kertanegara hingga tahun 1960 adalah seluas 115.426,03&nbsp;km².