Pemberontakan di Aceh: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Patria lupa (bicara | kontrib) Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
(46 revisi perantara oleh 9 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{For|konflik dengan Belanda|Perang Aceh}}
{{Infobox military conflict
| conflict
| partof = [[Separatisme di
| image
| image1 = Free Aceh Movement women soldiers.jpg
| image2 =}}
| image_size
| caption
| date
| place
| result
* [[Kesepakatan Helsinki]]
* Otonomi khusus diberikan untuk Aceh
* Pelucutan senjata GAM
* Berakhirnya klaim kemerdekaan GAM
* Keberangkatan pasukan non-organik Indonesia, menyisakan hanya 25.000 tentara di provinsi tersebut
* [[Aceh Monitoring Mission|Misi Pemantau Aceh]]
* [[Pemilihan umum Gubernur Aceh 2006|Pemilihan umum daerah diselenggarakan]]
| combatant1 = {{tree list}}
*{{flag|Indonesia}}
**{{flagicon image|Flag of the Indonesian National Armed Forces.svg}} [[Tentara Nasional Indonesia]]
**{{flagicon image|Flag of the Indonesian National Police.png}} [[Kepolisian Negara Republik Indonesia]]
{{tree list/end}}
| combatant2 = {{flagicon image|Flag of Free Aceh Movement.svg}} [[Gerakan Aceh Merdeka]]
<br />
| commander1 = {{flagdeco|Indonesia}} [[Soeharto]] (1976–1998)<br />{{flagdeco|Indonesia}} [[B. J. Habibie]] (1998–1999)<br />{{flagdeco|Indonesia}} [[Abdurrahman Wahid]] (1999–2001)<br />{{flagdeco|Indonesia}} [[Megawati Sukarnoputri]] (2001–2004)<br />{{flagdeco|Indonesia}} [[Susilo Bambang Yudhoyono]] (2004–2005){{br}}{{flagdeco|Indonesia}} [[Try Sutrisno]]{{br}}{{flagdeco|Indonesia}} [[Endriartono Sutarto]]{{br}}{{flagdeco|Indonesia}} [[Sutiyoso]]{{br}}{{flagdeco|Indonesia}} [[Bambang Darmono]]{{br}}{{flagdeco|Indonesia}} [[Da'i Bachtiar]]
| commander2 = {{flagicon image|Flag of Free Aceh Movement.svg}} [[Hasan di Tiro]]<br />{{flagicon image|Flag of Free Aceh Movement.svg}} [[Malik Mahmud]]<br/>{{flagicon image|Flag of Free Aceh Movement.svg}} [[Zaini Abdullah]]<br />{{flagicon image|Flag of Free Aceh Movement.svg}} [[Abdullah Syafi'i]]{{KIA}}<ref>[http://reliefweb.int/report/indonesia/indonesia-ocha-consolidated-situation-report-no-60 Indonesia – OCHA consolidated situation report No. 60 http://reliefweb.int/report/indonesia/indonesia-ocha-consolidated-situation-report-no-60#sthash.zrgPBcJj.dpuf] [[ReliefWeb]], 25 Januari 2002</ref><br />{{flagicon image|Flag of Free Aceh Movement.svg}} [[Muzakir Manaf]]<br />{{flagicon image|Flag of Free Aceh Movement.svg}} [[Sofyan Dawood]]<br />{{flagicon image|Flag of Free Aceh Movement.svg}} Ayah Muni{{KIA}}<ref>[http://www.thejakartapost.com/news/2001/05/30/tni-claims-have-shot-gam-commander.html TNI claims to have shot GAM commander] {{webarchive|url=https://web.archive.org/web/20150603133101/http://www.thejakartapost.com/news/2001/05/30/tni-claims-have-shot-gam-commander.html |date=3 Juni 2015 }} ''[[The Jakarta Post]]'', 30 Mei 2011</ref><br />{{flagicon image|Flag of Free Aceh Movement.svg}} [[Ishak Daud]]{{KIA}}<ref>{{Cite web|url=https://steemit.com/aceh/@harrysm07/wishing-ishak-daud-or-war-of-the-end-in-alue-nireh-f6841c1348bf|title=ISHAK DAUD, War of the End in Alue Nireh.|date=2018-12-02|website=steemit|language=en}}</ref>
| units1 =
| units2 =
| strength1 = {{flagdeco|Indonesia}} 12.000 (1990)<ref name="essex">[https://web.archive.org/web/20120121112118/http://privatewww.essex.ac.uk/~ksg/data/eacd_notes.pdf Uppsala conflict data expansion. Non-state actor information. Codebook] pp. 295–296</ref><br />{{flagdeco|Indonesia}} 30.000 (2001)<ref name="essex" /><br />{{flagicon|Indonesia}} 15.000 (2002)<ref name= REF1 /><br/>{{flagdeco|Indonesia}} 35.000<ref>[http://www.globalsecurity.org/military/world/para/aceh.htm Global Security – Free Aceh Movement]</ref>–50.000 (2003)<ref name= "essex"/>
| strength2 = {{flagicon image|Flag of Free Aceh Movement.svg|20px}} 25 (1976)<ref name=Ref2>Michael L.Ross (2007). ''[http://www.sscnet.ucla.edu/polisci/faculty/ross/ResourcesRebellion.pdf "Resources and Rebellion in Aceh , Indonesia"] {{webarchive|url=https://web.archive.org/web/20081030151630/http://www.sscnet.ucla.edu/polisci/faculty/ross/ResourcesRebellion.pdf |date=30 Oktober 2008 }}'' (PDF), pp. 6. The World Bank.</ref><br/>{{flagicon image|Flag of Free Aceh Movement.svg|20px}} 200 (1979–1989)<ref name=Ref2/><br/>{{flagicon image|Flag of Free Aceh Movement.svg|20px}} 750 (1991)<ref name= REF1 /><br/>{{flagicon image|Flag of Free Aceh Movement.svg|20px}} 15.000–27.000 (1999)<ref name=Ref2/><br/>{{flagicon image|Flag of Free Aceh Movement.svg|20px}} 3.000 (2005)<ref name= REF3 >[http://escolapau.uab.cat/img/programas/procesos/06anuarie.pdf ECP. Annuario 2006 de procesos de paz. Vicenç Fisas] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20160304022857/http://escolapau.uab.cat/img/programas/procesos/06anuarie.pdf |date=4 March 2016 }} pág. 75.</ref>
| casualties1 = {{Flagdeco|Indonesia}} Kurang dari 10 tewas<ref>{{Cite book|chapter-url=https://www.jstor.org/stable/10.7249/j.ctt5hhsjk.47|jstor=10.7249/j.ctt5hhsjk.47|chapter=Indonesia (Aceh), 1976–2005|last1=Paul|first1=Christopher|last2=Clarke|first2=Colin P.|last3=Grill|first3=Beth|last4=Dunigan|first4=Molly|title=Paths to Victory|year=2013|pages=403–414|publisher=RAND Corporation|isbn=9780833081094}}</ref>
|
Total: 15.000 total tewas<ref name="BBC_4690293">{{cite web |date= 17 Juli 2005|url = http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/4690293.stm|title = Indonesia agrees Aceh peace deal|work = [[BBC News]]| access-date = 11 Oktober 2008 }}</ref>
| notes
| campaignbox
}}
'''Pemberontakan di Aceh'''
== Latar belakang ==
[[File:Aceh in Indonesia.svg|thumb|300px|Lokasi Aceh di Indonesia]]
Ada perbedaan budaya dan agama antara Aceh dan daerah lain di Indonesia. Bentuk [[Islam]] yang lebih konservatif dianut di Aceh dibandingkan daerah lain di Indonesia. Kebijakan [[sekuler]] yang bersifat umum pada rezim [[Soeharto]] [[Orde Baru (Indonesia)|Orde Baru]] (1965–1998) khususnya tidak populer di Aceh karena banyak orang yang membenci kebijakan pemerintah pusat yang mempromosikan persatuan dan kesatuan 'Budaya Indonesia'.<ref>{{Cite web|title=Indonesia: The War In Aceh – Summary and Recommendations|url=https://www.hrw.org/legacy/reports/2001/aceh/indaceh0801.htm|website=www.hrw.org|access-date=13 Mei 2020}}</ref> Lebih jauh lagi, mengingat letak provinsi ini yang berada di ujung utara Indonesia, terdapat perasaan yang tersebar luas di provinsi ini bahwa para pemimpin di wilayah yang jauh dari Jakarta tidak memahami permasalahan Aceh dan kurang atau tidak mempunyai simpati terhadap kebutuhan dan adat istiadat setempat di Aceh.<ref>{{Cite web|title=CNN.com – Aceh: A timeline of insurgency – 19 Mei 2003|url=https://edition.cnn.com/2003/WORLD/asiapcf/southeast/05/19/aceh.timeline/|website=edition.cnn.com|access-date=13 Mei 2020}}</ref>
== Garis waktu ==
=== Tahap pertama ===
[[Berkas:Hasan di Tiro.jpg|kiri|jmpl|231x231px|Dr. [[Hasan di Tiro|Hasan Muhammad di Tiro]]]]
Kecenderungan
Pada tahap ini, jumlah
* Teungku [[Hasan di Tiro]]: ''Wali Negara'', Menteri Pertahanan, dan
* Dr.
*
*
* Dr.
* Dr. [[Zaini Abdullah]] : Menteri Kesehatan
* Dr.
* Dr.
*
*
*
[[Berkas:Teuku Daud Beureueh.jpg|thumb|right|upright|Teungku Daud Beureueh]]
Kalangan menengah dan rakyat jelata pernah bertempur dalam [[Darul Islam (Indonesia)|Pemberontakan Darul Islam]] tahun 1953–1959.<ref name=Schulz_p14/> Banyak dari mereka adalah orang-orang lanjut usia yang tetap setia kepada bekas Aceh. gubernur militer dan pemimpin pemberontakan Darul Islam di Aceh [[Daud Beureueh]].<ref name="Aspinall_Islam_64">{{harvp|Aspinall|2009|p=63}}</ref> Tokoh yang paling menonjol dalam kelompok ini adalah Teungku Ilyas Leube, seorang ulama terkenal yang pernah menjadi pemimpin pemberontakan Darul Islam.<ref name="Aspinall_Islam_64"/> Beberapa anggota Darul Islam kemungkinan memiliki hubungan dengan Di Tiro melalui ikatan keluarga atau daerah, namun kesetiaan mereka terutama diberikan kepada Beureueh.<ref name="Aspinall_Islam_64"/> Orang-orang ini memberikan pengetahuan militer, pengetahuan lokal, dan keterampilan logistik yang yang tidak dimiliki oleh para pemimpin muda terpelajar.<ref name=Aspinall_Islam_64/>
Pada akhir tahun 1979, tindakan penindasan yang dilakukan Indonesia telah menghancurkan GAM—para pemimpinnya diasingkan, dipenjarakan, atau dibunuh; pengikutnya dibubarkan dan didorong ke bawah tanah.<ref name=Schulz_p4>{{harvp|Schulze|2004|p=4}}</ref> Para pemimpin seperti di Tiro, Zaini Abdullah (Menteri Kesehatan GAM), Malik Mahmud (Menteri Negara GAM), dan Dr. Husaini M. Hasan (Menteri Pendidikan GAM) telah melarikan diri ke luar negeri dan kabinet GAM yang asli tidak lagi berfungsi.<ref>{{harvp|Schulze|2004|p=11}}</ref>
=== Tahap kedua ===
Pada tahun 1985, di Tiro mendapatkan dukungan Libya untuk GAM—memanfaatkan kebijakan [[Muammar Gaddafi]] yang mendukung pemberontakan nasionalis melalui apa yang disebut Mathaba Melawan Imperialisme, Rasisme, Zionisme dan Fasisme.<ref name=Aspinall_Islam_105>{{harvp|Aspinall|2009|p=105}}</ref> Tidak jelas apakah Libya kemudian mendanai GAM, namun yang jelas Libya menyediakan tempat perlindungan di mana anggota GAM dapat menerima pelatihan militer yang sangat dibutuhkan.<ref name=Aspinall_Islam_105/> Ada perbedaan pendapat mengenai jumlah pejuang yang dilatih oleh Libya selama periode 1986 hingga 1989 atau 1990.<ref name=Aspinall_Islam_105/> Perekrut GAM menyatakan bahwa ada sekitar 1.000 hingga 2.000 orang, sementara laporan pers yang diambil dari laporan militer Indonesia menyatakan bahwa jumlah mereka berjumlah 600 orang. hingga 800.<ref name=Aspinall_Islam_105/> Di antara para pemimpin GAM yang bergabung pada fase ini adalah Sofyan Dawood (yang kemudian menjadi komandan GAM [[Pasai|Pasè]], Aceh Utara) dan Ishak Daud (yang menjadi juru bicara GAM [[Peureulak]], Aceh Timur).<ref>{{harvp|Schulze|2004|pp=15–16}}</ref>
Insiden pada tahap kedua dimulai pada tahun 1989 setelah kembalinya para peserta pelatihan dari Libya.<ref name=Aspinall_Islam_110>{{harvp|Aspinall|2009|p=110}}</ref> Operasi yang dilakukan GAM meliputi perampasan senjata, penyerangan terhadap pos polisi dan militer, pembakaran dan pembunuhan yang ditargetkan terhadap personel polisi dan militer, informan pemerintah dan individu lainnya.<ref name=Aspinall_Islam_110/>
Meskipun gagal mendapatkan dukungan luas, tindakan kelompok ini menyebabkan pemerintah Indonesia melakukan tindakan represif. Periode antara tahun 1989 dan 1998 dikenal sebagai era [[Operasi militer Indonesia di Aceh 1990-1998|"Daerah Operasi Militer" (DOM)]] ketika militer Indonesia meningkatkan upaya pemberantasan pemberontakannya. tindakan.<ref name=Schulz_p4/> Tindakan ini, meskipun secara taktis berhasil menghancurkan GAM sebagai kekuatan gerilya, namun mengasingkan masyarakat Aceh setempat yang membantu GAM membangun kembali dirinya ketika militer Indonesia hampir ditarik seluruhnya dari Aceh atas perintah presiden [[B. J. Habibie|Habibie]] pada akhir tahun 1998.<ref>Leonard Sebastian, "Realpolitik: Indonesia's Use of Military Force", 2006, Institute of Southeast Asian Studies</ref> Komandan penting GAM terbunuh (Komandan Distrik Pasè [[Yusuf Ali]] dan Panglima Senior GAM [[Keuchik Umar]]), ditangkap ([[Ligadinsyah|Ligadinsyah Ibrahim]]) atau melarikan diri ([[Robert (GAM)|Robert]], [[Arjuna (GAM)|Arjuna]] dan Daud Kandang).<ref>{{harvp|Aspinall|2009|p=113}}</ref>
=== Tahap ketiga ===
[[Berkas:Free Aceh Movement women soldiers.jpg|jmpl|250px|Tentara Wanita dari Gerakan Aceh Merdeka dengan Panglima GAM [[Abdullah Syafi'i (GAM)|Abdullah Syafi'i]]
[[File:AcehConflictMap.png|thumb|Peta Kehadiran Gerakan Aceh Merdeka (1998–2001)]]
Pada tahun 1999, terjadi kekacauan di [[Jawa]] dan pemerintah pusat yang tidak efektif karena jatuhnya [[Soeharto]] memberikan keuntungan bagi [[Gerakan Aceh Merdeka]] dan mengakibatkan pemberontakan tahap kedua, kali ini dengan dukungan yang besar dari masyarakat Aceh.<ref>Miller, Michelle Ann. op. cit.</ref> Pada tahun 1999, penarikan pasukan diumumkan, namun situasi keamanan yang memburuk menyebabkan masuknya kembali lebih banyak tentara. Jumlah pasukan diyakini meningkat selama masa jabatan Presiden [[Megawati Soekarnoputri]] (2001–2004) menjadi sekitar 15.000 pada pertengahan tahun 2002. GAM mampu menguasai 70 persen pedesaan di seluruh Aceh.<ref>{{cite news|newspaper=The Indonesian Observer|date=2 Desember 1999}}</ref>
Tahun 1999 juga merupakan tahun dimulainya proses dialog pertama antara Pemerintah Indonesia dan GAM.<ref>{{Cite book|title = Conflict Management and Dispute Settlement in East Asia|last1 = Amer|first1 = Ramses|publisher = Ashgate Publishing, Ltd.|year = 2011|isbn = 978-1409419976|pages = 87|last2 = Zou |first2 = Keyuan}}</ref> Proses ini diprakarsai oleh [[Pusat Dialog Kemanusiaan]] (HD) sebuah organisasi diplomasi swasta yang memfasilitasi pembicaraan damai antara kedua belah pihak hingga tahun 2003.<ref name=":0">{{Cite journal|url = http://www.eastwestcenter.org/fileadmin/stored/pdfs/PS001.pdf?q=kebangkitan-aceh|title = The Aceh Peace Process: Why it Failed|last1 = Aspinall|first1 = Edward|journal = Policy Studies |volume=1|last2 = Crouch|first2 = Harold|publisher = East-West Center Washington|isbn = 1-932728-01-5|year = 2003|pages = 18–20}}</ref>
Selama fase ini, terdapat dua periode penghentian permusuhan singkat yang ditengahi oleh HD: "[https://web.archive.org/web/20151117023926/http://www.hdcentre.org/fileadmin/user_upload/Our_work/Peacemaking/Aceh_Indonesia/Supporting_documents/Joint-Understanding-for-a-Humanitarian-Pause-12-May-2000.pdf Humanitarian Pause]"<ref name=":0" /><ref>{{Cite web|title = SECRETARY-GENERAL WELCOMES "HUMANITARIAN PAUSE" AGREEMENT BETWEEN INDONESIAN GOVERNMENT, FREE ACEH MOVEMENT |url = https://www.un.org/press/en/2000/20000512.sgsm7394.doc.html|website = www.un.org|access-date = 14 Oktober 2015}}</ref> pada tahun 2000 dan [http://peacemaker.un.org/indonesia-cessationhostilities2002 "Cessation of Hostilities Agreement]" (COHA). COHA ditandatangani pada bulan Desember 2002. Penerapan Jeda Kemanusiaan dan COHA menghasilkan berkurangnya bentrokan bersenjata dan kekerasan di Aceh.<ref>{{Cite web|title = Military operations in Aceh to start soon|url = http://www.thejakartapost.com/news/2003/05/07/military-operations-aceh-start-soon.html|website = www.thejakartapost.com|access-date = 2015-10-14|url-status = dead|archive-url = https://web.archive.org/web/20151117033043/http://www.thejakartapost.com/news/2003/05/07/military-operations-aceh-start-soon.html|archive-date = 17 November 2015|df = dmy-all}}</ref> COHA berakhir pada bulan Mei 2003 ketika pemerintah Indonesia mendeklarasikan “darurat militer” di Aceh dan mengumumkan bahwa mereka ingin menghancurkan GAM untuk selamanya.<ref>{{harvp|Aspinall|2005|p=vii}}</ref >
<!-- Deleted image removed: [[Berkas:Operasi militer di Aceh Screen-Shot-5884.jpg|thumb|Tentara Indonesia [[Cadillac Gage Commando|V150 Commando]] dalam Operasi Darurat Militer Aceh tahun 2003]] -->Tindakan keras keamanan pada tahun 2001 dan 2002 mengakibatkan ribuan warga sipil tewas. Sepanjang konflik diperkirakan 15.000 orang telah terbunuh. Pemerintah melancarkan [[Operasi militer Indonesia di Aceh 2003-2004|sebuah serangan]] dan [[keadaan darurat]] diumumkan di Provinsi tersebut. Selama periode ini, GAM mengalami cacat parah dengan komandannya Abdullah Syafei terbunuh dalam penyergapan pemerintah pada bulan Januari 2002, sementara berbagai komandan daerah seperti Tengku Jamaika dan Ishak Daud juga terbunuh. Menurut pengakuan GAM sendiri, GAM kehilangan 50% kekuatannya selama serangan pemerintah pada tahun 2003–2005. Pemberontakan masih berlangsung ketika [[Gempa bumi Samudra Hindia 2004|bencana tsunami tahun 2004]] melanda provinsi tersebut. Pada bulan November 2003, darurat militer diperpanjang selama enam bulan berikutnya. Menurut laporan [[Human Rights Watch]],<ref>[http://hrw.org/reports/2003/indonesia1203/5.htm#_Toc58915047 Human Rights Watch]</ref> militer Indonesia melakukan [[pelanggaran hak asasi manusia]] secara luas selama invasi dan pendudukan, dengan lebih dari 100.000 orang mengungsi dalam tujuh bulan pertama darurat militer dan pembunuhan di luar proses hukum merupakan hal biasa.
=== Kesepakatan damai dan pilkada pertama ===
Setelah [[Gempa bumi Samudra Hindia 2004|tsunami dahsyat]] pada bulan Desember 2004, GAM mendeklarasikan gencatan senjata sepihak, dan anggota komunitas internasional menegaskan kembali perlunya menyelesaikan konflik tersebut. Dari sekian banyak kisah proses negosiasi, salah satunya dari pihak Indonesia terdapat dalam buku yang ditulis oleh negosiator utama Indonesia, Hamid Awaludin.<ref>{{harvp|Awaludin|2009}}</ref> Penjelasan berbeda ditulis oleh penasihat GAM, Damien Kingsbury: '''Perdamaian di Aceh: Kisah Pribadi Proses Perdamaian Aceh''<ref name="Kingsbury 2006 15">{{harvp|Kingsbury|2006|p=15}}</ref> Meskipun ada gencatan senjata sepihak yang dilakukan GAM, TNI terus melakukan serangan terhadap personel dan posisi GAM. Karena adanya gerakan separatis di wilayah tersebut, pemerintah Indonesia menerapkan pembatasan akses terhadap pers dan pekerja bantuan. Namun setelah tsunami, pemerintah Indonesia membuka wilayah tersebut untuk menerima bantuan internasional.<ref>{{cite web |url=http://www.asiapacific.ca/analysis/pubs/pdfs/commentary/cac43.pdf |title=Archived copy |access-date=16 Maret 2008 |url-status=dead |archive-url=https://web.archive.org/web/20080228013211/http://www.asiapacific.ca/analysis/pubs/pdfs/commentary/cac43.pdf |archive-date=28 Februari 2008 }}</ref> Tsunami menarik perhatian internasional terhadap konflik tersebut. Upaya perdamaian sebelumnya telah gagal, namun karena sejumlah alasan, termasuk tsunami, ketidakmampuan kedua belah pihak untuk memenangkan konflik secara militer dan, terutama, keinginan Presiden [[Susilo Bambang Yudhoyono]] untuk menjamin perdamaian di Indonesia, sebuah perdamaian. kesepakatan dicapai pada tahun 2005 setelah 29 tahun perang. Indonesia pasca-[[Soeharto]] dan periode reformasi demokrasi liberal, serta perubahan dalam militer Indonesia, membantu menciptakan lingkungan yang lebih mendukung perundingan perdamaian. Peran Presiden [[Susilo Bambang Yudhoyono]] dan Wakil Presiden [[Jusuf Kalla]] yang baru terpilih sangatlah penting.<ref>Lihat {{harvp|Awaludin|2009}}.</ref> Pada saat yang sama, kepemimpinan GAM sedang mempertimbangkan kembali pilihan-pilihan yang ada, dan [[Militer Indonesia|Militer Indonesia]] telah menempatkan gerakan pemberontak di bawah tekanan yang signifikan sehingga mendorong GAM untuk menerima hasil yang tidak berarti kemerdekaan penuh.<ref>[https://web.archive.org/web/20060815224658/http://atimes.com/atimes/Southeast_Asia/HH15Ae01.html Asia Times Online :: Southeast Asia news – A happy, peaceful anniversary in Aceh<!-- Bot generated title -->]</ref> Pembicaraan damai difasilitasi oleh [[Crisis Management Initiative]] dan dipimpin oleh mantan Presiden Finlandia [[Martti Ahtisaari]]. Perjanjian perdamaian yang dihasilkan<ref>[http://www.aceh-mm.org/download/english/Helsinki%20MoU.pdf Text of the MOU] {{webarchive|url=https://web.archive.org/web/20130418023930/http://www.aceh-mm.org/download/english/Helsinki%20MoU.pdf |date=18 April 2013 }} (PDF format)</ref> ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 di [[Helsinki]]. Berdasarkan perjanjian tersebut, Aceh akan menerima otonomi khusus di bawah Republik [[Indonesia]], dan pasukan pemerintah non-organik (yaitu non-asli Aceh) akan ditarik dari provinsi tersebut (hanya menyisakan 25.000 tentara) sebagai imbalan atas perlucutan senjata GAM. Sebagai bagian dari perjanjian tersebut, [[Uni Eropa]] mengirimkan 300 [[misi pemantauan Aceh|pemantau]]. Misi mereka berakhir pada 15 Desember 2006, setelah pemilihan kepala daerah.
[[Berkas:Perjanjian damai helsinki.jpg|thumb|Perjanjian untuk mengakhiri Pemberontakan di Aceh ditandatangani di Helsinki (2005)]]
Aceh telah diberikan otonomi yang lebih luas melalui Peraturan Pemerintah Aceh yang mencakup hak-hak khusus yang disepakati pada tahun 2002 serta hak masyarakat Aceh untuk mendirikan partai politik lokal untuk mewakili kepentingan mereka. Namun, para aktivis hak asasi manusia menggarisbawahi bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di provinsi ini perlu diatasi.<ref>{{Cite web|url=http://hrw.org/english/docs/2005/09/19/indone11764.htm|title = Next steps for Aceh after the peace pact|date = 26 Agustus 2005}}</ref>
== Kemungkinan penyebab konflik ==
=== Sejarah ===
Kawasan ini pertama kali jatuh ke tangan kekuasaan Belanda akibat [[ekspedisi Belanda di pantai barat Sumatera]] pada tahun 1831.
Akademis dari [[Universitas Nasional Australia|ANU]] Edward Aspinall berpendapat bahwa pengalaman sejarah Aceh selama [[Revolusi Nasional Indonesia]] menyebabkan munculnya separatisme Aceh. Peristiwa masa lalu menyebabkan perkembangan selanjutnya. Dia berargumen bahwa pemberontakan Aceh di bawah pemerintahan Indonesia terjadi berdasarkan jalur sejarah Aceh. Hal ini bisa ditelusuri ke konflik kepentingan dan peristiwa-peristiwa tertentu dalam sejarah Aceh, terutama otonomi yang didapat oleh para [[ulama]] Aceh selama revolusi nasional dan kehilangan yang dramatis setelah kemerdekaan Indonesia.<ref>{{cite book|last=Aspinall|title=Islam and Nation|page=47}}</ref>
Aspinall berpendapat lebih lanjut bahwa ada dua tonggak jalan sejara berkembangnya separatisme Aceh:
:
:
Argumen oleh Aspinall di atas bertentangan dengan pandangan ulama sebelumnya. Sebelumnya pada 1998, Geoffrey Robinson berpendapat bahwa kekalahan dan penyerahan pemberontakan yang dipimpin Daud Beureueh pada 1962 diikuti oleh sekitar 15 tahun periode di mana tidak ada masalah keamanan atau politik khusus di Aceh terhadap pemerintah pusat.<ref>{{cite journal|last=Robinson|first=Geoffrey|title=Rawan is as Rawan Does: The Origins of Disorder in New Order Aceh|url=https://archive.org/details/sim_indonesia_1998-10_66/page/130|journal=Indonesia|year=1998|month=October|issue=66|page=130}}</ref> Tim Kell juga menunjukkan bahwa mantan pemimpin-pemimpin pemberontakan Darul Islam 1953-1962 telah dengan niat bergabung dengan [[Angkatan Bersenjata Republik Indonesia]] dalam [[Pembantaian di Indonesia 1965–1966|operasi penumpasan berdarah]] [[Partai Komunis Indonesia]] (PKI) pada tahun 1965 dan 1966.<ref>{{
=== Agama ===
Baris 112 ⟶ 117:
Faktor penyebab keagamaan lain bagi separatisme di Aceh adalah perlakuan yang didapat kelompok Muslim dan partai politik di Aceh oleh administrasi ''[[Orde Baru]]'' rezim Presiden [[Soeharto]]. Pertama, adanya penggabungan paksa semua partai politik yang mewakili kepentingan Islam ke dalam ''[[Partai Persatuan Pembangunan]]'' (PPP) pada tahun [[1973]]. Anggota dan simpatisan partai politik Islam di Aceh mengalamiberbagai tingkat pelecehan.<ref>{{cite book|last=Aspinall|title=Islam and Nation|page=52}}</ref> Walaupun Aceh mempunyai status wilayah khusus, Aceh tidak diizinkan untuk menerapkan ''syariah'' atau untuk mengintegrasikan sekolah-sekolah agama Islam (''[[madrasah]]'') dengan sekolah-sekolah nasional untuk menjadi sistem pendidikan terpadu, kedua proposal Aceh ini diabaikan oleh pemerintah pusat.<ref>{{cite book|last=Morris|title=Islam and Politics in Aceh|pages=276–281}}</ref>
Meskipun Indonesia adalah negara bermayoritas penduduk Muslim, dengan membangun adanya "konsepsi diri" di Aceh akan perannya dalam Islam dan dengan adanya sikap bermusuhan ''Orde Baru'' terhadap pengaruh sosial dalam bentuk-bentuk Islam di Aceh, GAM mampu membingkai perjuangan mereka melawan pemerintah Indonesia sebagai "''prang sabi''" ("perang suci" atau "[[jihad]]" menurut Islam). Dalam banyak cara yang sama, istilah ini banyak digunakan dalam "Perang Kafir" (atau [[Perang Aceh]]) melawan Belanda tahun 1873-1913. Indikasi tentang ini adalah peminjaman istilah-istilan dalam buku ''[[Hikayat Prang Sabi]]'' ("Cerita Perang Suci"), sebuah kumpulan cerita Aceh yang digunakan untuk menginspirasi perlawanan terhadap Belanda, oleh beberapa simpatisan GAM sebagai propaganda melawan pemerintah Indonesia. Sebelum gelombang kedua pemberontakan oleh GAM pada akhir 1980-an, telah diamati bahwa beberapa orang telah memaksa anak-anak sekolah Aceh untuk malah menyanyikan lagu ''Hikayat Prang Sabi'', daripada lagu nasional Indonesia, ''[[Indonesia Raya]]''.<ref
Kendati hal di atas, terlihat bahwa pada masa setelah [[kejatuhan Soeharto|jatuhnya Soeharto]] pada tahun 1998, agama Islam sebagai faktor pendorong separatisme Aceh mulai mereda, bahkan setelah terjadi proliferasi munculnya serikat mahasiswa Muslim dan kelompok-kelompok ormas Islam lainnya di Aceh. Telah dicatat bahwa kelompok-kelompok baru yang muncul tersebut jarang menyerukan pelaksanaan ''syariah'' di Aceh. Sebaliknya, mereka menekankan perlunya [[referendum]] kemerdekaan Aceh dan menyoroti [[pelanggaran HAM]] yang dilakukan oleh [[Angkatan Bersenjata Republik Indonesia]] (TNI) di Aceh.<ref>{{cite book|title=ibid|page=197}}</ref> Demikian pula, posisi GAM pada ''syariah'' juga bergeser. Ketika pemerintah pusat mengeluarkan [[Daerah istimewa|UU Nomor 44/1999]] tentang Otonomi Aceh yang mencakup ketentuan pelaksanaan ''syariah'' di Aceh, GAM malah mengutuk langkah pemerintah Indonesia tersebut sebagai tidak relevan dan mungkin upaya untuk menipu Aceh atau menggambarkan mereka ke dunia luar sebagai fanatik agama.<ref>{{cite book|title=ibid|page=194}}</ref> Meskipun mengubah sikap terhadap ''syariah'', posisi GAM tidaklah jelas. Hal ini dicatat oleh ''[[International Crisis Group]]'' (ICG) bahwa antara tahun 1999 dan 2001, terjadi beberapa kasus secara periodik di mana komandan militer lokal GAM memaksakan penerapan hukum ''syariah'' di masyarakat Aceh di mana mereka memiliki pengaruh.
Baris 118 ⟶ 123:
=== Keluhan ekonomi ===
Masalah utama yang berkaitan dengan masalah ekonomi Aceh adalah terkait pendapatan yang diperoleh dari industri minyak dan gas di Aceh. Robinson berpendapat bahwa manajemen ''Orde Baru'', eksploitasi sumber daya alam Aceh dan pembagian yang tidak adil dari sumber daya tersebut adalah akar penyebab pemberontakan Aceh.<ref>{{
Robinson mencatat bahwa meskipun beberapa pengusaha bisnis yang kecil di Aceh telah mendapat manfaat dari masuknya modal asing selama ''booming'' LNG, ada banyak yang merasa dirugikan saat kalah dari orang lain dengan koneksi politik yang lebih kuat ke pemerintah pusat, terutama pemimpin GAM sendiri, yaitu [[Hasan di Tiro]]. Hasan di Tiro adalah salah satu pihak yang dirugikan ketika ia mengajukan tawaran kontrak [[pipa minyak]] untuk ''[[Mobil Oil]]'' Indonesia pada tahun 1974, namun dikalahkan oleh sebuah perusahaan [[Amerika Serikat]].<ref>{{
:
Walaupun demikian, Robinson mencatat bahwa meskipun faktor ini menjelaskan sebagian alasan munculnya pemberontakan GAM pada pertengahan 1970-an, hal ini tidak menjelaskan munculnya kembali GAM pada tahun 1989 dan tingkat kekerasan yang tidak pernah dilihat sebelumnya sejak saat itu.<ref>{{
=== Peran GAM dalam memprovokasi keluhan ===
Pendiri GAM, Hasan di Tiro dan rekan-rekan pemimpin GAM-nya yang ada di pengasingan di [[Swedia]] berperan penting dalam memberikan pesan yang mudah dimengerti tentang kebutuhan dan hak penentuan nasib sendiri untuk Aceh. Oleh karena itu, argumen tentang "perlunya kemerdekaan" Aceh ditargetkan oleh GAM pada penduduk domestik Aceh, sedangkan argumen "hak untuk merdeka" ditargetkan pada komunitas internasional untuk memenangkan dukungan diplomatik terhadap GAM.
Dalam propaganda tersebut, [[Kesultanan Aceh]] yang telah lama bubar berperan sebagai aktor yang seolah "masih ada" di panggung internasional dengan penekanan pada hubungan masa lalu Kesultanan Aceh dengan negara-negara Eropa, seperti misi diplomatik, perjanjian, serta pernyataan pengakuan kedaulatan Kesultanan Aceh pada masa lampau.<ref name=Aspinall_Islam_76>{{
Dalam nada yang sama, negara Indonesia telah dilabeli oleh propaganda GAM sebagai kedok dominasi Jawa. Dalam deskripsi di Tiro sendiri:
:"''"Indonesia" was a fraud. A cloak to cover up Javanese colonialism. Since the world begun [sic], there never was a people, much less a nation, in our part of the world by that name.''"<ref>{{
Upaya untuk menyebarkan propaganda GAM banyak mengandalkan dari mulut ke mulut. Elizabeth Drexler (akademis Universitas Pennsylvania) telah mengamati bahwa masyarakat Aceh dan pendukung GAM sering mengulangi klaim yang sama yang dibuat dalam propaganda GAM yang mereka telah datangi melalui modus penyebaran ini.<ref>{{
Namun hasil dari upaya propaganda tersebut cukup berbeda-beda. Eric Morris ketika mewawancarai pendukung GAM tahun 1983 untuk tesisnya mencatat bahwa, daripada untuk kemerdekaan, para pendukung GAM lebih tertarik baik pada sebuah [[negara Islam]] Indonesia atau bagi Aceh untuk diperlakukan lebih adil oleh pemerintah pusat.<ref>{{
== Kemungkinan faktor konflik berkepanjangan ==
=== Daya tahan jaringan GAM ===
Banyak anggota GAM adalah entah anggota pemberontakan [[Darul Islam]] atau anak-anak dari mereka. Aspinall mencatat bahwa hubungan kekerabatan, antara ayah dan anak serta antara saudara, telah menjadi penting dalam membentuk solidaritas GAM sebagai sebuah organisasi.<ref name=Aspinall_Islam_91>{{
Aspinall juga mengakui kuatnya ketahanan GAM ada pada strukturnya yang seperti sel pada tingkat yang lebih rendah. Tingkat di bawah komandan militer regional (atau ''panglima wilâyah'') adalah satuan yang diperintah oleh komandan junior (''panglima muda'') dan bahkan komandan tingkat yang lebih rendah (''Panglima Sagoe'' dan ''Ulee Sagoe'') yang tidak mengetahui identitas rekan-rekan mereka di daerah tetangga dan hanya mengenal mereka yang langsung berpangkat di atas mereka.<ref>{{
=== Pelanggaran HAM oleh militer Indonesia ===
Robinson mengatakan bahwa penggunaan teror oleh [[militer Indonesia]] dalam aksi kontra-pemberontakan melawan GAM dalam periode rezim ''Orde Baru'' pertengahan 1990 (dalam tahap kedua pemberontakan) telah menyebabkan meluasnya dukungan dari masyarakat Aceh yang terpengaruh oleh kebijakan militer Indonesia tersebut, dan mendorong mereka untuk menjadi lebih simpatik dan mendukung GAM.<ref name=Robinson_140>{{cite journal|last=Robinson|title=Rawan is as Rawan Does|journal=Indonesia|page=140}}</ref> Ia menilai bahwa metode militer tersebut malah memiliki efek meningkatkan tingkat kekerasan, mengganggu masyarakat Aceh, dan luka yang ditimbulkan terbukti sulit untuk disembuhkan.<ref name=Robinson_140/> ''[[Amnesty International]]'' mencatat:
''Amnesty International'' mendokumentasikan penggunaan penangkapan sewenang-wenang, penahanan di luar legalitas, eksekusi, perkosaan dan pembumi-hangusan sebagai karakter operasi militer Indonesia terhadap GAM sejak tahun 1990. Di antara tindakan yang lebih mengerikan diamati oleh ''Amnesty International'' adalah pembuangan publik mayat-mayat korban eksekusi (atau ''[[Penembakan Misterius]]'') yang dilakukan sebagai peringatan untuk orang Aceh untuk menahan diri dari bergabung atau mendukung GAM. Berikut ini adalah deskripsi tindakan tersebut oleh ''Amnesty International'':
Taktik TNI lain yang dipertanyakan adalah aktivitas yang disebut "operasi sipil-militer" di mana warga sipil dipaksa untuk berpartisipasi dalam intelijen dan operasi keamanan. Sebuah contoh terkenal dari hal ini adalah ''[[Operasi Pagar Betis]]'' seperti yang dijelaskan oleh ''Amnesty International'' berikut:
=== Kepentingan militer Indonesia di Aceh ===
Baris 167 ⟶ 172:
* Perlindungan liar: Oknum militer Indonesia mengelola "usaha perlindungan" liar untuk mengekstrak pembayaran besar dari perusahaan-perusahaan besar seperti [[Mobil Oil]] dan PT [[Arun NGL]] di industri minyak dan gas, serta perusahaan perkebunan yang beroperasi di Aceh. Sebagai imbalan untuk pembayaran liar tersebut, militer akan mengerahkan personelnya untuk "mengamankan" properti dan daerah operasi perusahaan tersebut.
* [[Perikanan]]: nelayan lokal Aceh dipaksa untuk menjual tangkapan mereka kepada oknum militer dengan harga jauh di bawah harga pasar. Oknum militer kemudian menjual ikan untuk bisnis lokal dengan harga yang jauh lebih tinggi. Oknum dari [[Angkatan Laut Indonesia]] mungkin juga mencegat kapal-kapal nelayan untuk memeras pembayaran dari nelayan.
* [[Kopi]]: Serupa dengan nelayan, penanam kopi dipaksa menjual biji kopi kepada oknum militer dengan harga murah yang kemudian menjualnya dengan harga tinggi.<ref>{{Cite web|title=The Free Aceh Movement (GAM): Anatomy of a Separatist Organization|url=https://www.eastwestcenter.org/publications/free-aceh-movement-gam-anatomy-separatist-organization|date=11 Maret 2004|website=East-West Center {{!}} www.eastwestcenter.org|language=en|access-date=13 Mei 2020}}</ref>
== Kemungkinan faktor resolusi damai ==
=== Melemahnya posisi militer GAM ===
Dinyatakannya status [[darurat militer]] di Aceh oleh pemerintah Indonesia pada Mei 2003 menghasilkan perlawanan terpadu oleh militer Indonesia terhadap GAM. ICG melaporkan bahwa pada pertengahan 2004, jalur pasokan dan komunikasi GAM terganggu secara serius.<ref name=ICG_2005>{{cite journal|last=International Crisis Group|title=Aceh: A New Chance for Peace|journal=Crisis Group Asia Briefing|date=15
Menurut [[Endriartono Sutarto]] yang saat itu menjabat Komandan Jenderal ABRI, pasukan keamanan Indonesia berhasil mengurangi jumlah pasukan GAM sebanyak 9.593 orang — yang diduga mencakup anggota yang menyerahkan diri, ditangkap, dan tewas dalam baku tembak.<ref>{{cite news|newspaper=Kompas|date=10
Akan tetapi, Aspinall mencatat bahwa sebagian besar petinggi GAM yang ia wawancarai, terutama petugas lapangan, bersikeras bahwa mereka mengakui [[Kesepakatan Helsinki|MoU Helsinki]] bukan karena militer mereka semakin lemah.<ref name=Aspinall_Islam_231>{{
=== Tekanan internasional ===
Baris 184 ⟶ 189:
Para petinggi GAM juga menilai bahwa selama dialog damai Helsinki tidak ada komunitas internasional yang mendukung aspirasi kemerdekaan Aceh.<ref name=Aspinall_Islam_234>{{cite book|last=Aspinall|title=Islam and Nation|page=234}}</ref> Tentang hal ini, Malik berkata:
Saat menjelaskan kepada para komandan GAM mengenai penerimaan tawaran pemerintahan sendiri alih-alih melanjutkan perjuangan kemerdekaan, para petinggi GAM menegaskan bahwa jika mereka terus memaksa menuntut kemerdekaan setelah tsunami 2004, mereka akan terancam dikucilkan oleh komunitas internasional.<ref>{{
=== Pergantian kepemimpinan Indonesia 2004 ===
Pada Oktober 2004, Presiden [[Susilo Bambang Yudhoyono]] (SBY) dan Wakil Presiden [[Jusuf Kalla]] dilantik setelah memenangkan [[pemilihan umum presiden Indonesia 2004|pemilu presiden 2004]], pemilu langsung pertama di Indonesia. Aspinall berpendapat bahwa sebelum pemilu langsung ini, ada keseimbangan posisi antara pejabat pemerintahan Indonesia, yaitu antara pejabat yang percaya bahwa kemenangan militer mustahil tercapai dan negosiasi sangat diperlukan, dengan pihak pejabat garis keras yang percaya bahwa GAM dapat sepenuhnya dilenyapkan. Terpilihnya SBY dan Kalla mendorong kebijakan pemerintah untuk condong ke posisi pertama.<ref name=Aspinall_Peace_13-14>{{
Aspinall menunjukkan bahwa ketika SBY masih menjabat sebagai menteri dalam kabinet Presiden [[Megawati Soekarnoputri]], ia mendukung "pendekatan terintegrasi" berupa penyertaan upaya militer dengan negosiasi terhadap GAM.<ref name=
Kingsbury, penasihat resmi untuk GAM, juga menyebut terpilihnya SBY dan Kalla tahun 2004 sebagai prawarsa upaya damai yang berakhir dengan perjanjian resmi.<ref
== Laporan ''Time To Face The Past'' ==
Pada April 2013, ''[[Amnesty International]]'' meluncurkan laporan ''Time To Face The Past'' ("Saatnya Menghadapi Masa Lalu") yang isinya pernyataan mereka bahwa "sebagian besar korban dan kerabatnya sudah lama dijauhkan dari kebenaran, keadilan, dan pemulihan, dan Indonesia telah melanggar kewajibannya menurut hukum internasional. Mereka masih menunggu otoritas lokal dan nasional Indonesia untuk mengakui dan memperbaiki apa yang telah mereka dan keluarganya alami pada masa konflik." Dalam perumusan laporannya, ''Amnesty International'' menggunakan hasil penelitiannya saat berkunjung ke Aceh pada Mei 2012. Pada kunjungan tersebut, perwakilan organisasi tersebut mewawancarai [[Lembaga swadaya masyarakat|lembawa swadaya masyarakat]] (LSM), [[organisasi masyarakat]], [[pengacara]], anggota dewan, pejabat pemerintah setempat, [[jurnalis]], dan korban dan perwakilan mereka mengenai situasi di Aceh pada saat wawancara dilaksanakan. Korban menyatakan apresiasi mereka terhadap proses perdamaian dan meningkatnya keamanan di provinsi Aceh, tetapi juga menyatakan frustrasi atas tidak adanya tindakan dari pemerintah Indonesia sesuai [[nota kesepahaman]] 2005 yang mencantumkan rencana pembentukan [[Pengadilan Hak Asasi Manusia]] di Aceh dan [[Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh]].<ref>{{cite web|title=Time
Selain itu, laporan ''Time To Face The Past'' berisi peringatan potensi munculnya kekerasan baru di Aceh jika pemerintah Indonesia tetap stagnan dalam pelaksanaan komitmennya yang tercantum pada MoU 2005. Wakil direktur [[Asia Pasifik]] ''Amnesty International'' Isabelle Arradon menjelaskan saat peluncuran laporan tersebut: "Situasi yang sedang terjadi adalah munculnya benih-benih ketidakpuasan yang bisa tumbuh menjadi aksi kekerasan baru". Per 19 April 2013, pemerintah Indonesia belum menanggapi laporan ini. Juru bicara presiden SBY memberitahukan [[BBC]] bahwa ia belum bisa memberi komentar karena belum membaca laporan tersebut.
== Lihat
* [[Gempa bumi Samudra Hindia 2004]]
* [[Bambang Darmono]]
* [[The Black Road]]
== Referensi ==
=== Kutipan ===
{{Reflist|24em}}
=== Referensi umum ===
{{refbegin}}
* {{cite book |last=Aspinall |first=Edward |year=2005 |title=The Helsinki Agreement: A More Promising Basis for Peace in Aceh? |publisher=East-West Center Washington |location=Washington |isbn=978-1-932728-39-2 }}
* {{cite journal |last=Aspinall |first=Edward |year=2007 |title=The construction of grievance: natural resources and identity in a separatist conflict |url=https://archive.org/details/sim_journal-of-conflict-resolution_2007-12_51_6/page/950 |journal=[[Journal of Conflict Resolution]] |volume=51 |issue=6 |pages=950–972 |doi=10.1177/0022002707307120 |s2cid=145677680 |hdl=1885/29992 |hdl-access=free }}
* {{cite book |last=Aspinall |first=Edward |year=2009 |title=Islam and Nation: Separatist Rebellion in Aceh, Indonesia |publisher=National University of Singapore Press |location=Singapore |isbn=978-9971-69-485-2 }}
* {{cite book |last=Awaludin |first=Hamid |year=2009 |title=Peace in Aceh: Notes on the Peace Process between the Republic of Indonesia and the Aceh Freedom Movement (GAM) in Helsinki |others=Translated by Tim Scott |publisher=[[Centre for Strategic and International Studies (Indonesia)|Centre for Strategic and International Studies]] |location=Jakarta |isbn=978-979-1295-11-6 }}
* {{cite book |last=Dawood |first=Dayan |author2=Syafrizal |year=1989 |chapter=Aceh: the LNG boom and enclave development |title=Unity and Diversity: Regional Economic Development in Indonesia Since 1970 |editor=Hal Hall |location=Singapore |publisher=Oxford University Press |isbn=9780195885637 }}
* {{cite book |last=Drexler |first=Elizabeth |year=2008 |title=Aceh, Indonesia: Securing the Insecure State |url=https://archive.org/details/acehindonesiasec0000drex |publisher=University of Pennsylvania Press |location=Philadelphia, PA |isbn=978-0-8122-4057-3 }}
* {{cite book |last=Kell |first=Tim |year=1995 |title=The Roots of Acehnese Rebellion 1989–1992 |publisher=Cornell Modern Indonesia Project |location=Ithaca, NY |isbn=978-6028397179 }}
* {{cite book |last=Kingsbury |first=Damien |year=2006 |title=Peace in Aceh: a Personal Account of the Helsinki Peace Process |publisher=Equinox |location=Jakarta |isbn=979-3780-25-8 }}
* {{cite book |last=Miller |first=Michelle Ann |year=2008 |title=Rebellion and Reform in Indonesia. Jakarta's Security and Autonomy Policies in Aceh |location=London |publisher=Routledge |isbn=978-0-415-45467-4 }}
* {{cite thesis |last=Morris |first=Eric Eugene |year=1983 |title=Islam and Politics in Aceh: a Study of Center-Periphery Relations in Indonesia |degree=[[Doctor of Philosophy|Ph.D.]] |publisher=Cornell University|location=Ithaca, NY }}
* {{cite journal |last=Robinson |first=Geoffrey |date=1998 |title=''Rawan'' is as ''Rawan'' does: the origins of disorder in New Order Aceh |url=https://archive.org/details/sim_indonesia_1998-10_66/page/126 |journal=Indonesia |volume=66 |issue=66 |pages=126–157 |jstor=3351450 |doi=10.2307/3351450 |hdl=1813/54152 |hdl-access=free }}
* {{cite book |last=Schulze |first=Kirsten E. |year=2004 |title=The Free Aceh Movement (GAM): Anatomy of a Separatist Organization |url=https://archive.org/details/freeacehmovement0002schu |publisher=East-West Center Washington |location=Washington |isbn=1-932728-03-1 }}
* {{cite book |last=Sulaiman |first=M. Isa |year=2006 |chapter=From autonomy to periphery |title=Verandah of Violence: The Background of the Aceh Problem |editor=Anthony Reid |location=Singapore |publisher=Singapore University Press }}
* {{cite book |last=di Tiro |first=Hasan M. |year=1984 |title=The Price of Freedom: The Unfinished Diary |publisher=Information Department, National Liberation Front Acheh Sumatara |location=Norsborg, Sweden }}
{{refend}}
== Pranala luar ==
* [
* [http://alertnet.org/db/crisisprofiles/ID_PEA.htm?v=in_detail Aceh Peace] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20100616111329/http://alertnet.org/db/crisisprofiles/ID_PEA.htm?v=in_detail |date=
* [http://peacemaker.un.org/node/1099 Full text of the Agreement between the Government of Indonesia and the Free Aceh Movement, 18 August 2005], UN Peacemaker
* [http://peacemaker.un.org/node/1105 Full text of the Cessation of Hostilities Agreement Between the Government of Indonesia and the Free Aceh Movement, 9
* [https://web.archive.org/web/20151117023926/http://www.hdcentre.org/fileadmin/user_upload/Our_work/Peacemaking/Aceh_Indonesia/Supporting_documents/Joint-Understanding-for-a-Humanitarian-Pause-12-May-2000.pdf Full text of the Joint Understanding on Humanitarian Pause for Aceh], HD Centre
{{
[[Kategori:Konflik Aceh]]
|