Long March Siliwangi: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika
Salah keterangan di kata "dari dan ke" harusnya "ke dan dari"
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(26 revisi perantara oleh 14 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
'''Long March Siliwangi''' adalah peristiwa pindahnya Tentara Nasional Indonesia dari Jawa Tengah dan Yogyakarta ke Jawa Barat pada 4 Februari 1949 sebagai konsekuensi dari perjanjian Renville yang merugikan Indonesia dan diikuti pelanggaran oleh Belanda dengan melakukan [[Agresi Militer Belanda II]] dengan menguasai Yogyakarta. Jenderal Sudirman segera mengeluarkan Instruksi Panglima Besar No. 1 sesuai perintah (Perintah Siasat No. 1) agar [[pasukan Divisi Siliwangi]] kembali ke Jawa Barat, setelah menyelesaikan pertempuran dengan PKI Muso.<ref>[http://www.siliwangi.mil.id/Heroik ''Heroik''.] Diakses dari situs berita Siliwangi.mil.id pada 5 Januari 2014</ref>
PASUKAN SILIWANGI HIJRAH dan LONGMARCH
 
== Pertempuran Ciseupan ==
A. KODAM III Divisi Siliwangi
{{rapikanseperti|Agresi_Militer_Belanda_II}}
Divisi adalah satuan tempur militer terbesar dengan kekuatan penuh secara
{{referensi}}
operasional memiliki kesatuan-kesatuan tempur, berikut unsur pendukungnya,
Setelah pergerakan terjadi, segera meletus bentrokan di Ciseupan Desa Cibuluh Kecamatan Tanjungsiang. Pada 19 Desember 1948 Belanda melancarkan Agresi Militer II. Ibu kota RI di Yogyakarta ketika itu direbut Belanda. Soekarno-Hatta beserta pemimpin Indonesia lainnya ditawan. Jendral Soedirman beserta seluruh kekuatan angkatan perang masuk hutan menjalankan perang gerilya melawan Belanda. Sementara Pasukan Siliwangi yang hijrah ke Yogyakarta segera melakukan long march, kembali menuju Jawa Barat pada 20 Desember 1948. Umumnya mereka menuju ke daerah-daerah tempat mereka berjuang sebelum hijrah. Batalyon Engkong Darsono menuju daerah gerilya Jakarta, Bogor, Bekasi dan Cianjur. Batalyon Lukas menuju Soeparjo menduduki daerah gerilya Ciasem.Dengan kembalinya Siliwangi ke daerah Jawa Barat, maka serangan-serangan kepada kedudukan Belanda makin meningkat. Pertempuran besar-besaran terjadi di daerah Ciseupan Kecamatan Tanjungsiang. Bagaimana kronologis terjadi pertempuran tersebut?
yaitu bantuan tempur dan bantuan administrasi, yang berada dalam garis komando
Divisi tersebut, sehingga tidak perlu mendatangkan dari komando lain di luar
Divisi.
 
Ketika itu, Kamis 4 Februari 1949 di Desa Rancamanggung kedatangan 1.500 prajurit RI dari Batalyon 3001 Kiansantang yang ketika itu dipimpin oleh Mayor Engkong Darsono yang hijrah dari Yogyakarta menuju Bandung. Karena tidak tertampung semua di Desa Rancamanggung maka sebagian lagi tentara disebar ke daerah lain termasuk ke Kampung Ciseupan Desa Cibuluh tepatnya ke kampung Pasirsereh.Demi kelancaran dan keamanan, pimpinan Batalyon membuat surat. Satu ditujukan kepada Kepala Desa Cibuluh dan satunya lagi ditujukan ke Pimpinan Markas Besar Tentara Belanda yang berada di Cidongkol Subang, sedangkan yang terdekat markas Belanda berada di Kampung Cikaramas dan Gardusayang. Isi surat tersebut untuk meminta izin bahwa tentara RI akan menginap di Kampung Ciseupan dan Pasirsereh. Juga minta bantuan keamanan dari pihak Belanda dalam perjalanan menuju Bandung. Pihak Belanda pun mengizinkan menginap dengan syarat semua senjata harus diikat.
Divisi Siliwangi adalah kesatuan tempur TNI yang membawahi wilayah
KODAM III Jawa Barat yang terdiri dari 5 Brigade dan masing masing Brigade
memiliki satuan Resimen, namun dalam perkembangannya menjadi Divisi,
Siliwangi kemudian membawahi langsung Batalyon sebagai satuan tempurnya.
 
5 Februari 1949 sekitar pukul 04.00 tentara Belanda tiba-tiba datang ke Kampung Ciseupan 1 dari arah Bolang. Secara paksa tentara Belanda tersebut mengumpulkan pemuda dan masyarakat Ciseupan 1 untuk menunjukan lokasi pimpinan tentara RI di Pasirsereh. Dengan rasa takut masyarakat terpaksa mengantarkan ke lokasi. Sampai di kampung Ciseupan 2, sekitar pukul 05.00 pagi sehabis salat Subuh seorang bapak-bapak bernama Sanusi yang hendak pulang ke rumah dipanggil tentara Belanda. Sanusi mungkin tidak mengerti bahasa atau mungkin tidak mendengar ada yang memanggilnya, sehingga ia tetap saja berjalan. Ketika dia hendak membuka pintu rumahnya, pada waktu itu pula tentara Belanda menembakan senjatanya yang pada akhirnya Sanusi tewas. “Tewasnya Pak Sanusi merupakan korban pertama dari pihak sipil,” ungkap Ahmad.
Masa awal terbentuknya, Divisi Siliwangi terdiri dari 5 Brigade yaitu :
 
Akhirnya Belanda melanjutkan perjalanannya menuju Kampung Pasirsereh dengan tujuan untuk menyergap tentara RI yang berada di kampung tersebut. Tentara Belanda datang secara tiba-tiba sedangkan tentara RI sedang istirahat, karena perlawanan tidak seimbang akhirnya tentara RI mundur ke daerah Rancamanggung. Walaupun ketika itu senjata banyak yang dirampas oleh pihak Belanda. Setelah mengadakan penyergapan ke lokasi, yaitu kampung Pasirsereh ternyata tidak menemukan tentara RI. Maka tentara Belanda kembali ke Kampung Ciseupan 2.Kemudian setelah itu prajurit RI yang berada di Ciseupan melapor kepada Mayor Engkong Darsono yang berada di daerah Rancamanggung bahwa di Ciseupan ada tentara Belanda. Setelah mendapat laporan tersebut, maka tentara RI dikerahkan ke Ciseupan.Sekitar jam 08.00 pagi tentara RI sudah berada di lokasi bernama Asem, sekarang sebelah utara Monumen Perjuangan ’45. Tentara RI melancarkan serangannya ke tentara Belanda yang berada di bawah, yaitu di sekitar kolam ikan aki Emar Ciseupan 2.
a. Brigade I Titrayasa di bawah pimpinan Letnan Kolonel Brata Menggala dan
Letnan Kolonel Dr. Erie Sadewa sebagai kepala staf. Daerah tanggung
jawabnya meliputi seluruh Karesidenan Banten dan sebagian Jakarta Barat.
 
Diceritakan ulang oleh Ahmad, pertempuran terjadi sangat sengit. Tentara RI terus mendesak tentara Belanda. Hingga akhirnya Belanda mundur ke lokasi pesawahan sampai kampung Ciseupan 1. Kabarnya tentara Belanda berlarian tanpa membawa senjata dan tanpa berpakaian lengkap.Dalam pertempuran tersebut pihak sipil yang tertembak dan meninggal yaitu Usup, Damong dan Handa serta dua ekor kerbau tertembak mati. Setelah pertempuran berakhir diadakan penyisiran dan pengecekan oleh anak buah Mayor Engkong Darsono dan masyarakat. Ternyata lima orang tentara RI gugur dan tiga orang luka-luka, 41 tentara Belanda mati satu diantaranya berpangkat mayor, lima letnan dan 35 prajurit. Selain itu ditemukan pula dua buah pucuk mortar berikut 16 peluru dan 48 buah pucuk senjata jenis LE dan Stegnum dapat dirampas oleh tentara RI.Tentara Belanda yang berada di Ciseupan 1 menguhubungi markas besar. Tidak lama kemudian datang pesawat dengan terbang sangat rendah dengan menurunkan surat kepada tentara Belanda yang di Ciseupan satu tersebut. Isi surat itu berupa instruksi agar segara pihak Belanda yang berada di Ciseupan mundur ke markas besar di Gardusayang, Cisalak.
b. Brigade II Surya Kencana di bawah pimpinan Letnan Kolonel Kawilarang
yang bergerilya di daerah Bogor sampai dengan Cianjur Selatan.
 
Pukul 17.00 pada hari yang sama, dengan memaksa rakyat untuk mengangkut korban dari pihak Belanda serta senjatanya ke Gardusayang.Sementara, di pihak tentara RI setelah selesai pertempuran merasa tidak aman. Akhirnya tentara RI membalikan lagi rute perjalanannya menuju Rancamanggung menuju daerah Ciburuan, Jingkang, Sumedang lalu menuju Subang.Seperti itulah cerita singkat pertempuran di Ciseupan. Untuk mengenang peristiwa dan kegigihan para pejuang Indonesia maka didirinkanlah monumen atau tugu yang diberi nama “Monumen Perjuangan 45 di Ciseupan Desa Cibuluh Kecamatan Tanjungsiang-Subang. Di monumen tersebut terdapat patung Mayor Engkong Darsono yang dikenang sebagai pimpinan pasukan pertempuran tersebut dan patung Harimau yang melambangkan Pasukan Batalyon 3001 Kiansantang (Siliwangi).
c. Brigade III Kiansantang dengan Komandan Letnan Kolonel Sadikin yang
== Referensi ==
bergerilya di daerah Jakarta Timur sampai dengan Bandung Utara.
{{reflist|1}}
 
d. Brigade IV Guntur adalah gabungan dari Guntur I dan Guntur II dengan
komandan Letnan Kolonel Daan Yahya. Daerah gerilyanya meliputi Bandung
Selatan, Pringan Timur, Bandung Utara sampai sebelah timur.
 
e. Brigade V Sunan Gunung Jati yang sebelumnya adalah organisasi Divisi
Banyumas dengan Komandan Letnan Kolonel Abimanyu. Daerah gerilyanya
adalah Karesidenan Cirebon.
 
 
Pembentukan Divisi Siliwangi berawal dari pembentukan Badan Keamanan
Rakyat (BKR) yang diserukan oleh Presiden Soekarno pada masa awal
kemerdekaan dalam keputusan tanggal 30 Agustus 1945. Awal pembentukan
BKR di Jawa Barat adalah pada 27 Agustus 1945 dari pertemuan antara Residen
Priangan, R. Puradireja dengan R. Sanusi Hardjadinata yang menghasilkan BKR
Priangan di bawah pimpinan Arudji Kartawinata dan Omon Abdurachman sebagai
wakilnya.
 
Pertemuan selanjutnya dilaksanakan di Gedung Sirnagalih, Bandung
yang dihadiri oleh hampir seluruh mantan anggota Pembela Tanah Air (PETA)
Priangan, Heiho, dan Koninlijke Nedherland Indhisce Leger (KNIL) dengan hasil
pembentukan BKR Kabupaten Bandung dipimpin oleh R.Sukanda
Bratamanggala, BKR Kota Bandung dipimpin oleh Suhari dan BKR Cimahi dipimpin oleh Gandawidjaya.
 
Pembentukan BKR Jawa Barat kemudian berlanjut
dibeberapa daerah antara lain :
 
1. BKR kota Jakarta dengan tokoh pendirinya adalah Latief
Hendraningrat, Moefreini Mukmin, Priatna, S.Kusno, Daan Jahja,
Taswin, Daan Mogot, Sujono Yudadibrata, Kemal Idris dan
Sadikin.
 
2. BKR Karesidenan Jakarta, dengan tokoh pendirinya adalah
Sumarma, Arjana Prawiraatmaja, Achjar Arif, Halim, Marwoto,
dan Amir.
 
3. BKR Kersidenan Banten dengan tokoh pendirinya, K.H.Achmad
Chotib, K.H.Sjam’un, E.Taryana, Djajarukmantara, K.H.Djunaedi
dan H.Abdullah.
 
4. BKR Karesidenan Bogor dengan tokoh pendirinya, Gatot
Mangkupradja, Eddy Sukardi, Basuni, D. Kosasih, Husein
Sastranegara, A.Kosasih, Dule Abdullah.
 
5. BKR Karesidenan Priangan dengan tokoh pendirinya, Arudji
Kartawinata, Omon Abdurachman, Sjamsu, Abdullah, Suriadarma,
Sukanda Bratamanggala, Hidajat, Supari, Sumarsono,
Abdurachman.
 
6. BKR Karesidenan Cirebon dengan tokoh pendirinya, Asikin,
Sumarsono, Rukman, Effendy dan Sjafei.
 
Di tengah proses pembentukan BKR Jawa Barat ini, muncul seorang mantan
pimpinan Seinendan daerah Cigelereng bersama 200 anggotanya yang kemudian
menggabungkan diri dengan BKR. Pimpinan Seinendan ini yang kemudian diangkat menjadi penasihat BKR Priangan.
 
Perkembangan BKR
sebagai Badan Keamanan Rakyat dan Badan Penolong Korban Perang selanjutnya
berdasarkan Maklumat Presiden Sukarno tanggal 5 Oktober 1945 diubah atau
dibentuk menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR)..
 
Pembentukan TKR di Jawa Barat dipelopori oleh Didi Kartasasmita,
seorang mantan Opsir KNIL yang pada September 1945 mendatangi Perdana Mentri Republik Indonesia menawarkan diri membantu perjuangan RI. Sebagai seorang perwira lulusan Koninlijke Military Academy (KMA) Breda berpangkat Letnan
satu, Didi Kartasasmita disambut baik oleh Amir Syarifudin karena dirasa akan
sangat membantu dalam perjuangan kemerdekaan.
Berdasarkan persetujuan Presiden, Didi Kartasasmita kemudian membuat maklumat yang berisi pernyataan
bagi para mantan opsir KNIL untuk berdiri di belakang RI yang berisi antara lain
kurang lebih tentang pembubaran tentara KNIL sejak 9 Maret 1942 oleh Panglima
Tertinggi Tentara Hindia-Belanda, Letnan Jendral Ter Poorten, dan dengan
pembubaran itu, maka secara otomatis terbebas dari sumpah setia prajurit.
 
Pertimbangan mengenai keamanan Republik yang tengah terancam dengan
keberadaan Nedherland Indhisce Civil Administration (NICA) dan kesadaran akan
gerakan kemerdekaan Indonesia, maka para mantan opsir KNIL ini menyatakan
berdiri di belakang Republik Indonesia dan siap menerima segala perintah untuk
menegakkan dan dan menjaga keamaan Republik Indonesia.
 
Maklumat ini kemudian diikuti dengan surat dukungan yang datang dari
para opsir junior, mantan taruna KMA Bandung dan bekas opsir cadangan kepada
Didi Kartasasmita pada 8 Oktober 1945.
 
Petikan surat yang intinya menyatakan
dukungan dan bersedia bergabung dengan para perwira opsir senior berisi sebagai
berikut :
 
"Kami bekas Cadettan dan bekas Aspirant-Reserve Officieren Tentara Hindia
Belanda menerangkan, bahwa kami menyetujui pendirian para opsir kami
sebagai tertua dari kami dan berdiri sepenuhnya dibelakang mereka"
 
Bandung, 8 Oktober 1945
 
-A.H.Nasution
 
-R.A.Badjoeri M.M.
 
-R. Kartakoesoema.
 
-R.S.Sasraprawira.
 
Dukungan itu dilanjutkan dengan langkah Didi Kartasasmita menghubungi
sejumlah mantan opsir KNIL dari KMA Bandung diantaranya A.H.Nasution,
Rahmat Kartakusuma, Daan Jahja, Singgih, Arudji Kartawinata, Asikin
Judakusumah, KH Sam’un, Husein Sastranegara dan Sastraprawira untuk
berkumpul di Tasikmalaya pada 20 Oktober 1945 dalam usaha pembentukan TKR
Jawa Barat.
 
Pertemuan di Tasikmalaya itu berjalan lancar menghasilkan TKR
yang terbagi dalam komandemen-komandemen yang membagi Jawa dalam 3
komandemen dan Jawa Barat masuk dalam bagian komandemen I Jawa Barat
dengan susunan :
 
1. Panglima Komandemen : Mayor Jendral Didi Kartasasmita
 
2. Kepala Staff : Kolonel A.H.Nasution
 
3. Staff Komandemen : Letnan Kolonel Kartakusumah, Mayor Akil, Mayor
Kadir, Mayor Suryo dan Kapten Satari
 
Baru pada tanggal 20 Mei 1946 bertepatan dengan hari Kebangkitan
Nasional formasi itu kemudian dilebur dalam satu divisi dengan nama Divisi
Siliwangi.
 
Tanggal 20 Mei ini kemudian diperingati sebagai hari jadi Divisi
Siliwangi. Tiga hari kemudian tanggal 23 Mei dalam rapat seluruh komandan
Jawa dan Madura A.H.Nasution terpilih sebagai Panglima Divisi Siliwangi
dengan pangkat Jendral Mayor.
 
Formasi ini menjadi susunan awal terbentuknya
Divisi Siliwangi seperti yang disebutkan diawal dan pada perkembangannya
formasi ini terjadi beberapa perubahan hingga menjelang hijrahnya Siliwangi.
 
Masa Agresi Militer Belanda I dimulai pada 21 Juli 1947.14 Jawa Barat
diserang dengan Strategi Ujung (speerpunter strategie) oleh Divisi B pimpinan
Mayjen S.De Waal dan Divisi C pimpinan Mayjen H.J.J.W. Durt Britt, kedua
divisi ini mengandalkan mobilitas tinggi dengan dukungan pasukan artileri dan
bantuan udara..
 
Pasukan Belanda berhasil menerobos pertahanan TNI di sektor Bandung
Timur, setelah dilakukan pergantian pertahanan oleh Divisi II/Sunan Gunung Jati dari Jawa Tengah.
 
Gempuran dalam
empat hari pertama Belanda berhasil menduduki kota Cirebon. Akhir Agustus 1947 diketahui
hanya Brigade I Banten yang masih utuh, sementara Brigade II Surya Kencana,
Brigade III Kiansantang, Brigade IV Guntur dan Brigade V Sunan Gunung Jati
bergeser dan melakukan pertahanan di pegunungan-pegunungan.
 
Serangan Belanda yang mampu menerobos pertahanan TNI
akhirnya memberikan pelajaran baru, bahwa dengan strategi pertahanan linier
dalam kondisi pasukan dan persenjataan yang kurang memadai hanya akan
membuang tenaga karena TNI saat itu memang masih jauh secara kemampuan
dan persenjataan bila dibandingkan dengan Belanda yang militernya lebih maju.
 
Akhir Agustus 1947 pasukan Siliwangi mulai menyusun kembali kekuatan dan
kesatuannya dengan memanfaatkan kondisi alam atau medan pertempuran yang
berupa pegunungan-pegunungan di mana pasukan TNI lebih mengenal dan
menguasai medan dibanding pasukan Belanda. TNI menyusun kesatuannya dalam
kantong-kantong pertahanan gerilya dengan mengikutsertakan unsur-unsur
Pemerintahan RI dan rakyat yang dikenal dengan Perang Rakyat Semesta atau
perang Gerilya TNI..
 
Serangan gerilya ditujukan pada sektor-sektor penting
seperti jalan-jalan penghubung, jalur logistik, pos Belanda. Jalur Tasikmalaya- Garut, Ciamis-Kuningan, Bogor-Sukabumi oleh Belanda dinyatakan sebagai
“Jalur Maut” karena serangan gerilya TNI.
 
Kesatuan Siliwangi yang sudah mulai terkondisikan berhasil mengadakan
pertemuan pada November 1947 di Taraju, Tasikmalaya Selatan yang dihadiri :
Kolonel A.H.Nasution, Kolonel Hidayat, Letkol Sutoko, Letkol H.Y.Mokoginta,
Mayor Rambe, Kapten D.Suprayogi, Kapten Sakadipura, Kapten Kresno, Letkol
Eddy Sukardi, Mayor Sidik Brotosewoyo, Mayor Askari, Kapten Hadi, Kapten Saragin, Kapten Jerman PR Wirawinata, Kapten S.L.Tobing, Lettu Tatang
Soemantri, Kapten Sugilar, Lettu Ace Kapten Zen dan Lettu Abas Herwan.
 
Pertemuan tersebut guna menyampaikan instruksi kepada
setiap kesatuan dari Divisi Siliwangi yang berisi tentang pembentukan kantong- kantong pertahanan bagi kesatuan TNI. Kantong pertahanan ini kemudian
dinamakan Wehrkreise. yang merata dibentuk di semua distrik. Untuk itu
pasukan disebar dan dikembalikan ke daerah asalnya. Membentuk organisasi
wehrkreise, sub wehrkreise gerilya sebagai pemerintah militer yang dinamakan
Komando Distrik Militer (KDM) dan kader-kader desa. Tiap-tiap wehrkreise
harus menegakkan terus de facto RI secara gerilya.
 
Strategi perang gerilya ini dalam prakteknya mampu mengacaukan barisan
pertahanan Belanda, bahkan gerakan anti gerilya yang dilancarkan Belanda tak
mampu membendung serangan gerilya TNI.
 
Di Jawa Barat perang gerilya oleh
pasukan Siliwangi mampu melumpuhkan usaha perkebunan yang merupakan
sektor ekonomi penting bagi Belanda hingga para pengusaha partikelir menuntut
jaminan keamanan dari pihak Belanda.
 
Kondisi ini kemudian membawa Indonesia dan Belanda dalam sebuah perundingan di bawah pengawasan Komisi Tiga Negara (KTN) yang dibentuk oleh PBB pada 27 Agustus 1947. KTN ini terdiri
dari negara Australia sebagai wakil pihak Indonesia, Belgia sebagai wakil pihak
Belanda dan Amerika Serikat sebagai penengah yang dipilih oleh kedua negara.
Diplomat KTN ini terdiri dari Dr. Frank P Graham, Presiden Universitas Nort
Carolina, Richard C Kirby dan Paul Van Zaeland..
 
Perundingan dilakukan di atas kapal perang Amerika U.S.Renville yang
kemudian melahirkan Perjanjian Renvile 17 Januari 1947 dimana perjanjian itu
membawa dampak besar bagi pemerintahan RI yaitu jatuhnya kabinet Amir
Syarifudin dan juga bagi TNI yaitu dengan menarik pasukan ke dalam wilayah
republik yang kemudian dikenal dengan hijrahnya pasukan Siliwangi dari Jawa
Barat.
 
Peristiwa hirjah ini kemudian menjadi babak baru perjuangan Siliwangi
dalam perang kemerdekaan bersama dinamika politik pemerintahan serta desakan
Belanda secara militer maupun secara politis.
 
 
B. Hijrah Divisi Siliwangi ke Wilayah RI
 
Perjanjian Renville dalam isinya menuntut kepada pihak Republik untuk
menarik pasukan TNI keluar dari garis Van mook atau garis status quo menyusul
serangan gerilya TNI yang merepotkan daerah-daerah pertahanan Belanda. Pasal- pasal perjanjian Renville yang merugikan pihak Republik diantaranya :
 
a. Bahwa suatu perintah tinggal tetap (stand fast) dan dikeluarkan
oleh kedua belah pihak masing-masing serta serentak dengan
segera sesudah ditandatangani persetujuan ini dan akan berlaku sepenuhnya di dalam empat puluh delapan jam. Perintah itu
berlaku untuk pasukan-pasukan kedua belah pihak di sepanjang
garis daerah-daerah seperti dimaksud dalam Proklamasi
Pemerintah Hindia Belanda pada 29 Agustus 1947, yang akan
dinamakan garis status quo, dan di daerah-daerah seperti yang
dimaksud dalam ayat tersebut.
 
b. Bahwa terlebih dahulu dan buat sementara waktu akan diadakan
bentuk daerah-daerah yang akan dikosongkan oleh tentara
(militerized-zone), pada umumnya sesuai dengan garis status quo, tersebut diatas. Daerah-daerah itu pada intinya mengenai daerah- daerah diantara garis status quo, disatu pihak garis kedudukan
Belanda dan dipihak lain pihak garis kedudukan Republik itu
lebarnya rata-rata sebanding..
 
Pasal yang menyebutkan mengenai pemindahan pasukan TNI keluar dari
garis status quo antara lain :
 
a. Kesatuan dari pasukan-pasukan TNI yang masih berada di daerah
yang dikuasai oleh tentara Belanda akan dipindahkan ke daerah
mereka sendiri dengan membawa senjata, perlengkapan serta alat- alat perang.
 
b. Pemindahan ini akan dilakukan dengan bantuan dan dibawah
pengawasan pembantu-pembantu milter Komisi Tiga Negara.
Instruksi-instruksi selanjutnya akan dikeluarkan oleh Kepala Staf
Umum masing-masing setelah bermusyawarah dengan pembantu- pembantu tersebut dan dengan pembesar-pembesar pihak lain.
 
c. Pemindahan-pemindahan akan dilaksanankan dan diselesaikan
selekas mungkin, selambat-lambatnya dalam 21 hari setelah
penandatanganan dan perjanjian gencatan senjata..
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, tidak hanya Divisi Siliwangi yang harus
melakukan hijrah. Divisi Brawijaya dari Jawa Timur yang terdiri dari Brigade Narotama, Suropati dan Ronggolawe pun juga harus meninggalkan markasnya.
 
 
Jawa Barat wilayah yang masih dimiliki Republik berdasarkan garis status qou yaitu meliputi: Serang laut, Timur Djati, Putat, Timur Taru, Tjarewod, Bitung, Tjurug,Sumedang Wetan, Tjimantjeuri Timur, Parungpandjang, Dago hilir, Timur Sineh,
Tengah Pahong Hilir, Padurungan, Tjicempuan, garis tengah Kalong durian,
Gunung Kendang, Tjibareno, batas Karesidenan Bogor, Banten dan sebelah timur
Bantar kelapa..
 
Pasukan Siliwangi di Jawa Barat mendapatkan perintah hijrah dari Jendral
Sudirman melalui ”Tim Perhubungan” yang dibentuk di Yogyakarta untuk
menyampaikan perintah hijrah secara langsung kepada panglima divisi dan
komandan brigade Divisi Siliwangi.
 
Tim perhubungan ini dipilih dari perwira
yang dianggap mengenal baik pribadi para pimpinan Divisi Siliwangi. Tidak semua pasukan Siliwangi dihijrahkan karena sesuai perintah Jendral
Sudirman agar sebagian pasukan tetap melakukan aksi-aksi gerilya terhadap
Belanda untuk tetap menjaga de facto wilayah RI di Banten Jawa Barat.
 
Pemerintah membentuk panitia hijrah berdasarkan Penetapan Presiden No.4
Tahun 1948 tanggal 2 Februari 1948 tentang pembentukan Panitia Hijrah. untuk
memperlancar pelaksanaan hijrah. Panitia ini bertugas menyiapkan kebutuhan logistik dan menyediakan alat-alat trasnportasi bagi pasukan yang berhijrah.
 
Susunan panitia hijrah yang dibentuk adalah sebagai berikut :
 
Ketua : Arudji Kartawinata (Kementrian Pertahanan)
 
Wakil Ketua I : Jendral Mayor Ir. Sakirman (TNI bag. Mayarakat)
 
Wakil Ketua II : Moh.Siraj (Kementrian Dalam Negeri)
 
Ketua Sekertaris : Dr. Hutagalung (Kementrian Pertahanan)
 
Wakil Ketua Sekertaris : Mayor Haryono (Anggota Panitia Istimewa).
 
Panitia hijrah yang telah terbentuk kemudian mengadakan perundingan
dengan Belanda dibawah pengawasan KTN terkait tatacara pengangkutan prajurit
TNI. Pasukan Siliwangi muncul dari kantong-kantong gerilya nya seperti
harimau keluar dari kandangnya untuk melaksanakan perintah hijrah. Prajurit
Siliwangi nampak tegap, bugar dengan membawa senjata masing-masing
membuat tentara Belanda segan dan menyadari bahwa selama ini markas mereka
berada sangat dekat dengan posisi para gerilyawan Siliwangi.
 
Pasukan Siliwangi berkumpul di stasiun-stasiun kereta api yang telah
ditentukan oleh panitia hijrah untuk kemudian diberangkatkan secara bersama- sama. Tempat pengumpulan prajurit diantaranya di stasiun Sukabumi menjadi
tempat berkumpulnya Brigade II/Suryakencana pimpinan Letnan Kolonel
A.E.Kawilarang, stasiun Purwakarta menjadi tempat berkumpulnya Brigade
III/Kian Santang pimpinan Letnan Kolonel Sadikin dan stasiun Padalarang
menjadi tempat berkumpulnya Brigade V/Guntur II pimpinan Letnan Kolonel Daan Yahya..
 
Pasukan ini kemudian berkumpul di Tasikmalaya untuk kemudian
diberangkatkan ke Yogyakarta. Melalui jalur darat proses hijrah ditempuh dengan
tiga cara yaitu :
 
- Dengan kereta api, dengan truk dan dengan jalan kaki. Jalur kereta
api dilakukan oleh tiga Brigade yang sebelumnya telah dikumpulkan di
Tasikmalaya kemudian melalui stasiun Parujakan Cirebon, Gombong menuju
Yogyakarta.
 
- Perjalanan dengan truk ditempuh pasukan Brigade IV/Guntur I dan
Brigade VI/Sunan Gunung Jati. Pemberangkatan dimulai dari lapangan terbang
Cibeurem Tasikmalaya mengangkut sekitar 2.000 prajurit yang sebelumnya telah
ditanya tentang kesediaannya untuk berhijrah dibawa menuju stasiun Kutoarjo
kemudian melanjutkan perjalanan dengan kereta api..
 
Sekitar 2.000 prajurit
lainnya memutuskan untuk tetap melanjutkan aksi gerilya di bawah pimpinan
Mayor Sugiharto dari Batalyon 22 Cililin, Bandung.
 
- Brigade VI/Sunan Gunung Jati diangkut dari Kuningan menuju Gombong
dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju Karang Anyar dan
ketika sampai di Kebumen pasukan hijrah mendapatkan hiburan kethoprak yang
diselenggarakan oleh panitia hijrah dan mendapatkan uang saku sebesar Rp. 100,- setiap masing-masing prajurit..
 
- Hijrah pasukan Siliwangi dari Jawa Barat dengan
berjalan kaki juga ditempuh satuan pengawal staf divisi tergabung dalam satuan Detasemen.di bawah pimpinan Kapten Leo Loulisa, Kapten Suparyadi dan
Kapten Suparman..
 
- Batalyon MBT (Markas Besar Tentara) pimpinan Mayor
R.A.Nasuhi turut serta dalam hijrah berjalan kaki melalui rute Kuningan-Ciamis- Gunung Slamet-Pegunungan Dieng-Karangkobar-Banjarnegara-Wonosobo.
Selama perjalanan hijrah senjata pasukan Siliwangi dikumpulkan menjadi satu
dalam satu gerbong dan diawasi secara ketat oleh TNI sendiri dan dalam
perjalanan hijrah juga dikawal oleh tentara Belanda bagi satuan yang
menggunakan kereta api dan truk.
 
- Jalur laut pasukan hijrah terlebih dahulu berkumpul di pelabuhan
Cirebon untuk kemudian diberangkatan dengan dengan kapal barang Plancius dan
LST menuju Rembang.. Di pelabuhan Rembang pasukan hijrah disambut oleh
Bupati Rembang, Sukardji dan Jendral Mayor Djatikusumo Panglima Divisi
V/Ronggolawe kemudian diberangkatkan ke Yogyakarta dengan Truk setelah
sebelumnya mendapatkan jamuan di pendopo kabupaten Rembang.
 
Pemberangkatan prajurit hijrah Siliwangi secara teknis militernya dilakukan dalam dua eselon yaitu eselon I dibawah pimpinan A.E.Kawilarang dan
didampingi Letnan Kolonel Kusno Utomo sebagai Kepala Staf dengan membawa
batalyon-batalyon yang dipimpin Mayor Kemal Idris, Mayor A.Kosasih, Mayor
Daeng dan Mayor Ahmad Wiranata Kusumah yang menempatkan basis
pasukannya di Yogyakarta.
 
Eselon II dibawah pimpinan Letnan Kolonel
Abimanyu yang kemudian digantikan Letnan Kolonel Sadikin dengan kepala staf
Mayor Syamsu dengan membawa batalyon-batalyon yang dipimpin Mayor Umar,
Mayor Rukman, Mayor Sambas, dan Mayor Sentot Iskandardinata yang
menempatkan basis pasukannya di Surakarta.
 
Brigade cadangan Siliwangi di
bawah pimpinan Letnan Kolonel Eddy Sukardi ditempatkan di Magelang..
Sesuai perintah awal dari Jendral Sudirman bahwa untuk tidak
menghijrahkan semua prajurit Siliwangi dan menyisakan sebagian kesatuan unuk
tetap melakukan gerilya di wilayah Republik Indonesia di Jawa Barat.
 
Pasukan yang masih bertahan adalah Brigade I/Tirtayasa yang menduduki wilayah Banten
di bawah pimpinan Letnan Kolonel Sukanda Bratamenggala, yang kemudian
digantikan oleh Mayor dr. Eri Sudewa yang ditugaskan langsung oleh
Muhammad Hatta untuk menyiapkan pertahanan daerah Banten.
 
Dokter Eri
Sudewa adalah seorang dokter berpangkat Mayor yang mulai 1 Maret 1949
berikrar akan membuat seluruh Banten menjadi neraka bagi Belanda. kemudian
Batalyon 22 Mayor Sugiharto yang memutuskan untuk tidak ikut hijrah juga menggabungkan diri dengan Brigade I/ Tirtayasa dibantu juga oleh pasukan dari
laskar Hizbullah dan Sabilillah..
 
Panglima Divisi Siliwangi juga turut
bersama pasukan hijrah melalui jalur laut berangkat dari Cirebon setelah
menempuh rute Deudel-Tasikmalaya-Ciamis-Kuningan-Cirebon kemudian
menuju Rembang dan tiba di Yogyakarta pada 12 Februari 1948 setelah
sebelumnya rombongan pertama tiba di stasiun Tugu pada 11 Februari 1948.
 
A.H.Nasution bersama para komandan brigadenya kemudian melaporkan diri
kepada Panglima Besar Jendral Sudirman.
 
Laporan itu kemudian ditindaklanjuti
oleh Kepala Staf Umum Letnan Jendral Urip Sumoharjo dengan memerintahkan
Panglima menyusun rencana pertahanan berdasarkan perang gerilyanya di
Jawa Barat. Panglima Siliwangi yang kemudian diangkat menjadi wakil Panglima Besar
diminta menyusun konsep rekonstruksi teritorium yang menjadi bagian dari
rencana rasionalisasi untuk persiapan perang gerilya dan pertahanan dengan
mendayagunakan pengalaman Divisi Siliwangi.
 
Panglima Siliwangi mengajukan rancangan konsep tentang pertahanan dan gerilya yang berisi antara lain :
Penyerbuan Belanda tidak mungkin ditahan, paling banyak hanya diperlambat
dengan gangguan serta bumi hangus, untuk memperoleh waktu dan ruang yang
sebanyak mungkin untuk mengungsikan pasukan-pasukan,alat-alat,pegawai- pegawai dan rakyat ke kantong pedalaman.
 
Pokok perlawanan adalah perang
gerilya, yang disatu pihak agresif terhadap musuh dan di lain pihak bersifat
konstruktif dapat menegakkan de facto RI dalam arti militer dan sipil di kantong kantong yang sebanyak mungkin.
 
Diperlukan dukungan dari setiap lapisan untuk
membantu menentukan kemenangan TNI yaitu dari lapisan terbawah di
pemerintahan yaitu pimpinan yang totaliter dalam tangan lurah, Komando
Onderdistrik Militer (KODM), Komando Distrik Militer (KDM), Gubernur
Militer daerah dan Panglima pulau. Dewan Pertahanan Nasional (DPN) dan
Dewan Pertahanan Daerah (DPD) harus ditiadakan, Politik nonkooperasi dan
nonkontak yang tegas.
 
Menempatkan pasukan dalam porsi ideal di wilayah- wilayah Republik dengan perbandingan komposisi batalyon mobil, lebih kurang
satu batalyon ditiap karesidenan, untuk tugas-tugas menyerang (bersenjata 1:1),
batalyon-batalyon teritorial lebih kurang satu batalyon ditiap kabupaten untuk
perlawanan statis (bersenjata 1:3-5), kader teritorial untuk kader desa, KODM,
KDM dan seterusnya ke atas. Meng-wingate-kan pasukan-pasukan kita ke daerah
federal di Jawa khususnya dan di seberang umumnya. Pasukan-pasukan asal Jawa
Barat, Besuki, Kalimantan dan sebagainya disusun untuk tugas-tugas itu..
 
C. Divisi Siliwangi di Surakarta dan Awal Ketegangan dengan Divisi
Panembahan Senopati
 
Pasukan hijrah Siliwangi ditempatkan di daerah-daerah republik menurut
garis demarkasi Van Mook yang telah disepakati dalam perjanjian Linggarjati dan
kemudian ditegaskan lagi dalam perjanjian Renville 17 Januari 1947. Penempatan pasukan Siliwangi dipusatkan di tiga titik utama wilayah Republik Indonesia untuk melindungi Ibu Kota Yogyakarta, di antaranya di Yogyakarta sendiri yang
pasukan Siliwangi di bawah komando Letnan Kolonel A.E.Kawilarang tergabung
dalam Brigade I Siliwangi, di Surakarta di bawah komando Letnan Kolonel
Sadikin yang tergabung dalam Brigade II Siliwangi, dan Brigade cadangan di
bawah komando Letnan Kolonel Eddy Sukardi yang ditempatkan di Magelang
sebagai garis depan pertahanan terhadap Belanda yang berpusat di Semarang.
 
Sebagian pasukan dari Jawa Barat juga ditempatkan di Madiun, dan beberapa
Detasemen yang ditempatkan di Cepu, Pati dan Bojonegoro.. Panglima Divisi
Siliwangi, segera mengeluarkan Amanat Panglima Siliwangi
setelah seluruh pasukan hijrah tiba dan ditempatkan di wilayahnya masing- masing. Amanat itu tertuang dalam Perintah Harian No.1/Dt/48 tanggal 17
Februari 1948 yang kemudian dijadikan pedoman bertindak bagi pasukan
Siliwangi selama berada di daerah hijrah. Perintah harian Panglima Siliwangi itu
kurang lebih berisi sebagai berikut :
“.
 
"Divisi Siliwangi memindahkan kedudukan ke Jawa Tengah, atas
dasar perintah petunjuk pimpinan tentara sebagai pemenuhan
persetujuan pemerintah Republik dengan pihak Belanda.
 
Semua ini
tidak berarti bahwa divisi atau pun satu-satu anggotanya terlepas dari
kewajiban dan keharusan sebagai satuan tentara dan sebagai warga
negara. Konsekuensi daripada poin dua ialah bahwa : Kesatuan divisi
tetap, nama divisi tetap, karena itu kehormatan divisi tetap
dipertahankan. Di mana kita berada dalam daerah tanggung jawab
divisi lain, yang menjadi teman kawan seperjuangan kita.
 
Dengan ini
diperintahkan jangan mengorbankan nama baik Silwangi dengan
tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan kehormatan prajurit.
Jangan mengecewakan kawan-kawan kita di sini dengan tidak
mengindahkan tanggung jawab mengenai ketentaraan, keamanan, dan
ketertiban daerah. Jangan memberatkan kewajiban pimpinan sendiri.
Perlihatkan bahwa tempat dalam hati rakyat untukmu tidak sia-sia diadakannya.
 
Amanat yang kami berikan padamu ialah melihat ke
depan dengan hati yang teguh, bahwa kita akan meneruskan tradisi
perjuangan Siliwangi, tetap melindungi negara ke luar dan ke dalam,
dengan disiplin dengan tertib. Perjuangan masih akan tetap sulit, maka
itu teguhkan hatimu dan kuatkan tekadmu, aku akan berjuang dengan
tidak kepalang.”
 
Surakarta menjadi salah satu tempat pemusatan prajurit Siliwangi di
bawah pimpinan Letnan Kolonel Sadikin yang tergabung dalam Brigade II
Siliwangi membawahi 4 Batalyon di antaranya batalyon I/Sunan Gunung Jati di
bawah Mayor Rukman berkedudukan di Tasikmadu, Batalyon II/Tarumanegara
di bawah Mayor Sentot Iskandardinata berkedudukan di Delanggu bersama satu
kompi Cokrotulung,
 
Batalyon III/ Ciremai di bawah Mayor Umar berkedudukan
di Colomadu, dan Batalyon IV/Kian Santang di bawah Mayor Sambas
Atmadinata berkedudukan di Ngawi yang kemudian dipindahkan ke Sragen. Brigade ini dikawal oleh Kompi III dari Batalyon Ciremai pimpinan Kapten
Oking..
 
Jumlah ini bertambah dengan pindahnya SDS (Staf Divisi Siliwangi)
dari Yogyakarta ke Surakarta di bawah pimpinan Kepala Staf Letnan Kolonel
Abimanyu pada Juli 1948 dengan susunan Staf Divisi sebagai berikut :
 
a. Opsir Security/Intellegence SDS (Asisten Intelejen) Mayor
Kosasih
 
b. Opsir Operation (Asisten Operasi) Mayor Krisno Abdulkadir dan
Kapten Sani Lupias sebagai wakilnya.
 
c. Opsir Organisasi/ Personalia Mayor Pepep Cakradipura,
kemudian digantikan Mayor Sarigih.
 
d. Opsir Suplai (Asisten Logistik) Mayor Taswin kemudian
digantikan Mayor Suprayogi.
 
e. Komandan Regu Administrasi Letnan I Wachyu Hagono.
 
Pengawalan Staf Divisi ditugaskan kepada Kompi II Batalyon
Tarumanegara di bawah pimpinan Kapten Komir Kartaman yang kemudian
dibentuk menjadi Kotreop (Commando Troops) atau pasukan khusus pengawal
Staf Divisi yang terdiri dari markas batalyon dan 3 kompi di bawah pimpinan
Mayor Umar Wirahadikusumah. Markas Divisi bertempat di pabrik Blima, jalan
Kleco, Solo dengan kondisi sederhana dan seadanya sedangkan pengawal staf
menggunakan ruangan yang digunakan untuk menyimpan mesin-mesin pabrik.
 
Tidak jarang mereka juga harus berpindah-pindah menyesuaikan kondisi darurat
yang sedang dihadapi. Keberadaan pasukan Siliwangi di Surakarta awalnya
disambut dengan baik oleh masyarakat Jawa Tengah, namun ada beberapa
masalah yang kemudian timbul karena sebutan”tentara kantong” dan ejekan dari
pejuang-pejuang di Surakarta yang telah terpengaruh oleh isu-isu yang
dilancarkan golongan PKI/FDR yang menyebut Siliwangi sebagai “Gendarmeri”,”Stoot Leger Wilhelmina” atau tentara kolonial yang berkedok
Siliwangi.
 
Masalah yang dihadapi Siliwangi di Surakarta bertambah ketika pada
tanggal 23 Januari pemerintah mengumumkan pembubaran Kabinet Amir
Syarifudin dan mengangkat Muhammad Hatta untuk menyusun kabinet baru
dengan program Rasionalisasinya yang mengancam posisi golongan komunis
dalam pemerintahan maupun dalam kemiliteran.
 
Kebijaksanaan politik
pemerintah Muhammad Hatta ditentang oleh golongan oposisi, PKI dan Partai
Sosialis Amir Syarifudin dengan membentuk FDR yang berusaha menggalang
kekuatan sebanyak-banyaknya untuk menentang Rasionalisasi.
 
Pasukan Siliwangi dibujuk oleh FDR untuk memperkuat dukungan kekuatan FDR, namun bujukan
itu tidak berhasil dan hasilnya FDR memusuhi Siliwangi dengan melancarkan
fitnah-fitnah dengan menuduh bahwa Siliwangi adalah alat pemukul yang dimiliki
kabinet Muhammad Hatta sebagai pemimpin pemerintahan yang menerima
rencana Spoor berupa peleburan TNI dalam KNIL yang komando tertingginya
dipegang oleh Jendral Spoor.
 
Muhammad Hatta merencanakan program Rasionalisasi yang kemudian
menjadi masalah bagi pasukan Siliwangi, Divisi Siliwangi tahun 1946 sampai
1948, telah diadakan tiga kali Re-Ra. Peristiwa ini merupakan hal yang sulit
dilupakan mengingat rakyat secara sukarela berjuang dan masuk TNI demi
membela bangsa dan tanah air. Namun demi menyelaraskan jumlah personil yang
cukup dalam kwantitas dan kwalitas dan jumlah logistik yang mampu disediakan pemerintah, serta untuk mencapai efektifitas kerja. Tidak sedikit anggota
Siliwangi yang di PHK.
 
Posisinya yang sedang hijrah di wilayah pertahanan
divisi lain, rencana Rasionalisasi ini justru digunakan oleh FDR untuk
menyebarkan fitnah bahwa rencana Rasionalisasi itu adalah salah satu upaya
peleburan TNI dengan KNIL. Hijrah memaksa Rasionalisasi dan pengelompokan
baru, serta mempelajari ide-ide baru tentang pola perang rakyat yang dilancarkan
pada agresi militer pertama Belanda di Jawa Barat. Siliwangi dipusatkan sebagai
kesatuan mobil dan selebihnya sebagai kesatuan kerangka persiapan kesatuan
teritorial.
 
Rapat rekonstruksi Siliwangi pertama diadakan oleh para perwira senior di
rumah Walikota Solo Syamsurizal pada pertengahan Maret 1948. Pertimbangan
mengenai pengalaman perang menghadapi serangan Belanda masa agresi pertama
dengan pertahanan linier konvensional yang tidak efektif karena mengacaukan
barisan pertahanan akhirnya menimbulkan konsep baru pertahanan wilayah dan
taktik gerilya dengan mengandalkan komando batalyon.
 
Rapat itu kemudian menghasilkan keputusan bagi Divisi Siliwangi bahwa mereka tidak akan bertahan
di Jawa Tengah maupun Jawa Timur apabila Belanda melancarkan agresinya.
Pasukan Siliwangi akan kembali ke Jawa Barat dengan tiga Brigade yang telah
disiapkan dalam penempatannya selama hijrah di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta.
 
Hasil rapat ini kemudian menjadi pedoman bagi rekonstruksi Divisi
Siliwangi dengan tidak memecah kesatuan-kesatuan Siliwangi guna membantu
memperkuat garis pertahanan di daerah-daerah. Divisi Siliwangi dikelompokkan
dalam Kesatuan Reserve Umum (KRU) dengan tiga puluh batalyon yang
dikelompokkan dalam lima brigade dalam susunan batalyon-batalyon mobil untuk
melakukan infiltrasi ke Jawa Barat.
 
.