Sumpah Satie Bukit Marapalam: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Anak Sago (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Tidak ada ringkasan suntingan
 
(2 revisi perantara oleh 2 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
Sumpah Sati Bukit Marapalam merupaka<ref>{{Cite journal|last=Bahtiar|first=Abd Rahman|date=2017-01-22|title=PRINSIP-PRINSIP DAN MODEL PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM|url=https://doi.org/10.26618/jtw.v1i2.368|journal=TARBAWI : Jurnal Pendidikan Agama Islam|volume=1|issue=2|pages=149–158|doi=10.26618/jtw.v1i2.368|issn=2622-920X}}</ref>n pejanjian penting yang menghubungkan pemuka adat dan agama di Minangkabau. Sumpah ini menetapkan bahwa adat harus berlandaskan syariat, sementara syariat itu sendiri bersumber dari Al-Quran. Dengan demikian, sumpah ini melahirkan suatu ideologi yang menjadikan Islam sebagai dasar budaya masyarakat Minangkabau.<ref>{{Cite web|title=Sumpah Sati Bukik Marapalam|url=https://www.jurnalissumbar.com/2022/06/sumpah-sati-bukik-marapalam.html|website=Jurnalis Sumbar {{!}} Portal Berita|access-date=2024-11-08}}</ref>
 
Perjanjian ini, yang dilakukan di Bukit Marapalam, bertujuan untuk menyelaraskan pandangan antara adat dan agama dalam kehidupan masyarakat. Deklarasi terkenal dari sumpah ini adalah "Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah," yang menegaskan bahwa adat harus sesuai dengan syariat dan syariat harus berlandaskan pada ajaran Al-Quran. Ini menunjukkan bahwa nilai-nilai Islam diintegrasikan ke dalam praktik adat, menciptakan harmonisasi antara keduanya dalam konteks sosial, politik, dan budaya masyarakat Minangkabau.
 
{{paragraf pembuka}}
{{One source}}
Baris 4 ⟶ 8:
[[Berkas:Monumen Perjanjian Sumpah Satiah Bukit Marapalam.jpg|jmpl|Monumen Perjanjian Sumpah Satiah Bukit Marapalam]]
 
Sebelum Islam masuk ke wilayah [[Sumatera Barat]], mayarakatmasyarakat [[Minang]] mengambil pedoman dalam menjalani hidup dengan melihat alam sebagai guru. Mereka menggali nilai-nilai yang diberikan alam untuk dijadikan landasan hidup. Ketika agama [[Islam]] masuk, masyarakat Minang dapat dengan mudah menerimanya karena ajaran Islam sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang sudah dianut oleh masyarakat Minang itu sendiri.
 
Pada masa penjajahan Belanda, kolonial [[Belanda]] mengadu domba masyarakat Minang dengan memunculkan pertentangan dan perbedaan pendapat, yang melatar belakangi munculnya [[Perang Padri|Perang Paderi]]. Untuk mengakiri pertentangan dan perbedaan pendapat ini, dilaksanakanlah Piagam Bukik Marapalam yang disebut juga Sumpah Sati Bukik Marapalam. Perjanjian ini merumuskan ''[[Adat bersendi syarak|Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah]]''. Rumusan ini adalah hasil kesepakatan antara pemuka agama dan pemuka adat Minang. Perjanjian ini dilaksanakan di puncakPuncak Bukit Pato, [[Tanah Datar]], yang disebut juga bukit [[Marapalam]]. Daerah ini dipilih karena posisinya yang strategis karena terletak di wilayah perbukitan antara [[Lintau Buo Utara, Tanah Datar|Kecamatan Lintau Buo Utara]] dengan [[Sungayang, Tanah Datar|kecamatan Sungayang]]. Piagam Bukik Marapalam ini melahirkan konsep ideologis masyarakat Minang, yang kemudian dijadikan landasan dalam menjalankan kehidupan sosial, budaya, dan politik.<ref>{{Cite book|title=Kamus Sejarah Minangkabau|last=Asnan|first=Gusti|publisher=Pusat Pengkajian Islam dan Minangabau|year=2003|isbn=979-97407-0-3|location=Padang|pages=339}}</ref>
 
== Referensi ==