Masalah kejahatan (filsafat): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Beberapa suntingan bahasa dan penambahan konten.
Tag: kemungkinan perlu dirapikan VisualEditor Edit Check (references) activated Edit Check (references) declined (irrelevant)
k Relevansi konten.
Tag: VisualEditor Edit Check (references) activated Edit Check (references) declined (common knowledge)
(2 revisi perantara oleh pengguna yang sama tidak ditampilkan)
Baris 56:
P1d. Tuhan Yang Maha Baik ingin mencegah segala kejahatan.
 
P1e. Tuhan Yang Maha Tahu mengetahui segala sesuatucara tentangkejahatan bagaimanadapat terjadinya kejahatanterjadi, dan Ia mengetahui segala cara untuk mencegah kejahatan tersebutyang dapat terjadi.
 
P1f. Tuhan yang mengetahuiMaha Tahu segala sesuatucara tentangkejahatan bagaimanadapat terjadinya kejahatanterjadi, yangMaha memilliki kekuatanKuasa untuk mencegah terjadinyaadanya segala kejahatan, dan berkeinginanMaha Baik untuk melakukanberkeinginan halmencegah tersebutsegala kejahatan, akan mencegah terjadinya kejahatan tersebut.
 
P1. Jika Tuhan itu Maha Kuasa, Maha Baik, dan Maha Tahu, maka tidak ada kejahatan.
Baris 65:
</blockquote>Kedua argumen di atas menyajikan dua bentuk masalah logis kejahatan. Keduanya berusaha untuk menunjukkan bahwa premis-premis Maha dari Tuhan berujung pada [[kontradiksi]] [[Logika|logis]] yang tidak semuanya benar. Sebagian besar perdebatan filosofis mengenai hal ini beranggapan bahwa Tuhan ingin mencegah semua kejahatan dan oleh karena itu tidak dapat hidup berdampingan dengan kejahatan apa pun (premis P1d dan P1f), namun terdapat tanggapan terhadap setiap premis (seperti [[Pembelaan kehendak bebas oleh Alvin Plantinga|tanggapan Plantinga terhadap P1c]]), dengan pembelaan dari teisme (misalnya, [[Agustinus dari Hippo|St. Augustine]] dan [[Gottfried Leibniz|Leibniz]]) yang berpendapat bahwa Tuhan bisa ada dan membiarkan kejahatan jika terdapat alasan yang baik.
 
Jika Tuhan tidak memiliki salah satu dari sifat-sifat ini{{Spaced ndash}}kemahatahuanke-Maha Tahu-an, kemahakuasaanke-Maha Kuasa-an, atau kemahabaikanke-Maha Baik-an{{Spaced ndash}}maka masalah logika kejahatan dapat diatasi. [[Teologi proses]] dan [[teisme terbuka]] adalah perspektif-perspektif modern yang membatasi kemahakuasaan atau kemahatahuan Tuhan (sebagaimana didefinisikan dalam teologi tradisional) berdasarkan kehendak bebas orang lain.
 
=== Masalah eviden kejahatan ===
Baris 89:
 
Versi kedua dari masalah kejahatan yang diterapkan pada hewan sebagian disebabkan oleh manusia, misalnya karena kekejaman terhadap hewan atau ketika mereka ditembak atau disembelih. Versi masalah kejahatan ini telah digunakan oleh para sarjana termasuk [[John Hick]] untuk menentang respon dan pembelaan terhadap masalah kejahatan seperti penderitaan sebagai sarana untuk mencapai kesempurnaan moral dan kebaikan yang lebih besar. Penentangan terhadap pembelaan terhadap masalah kejahatan didasarkan pada pemahaman bahwa hewan adalah korban yang tidak bersalah dan tidak berdaya, namun dapat merasakan rasa sakit dan penderitaan.<ref name="inwagenp1203">{{Cite book|last=Peter van Inwagen|year=2008|url=https://books.google.com/books?id=iQhUrE8BYFIC|title=The Problem of Evil|publisher=Oxford University Press|isbn=978-0-19-954397-7|pages=120, 123–126, context: 120–133}}</ref><ref>{{Cite book|last=Allen|first=Diogenes|year=1990|url=https://books.google.com/books?id=nqNwUSj7U7QC|title=The Problem of Evil|publisher=Oxford University Press|isbn=978-0-19-824866-8|editor-last=Marilyn McCord Adams and Robert Merrihew Adams|pages=204–206}}</ref><ref>{{Cite book|last=Rowe|first=William L.|year=2007|url=https://books.google.com/books?id=M4GdWhLtZzAC&pg=PA61|title=William L. Rowe on Philosophy of Religion: Selected Writings|publisher=Ashgate|isbn=978-0-7546-5558-9|pages=61–64 (the fawn's suffering example)}}</ref> Sarjana Michael Almeida mengatakan penderitaan hewan adalah sebuah versi masalah kejahatan yang "mungkin paling serius".<ref name="almeidap1932">{{Cite book|last=Almeida|first=Michael J.|year=2012|url=https://books.google.com/books?id=chSSBAAAQBAJ&pg=PA193|title=Freedom, God, and Worlds|publisher=Oxford University Press|isbn=978-0-19-964002-7|pages=193–194}}</ref>
 
== Argumen Teistik ==
Masalah kejahatan merupakan masalah yang serius bagi [[agama samawi]] seperti Kristen, Islam, dan Yahudi yang percaya kepada Tuhan yang Maha Kuasa, Maha Tahu, dan Maha Baik;<ref>{{Cite book|last=Hume|first=David|url=https://www.gutenberg.org/ebooks/4583|title=Dialogues Concerning Natural Religion|publisher=Project Gutenberg|url-status=live}}</ref><ref>{{Cite web|last=Brians|first=Paul|title=Problem of Evil|url=https://web.archive.org/web/20161018125339/http://public.wsu.edu/~brians/hum_303/evil.html|website=Washington State University}}</ref> Namun, pertanyaan mengapa kejahatan itu ada juga telah dipelajari dalam agama-agama non-teistik atau politeistik, seperti [[Buddhisme]], [[Hinduisme]], dan [[Jainisme]].<ref name="Harvey2013p141" /><ref>{{Cite book|last=Herman|first=Arthur L.|date=2000|title=The problem of evil and Indian thought|location=Delhi|publisher=Motilal Banarsidass|isbn=978-81-208-0753-2|edition=2. ed., repr}}</ref> Masalah kejahatan sudah menarik perhatian beberapa teolog untuk menjawabnya. Berikut beberapa tokoh yang membahas tentang masalah kejahatan.
 
=== Ibnu Qayyim ===
[[Ibnul Qayyim al-Jauziyyah]], dalam bukunya "Syifa 'ul 'Alil", pernah membahas tentang masalah kejahatan. Dalam menjawab masalah kejahatan, Ibnu Qayyim memberi tiga alasan. Pertama, kejahatan sebagai ujian. Ibnu Qayyim menjelaskan: <blockquote>"Allah Subhanahu wa ta'ala memberi tahu bahwa Dia telah menciptakan langit, bumi, dan seisinya dengan tujuan untuk menguji kita, siapa di antara kita yang lebih baik amalnya"<ref name=":0">{{Cite book|last=Al-Jauziyyah|first=Ibnu Qayyim|date=2000|url=https://onesearch.id/Record/IOS14141.JAMBI-03090000018857|title=Qadha dan Qadar: Ulasan Tuntas Masalah Takdir|location=Jakarta|publisher=Pustaka Azzam|pages=409-410. 533-541. 599.|url-status=live}}</ref></blockquote>Dalil untuk ini ada banyak di Al-Qur'an.<ref>Al-Qur'an, 67:2</ref><ref>Al-Qur'an, 29:35</ref><ref>Al-Qur'an, 2:214</ref> Dalam Islam, ujian-ujian yang akan manusia dapatkan hanyalah ujian yang dapat mereka tanggung.<ref>Al-Qur'an, 2:186</ref><ref>Al-Qur'an, 94:5-6</ref> Selain itu, ujian-ujian yang dialami manusia dapat menghapus dosa mereka,<ref>{{Cite web|title=Sahih al-Bukhari 5642|url=https://sunnah.com/bukhari:5641}}</ref> bahkan dapat mengantarkan mereka ke surga jika kita sabar.<ref>Al-Qur'an, 76:12</ref>
 
Kedua, kejahatan sebagai jalan kepada kebaikan lainnya. Ibnu Qayyim menjelaskan:<blockquote>"Seandainya tidak ada ujian dan cobaan, niscaya tidak akan tampak keutamaan dari kesabaran, keridhaan, tawakal, jihad, keberanian, kelembutan, dan maaf...
 
...Sebaik-baik dan seagung-agungnya pemberian adalah iman dan pahalanya. Iman itu tidak akan terealisasi kecuali melalui ujian dan cobaan."<ref name=":0" /></blockquote>Di sini, Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa ujian dan cobaan dapat menunjukkan sifat-sifat kebaikan lainnya, seperti kesabaran, tawakal, keberanian, dan sebagainya. Namun, bukan berarti manusia harus sabar dan tidak melakukan apapun ketika musibah atau kejahatan menimpa mereka. Dalam Islam, manusia dituntun untuk selalu bekerja keras<ref>Al-Qur'an, 94:7</ref><ref>Al-Qur'an, 13:11</ref> dan di sinilah letak sifat kebaikannya. Begitu pula dalam menghadapi kejahatan; Dalam Islam, manusia diperintahkan untuk melawan kejahatan<ref>{{Cite web|title=Sahih Muslim 49|url=https://sunnah.com/muslim:49a}}</ref> dan sesungguhnya, perbuatan manusia, baik yang baik maupun yang buruk, akan mendapatkan balasannya.<ref>Al-Qur'an, 45:21</ref><ref>Al-Qur'an, 31:16</ref><ref>Al-Qur'an, 53:31</ref>
 
Ketiga, kejahatan sebagai bentuk kehikmahan Tuhan. Ibnu Qayyim menjelaskan:<blockquote>"Pengendalian dan kebijakan Allah Subhanahu wa ta'ala itu senantiasa berputar di poros keadilan, hikmat, dan kemaslahatan. Dan semuanya itu adalah baik, yang karenanya Allah Azza wa Jalla layak mendapatkan pujian dan sanjungan atas kesucian-Nya dari berbagai keburukan dan kejahatan. Dan keburukan itu sama sekali tidak mengarah kepada-Nya...
 
...Terlalu suci dan tinggi bagi Allah Subhanahu wa ta'ala untuk dinisbatkan keburukan dan kejahatan kepada-Nya, dan semua yang dinisbatkan kepada-Nya adalah baik. Sesuatu itu disebut buruk, karena terputusnya penisbatan kepada-Nya. Seandainya sesuatu yang buruk itu dinisbatkan kepada-Nya, maka ia tidak akan pernah menjadi buruk"<ref name=":0" /></blockquote>Dalam hal ini, Ibnu Qayyim membawa salah satu sifat Tuhan dalam agama islam — yaitu Maha Bijaksana — untuk menjawab masalah kejahatan. Dengan demikian, Ibnu Qayyim menolak pembatasan sifat Tuhan hanya kepada tiga sifat, padahal (dalam Islam) Tuhan memiliki sifat lainnya, seperti Maha Bijaksana dan Maha Adil. Maksud dari argumen ini, yaitu segala perbuatan Tuhan pasti ada hikmahnya. Dengan demikian, "kejahatan murni", ketika dinisbatkan kepada Tuhan, tidak mungkin ada.
 
== Lihat pula ==