Perubahan iklim dan gender: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Rescuing 1 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.9.5 |
k v2.05b - Perbaikan untuk PW:CW (Referensi sebelum tanda baca) |
||
(Satu revisi perantara oleh satu pengguna lainnya tidak ditampilkan) | |||
Baris 2:
'''Perubahan iklim dan gender''' merupakan cara untuk menganalisis dampak [[perubahan iklim]] berdasarkan gender. Perubahan iklim beserta kebijakan dan strategi adaptasinya memengaruhi masyarakat secara berbeda-beda bergantung pada aspek ekonomi, budaya, dan konteks sosial.{{sfn|Djoudi|Locatelli|Vaast|Asher|2016|p=248}} Perempuan secara umum lebih rentan terhadap risiko perubahan iklim dan menanggung beban yang lebih berat dibandingkan laki-laki. Kerentanan tersebut antara lain disebabkan oleh proporsi perempuan yang lebih tinggi sebagai penduduk miskin dunia. Selain itu, mereka juga sangat tergantung pada sumber daya alam untuk mata pencaharian dan memenuhi peran sosial gender mereka.{{sfn|UN Women Watch|2009}} Dari 1.3 miliar penduduk miskin di negara berkembang, sebanyak 70 persennya adalah perempuan.{{sfn|Denton|2002|p=10|ps=:"Seventy per cent of the 1.3 billion people in the developing world living below the threshold of poverty are women."}} Kemampuan mereka dalam mengelola dampak krisis iklim juga dibatasi oleh berbagai hambatan sosial, ekonomi, dan politik.{{sfn|UN Women Watch|2009}} Para perempuan yang paling terdampak hidup di [[negara berkembang|negara-negara berkembang]] yang memiliki kemampuan rendah dalam merespon krisis iklim. Negara berkembang umumnya memiliki keterbatasan sumber daya, infrastruktur, dan kapasitas untuk menangani krisis ini.{{sfn|United Nations Framework Convention on Climate Change|2021}}
Dampak jangka pendek perubahan iklim adalah [[bencana alam]], antara lain [[banjir]], [[tanah longsor]], [[kekeringan]], dan [[badai]], sedangkan efek jangka panjangnya adalah kerusakan lingkungan secara bertahap,{{sfn|UN Women Watch|2009}}
Fokus kebijakan krisis iklim ada pada upaya mitigasi dan adaptasi. Mitigasi berfokus pada upaya mengurangi dampak, misalnya dengan mengurangi emisi gas rumah kaca, sedangkan adaptasi adalah strategi mempersiapkan dampak-dampak yang akan terjadi.{{sfn|Terry|2009|p=6|ps=:"There are two main policy areas related to climate change caused by humans. (...)"}} Para ilmuwan meyakini bahwa pemahaman yang komprehensif mengenai kesenjangan gender dan pemecahannya menjadi salah satu prasyarat dalam merespon perubahan iklim. Seluruh aspek yang terkait dengan mitigasi, adaptasi, penyusunan kebijakan dan pengambilan keputusan harus berperspektif gender.{{sfn|Convention on Biology Diversity}} Organisasi internasional, seperti [[PBB]], dan pemerintah berbagai negara telah memiliki kebijakan dan rencana aksi perubahan iklim yang mengarusutamakan gender. [[Persetujuan Paris]], misalnya, menekankan pentingnya [[kesetaraan gender]] dan pemberdayaan perempuan dalam upaya [[mitigasi perubahan iklim]]. Di [[Indonesia]], Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, misalnya, telah merilis pedoman umum adaptasi perubahan iklim yang responsif gender pada 2015.{{sfn|Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak|2015}}
Krisis iklim mungkin tidak hanya berdampak pada perempuan dan laki-laki, tapi juga kelompok non biner. Gabungan dari berbagai macam diskriminasi bisa memperburuk kondisi masyarakat [[gender non-biner]] di tengah menghangatnya isu perubahan iklim. Sampai saat ini, studi yang mengkaji pengaruh perubahan iklim terhadap komunitas non-biner masih terbatas.{{sfn|The Lancet|2020}} Isu gender dalam masalah iklim juga berkelindan dengan faktor-faktor sosial lain yang turut memengaruhi tingkat keparahan dampak, antara lain usia, kelas sosial, status perkawinan, dan [[Kelompok etnis|kelompok etnik]].{{sfn|ASSAR}}
Baris 19:
[[Berkas:Medical examination, pregnant women.jpg|jmpl|Pemeriksaan kesehatan wanita hamil di Brazil]]Perubahan iklim memengaruhi kondisi kesehatan semua gender dan dapat memperlebar kesenjangan kesehatan berbasis gender yang telah lama ada. Perubahan iklim meningkatkan risiko kejadian yang dapat mendorong munculnya gangguan kesehatan berupa peningkatan paparan panas, kualitas udara buruk, peristiwa cuaca ekstrem, perubahan transmisi [[penyakit tular vektor]], penurunan kualitas air, dan penurunan ketahanan pangan. Semua masalah tersebut memengaruhi laki-laki dan perempuan secara berbeda bergantung pada wilayah geografis dan faktor sosial ekonomi.{{sfn|Sorensen|Murray|Lemery|Balbus|2018|p=1}} Asia, terutama [[Asia tenggara]] dan [[Asia Selatan]], diperkirakan menjadi kawasan yang paling terdampak [[pemanasan global]] dan krisis iklim di antara bagian bumi yang lain.{{sfn|Choudhury|2020}} Peningkatan suhu secara ekstem diprediksi mengancam kesehatan para pekerja di luar ruangan di Asia Tenggara pada 2050. Salah satu risiko kesehatan yang muncul adalah [[pitam panas]].{{sfn|Kjellstrom|Lemke|Otto|2013|p=56}}
Berdasarkan penelitian yang diterbitkan di [[The Lancet]] pada 2019, perempuan termasuk paling rentan terhadap kondisi cuaca ekstrem.{{sfn|Watts|Amann|Arnell|Ayeb-Karlsson|2019|p=1836}} Mereka rentan terhadap paparan panas tinggi. Panas yang ekstrem dapat memengaruhi kondisi ibu hamil dan janinnya, risiko yang dihadapi antara lain kelahiran prematur, cacat bawaan, [[tekanan darah tinggi]] (hipertensi gestasional), dan [[pre-eklampsia]]. Peningkatan suhu udara juga berpotensi meningkatkan penularan malaria. Wanita hamil, menurut studi, lebih rentan tertular malaria daripada wanita yang tidak hamil.{{sfn|World Health Organization|2014|p=10}}
Badai yang merupakan salah satu efek perubahan iklim juga memengaruhi kehidupan perempuan. [[Hurikan Katrina]] yang terjadi di [[New Orleans]], Amerika Serikat, pada 2005 membuat banyak perempuan miskin harus hidup sebagai ibu tunggal. Selain itu, kesehatan mereka juga terganggu akibat fasilitas [[sanitasi]] yang kurang memadai di lokasi pengungsian. Tempat penampungan yang bercampur antara laki-laki dan perempuan menjadikan pengungsi perempuan rentan terhadap [[kekerasan seksual]] dan fisik.{{sfn|Sartika|2018}}
Berdasarkan laporan [[Oxfam]] di tiga negara terdampak [[tsunami]] pada 2004, yaitu Indonesia, India, dan [[Sri Lanka]], jumlah perempuan yang berhasil menyelamatkan diri lebih rendah daripada laki-laki. Perempuan umumnya tidak bisa berenang dan kemungkinan mereka tidak hanya fokus menyelamatkan diri sendiri, tapi juga anak-anak dan anggota keluarga yang lain.{{sfn|Sartika|2018}} Hasil penelitian terhadap korban banjir Serbia pada 2014 menyatakan bahwa perempuan umumnya kurang memiliki keterampilan dan teknik tanggap darurat yang efektif. Perempuan dan anak-anak berisiko lebih besar menjadi korban saat terjadi bencana alam.{{sfn|Organization for Security and Cooperation in Europe|2019}}
|