Perang Pacirebonan: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
setuju Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
Tokoh dan pemimpin yang terlibat Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
(36 revisi perantara oleh 23 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{Orphan|date=Desember 2022}}
'''Perang Pacirebonan''' atau yang oleh masyarakat Cirebon dikenal dengan nama '''Perang Pagrage''' adalah sebuah peristiwa pengiriman pasukan [[Kesultanan Cirebon]] ke wilayah [[Kesultanan Banten]] pada 25 September 1650 atau 30 Ramadan 1060 H. Dalam peristiwa ini, terdapat insiden kesalahan komunikasi antara kesatuan prajurit [[kesultanan Cirebon]] di muara Pasiliyan dari sungai Ci Rumpak di [[Kabupaten Tangerang|Tangerang]]. Pasukan Banten berhasil menyergap pasukan Cirebon dan menyita banyak kapal perang Cirebon.<ref>{{Cite web|date=2019-06-11|title=Perang Banten-Cirebon di Akhir Ramadan|url=https://historia.id/militer/articles/perang-banten-cirebon-di-akhir-ramadan-vXjb5|website=Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia|language=id-ID|access-date=2023-10-03}}</ref>
{{Infobox military conflict
| date = 25 September 1650
| place = [[Cirebon]], [[Banten]]
| result = {{ublist|Kemenangan Banten}}
*[[Kesultanan Cirebon|Cirebon]] berhenti melakukan penyerangan terhadap [[Kesultanan Banten|Banten]]
| combatants_header =
| combatant1 = {{flagicon|Kesultanan_Mataram|size=22px}} [[Kesultanan Mataram]]<br/ >{{flagicon image|COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Katoenen_banier_met_Arabische_kalligrafie_TMnr_5663-1.svg}} [[Kesultanan Cirebon]]
| combatant2 = {{flagicon|Kesultanan_Banten|size=22px}} [[Kesultanan Banten]]
| commander1 = {{flagicon|Kesultanan_Mataram|size=22px}} [[Amangkurat I]]<br/ >{{flagicon image|COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Katoenen_banier_met_Arabische_kalligrafie_TMnr_5663-1.svg}} [[Pangeran Martasari]]<br/ >{{flagicon image|COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Katoenen_banier_met_Arabische_kalligrafie_TMnr_5663-1.svg}} panembahan girilaya {{flagicon image|COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Katoenen_banier_met_Arabische_kalligrafie_TMnr_5663-1.svg}} ngabei panjangjiwa{{surrender}}
| commander2 = {{flagicon|Kesultanan_Banten|size=22px}} [[Abu al-Mafakhir dari Banten]]<br/ >{{flagicon|Kesultanan_Banten|size=22px}} [[Sultan Ageng Tirtayasa]]
}}
== Latar belakang ==
Pada tahun 1588 ketika [[kesultanan Mataram]] muncul setelah meninggalnya Sultan [[Adiwijaya dari Pajang|Hadiwijaya]] dari [[kerajaan Pajang]], pendirinya [[Senapati dari Mataram|Danang Sutawijaya]]
sampai Periode Kerajaan-Kerajaan Islam Nusantara. [[Surabaya]]: Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel</ref>
=== Masa Sultan Maulana Muhammad dan
Penolakan
Pada masa ketika Danang Sutawijaya melakukan penaklukan wilayah timur pulau Jawa untuk memperkuat eksistensinya dan membantu Sultan Mas Zainul Arifin membangun benteng
=== Masa Sultan
Sepeninggal Sultan Maulana Muhammad, putra mahkota yang masih bayi tersebut lantas dinobatkan menjadi Sultan Banten dan perwalian segera dibentuk, untuk masalah pemerintahan
Pada tanggal 28 November 1598, dua tahun setelah meninggalnya Sultan Maulana Muhammad, datanglah rombongan pedagang Belanda yang dipimpin oleh [
Pembawaan Jacob Corneliszoon van Neck dan rekan-rekannya dikatakan berbeda oleh masyarakat Banten, sikapnya yang mudah membawa diri membuatnya diizinkan untuk bertemu dengan Sultan
Pada tahun 1602, ''Patih'' Jayanegara meninggal dunia, posisi ini kemudian digantikan oleh adiknya, namun dia dipecat pada 17 Nobermber 1602 dengan alasan berkelakuan tidak baik, ibunda sultan yaitu Nyi Gede Wanogiri kemudian menikah dengan seorang
Keberadaan
==== Konflik Pailir ====
Setelah peristiwa Pangeran Mandalika, pada tahun 1608 terjadi lagi peristiwa yang dikenal dengan nama ''Pailir'' ([[bahasa Indonesia]]: bertempat di hilir), peristiwa peperangan antara para pangeran dari keraton dibawah perintah Pangeran Ranamanggala dengan kubu Pangeran Kulon dan para ''ponggawa (pejabat)'', sebenarnya peristiwa ''Pailir'' disebabkan oleh peristiwa yang terjadi setelah ''Pangeran Ranamanggala'' dan rekan-rekannya bersekutu untuk membunuh ''Patih'' yang juga merupakan suami dari Nyi Gede Wanogiri. Keadaan [[kesultanan Banten]] setelah peristiwa Pangeran Mandalika tidak bisa dikatakan membaik, di daerah, para penguasa sibuk mempersenjatai diri untuk memperkuat kedudukannya masing-masing, tidak jarang untuk memenuhi hal tersebut mereka lakukan dengan jalan merampok kapal-kapal dagang sehingga membuat pedagang beranggapan bahwa [[kesultanan Banten]] tidak aman untuk berdagang, hal ini kemudian yang menyebabkan kondisi perdagangan di [[kesultanan Banten]] terhenti sebagaimana pernyataan pedagang Belanda Jacques l'Hermitre yang menyatakan bahwa perdagangan di kota Banten terhenti pada bulan Juli 1608.<ref name=Claude1>Guillot, Claude. 2008.
Banten - Sejarah dan Peradaban Abad X - XVII. [[Jakarta]]: Gramedia</ref>
Pada tanggal 23 Oktober 1608, ''Depati'' Yudanegara membakar bagian dalam keraton sehingga ''Patih'' keluar tanpa membawa Sultan
Kebakaran yang terjadi di keraton dan ditujukan untuk membunuh Pangeran Camara (''Patih'') sebenarnya sudah terjadi beberapa kali setelah peristiwa Pangeran Mandalika, peristiwa pembakaran yang pertama terjadi pada tanggal 4 Desember 1605 yang dapat diatasi, kemudian peristiwa kebakaran selanjutnya terjadi pada tanggal 16 Juli 1607
Pasca terbunuhnya Pangeran Camara ''Patih'' [[kesultanan Banten]], keadaan Sultan
Peristiwa Pailir berlangsung selama kurang lebih empat bulan, para pejabat kerajaan yang memihak Pangeran Kulon, Syahbandar dan seorang Andamohi Keling (orang Keling) membuat benteng pertahanan di hilir di sekitar pelabuhan, untuk mengamankan usaha mereka, kelompok Pangeran Kulon tidak segan membunuh orang dan keluarganya yang dianggap berkhianat atau tidak mau ikut serta dalam peperangan, hal ini terjadi kepada ''Ki'' Wijaya Manggala dan keluarganya yang berusaha pergi dari wilayah pelabuhan dengan menggunakan perahu karena tidak mau ikut serta dalam perang saudara tersebut.<ref name=Claude1/>
Peristiwa Pailir berakhir dengan perundingan yang dimediasi oleh Pangeran Jayakarta atas permohonan pihak Pangeran Kulon yang pada saat itu telah terdesak, pihak Pangeran Kulon dalam perang sebenarnya berhasil merebut meriam Banten yang bernama ''Ki'' Jajaka Tua namun hal tersebut tidak begitu mengubah keadaan. Perang yang oleh Sultan
Selepas peristiwa ''Pailir'' Pangeran Ranamanggala menjabat sebagai wali sultan Banten menggantikan Pangeran Camara ayah sambung sultan yang terbunuh, segera Pangeran Ranamanggala melakukan penertiban dan peninjauan ulang terhadap peraturan yang dibuat oleh wali sultan sebelumnya berkenaan dengan para pedagang eropa. Pajak kemudian ditingkatkan, terutama yang berasal dari wilayah Banten, Pangeran Ranamanggala melakukan hal tersebut dikarenakan berpendapat bahwa para pedagang eropa di wilayah [[kesultanan Banten]] tidak hanya berniat berdagang saja namun juga berniat mencampuri urusan internal [[kesultanan Banten]]<ref name=Mukarrom/>
==== Kosongnya kekuasaan Jayakarta dan masuknya Belanda ====
Setelah peristiwa ''Pailir'' yang menyebabkan migrasi besar-besaran para pendukung Pangeran Kulon ke wilayah Jayakarta pada tahun 1609, setahun kemudian pada tahun 1610, untuk pertama kalinya [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] mengangkat Gubernur Jenderal untuk pulau Jawa yaitu [[Pieter Both]], [[Pieter Both|Gubernur Jenderal Pieter Both]] bertugas untuk mencari sebuah tempat guna mendirikan kantor dagang [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] sekaligus dapat dijadikan sebagai pusat pelayaran seluruh Hindia.<ref name=hembing>Wijayakusuma, Hembing. 2005. Pembantaian Massal, 1740: tragedi berdarah Angke. [[Jakarta]]: Yayasan Obor Indonesia</ref>
Tanah untuk [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] disetujui berada di sisi timur sungai Ciliwung, berdampingan dengan ''Pecinan'' (kampung Cina) yang dikepalai oleh Wat Ting (seorang Nakhoda) disekitar terusan kali Besar dan kampung pribumi di sebelah timurnya yang dikepalai oleh Kyai Aria yang juga merupakan ''Patih'' Pangeran Wijayakrama atau Pangeran Jayakarta (penguasa Jayakarta), pada tahun yang sama (1611), [[Pieter Both|Gubernur Jenderal Pieter Both]] segera menunjuk Abraham Theunemans untuk mendirikan gudang yang tidak permanen berukuran 31,5 x 11,4 m terbuat dari ''gedek'' (tembok kayu) dan batu. Gudang tersebut kemudian dapat diseleseikan pembangunannya oleh Abraham Theuneumans pada 1613, gudang yang didirikan di sebelah timur terusan kali Besar (bagian dari aliran sungai Ciliwung yang berada di sebelah timur istana Pangeran Jayakarta, di seberang terusan kali Besar terdapat perkampungan yang dipimpin oleh ''Ki'' Aria, patih Pangeran Jayakarta) tersebut kemudian diberi nama ''Nassau''. Pada 7 November 1614 [[Gerard Reynst|Gerard Reijnst]] seorang pedagang dan salah satu pemilik dari ''Nieuwe Compagnie'' (''Brabantsche'') serta anak dari Pieter Reijnst (pembuat sabun) diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda selanjutnya menggantikan [[Pieter Both]] yang habis masa jabatannya pada 6 November 1614. Pada tahun 1615 terdapat kabar bahwa gubernur jenderal sebelumnya yaitu [[Pieter Both]] yang tengah kembali ke Belanda bersama empat kapalnya setelah menyeleseikan jabatannya mendapatkan kecelakaan di laut sekitar [[Mauritius]] tepatnya di sekitar [https://en.m.wiki-indonesia.club/wiki/Flic-en-Flac kota pantai Flic-en-Flax], dua dari empat kapal dalam rombongan [[Pieter Both]] tenggelam dan [[Pieter Both]] berada di dalamnya. Berkenaan dengan kepemimpinan [[Gerard Reynst|Gerard Reinjst]] dikatakan bahwa [[Gerard Reynst|Gubernur Jenderal Gerard Reijnst]] bersikap tidak lebih baik dari pendahulunya, keadaan malah cenderung lebih buruk.<ref name=hembing/>
▲Setelah peristiwa ''Pailir'' yang menyebabkan migrasi besar-besaran para pendukung Pangeran Kulon ke wilayah Jayakarta pada tahun 1609, setahun kemudian pada tahun 1610, untuk pertama kalinya [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] mengangkat Gubernur Jenderal untuk pulau Jawa yaitu [[Pieter Both]], [[Pieter Both|Gubernur Jenderal Pieter Both]] bertugas untuk mencari sebuah tempat guna mendirikan kantor dagang [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] sekaligus dapat dijadikan sebagai pusat pelayaran seluruh Hindia<ref name=hembing>Wijayakusuma, Hembing. 2005. Pembantaian Massal, 1740: tragedi berdarah Angke. [[Jakarta]]: Yayasan Obor Indonesia</ref>. [[Pieter Both|Gubernur Jenderal Pieter Both]] kemudian memilih wilayah [[kesultanan Banten]] sebagai calon tempat pendirian kantor dagangnya dikarenakan selama ini (sejak misi dagang [[Jacob Corneliszoon van Neck]]) Belanda sering membeli dan menumpuk barang dagangannya di [[Banten]], namun karena khawatir bahwa suatu saat akan ada gangguan dari penguasa setempat dan juga dikarenakan aturan-aturan baru yang diberlakukan oleh wali sultan yang baru yaitu Pangeran Ranamanggala maka [[Pieter Both|Gubernur Jenderal Pieter Both]] pada tahun yang sama memalingkan orientasinya dari wilayah inti [[kesultanan Banten]] ke wilayah [[Jayakarta]]<ref name=Mukarrom/>. [[Pieter Both|Gubernur Jenderal Pieter Both]] melakukan perundingan dengan Pangeran Wijayakrama (penguasa wilayah otonom Jayakarta atau biasa dikenal dengan nama Pangeran Jayakarta) untuk membahas seputar perumusan naskah perjanjian pembayaran bea, proses-proses hukum serta pembelian sebidang tanah di sisi timur sungai Ciliwung guna mendirikan rumah dari batu dan kayu yang berfungsi sebagai tempat tinggal, kantor dan gudang, perjanjian yang dibagi menjadi dua bagian tersebut (satu bagian berkenaan dengan bea dan masalah hukum, satu lagi berkenaan dengan penjualan tanah) kemudian di tandatangani pada tahun 1611, uang sebesar 1200 real kemudian diberikan kepada Pangeran Jayakarta sebagai pembayaran atas pembelian tanah di sisi timur sungai Ciliwung seluas 50x50 ''vadem'' (depa).<ref name=hembing/>, akan tetapi rumusan kedua naskah awal surat perjanjian tersebut sengaja dibuat berbeda oleh [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] dibawah [[Pieter Both|Gubernur Jenderal Pieter Both]], hal tersebut dilakukan sebagai alasan menyerang pihak [[kesultanan Banten]] karena tidak menepati perjanjian di kemudian hari. Adanya perbedaan antara rumusan naskah awal dengan surat perjanjian tersebut menimbulkan pengertian yang berbeda antara Pangeran Jayakarta dengan [[Pieter Both|Gubernur Jenderal Pieter Both]], dalam ketentuan perihal penjualan tanah misalnya, dalam ketentuan hukum [[kesultanan Banten]] tentang pertanahan (yang juga berlaku di wilayah Jayakarta) dinyatakan bahwa tanah adalah milik sultan Banten yang hanya boleh dipergunakan untuk waktu tertentu dengan syarat-syarat yang bisa berubah sewaktu-waktu, namun dengan perbedaan yang dibuat oleh [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] maka pembelian tanah tersebut diartikan sebagai perpindahan kepemilikan dari sultan Banten kepada [[Vereenigde Oostindische Compagnie]]<ref name=hembing/>, walaupun terjadi ketegangan akibat rumusan naskah yang berbeda dengan naskah pada perundingan awal, namun tanah untuk [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] akhirnya ditentukan.
▲Tanah untuk [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] disetujui berada di sisi timur sungai Ciliwung, berdampingan dengan ''Pecinan'' (kampung Cina) yang dikepalai oleh Wat Ting (seorang Nakhoda) disekitar terusan kali Besar dan kampung pribumi di sebelah timurnya yang dikepalai oleh Kyai Aria yang juga merupakan ''Patih'' Pangeran Wijayakrama atau Pangeran Jayakarta (penguasa Jayakarta), pada tahun yang sama (1611), [[Pieter Both|Gubernur Jenderal Pieter Both]] segera menunjuk Abraham Theunemans untuk mendirikan gudang yang tidak permanen berukuran 31,5 x 11,4 m terbuat dari ''gedek'' (tembok kayu) dan batu. Gudang tersebut kemudian dapat diseleseikan pembangunannya oleh Abraham Theuneumans pada 1613, gudang yang didirikan di sebelah timur terusan kali Besar (bagian dari aliran sungai Ciliwung yang berada di sebelah timur istana Pangeran Jayakarta, di seberang terusan kali Besar terdapat perkampungan yang dipimpin oleh ''Ki'' Aria, patih Pangeran Jayakarta) tersebut kemudian diberi nama ''Nassau''. Pada 7 November 1614 [[Gerard Reynst|Gerard Reijnst]] seorang pedagang dan salah satu pemilik dari ''Nieuwe Compagnie'' (''Brabantsche'') serta anak dari Pieter Reijnst (pembuat sabun) diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda selanjutnya menggantikan [[Pieter Both]] yang habis masa jabatannya pada 6 November 1614. Pada tahun 1615 terdapat kabar bahwa gubernur jenderal sebelumnya yaitu [[Pieter Both]] yang tengah kembali ke Belanda bersama empat kapalnya setelah menyeleseikan jabatannya mendapatkan kecelakaan di laut sekitar [[Mauritius]] tepatnya di sekitar [https://en.m.wiki-indonesia.club/wiki/Flic-en-Flac kota pantai Flic-en-Flax], dua dari empat kapal dalam rombongan [[Pieter Both]] tenggelam dan [[Pieter Both]] berada di dalamnya. Berkenaan dengan kepemimpinan [[Gerard Reynst|Gerard Reinjst]] dikatakan bahwa [[Gerard Reynst|Gubernur Jenderal Gerard Reijnst]] bersikap tidak lebih baik dari pendahulunya, keadaan malah cenderung lebih buruk<ref name=hembing/>. [[Gerard Reynst|Gubernur Jenderal Gerard Reijnst]] tidak bisa berbuat banyak pada masa jabatannya karena dia terserang disentri dan akhirnya meninggal 7 Desember 1615, setelah meninggalnya [[Gerard Reynst|Gerard Reijnst]] Belanda menunjuk [[Laurens Reael]] sebagai penggantinya, dia menjabat sebagai gubernur jenderal Hindia Belanda pada 16 Juni 1616, pada masa [[Laurens Reael|Gubernur Jenderal Laurens Reael]] tepatnya pada tahun 1617 dibangunlah ''Mauritius'' sebuah rumah yang berada di sisi kali Ciliwung<ref name=hembing/>. [[Laurens Reael|Gubernur Jenderal Laurens Reael]] sebenarnya adalah orang yang adil, dia menentang cara yang diambil oleh para petinggi [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] dalam memperlakukan orang-orang pribumi dan para pesaing dagangnya (dalam kasus kehadiran para pedagang Inggris di Maluku), bagi [[Laurens Reael|Gubernur Jenderal Laurens Reael]] dan juga [https://en.m.wiki-indonesia.club/wiki/Steven_van_der_Haghen Laksamana Laut Steven van der Haghen] tujuan dan kesuksesan dari [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] hanya bisa dicapai melalui jalur perdagangan dan diplomatik saja, tanpa melakukan serbuan dan penaklukan kepada pribumi, baginya penyerangan-penyerangan kepada negara lain hanya bisa dilakukan sesuai dengan hukum internasional yang berlaku, dikarenakan perbedaan prinsip ini [[Laurens Reael|Gubernur Jenderal Laurens Reael]] memutuskan mengundurkan diri pada 31 Oktober 1617, namun dia baru bisa meninggalkan posisinya setelah kedatangan [[Jan Pieterszoon Coen]]. [[Laurens Reael]] kemudian mengulangi kembali pemikirannya melalui laporan yang ia tulis untuk Dewan Perwakilan Rakyat Belanda dan para pemimpin [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] agar dapat diterima dengan jelas pesan dan posisinya.
Pada tahun 1618, [[Jan Pieterszoon Coen]] diangkat menjadi Gubernur Jenderal, dia dipilih menjadi Gubernur Jenderal selanjutnya karena dianggap lebih keras sikapnya dibandingkan pandahulunya [[Laurens Reael]], bangunan tidak permanen yang terbuat dari gedek dan batu tersebut kemudian diperkuat dan dilengkapi dengan pagar tembok dari tanah, di setiap sudutnya lantas diperkuat dengan pembangunan ''catte'' yang berfungsi sebagai tempat meriam yang pada masa itu posisinya sengaja diarahkan ke wilayah Pangeran Jayakarta, selain memperkuat bangunan sebelumnya [[Jan Pieterszoon Coen|Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen]] juga membangun sebuah pangkalan laut yang kecil dengan fasilitas pergudangan dan perbaikan, gereja dan rumah sakit di pulau sekitar Jayakarta.
Peningkatan struktur bangunan dari yang sebelumnya merupakan bangunan tidak permanen menjadi bangunan permanen oleh [[Jan Pieterszoon Coen|Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen]] pada rumah ''Mauritius'' sebenarnya sudah menyalahi kesepakatan awal antara [[Pieter Both]] dan [[Pangeran Wijayakrama]] (Pangeran Jayakarta), dikarenakan walaupun Belanda mengubah isi perjanjian jual beli tanahnya namun kesepakatan terhadap bangunannya yang harus tidak permanen tidak mengalami perubahan, khawatir bahwa permasalahan di [[Jayakarta]] ini terdengar hingga ke [[Banten]] maka [[Pangeran Wijayakrama]] selaku penguasa [[Jayakarta]] berusaha menanggulangi masalahnya, salah satunya dengan bekerjasama dengan Inggris yang kantor dagangnya berada tepat
Pangeran Wijayakrama yang ditarik ke [[Banten]] oleh wali Sultan Banten kemudian ditempatkan di pesisir utara [[Banten]] tepatnya di [[Tanara, Tanara, Serang|
Menurut Profesor Hembing Wijayakusuma dalam tulisannya tentang pembantaian masal 1740, beliau menjelaskan bahwa sebelum jatuhnya kekuasaan [[Pangeran Wijayakrama]] selaku penguasa [[Jayakarta]] yang ditandai dengan penarikan dirinya ke [[Banten]], pihak [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] telah sekali lagi mengubah isi perjanjian yang disepakati antara [[Pangeran Wijayakrama]] dengan [[Pieter Both]], perubahan dalam rumusan perjanjian oleh [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] adalah bahwa pihak [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] diberikan izin untuk membongkar rumah-rumah orang cina di ''Pecinan'' yang dianggap terlalu dekat dengan gudang [[Vereenigde Oostindische Compagnie]], alasan penambahan klausul tersebut dikarenakan menurut [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] tidak adanya kepastian mengenai bea cukai, menurut pihak [[Vereenigde Oostindische Compagnie]], Wat Ting yang merupakan pemimpin ''Pecinan'' pada masa itu bertugas sebagai saksi sekaligus penterjemah antara pihak [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] dan [[Pangeran Wijayakrama]]. Pada saat [[Pangeran Wijayakrama]] ditarik ke [[Banten]] dan kekuasaan kepangeranan [[Jayakarta]] dikendalikan langsung dari [[Banten]], Pangeran Ranamanggala pada saat itu membunuh Wat Ting.<ref name=hembing/>
[[Jan Pieterszoon Coen|Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen]] kembali dari [[Maluku]] ke [[Jayakarta]] pada tanggal 30 Mei 1619 dengan membawa bantuan armada dari markas [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] di [[Maluku]], longgarnya pemerintahan di [[Jayakarta]] dengan ditariknya [[Pangeran Wijayakrama]] ke [[Banten]] segera dimanfaatkan oleh [[Jan Pieterszoon Coen|Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen]], [[Jan Pieterszoon Coen|Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen]] juga bertekad untuk merebut [[Jayakarta]] dari tangan Pangeran Ranamanggala. Penyerbuan yang dilakukan oleh [[Jan Pieterszoon Coen|Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen]] akhirnya berhasil. [[Pangeran Wijayakrama]] yang kemudian dapat kembali ke [[Jayakarta]] menemukan bahwa kondisi [[Jayakarta]] sudah berubah, beliau lantas berjuang untuk mendapatkan kembali [[Jayakarta]] hingga akhirnya meninggal di
[[Jan Pieterszoon Coen|Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen]] segera membangun tembok benteng kota yang disebutnya sebagai ''Niuew Hoorn'' (sebagai pengganti nama [[Jayakarta]]) setelah kemenangannya terhadap kubu [[Pangeran Wijayakrama]], nama ''Niuew Hoorn'' dipilih karena [[Jan Pieterszoon Coen|Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen]] berasal dari
==== Belanda dan monopoli perdagangan di [[Banten]] ====
Pasca menguasai [[Jayakarta]], Belanda melalui [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] berusaha menguasai perdagangan di [[Banten]] terutama komoditas lada melalui cara penghadangan atau blokade laut. Penghadangan terhadap kapal
==== Sultan
▲Pasca menguasai [[Jayakarta]], Belanda melalui [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] berusaha menguasai perdagangan di [[Banten]] terutama komoditas lada. Penghadangan terhadap kapal kapal dagang yang hendak berlabuh di Banten pun dilakukan yang menyebabkan harga lada di [[Banten]] turun. [[Jan Pieterszoon Coen|Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen]] menyerang kapal-kapal dagang Cina<ref>Vlekke, Bernard Hubertus Maria. 2008. Nusantara: sejarah Indonesia. [[Jakarta]]: Gramedia</ref>
Pada awal tahun 1624, wali Sultan Banten yaitu Pangeran Arya Ranamanggala menyerahkan jabatannya kepada Sultan
Pada 1626, dua tahun setelah serah terima kuasa mutlak dari wali Sultan Banten yaitu Pangeran Ranamanggala, Mataram pada masa kekuasaan [[Sultan Agung dari Mataram|Sultan Agung Hanyakrakusuma]] melakukan penyerangan kembali kepada [[kesultanan Banten]] yang kali ini dibantu oleh [[Kerajaan Palembang|Palembang]], namun penyerangan ini juga tidak berhasil.<ref name=djajadiningrat/>▼
▲=== Sultan Abu al Mufakir dan Penyerangan gabungan Mataram-Palembang ke [[kesultanan Banten]] ===
==== Belanda mengepung [[Banten]] ====▼
▲Pada awal 1624, wali Sultan Banten yaitu Pangeran Ranamanggala menyerahkan jabatannya kepada Sultan Abu al Mufakir Mahmud Abdul Kadir dikarenakan beliau menderita sakit, kedudukan Pangeran Ranamanggala kemudian bergeser menjadi penasihat sultan [[Banten]], peranan besar Pangeran Ranumanggala sebagai penasihat sultan [[Banten]] adalah dikeluarkannya surat keputusan [[kesultanan Banten]] mengenai hubungannya dengan Belanda, bahwa dalam kaitannya dengan hubungan persahabatan antara negara, maka [[kesultanan Banten]] tidak diperbolehkan bersahabat dengan Belanda. Pada 16 Nombember 1624, penyerahan mutlak kekuasaan [[kesultanan Banten]] dari Pangeran Ranamanggala kepada Sultan Abu al Mufakir Mahmud Abdul Kadir dilakukan dan pada tanggal 13 Mei 1626, Pangeran Ranamanggala wafat, jenazahnya kemudian dimakamkan di sebelah barat area [[masjid Agung Banten]], beliau kemudian dikenal dengan nama Pangeran Gede<ref name=djajadiningrat/>
Pada tahun 1633, ''
▲Pada 1626, dua tahun setelah serah terima kuasa mutlak dari wali Sultan Banten yaitu Pangeran Ranamanggala, Mataram pada masa kekuasaan [[Sultan Agung dari Mataram|Sultan Agung Hanyakrakusuma]] melakukan penyerangan kembali kepada [[kesultanan Banten]] yang kali ini dibantu oleh [[Palembang]], namun penyerangan ini juga tidak berhasil<ref name=djajadiningrat/>
Pembakaran blokade laut [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] oleh [[kesultanan Banten]] terbagi dalam dua sesi, sesi pertama terjadi pada malam hari di tanggal 4 dan 5 Januari 1634 dan sesi kedua terjadi pada malam hari di tanggal 10 dan 11 Januari 1634.<ref name=djajadiningrat/>
▲=== Belanda mengepung [[Banten]] ===
▲Pada tahun 1633, ''[[Vereenigde Oostindische Compagnie]]'' melakukan penyerangan ke wilayah [[kesultanan Banten]] diantaranya Tanahara, Anyer dan Lampung, hal tersebut dikarenakan menurut ''[[Vereenigde Oostindische Compagnie]]'' orang Banten banyak yang melalukan pengerusakan dan perampokan kepada aset dan barang milik ''[[Vereenigde Oostindische Compagnie]]'', pada bulan November terjadi peperangan besar antara [[kesultanan Banten]] dengan ''[[Vereenigde Oostindische Compagnie]]'', pihak [[kesultanan Banten]] berhasil mengalahkan pasukan ''[[Vereenigde Oostindische Compagnie]]'' yang pada masa itu sedang lemah akibat berperang dengan Mataram<ref name=michrob/>
▲Pada tanggal 5 Januari 1634 ''[[Vereenigde Oostindische Compagnie]]'' mengirimkan lagi pasukan laut yang lebih kuat untuk mengepung Surosowan, maka diadakanlah blokade menyeluruh atas wilayah perairan teluk Banten. Pengepungan ''[[Vereenigde Oostindische Compagnie]]'' di perairan Tanahara dapat digagalkan oleh pasukan yang dipimpin Tubagus Singaraja, pejabat [[kesultanan Banten]] di Tanahara, sedangkan pengepungan di perairan pelabuhan Banten, baru dapat digagalkan setelah digunakan taktik yang baru<ref name=michrob/> yaitu dengan melakukan pembakaran blokade [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] dengan kapal besar yang disebut ''Barungut'', kapal ''Barungut'' yang sebelumnya diperbaiki di [[Batavia]] pada malam harinya dibakar atas usul Wangsadipa<ref name=titik>Pudjiastuti, Titik. 2007. Perang, Dagang, Persahabatan : Surat-surat Sultan Banten. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia</ref>, peristiwa pembakaran blokade ini dikenal dengan nama ''Pabaranang''<ref name=titik2/>
▲Pembakaran blokade laut [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] oleh [[kesultanan Banten]] terbagi dalam dua sesi, sesi pertama terjadi pada malam hari di tanggal 4 dan 5 Januari 1634 dan sesi kedua terjadi pada malam hari di tanggal 10 dan 11 Januari 1634<ref name=djajadiningrat/>'<ref name=agusp>Prasetyo, Agus. 2019. Raja Sufi dari Kesultanan Banten : Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651 M). [[Jakarta]] : Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah</ref>.
== Mataram, Cirebon dan Pra Perang Pacirebonan ==
Mataram pada masa itu dipimpin oleh [[Amangkurat I]], beliau meminta bantuan kepada [[kesultanan Cirebon]] yang masa itu dipimpin oleh Sultan Abdul Karim
{{cquote|''besyuk-esyuk sapungkur mami, yen Susunan Mataram angarsaken besyuk takluking Banten punika, pan Pacuwan para milu micarani, teka para menenga''<br><br>Kelak sepeninggalku, jika ''Susuhunan'' Mataram kelak menghendaki takluknya [[Banten]], Pakungwati jangan ikut-ikutan, kalian diam sajalah''}}<ref name=titik2>Pudjiastuti, Titik. 2015. Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. [[Jakarta]]: Wedatama Widya Sastra</ref>
Baris 87 ⟶ 97:
=== Cirebon membantu Mataram membujuk [[kesultanan Banten]] ===
Sepeninggal Sultan Zainul Arifin, cucunya yaitu Abdul Karim naik menggantikannya sebagai Sultan Cirebon, pada masa itu ternyata Mas Rangsang ([[Sultan Agung dari Mataram|Sultan Agung Hanyakrakusuma]]) sudah meninggal terlebih dahulu sebelum Sultan Zainul Arifin, yakni pada tahun 1645. Kekuasaan Mataram kini dipegang oleh [[Amangkurat I|Mas Sayidin]] yang bergelar Amangkurat I, Amangkurat I pada awal pemerintahannya dikenal sebagai orang yang dengan mudah menyingkirkan orang yang berseberangan dengannya, misalnya saja peristiwa terbunuhnya
Amangkurat I dikenal sebagai seorang penguasa yang dekat dengan Belanda, ketika Sultan Abdul Karim naik tahta di [[kesultanan Cirebon]], Amangkurat I dihadapkan dengan fakta bahwa belum seluruh pulau Jawa mengakui eksistensi Mataram sebagai sebuah kerajaan, [[kesultanan Banten]] salah satunya, ketika Sultan Abdul Karim tengah berkunjung ke Mataram, Amangkurat I meminta bantuannya membujuk [[kesultanan Banten]] agar mau bersahabat dengan Mataram dan menghentikan serangannya kepada Belanda.<ref name=erwantoro/>
=== Banten bersiap perang ===
Pada laporannya, setelah utusan [[kesultanan Banten]] yaitu Astranaya yang dikirim ke Mataram pulang, Astranaya melaporkan bahwa situasi di Mataram mencekam, Astranaya yang oleh [[kesultanan Banten]] biasa diutus ke ''Keling'' (India), Palembang, Jambi, Bali, Aceh, Johor dan Makassar menuturkan jika selama di Mataram dia diawasi sehingga membuatnya harus selalu waspada siang dan malam, bagi Astranaya, dia belum pernah melihat tingkah laku orang sebagaimana orang Mataram yang selama dalam perjalanannya semua serba tersamarkan. Astranaya berpendapat bahwa Mataram akan menyerang [[kesultanan Banten]], dari keterangan Astranaya, Sultan Banten pada waktu itu yaitu Sultan
=== Meninggalnya Abu al Ma'ali Ahmad dan naiknya pangeran Surya ===
Dua tahun setelah pembuatan ''gorab'' dan ''wangkang'' selesai pangeran Abu al Ma'ali Ahmad menderita sakit hingga beliau akhirnya meninggal dunia pada 1651 m<ref>Hatmadji, Drs. H. Tri. 2005. Ragam Pusaka Budaya Banten. [[Serang]] : Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang</ref> (namun menurut Tujimah, pangeran Abu al Ma'ali telah meninggal pada 1650 m<ref name=tujimah1>Tujimah. 1987. Syekh Jusuf Makasar : riwayat hidup, karya, dan ajarannya. [[Jakarta]] : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan</ref>), putranya yang bernama pangeran Surya kemudian menggantikan posisinya sebagai putera mahkota [[kesultanan Banten]] dengan gelar ''Pangeran Dipati'', tidak lama pangeran Surya naik tahta sebagai sultan muda (putera mahkota) kemudian datanglah utusan lagi dari [[kesultanan Cirebon]] kali ini yang datang untuk membujuk [[kesultanan Banten]] untuk mengakui eksistensi Mataram adalah dua pemuda kembar bernama Jiwaprana dan Nalawangsa, menurut sultan
=== Cirebon mengirim pangeran Martasari dan pangeran Suradimarta ===
Kegagalan Jiwaprana dan Nalawangsa dalam membujuk sultan
Pembicaraan yang terkesan lebih hangat karena dilakukan langsung antar keluarga besar kemudian digelar di Surosowan, Pangeran Martasari menyampaikan pesan dari [[Mataram]] agar Sultan Banten mau bertemu dengan Raja Mataram [[Amangkurat I]], mengakui eksistensi Mataram dan menghentikan serangan kepada Belanda.<ref name=erwantoro/>
{{Cquote|isun ora kena den ririhi maring Mataram iki, ana ratu nisun<br><br>saya tidak bisa dibujuk untuk pergi ke Mataram, saya punya raja sendiri<ref name=titik2/> (sultan Mekah yaitu [[Mehmed IV]])}}
Pada pertemuan itu, Pangeran Surya (yang pada kemudian hari menjadi Sultan Ageng Tirtayasa) mengajak kepada rombongan Cirebon agar [[kesultanan Cirebon]] lebih baik bersekutu dengan [[kesultanan Banten]] daripada dengan Mataram, Pangeran Surya mengingatkan bahwa Mataram sesungguhnya dapat mengancam kedaulatan [[kesultanan Cirebon]].<ref name=erwantoro/>
Sikap Sultan Banten
=== Sultan Abdul Karim ditahan oleh Mataram ===
Pada tahun 1650, setelah kegagalan misi rombongan Pangeran Martasari dan Pangeran Suradimarta, Amangkurat I mengundang Sultan Abdul Karim ke Mataram untuk acara syukuran kenaikan tahta Sultan Abdul Karim sebagai Sultan Cirebon. Pada surat perwakilan Belanda di Cirebon 1 Oktober 1684 (tiga tahun setelah ditandatanganinya perjanjian persahabatan Cirebon dengan Belanda tahun 1681) diceritakan tentang peristiwa Girilaya,<ref name=iswara/>
== Perang Pacirebonan ==
Kegagalan misi Pangeran Martasari dan Suradimarta dalam membujuk agar [[kesultanan Banten]] mau mengakui eksistensi [[Mataram]] membuat pihak Mataram marah, Mataram lantas menyuruh Pangeran Martasari agar menyerang [[Kesultanan Banten]],<ref name=yuyun/>
=== Pengumuman di Alun Alun Surosowan ===
Pada pagi hari seluruh warga, ''ponggawa'', menteri dan aparat desa serta pedagang diperintahkan oleh Sultan
{{cquote| ''kabeh syami wikana, karsaning Cirebon iku arsa mangke naklukana''<br><br>kalian semua ketahuilah, keinginan Cirebon itu (sesungguhnya) ingin menaklukan (Banten)<br><br>''kaprebe yen ing besyuk kita katekan Mataram, kita iki negara alit, pastine nore kawawa musuh nagara gedhe, imbane kita punika, kadi ing wong satunggal den kembulane wong satus, yadyan kulita tambaga, kadi karubuwan wukir, nanging to lah isun sangga, sakawawa-wawaningwang, ora yen isun arepa taluk maring Mataram, amung to lah ratuisyun kanjeng sultan Jahed Mekah, iku ingkang amberkati, nanging syih iku menawa ing besyuk wong anom anom kang arep taluk marana, maring Ratu Mataram iku, silih karepisun, kaprebe ing wong kathah?''<br><br>bagaimana jika kelak kita diserbu Mataram, kita negara kecil pasti tidak seimbang jika melawan negara besar, ibaratnya kita ini seperti orang satu dikeroyok orang seratus walaupun kulitnya (dari) tembaga,(ibaratnya) seperti kerubuhan gunung, tetapi bagaimanapun akan aku sangga sekuat-kuatku, bagaimanapun aku tidak akan mau takluk kepada Mataram, rajaku hanyalah Kanjeng Sultan Jahed (di) Mekah (yang dimaksud adalah Zaid bin Muhsin, Syarif Mekah di bawah sultan Mehmed IV), itu yang memberkati Banten, tetapi itu sih kalaupun kelak yang muda-muda mau takluk ke sana kepada Raja Mataram itu berbeda dengan keinginanku, bagaimana menurut kalian semua?<ref name=titik2/>}}
Perkataan Sultan
Pasca Sultan membagikan tugas di Warutanjak suasana digambarkan riuh dengan para menteri, prajurit dan pembantunya yang akan keluar dari ''lawang Padudan'' (pintu Padudan) sementara Sultan kembali ke dalam keraton, banyaknya orang yang saling mendahului untuk keluar membuat ''lawang Padudan'' kemudian patah akibat pukulan, dorongan dan desakan orang yang ingin keluar secepatnya. Pada naskah Banten dijelaskan yang keluar dari ''lawang Padudan'' secara berurutan adalah para pembantu dan anak-anak yang menyaksikan di Warutanjak, para menteri, prajurit, pengawal, para aparatur desa (para ''bekel'' dan ''lurah'') dan para prajurit dari Lampung serta paling terakhir adalah ''para nyilian'' (para prajurit pinjaman), sementara para petinggi lainnya yang berada disebelah timur, mereka keluar melalui ''lawang Dipangga'' (pintu Dipangga), semua keluar memenuhi alun-alun sebelum pulang ke kediamannya masing-masing, hanya sebagian prajurit yang ditugaskan untuk berjaga di Warutanjak lengkap dengan senjatanya.<ref name=titik2/>
=== Penyerangan ke [[kesultanan Banten]] ===
Baris 135 ⟶ 145:
== Referensi ==
{{Reflist}}
[[Kategori:Kesultanan Banten]]
[[Kategori:Kesultanan Cirebon]]
|