Masa Lalu Terjatuh ke dalam Senyumanmu: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
(14 revisi perantara oleh 6 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{Orphan|date=Februari 2023}}
{{Infobox book
|name = Masa Lalu Terjatuh ke dalam Senyumanmu
|publisher = Rumah Buku dan Pustaka Senja Yogyakarta
|preceded_by =
|oclc =
|congress =
|dewey =
|isbn = 978-602-6730-27-5
|pages = 98 (cetakan ke-1)
|media_type = Cetak (sampul tipis)
|release_date = Februari 2018 (cetakan ke-1)
|genre = Antologi puisi
|title_orig = Masa Lalu Terjatuh ke dalam Senyumanmu
|series =
|language = Bahasa Indonesia
|country = Indonesia
|cover_artist = Guh S. Mana dan Muhammad Rois Alfin Rizal
|author = Kedung Darma Romansha
|image_caption = Halaman sampul cetakan ke-1
|image = Berkas:Masa Lalu Terjatuh ke Dalam Senyumanmu-1.jpg
|translator =
|followed_by =
}}
{{Judul miring}}
'''''Masa Lalu Terjatuh ke dalam Senyumanmu''''' adalah buku [[antologi]] [[puisi]] yang ditulis oleh [[Kedung Darma Romansha]] dan diterbitkan oleh Rumah Buku Yogyakarta. Peluncuran pertamanya dilakukan di ruang seminar [[Taman Budaya Yogyakarta]] tanggal 25 Februari 2018. Buku ini berisi 33
[[Suminto A. Sayuti]] yang memberikan catatan buku ini mengungkapkan jika puisi yang ditulis oleh Kedung pada dasarnya meneruskan tradisi yang sudah dibangun oleh para [[sastrawan]] terdahulu secara sistematis. Namun demikian, dapat dipahami jika hal itu memang dikehendaki secara sadar oleh Kedung agar para pembaca membangun interaksi berkelanjutan antara diri dan puisi yang tengah dihadapi. Puisi-puisi dalam antologi ini
== Tema puisi ==
Baris 43 ⟶ 44:
Suminto A. Sayuti yang memberikan catatan buku ini mengungkapkan jika puisi yang ditulis oleh Kedung pada dasarnya meneruskan tradisi yang sudah dibangun oleh para sastrawan terdahulu secara sistematis. Itu sah adanya. Seseorang boleh saja mengatakan jika Kedung secara sadar telah memosisikan para pendahulu sebagai “teks-teks parental”, yang darinya dia lantas membuka diri demi masuk ke dalam proses kreatif.''{{sfnp|Romansha|2018||p=x|ps=}}''
Sayuti beranggapan bahwa seseorang sering memerlukan situasi yang disebut ''anxiety of influence'' (kegelisahan pengaruh) melalui “salah-baca” dan “salah-tafsir”, yang disadari dan sudah dilakukan oleh para pendahulu, untuk memelihara keterjagaan kreativitasnya. Dalam konteks inilah, Kedung telah memilih dimensi kelampauan, “masa lalu” sebagai matriks utama keseluruhan puisi yang dihimpun dalam antologi ini, seperti tampak dalam pilihan judul antologi. Kelampauan yang digeluti habis-habisan olehnya, tanpa harus menariknya secara linear ke masa kini atau ke masa depan secara eksplisit dalam masing-masing puisi. Ini dikarenakan manusia hanya mampu mempertanyakannya secara [[Retoris|retorik]], ''“Masih adakah yang harus dibicarakan/selain kemurungan masa depan?/Lalu siapa yang telah menulisnya kemarin?”'' (puisi: ''Musim yang Tiba-
Namun demikian, dapat dipahami jika hal itu memang dikehendaki secara sadar oleh Kedung agar para pembaca membangun interaksi berkelanjutan antara diri dan puisi yang tengah dihadapi. Itulah sebabnya, Kedung pun menulis, ''“Begitulah puisi menangisi dirinya sendiri/seperti kau yang terbaring dalam ingatan yang mati''” (puisi: ''Spasi'').''{{sfnp|Romansha|2018||p=xi|ps=}}''
“''Masa lalu''” adalah kenangan yang tak mungkin kembali: kenangan yang hanya “''berjejalan di gerbong ingatanmu''” (puisi: ''Kereta Terakhir''), dan hanya “''meranggas dalam hatiku''” (puisi: ''September Gugur''). Inilah yang membuatnya sering menyakitkan, apalagi setelah menjadi sesuatu yang ''“terjatuh ke dalam senyumanmu”,'' bukan “''kepadaku''”. Memang ada upaya antara “''kau/aku''” untuk “''mencipta masa lalu''” (puisi: ''Dan Sunyi Berceracau Lewat Burung-Burung''), lalu “''menyimpan… di saku celana''” (puisi: ''Demi Waktu yang Berjatuhan di dalam Tubuhku''), “''seperti empat tahun lalu/kita pun basah mengingatnya''” (puisi: ''Mei yang Basah''). Namun, “''kenangan itu bocor''” (puisi: ''Kenangan yang Bocor''), atau malah “''tenggelam di jalan''” (puisi: ''Sehabis Hujan'') sia-sia! Ketika “''gerimis/kenangan menetes dari matamu''”, yang tersisa dan menyergap adalah “''sepi usia dalam senja''” (puisi: ''Seketika Gerimis'').''{{sfnp|Romansha|2018||p=xi|ps=}}''
Nukilan-nukilan tersebut menunjukkan bahwa Kedung sejatinya hendak mengekspresikan dan memaknai secara reflektif pengalaman personalnya, tetapi dengan tetap menyisakan ruang bagi siapa saja yang membacanya untuk melakukan transpersonalisasi diri ke dalam pengalaman personal kreator.<ref name=":3" /> Berdasarkan nukilan-nukilan tersebut, tampak pula bahwa “masa lalu” telah dimaknai sebagai "terminal keberangkatan" oleh dirinya.''{{sfnp|Romansha|2018||p=xi|ps=}}''
Pemberdayaan alusi, seperti tampak dalam penggunaan [[bahasa]], [[lagu]], [[parikan]], dan cerita yang berakar kepada budaya lokal asal Kedung, yaitu Indramayu, menandai dan menegaskan pengalaman personalnya itu: ''“Angin barat ngajar kitiran/angin kumbang ngajar layangan/wong mlarat dadi pikiran/kegembang dadi bayangan…/aih mak.../ana pribasane gabah wutah ning leleran/lakonana sabar lan nrima/wong sabar langka alane/malah dadi ning becike”'' (puisi: ''Ke Kotamu'' – untuk kawan-kawanku yang merantau ke Jakarta), ''“telembuk”'' (puisi: ''Telembuk''), atau rujukan terhadap nama ''“Windardi”'' (puisi: ''Ngundhuh Wohing Karma'').''{{sfnp|Romansha|2018||p=xi–xii|ps=}}''
Namun, ''“… pergi meninggalkan sesuatu yang kau sebut masa lalu”'' (puisi: ''Segelas Sunyi yang Dingin''), ke manakah sesungguhnya manusia pergi meninggalkan terminal keberangkatan itu, meninggalkan “masa lalu” itu, jika ternyata ''“tidak ada tempat berpulang bagi ingatan”'' karena ''“kita hanya menumpang di sini/singgah sebentar lantas pergi lagi''"? (puisi: ''Spasi''). Sementara itu, “masa lalu” tetap bertahan menjadi sesuatu ''“yang dingin”'' (puisi: ''Barangkali Ada yang Ingin Kau Tanyakan''), bahkan ''“masa lalu bangkit/dari tubuhmu/bulan-bulan redup/hari pudar pada musim yang lewat/dan waktu/meleleh di punggungmu”'' (puisi: ''Ngunduh Wohing Karma –'' diambil dari kisah Dewi Windardi/Windradi dan Resi Gautama).''{{sfnp|Romansha|2018||p=xii|ps=}}''
Pembaca juga diingatkan oleh Kedung jika kita ''“hidup bukan untuk masa silammu/karena kau bukan takdir kenanganku'' (puisi: ''Cinta yang Lupa Ingatan''), tetapi kenyataannya kenangan tetap merupakan sebuah ''“tempat segala kepalsuan/diciptakan",'' ibaratnya ''“seperti ciuman yang membekas dalam ingatan”'' (puisi: ''Puisi yang Lahir dari Cerita Konyol''), ''“yang'' ''memutih di rambut/lalu rontok dan jatuh ke tanah”'' (puisi: ''Kalau''), dan bersamaan dengannya ''“usia menyulap kita jadi dongeng/dan tahu, masa jasad kita/mendekat keranda juga/tandas dilahap cerita-cerita yang selalu sama”'' (puisi: ''Kepada D'').''{{sfnp|Romansha|2018||p=xii|ps=}}''
Oleh karena itu, di tengah ''“kendaraan
Dalam konteks itulah, proyeksi masa lalu sebagai "keberangkatan" sekaligus mengisyaratkan makna ''"''kepulangan"''.'' Ada hubungan dialektis antara keduanya. Kedung memang tidak menyertakan salah satu tembang lisan pesisiran yang mengisyaratkan hal itu: ''“inyong gemiyen ora ana, saiki dadi ana, mbesuk ora ana maning, padha bali maring rahmatullah”.'' Namun, makna tembang pesisiran tersebut juga menyelinap dalam sebagian puisi yang ada dalam antologi ini, seperti halnya puisi berikut.''{{sfnp|Romansha|2018||p=xiii|ps=}}''
Baris 63 ⟶ 64:
<blockquote>'''Pada Bulan April, Aku Duduk Menatapmu'''<br><br>''sudah lama kugendong tahun-tahun di punggungku''<br>''bila aku istirah''<br>''aku kunyah laparku''<br>''bersama waktu yang tumbuh di tubuhku''<br><br>''waktu menggelinding di setiap tikungan''<br>''aku seret tahun demi tahun dengan hati yang kosong''<br>''bentuk wajahmu yang mulai pudar''<br>''o, masa depan yang gaib''<br>''tangan-tangan ajaib''<br>''menggapaiku dalam kecemasan''<br><br>''kesedihan keluar dari pori-poriku''<br>''aku melihat wajah-wajah buruh meleleh disengat matahari''<br>''orang-orang berjalan miring''<br>''dan hari menjadi putih''<br>''lalu kulihat masa depan mengintipku''<br>''duduk menatap masa lalu''<br><br>''sejenak, aku ingin istirah di sini''<br>''menikmati segelas kopi''<br>''dan merampungkan setumpuk catatan''<br>''yang belum kulunaskan''<br>''namun takdir memaksaku''<br>''untuk segera berkemas dari rindu''<br>''mengusir hantu-hantu masa lalu''<br>''dan selekasnya pergi meninggalkan malam, bulan, dan gugusan kenangan''<br>''yang melayang-layang di kepalaku''<br><br>''Sanggar Suto, 2008–2012''{{sfnp|Romansha|2018||p=36–37|ps=}}</blockquote>
Lebih lanjut, Sayuti berpendapat jika suatu perjalanan ''“''kepulangan''”'' pasti memiliki awal dan akhir, ada terminal atau pelabuhan pemberangkatan dan kepulangan. Ada masa lalu yang ditinggalkan, masa kini yang dirambah, dan masa depan yang dituju atau dibayangkan. Jadi, penyair tidak lain adalah seorang pejalan, yakni pejalan yang menjejakan kakinya ''“dari Veteran sampai Juanda”'' (puisi: ''Fragmen Jakarta, Dari Veteran Sampai Juanda''), yang ''“selalu banyak kemungkinan dalam pilihan”,'' dan tetap yakin bahwa ''“hidup dan kematian sama-sama gaibnya/tetapi Tuhan memberkati kita/untuk meminjamkan
Akhirnya, jika benar hakikat puisi adalah menyairkan kehidupan, bagi Kedung sepertinya kehidupan yang telah, sedang, dan akan dirambah memang beresensikan “sebuah perjalanan”, meskipun judul antologi yang dipilih mengesankan suasana romantis:
Kemampuan Kedung melepaskan diri dari jeratan semacam itu menjadikan proyeksi dan [[dialektik]] makna perjalanan terkomunikasikan dalam dan melalui puisi-puisi yang berstruktur sederhana. Puisi-puisi dalam antologi ini mampu berbicara bahwa “perjalanan” itu pasti ada awal dan ada akhir, ada terminal atau pelabuhan pemberangkatan, dan ada pula terminal atau pelabuhan akhir. Ada masa lalu yang ditinggalkan, masa kini yang dirambah, dan masa depan yang dituju atau dibayangkan. Jadi, Kedung, seperti halnya penyair-penyair lain, tidak lain adalah seorang “pejalan budaya,” yakni pejalan yang sedang berupaya membangun lintasan kreatifnya sendiri yang idiosinkratik melalui puisi. Lintasan yang kini dibangunnya berpulang kepada dirinya sendiri, yaitu menulis lagi atau hanya puas sampai di sini.{{sfnp|Romansha|2018||p=xv–xvi|ps=}}
|