Suku Lauje: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Rumah Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
(48 revisi perantara oleh 10 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
'''Suku Lauje''' merupakan salah satu suku di [[Indonesia]] yang sebagian besar menetap di [[Kabupaten
== Asal-Usul ==
Suku ini
Awal mulanya orang Lauje hidup dan menetap di wilayah pegunungan Desa Tinombo yang mereka namakan kampong Taipaobal. Hal ini didasarkan pada cerita mereka bahwa dahulu ada seoran pria yang bernama Sae Mandulang tinggal di wilayah Taipa Obal. Dia memperistrikan seorang wanita yang keluar dari dalam sebuah batu (polu irandu) yang bernama Yele Lumut. Wanita tersebut adalah makhluk gaib yang diutus untuk menemani Sae Mandulang agar tidak kesepian. Seiring berjalannya waktu mereka dikaruniai 7 orang anak. Ketika dewasa 6 orang anak mereka pergi mengembara ke seluruh pelosok yang bisa dijangkau. Sementara yang 1 tetap tinggal di Taipa Obal.
1. anak pertama yang bernama Yele Inulung pergi ke wilayah Tinombo dan Ampibabo
2. Anak ke dua yang bernama Yele Bolian pergi ke wilayah Sojol/Bou
== Agama dan Sistem Kepercayaan ==▼
Sebagian masyarakat Suku Lauje sudah menganut Agama Kristen, selebihnya adalah Muslim<ref name=":0" />. Penelitian terakhir yang dilakukan Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanudin (2009) menunjukkan bahwa suku Lauje yang mendiami pesisir Teluk Tomini hingga kaki Gunung Sojol jumlah penduduknya mencapai 3.971 jiwa atau 737 KK, Dari jumlah itu sebanyak 3.176 jiwa sudah memeluk Agama Islam, sedangkan sisanya beragama Kristen<ref>{{Cite web|url=https://nasional.kompas.com/read/2009/03/05/20541446/mahasiswa.fib-uh.buat.buku.suku.lauje|title=Mahasiswa FIB-UH Buat Buku Suku Lauje|last=|first=|date=05 Maret 2009|website=kompas online|publisher=|access-date=14 Maret 2019}}</ref>.▼
3. Anak ke tiga yang bernama Yele Fulang pergi ke wilayah Palasa dan menjadi patung batu
4. Anak ke empat yang bernama yele Mumini ke wilayah Tomini
5. Anak ke lima yang bernama Yele Magana ke wilayah seberang lautan. Masyarkat Lauje meyakini bahwa dialah yang menajdi cikal bakal suku-suku di dunia
6. Anak ke enam yang bernama Yele Fulaan ke wilayah Dondo dan Lampasio
7. Anak ke tujuh yang bernama Yele Inangku tetap tinggal di Polu Irandu bersama ibu bapaknya.
Togu Petu bertugas menjaga tanah. Jadi berhasil atau tidaknya manusia bercocok tanam ditentukan oleh roh tersebut. Lalu Togu Ompongan dipercaya sebagai penguasa hutan belantara yang mengawasi tindak tanduk manusia di hutan. Selanjutnya Togu Ogo bertugas sebagai penguasa sungai sekaligus penjaga air. Kepada roh-roh tadi Orang Lauje biasanya meminta restu sebelum melakukan aktivitas-aktivitas tertentu di sekitar tempat tinggalnya. ▼
Mereka berpisah di sebuah sungai. Oleh karena itu sungai tersebut diberi nama inogaat/perpisahan<ref>{{Cite web|title=Asal Muasal|url=https://brwa.or.id/wa/view/TXVfZlZiSE0wV1E|website=Badan Registrasi Wilayah Adat}}</ref>
▲== Agama dan Sistem Kepercayaan ==
▲Sebagian masyarakat Suku Lauje sudah menganut [[Kekristenan|Agama Kristen]], selebihnya adalah [[Muslim]].<ref name=":0" />
Meski sudah menganut [[Agama Abrahamik|Agama Samawi]], sistem kepercayaan dari nenek moyang masih mereka hormati dan pertahankan, termasuk soal asal-usul mereka seperti yang telah diterangkan di atas. Suku Lauje masih mempercayai bahwa ada beberapa Ilah (dewa) yang mengatur kehidupan manusia di dunia. Mereka adalah Raja Tongka Alah (tinggal di langit), Puang Ma Petu (berdiam di bawah tanah) dan Olongian (tinggal di mata air). Raja Tongka Alah merupakan perantara roh-roh orang mati dengan orang hidup. Sedangkan Lalu Puang Ma Petu dikenal sebagai Ilah Perusak, sedangkan Olongian diyakini sebagai Ilah Penyelamat.
▲Mereka juga mempercayai keberadaan roh-roh halus yang juga dipercaya memiliki tugas di dunia orang hidup dan membantu kehidupan orang-orang Suku Lauje. Ada Togu Petu, Togu Ompongan dan Togu Ogo. Togu Petu bertugas menjaga tanah. Jadi berhasil atau tidaknya manusia bercocok tanam ditentukan oleh roh tersebut. Lalu Togu Ompongan dipercaya sebagai penguasa hutan belantara yang mengawasi tindak tanduk manusia di hutan. Selanjutnya Togu Ogo bertugas sebagai penguasa sungai sekaligus penjaga air. Kepada roh-roh tadi Orang Lauje biasanya meminta restu sebelum melakukan aktivitas-aktivitas tertentu di sekitar tempat tinggalnya.<ref name=":0" />
== Mata Pencarian Hidup ==
Mata pencaharian hidup orang Suku Lauje adalah berladang. Yang mereka tanam utamanya [[padi]] dan [[jagung]]. Mereka juga menanam [[Sayuran|sayur-mayur]], [[Cengkih|cengkeh]], [[bawang putih]], [[Ketela pohon|singkong]], [[ubi jalar]], [[pisang]], [[Pepaya|pepay]]<nowiki/>a dan [[mangga]]. Sebagai sambilan, pekerjaan mereka adalah mencari [[rotan]], [[damar]], [[kemiri]], membuat kerajinan tangan, [[Perburuan|berburu]] juga [[Peternakan|beternak]]. Jika masa paceklik tiba,
Suku Lauje yang bermukim di [[Kabupaten Parigi Moutong]] bisa memiliki pendapatan rata-rata sampai Rp. 10 juta per bulan dari memanen [[Kakao|coklat]] dan
Awalnya Suku Lauje (khususnya di Parigi Moutong) menggunakan konsep berladang tak menetap. Namun sejak era
==
=== Sistem Kekerabatan ===
Moganoi merupakan tradisi memberikan sesajen dalam rangka meminta restu kepada penguasa gaib yang dipercaya hidup dan menguasai lingkungan tersebut. Biasanya dilakukan sebelum mereka membuka hutan. Didampingi olongian (pemimpin adat) warga yang hendak membuka lahan di hutan terlebih dahulu mempersiapkan isi sesajen. ▼
Suku Lauje mengenal juga sistem kelompok kekerabatan luas. Mereka hidup berkelompok. Satu kelompok, atau beberapa keluarga inti, tinggal di rumah yang sama. Meskipun demikian, setiap keluarga inti memiliki dapurnya masing-masing. Seperti kebanyakan suku di Indonesia, Suku Lauje menganut sistem [[patrilineal]]. Sistem perkawinan mereka termasuk dalam sistem eksogami kelompok. Anak-anak mereka bisa memilih jodoh mereka sendiri, bahkan menikah dengan pasangan di luar kelompoknya. Namun jika tidak mendapatkan persetujuan dari orang tuanya, mereka bisa memilih mekanisme adat lainnya: [[kawin lari]].<ref name=":0" />
=== Lembaga Adat ===
Sesajen harus berupa buah pinang (mandulang), kapur (tilong), daun sirih tembako (taba’o), uang logam (do’i mo’oat). Setelah siap, lalu sesajen diletakkan di atas kain putih, ditata sedemikan rupa sehingga terlihat rapih. Selanjutnya ditinggalkan saja selama dua malam. ▼
Lembaga adat orang Suku Lauje dinamakan Labong pegombo'ang Wada Tonu Lauje<ref>{{Cite web|title=|url=https://zonasulawesi.id/labong-nuada-atau-labonguada/?amp=1|website=Labong nuada tope lauje}}</ref>. Institusi adat ini ada untuk mengatur bagaimana masyarakat bertindak dan berperilaku sesuai aturan adat istiadat yang diajarkan turun-tumurun dari nenek moyang mereka. Lembaga ini masih dihormati oleh orang-orang Suku Lauje. Contoh nyata dalam pengelolaan hutan. Campur tangan Kepala nu wada/Olongian masih dibutuhkan agar tidak terjadi penyimpangan yang bisa saja berujung konflik antar warganya.
Lembaga adat ini juga bisa memberikan sanksi adat bagi para pelanggar aturan adat. Pelanggar akan diadili secara adat di balai adat. Pengadilan adat ini bersifat kekeluargaan. Sanksi yang diberikan pun disesuaikan dengan besar kecilnya kesalahan, kemampuan ekonomi dan usia si pelanggar. Contoh soal [[Beringin|pohon beringin]] (nunu). Pohon ini bagi Suku Lauje adalah pohon keramat dan warganya dilarang keras untuk menebangnya, meskipun pohon tersebut tumbuh atau berada di tanah milik sendiri. Pelanggaran untuk menebang pohon beringin akan diberikan sanksi berupa denda uang dan piring tua (salamate).
=== Tradisi Moganoi ===
▲Komunitas Suku Lauje terkenal hidup dari alam, oleh karena itu mereka sangat menghormati alam. Rasa cinta mereka terhadap alam salah satunya bisa dilihat dari Tradisi Moganoi yang masih berlangsung, seperti misalnya di [[Dusunan Barat|Desa Dusunan Barat]]. Moganoi merupakan tradisi memberikan [[sesajen]] dalam rangka meminta restu kepada penguasa gaib yang dipercaya hidup dan menguasai lingkungan tersebut. Biasanya dilakukan sebelum
▲Sesajen harus berupa [[Pinang|buah pinang]] (mandulang), [[kapur]] (tilong), daun sirih tembako (taba’o), uang logam (do’i mo’oat). Setelah siap, lalu sesajen harus diletakkan di atas kain putih, ditata sedemikan rupa sehingga terlihat rapih. Selanjutnya ditinggalkan saja selama dua malam. Setelah didiamkan, orang yang hendak membuka hutan harus mengecek kembali sesajen itu. Jika tidak rapi lagi berarti tanda bahwa yang bersangkutan tidak diperbolehkan membuka lahan di wilayah yang diinginkannya. Namun jika sebaliknya, tetap rapih, maka orang tersebut boleh membuka hutan (menebang pohon) untuk ditanami.<ref name=":3" />
== Pendidikan ==
Karena masih banyak yang memakai konsep hidup berpindah-pindah dan tinggal di tempat terpencil, atau di tengah hutan, orang-orang Suku Lauje (setidaknya yang tinggal di Parigi Moutoung) kebanyakan hanya merasakan pendidikan sampai tingkat sekolah dasar saja
== Referensi ==
<references />
[[Kategori:Kelompok etnik di Indonesia|Lauje]]
[[Kategori:Sulawesi Tengah]]
|