Masa Lalu Terjatuh ke dalam Senyumanmu: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
 
(4 revisi perantara oleh pengguna yang sama tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Orphan|date=Februari 2023}}
 
{{Infobox book
|name = Masa Lalu Terjatuh ke dalam Senyumanmu
Baris 25 ⟶ 24:
}}
{{Judul miring}}
'''''Masa Lalu Terjatuh ke dalam Senyumanmu''''' adalah buku [[antologi]] [[puisi]] yang ditulis oleh [[Kedung Darma Romansha]] dan diterbitkan oleh Rumah Buku Yogyakarta. Peluncuran pertamanya dilakukan di ruang seminar [[Taman Budaya Yogyakarta]] tanggal 25 Februari 2018. Buku ini berisi 33 [[puisi]] yang ditulis sepanjang tahun 2004–2017, yang diawali dengan judul ''Kereta Terakhir'' dan diakhiri dengan ''Kalau''. Tema di dalamnya meliputi persoalan sosial–politik, cinta, dan kuasa.
 
[[Suminto A. Sayuti]] yang memberikan catatan buku ini mengungkapkan jika puisi yang ditulis oleh Kedung pada dasarnya meneruskan tradisi yang sudah dibangun oleh para [[sastrawan]] terdahulu secara sistematis. Namun demikian, dapat dipahami jika hal itu memang dikehendaki secara sadar oleh Kedung agar para pembaca membangun interaksi berkelanjutan antara diri dan puisi yang tengah dihadapi. Puisi-puisi dalam antologi ini mengungkapkan bahwa setiap “perjalanan” itu pasti ada awal dan akhir, serta ada terminal atau pelabuhan pemberangkatan dan akhir. Ada masa lalu yang ditinggalkan, masa kini yang dirambah, dan masa depan yang dituju atau dibayangkan. Jadi, Kedung, seperti halnya penyair-penyair lain, berupaya membangun lintasan kreatifnya sendirikreativitasnya yang idiosinkratik melalui puisi.
 
== Tema puisi ==
Baris 65 ⟶ 64:
<blockquote>'''Pada Bulan April, Aku Duduk Menatapmu'''<br><br>''sudah lama kugendong tahun-tahun di punggungku''<br>''bila aku istirah''<br>''aku kunyah laparku''<br>''bersama waktu yang tumbuh di tubuhku''<br><br>''waktu menggelinding di setiap tikungan''<br>''aku seret tahun demi tahun dengan hati yang kosong''<br>''bentuk wajahmu yang mulai pudar''<br>''o, masa depan yang gaib''<br>''tangan-tangan ajaib''<br>''menggapaiku dalam kecemasan''<br><br>''kesedihan keluar dari pori-poriku''<br>''aku melihat wajah-wajah buruh meleleh disengat matahari''<br>''orang-orang berjalan miring''<br>''dan hari menjadi putih''<br>''lalu kulihat masa depan mengintipku''<br>''duduk menatap masa lalu''<br><br>''sejenak, aku ingin istirah di sini''<br>''menikmati segelas kopi''<br>''dan merampungkan setumpuk catatan''<br>''yang belum kulunaskan''<br>''namun takdir memaksaku''<br>''untuk segera berkemas dari rindu''<br>''mengusir hantu-hantu masa lalu''<br>''dan selekasnya pergi meninggalkan malam, bulan, dan gugusan kenangan''<br>''yang melayang-layang di kepalaku''<br><br>''Sanggar Suto, 2008–2012''{{sfnp|Romansha|2018||p=36–37|ps=}}</blockquote>
 
Lebih lanjut, Sayuti berpendapat jika suatu perjalanan ''“''kepulangan''”'' pasti memiliki awal dan akhir, ada terminal atau pelabuhan pemberangkatan dan kepulangan. Ada masa lalu yang ditinggalkan, masa kini yang dirambah, dan masa depan yang dituju atau dibayangkan. Jadi, penyair tidak lain adalah seorang pejalan, yakni pejalan yang menjejakan kakinya ''“dari Veteran sampai Juanda”'' (puisi: ''Fragmen Jakarta, Dari Veteran Sampai Juanda''), yang ''“selalu banyak kemungkinan dalam pilihan”,'' dan tetap yakin bahwa ''“hidup dan kematian sama-sama gaibnya/tetapi Tuhan memberkati kita/untuk meminjamkan tanggannyatangan-Nya/merumuskan dan menentukan jalan/di buku kita masing-masing.'' Itulah sebabnya, penyair memandang bahwa ''“perjalanan ini tidak biasa/bagi laki-laki yang biasa-biasa saja”.'' Hal ini dikarenakan ''“kau-aku sama-sama tak berdaya dan tak percaya/bahwa takdir punya rencana lain untuk kita/kita dipertemukan oleh ketidakmungkinan/sebab kewajaran hanya ada dalam pikiran”.{{sfnp|Romansha|2018||p=xiv–xv|ps=}}''
 
Akhirnya, jika benar hakikat puisi adalah menyairkan kehidupan, bagi Kedung sepertinya kehidupan yang telah, sedang, dan akan dirambah memang beresensikan “sebuah perjalanan”, meskipun judul antologi yang dipilih mengesankan suasana romantis: ''Masa Lalu Terjatuh ke dalam Senyumanmu.'' Tak masalah. Hal terpenting adalah makna “perjalanan” yang bertolak dari dimensi waktu dalam puisi-puisi yang dihimpun dalam antologi ini mampu diisyaratkan oleh [[diksi]] dan [[kolokasi]] yang tidak jatuh kepada kekenesan estetik semata,<ref name=":3">{{Cite web|title=Masa Lalu Melulu|url=https://basabasi.co/masa-lalu-melulu/|website=Basabasi|access-date=16 April 2022}}</ref> atau sebaliknya, tidak jatuh menjadi [[khotbah]] yang menggurui.{{sfnp|Romansha|2018||p=xv|ps=}}