Pengguna:Dhiosk/Bak pasir/Pekarangan: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Xaosflux memindahkan halaman Pengguna:Dhio270599/Bak pasir/Pekarangan ke Pengguna:Dhiosk/Bak pasir/Pekarangan: Automatically moved page while renaming the user "Dhio270599" to "Dhiosk" |
transl |
||
(19 revisi perantara oleh pengguna yang sama tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{Italic title}}
{{short description|Type of home garden developed in Indonesia}}
[[File:West Sumatra pekarangan.jpg|thumb|upright=1.33|Pekarangan di [[Kabupaten Agam]], [[Sumatera Barat]]]]
'''Pekarangan''' adalah jenis [[Halaman bangunan|taman rumah]] tropis yang dikembangkan di [[Indonesia]], terutama di [[Jawa|Pulau Jawa]]. Pekarangan umumnya berisi ragam tanaman, sementara beberapa pekarangan memiliki hewan (termasuk [[ikan]] ternak, [[Hewan pemamah biak|pemamah biak]], [[unggas]], dan [[satwa liar]]) serta bangunan seperti kandang dan sangkar burung. Pekarangan menghasilkan pangan untuk kebutuhan sehari-hari dan untuk dijual serta menghasilkan tanaman hias. Selain itu, pekarangan juga menjadi tempat interaksi sosial (termasuk bagi hasil panen pekarangan) serta menyediakan hasil tani untuk upacara adat dan keagamaan. Beberapa pekarangan dibuat, dipelihara, dan diatur tata ruangnya sesuai dengan nilai-nilai lokal. Pekarangan diperkirakan sudah ada selama beberapa ribu tahun, tetapi catatan pertama mengenai pekarangan ditemukan dalam sebuah babad Jawa yang ditulis pada tahun 860 M. Pada tahun 2010, sekitar 103.000 kilometer persegi lahan di Indonesia digunakan untuk pekarangan.
Peran keberlanjutan dan sosial pekarangan terancam oleh urbanisasi massal dan fragmentasi lahan, yang menjadi faktor penyusutan luas lahan tempat tinggal rata-rata. Penurunan ini kemudian diikuti dengan hilangnya keragaman tanaman di dalam pekarangan. Selain itu, sebagian pemilik pekarangan secara sengaja mengurangi keragaman tanaman untuk mengoptimalkan hasil tani komersial. Masalah seperti wabah hama dan peningkatan utang rumah tangga muncul akibat terdegradasinya keberlanjutan pekarangan.
Pekarangan pada masa lampau, khususnya di Pulau Jawa, kurang mendapatkan perhatian khusus dari pihak-pihak yang memerintah, mulai dari [[Daftar kerajaan yang pernah ada di Nusantara|kerajaan-kerajaan]], [[Hindia Belanda|pihak kolonial]], hingga [[pemerintah Indonesia]] sebelum dasawarsa [[2010-an]]. Hal ini disebabkan karena kesulitan untuk membuat sistem pemanenan dan perpajakan hasil panen dari pekarangan. Pekarangan kemudian mendapatkan perhatian dari pemerintah Indonesia sejak awal dasawarsa 2010-an melalui program P2KP (Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan) yang berfokus pada daerah perkotaan dan sekitarnya. Program tersebut bertujuan untuk mengoptimalkan produksi hasil tani pekarangan dengan pendekatan yang berkelanjutan.
== Definition ==
Istilah "pekarangan", menurut [[Kamus Besar Bahasa Indonesia]], memiliki arti "tanah sekitar rumah", "halaman rumah", atau "tanah yang disiapkan untuk tempat tinggal".{{sfn|KBBI}} Namun, istilah ini banyak digunakan dalam pustaka ilmiah, khususnya dalam topik [[wanatani]] dan [[lingkungan]], untuk merujuk pada "kebun rumah".{{sfn|Kaswanto|Nakagoshi|2014|p=290}} Kata pekarangan dapat berasal dari kata "karang", yang berarti "tanaman menahun," menurut Ashari et al..{{sfn|Ashari|Saptana|Purwantini|2016|p=15}}
Para ilmuwan memberikan berbagai definisi tentang istilah "pekarangan". Menurut Sajogyo, pekarangan adalah sebidang tanah yang terletak di samping rumah dan digunakan secara sambilan. Totok Mardikanto dan Sri Sutami mendefinisikan pekarangan sebagai sebidang tanah yang mengelilingi perumahan. Kebanyakan pekarangan dipagari, dan biasanya ditanami dengan tanaman rapat yang terdiri dari berbagai tanaman semusim dan menahun untuk kebutuhan sehari-hari dan komersial. Euis Novitasari mengartikan pekarangan sebagai bentuk tata guna lahan berupa sistem produksi makanan skala kecil yang dilakukan oleh anggota keluarga, yang juga merupakan ekosistem dengan lapisan tajuk yang bersusun. Lebih jauh lagi, Euis Novitasari menggambarkan pekarangan sebagai area dengan batas yang jelas dan memiliki unsur-unsur seperti rumah, pelataran, dapur, kandang, dan pagar. Simatupang dan Suryana berpendapat bahwa sulit untuk mendefinisikan istilah "pekarangan" secara jelas, karena perannya dapat beragam, mulai dari bentuk lahan pertanian hingga sebidang tanah halaman rumah.{{sfn | Ashari | Saptana | Purwantini | 2016 | p=15}} Rahu et al. mengartikan istilah "pekarangan" secara sepsifik, yakni sebagai kebun rumah Jawa.{{sfn|Rahu|Hidayat|Ariyadi|Hakim|2013|p=5}}
== Unsur-unsur ==
=== Tanaman ===
{{multiple image
| align = right
| width = 150
| image1 = Annona muricata 1.jpg
| alt1 = Sirsak
| image2 = Leucaena leucocephala.jpg
| alt2 = Lamtoro
| footer = [[Sirsak]] dan [[lamtoro]], beberapa tumbuhan yang khususnya ditanam di pekarangan desa{{sfn|Arifin|Sakamoto|Chiba|1998|p=99}}
| direction =
| total_width =
| caption1 =
| caption2 =
}}
[[File:West Sumatran brick house and home garden with orange.jpg|thumb|Pohon jeruk (depan) dan pohon pisang (belakang) di dalam pekarangan]]
Sebuah pekarangan umumnya terdiri dari gabungan tanaman [[Tumbuhan semusim|semusim]] dan [[Tumbuhan menahun|menahun]]. Tanaman-tanaman tersebut bisa dipanen setiap hari atau musiman. Beberapa tanaman menahun seperti [[melinjo]] menghasilkan daun secara konsisten. Beberapa tanaman menahun lainnya seperti [[kelapa]], [[nangka]], [[pisang]], dan [[salak]] menghasilkan buah sepanjang tahun. Tanaman menahun lainnya memiliki masa berbuah yang terbatas. Misalnya, [[jambu semarang]] berbuah dari April hingga Juni, [[mangga]] berbuah pada bulan Juli dan Agustus, dan [[Durio zibethinus|durian]] berbuah dari Juni hingga September.{{sfn|Soemarwoto|Soemarwato|Karyono|Soekartadiredja|1985|p=3}} Tanaman menahun lebih umum ditemukan dibandingkan tanaman semusim pada pekarangan di daerah yang luas sawahnya melebihi 40 persen. Tanaman semusim lebih umum di daerah lain dengan luas sawah lebih rendah, tetapi tanaman menahun kembali diutamakan bila terjadi keterbatasan tenaga kerja.{{sfn|Christanty|Abdoellah|Marten|Iskandar|1986|p=143}} Pepohonan adalah salah satu komponen paling umum dari pekarangan. Pepohonan juga membantu memberikan gambaran pedesaan Indonesia dengan rumah yang cenderung tersembunyi di antara pekarangan yang "lebat dan menyerupai hutan".{{sfn|Soemarwoto|Conway|1992|p=101}}
Pekarangan [[Suku Sunda|Sunda]] memilki pola tanaman tersendiri. Tanaman hias, serta tanaman bernilai komersial seperti [[cengkih]], [[jeruk]], dan mangga sering ditanam di pekarangan depan agar dapat lebih mudah diawasi. Tanaman pangan yang mengandung [[Amilum|pati]], [[Tumbuhan obat|tanaman obat]], dan tanaman komoditas lebih sering ditanam di pekarangan depan dan belakang, dan lebih sedikit di pekarangan samping. Kopi dapat digunakan sebagai [[pagar]] di pekarangan samping dan belakang. Tanaman hias juga dapat difungsikan sebagai pagar di pekarangan depan. Sayuran biasanya ditanam di area depan dan samping yang terpapar cahaya, karena pohon-pohon besar jarang ditemukan di area tersebut. Pohon bertajuk besar dapat ditanam di pekarangan depan untuk memberikan naungan bagi anak-anak. Kelapa, pohon buah, dan pohon-pohon tinggi yang kayunya digunakan untuk konstruksi ditanam di pekarangan belakang untuk menghindari kerusakan rumah jika pohon-pohon tersebut tumbang akibat badai. Sebagian besar tanaman berkembang biak tanpa campur tangan secara sengaja dari manusia. Proses ini disebut ''janteun ku anjeun'' dalam [[bahasa Sunda]], karena penyebaran biji secara alami oleh burung, mamalia, atau manusia setelah mereka makan. Karena hal ini, tidak ditemukan pengaturan ruang yang jelas di bagian belakang pekarangan Sunda.{{sfn|Christanty|Abdoellah|Marten|Iskandar|1986|p=145}}
Tanaman di pekarangan [[Suku Jawa|Jawa]] dan Sunda, termasuk tanaman semusim yang dibudidayakan di musim kemarau (misalnya [[terung]]), biasanya ditanam di dekat sumber air seperti kolam ikan, selokan terbuka, dan sumur.{{sfn | Soemarwoto | Soemarwato | Karyono | Soekartadiredja | 1985 | p=3}}{{sfn|Christanty|Abdoellah|Marten|Iskandar|1986|p=145}} Tanaman yang membutuhkan tingkat nutrisi tinggi, seperti pisang, mangga, nangka, dan tanaman buah lainnya, ditanam dekat tempat pembuangan sampah.{{sfn|Christanty|Abdoellah|Marten|Iskandar|1986|p=145}} Sementara itu, tanaman yang sering dipanen untuk masakan, seperti [[cabai]], [[lengkuas]], [[Serai dapur|serai]], dan [[tomat]], ditanam dekat dapur.{{sfn|Christanty|Abdoellah|Marten|Iskandar|1986|p=145}}{{sfn|Torquebiau|1992|p=193}}
Pekarangan di [[Kalimantan]] mengandung jumlah [[Introduksi spesies|spesies introduksi]] yang lebih rendah dari pekarangan di wilayah lain di Indonesia. Banyak tanaman di pekarangan Kalimantan yang merupakan tanaman asli Kalimantan. Di antara tanaman-tanaman di pekarangan Kalimantan yang dianggap penting secara ekonomi dan ekologi adalah [[durian]] (termasuk [[lai]]), [[nangka]], [[duku]], dan [[rambutan]].{{sfn|Rahu|Hidayat|Ariyadi|Hakim|2013|p=8-9}}
=== Hewan ===
[[File:COLLECTIE TROPENMUSEUM Geitenhok ingericht voor de mestverzameling voor de groententuin Sindanglaja TMnr 10013517.jpg|thumb|left|Kandang kambing milik rumah tangga di masa [[Hindia Belanda]], awal abad 20|alt=]]
Beberapa pemilik pekarangan memelihara ternak dan unggas (biasanya [[ayam]], [[kambing]], dan [[domba]]). Hewan-hewan tersebut biasanya dipelihara di dalam kandang pekarangan, tetapi dibiarkan berkeliaran di sekitar kebun, area desa, dan pasar tradisional untuk mencari makanan sendiri. Mereka dikandangkan pada malam hari dan biasanya diberi pakan tambahan. Hewan domestik lainnya yang umum dipelihara di pekarangan adalah ikan di kolam dan [[burung pengicau]] (misalnya [[perkutut jawa]], ''Geopelia striata''). Burung pengicau umumnya dipelihara dalam sangkar yang digantung pada tiang bambu. Salah satu faktor yang mempengaruhi kepemilikan ternak dala pekarangan adalah status ekonomi pemiliknya. Pemilik dari golongan kelas bawah cenderung hanya memelihara beberapa ayam, sementara pemilik kelas menengah dapat memelihara seekor kambing atau domba, dan pemilik yang memiliki kelebihan secara ekonomi dapat memelihara beberapa [[sapi]] atau [[kerbau]]. Kotoran ternak berfungsi sebagai pupuk organik untuk pekarangan dalam bentuk [[kompos]], dan terkadang sebagai sumber pakan bagi ikan kolam.{{sfn | Soemarwoto | Conway | 1992 | p=105}}{{sfn | Soemarwoto | Soemarwato | Karyono | Soekartadiredja | 1985 | p=2}}
[[File:Domestic goat in Agam, West Sumatra.jpg|thumb|Sebagian masyarakat Indonesia memelihara ternak, seperti kambing, di pekarangan]]
Kolam ikan produktif banyak ditemukan di pekarangan tradisional suku Sunda. Ikan-ikan tersebut diberi pakan berupa [[Sampah makanan|limbah dapur]] yang disertai dengan limbah hewan dan manusia. Masyarakat cenderung menghindari penggunaan air kolam ikan untuk kebutuhan rumah tangga dan lebih memilih menggunakan air dari tanah yang lebih tinggi dan disalurkan dengan pipa air.{{sfn | Soemarwoto | Soemarwato | Karyono | Soekartadiredja | 1985 | p=2}}
Terdapat perbedaan temuan ilmiah mengenai keanekaragaman burung liar di pekarangan. Sebuah penelitian di Jawa Barat mencatat adanya keanekaragaman burung yang tinggi di pekarangan, termasuk spesies burung yang dilindungi. Sementara itu, penelitian lain di [[Jambi]] menunjukkan bahwa pekarangan (secara satuan) tidak efektif sebagai sarana untuk melestarikan [[Komunitas (ekologi)|komunitas ekologis]] burung. Hal ini disebabkan oleh [[efek tepi]] ekologis dari bentuk pekarangan yang tidak teratur, gangguan yang sering terjadi pada pekarangan, dan kedekatan pekarangan dengan jalan serta rumah. Pekarangan yang diteliti di Jambi tersebut memiliki tingkat keanekaragaman tanaman yang sangat rendah, berbeda dibandingkan pekarangan pada umumnya. Meskipun demikian, pekarangan pada studi tersebut masih menarik burung karena sumber makanan yang ada.{{sfn | Soemarwoto | Conway | 1992 | p=102}}{{sfn|Prabowo|Darras|Clough|Toledo-Hernandez|2016|p=13}} Temuan serupa juga ditemukan dalam studi lainnya di Jawa Barat, yang menunjukkan bahwa anak-anak melemparkan batu dengan ketapel ke burung-burung di pekarangan dan mengambil telurnya, sementara orang dewasa membunuh atau mengejar burung karena dianggap sebagai hama.{{sfn|Christanty|Abdoellah|Marten|Iskandar|1986|p=154}}<div style="{{{style|text-align: center; height: 20%; width: 30%; margin: 0; padding: 1em; border: {{{border|solid 2px gold}}}; letter-spacing: {{{spacing|0px}}}; background-color: {{{bgcolor|black}}}; color: {{{fgcolor|white}}}; font-weight: bold;}}}"><span style="padding-left: {{{spacing|0px}}};">{{{1|{{#if: {{{bot|}}}|(penanda draf suntingan)|(penanda draf suntingan)}}}}}</span></div>
== Ecology ==
[[
The diversity of plants aids individual plants to adapt to a changing environment, helping them survive in the long term.{{sfn|Kehlenbeck|Arifin|Maass|2007|p=299}} The biodiversity in the multi-layered system also helps to optimize solar energy and carbon harvesting, cool the domestic climate, protect the soil from erosion, and accommodate habitats for wild plants and animals.{{sfn|Arifin|2013|p=18}}{{sfn|Kehlenbeck|Arifin|Maass|2007|p=299}} The [[Genetics|genetic]] diversity also gives protection from the effects of pests and diseases.{{sfn|Soemarwoto|Conway|1992|p=108}} As an example, the abundance of [[insectivorous]] birds in the gardens helps control pests,{{sfn|Torquebiau|1992|p=195}} helping the garden remain productive.{{sfn|Kehlenbeck|Arifin|Maass|2007|p=299}}
While on per individual basis {{lang|id|pekarangans}} store only small amounts of carbon due to their size, on per area basis they hold an amount of carbon that is similar to primary or secondary forests, and greatly surpassing ''[[Imperata]]'' grasslands and [[fallow land]]s.{{sfn|Roshetko|Delaney|Hairiah|Purnomosidhi|2002|p=146}}<div style="{{{style|text-align: center; height: 20%; width: 30%; margin: 0; padding: 1em; border: {{{border|solid 2px gold}}}; letter-spacing: {{{spacing|0px}}}; background-color: {{{bgcolor|black}}}; color: {{{fgcolor|white}}}; font-weight: bold;}}}"><span style="padding-left: {{{spacing|0px}}};">{{{1|{{#if: {{{bot|}}}|(penanda draf suntingan)|(penanda draf suntingan)}}}}}</span></div>
=== Natural factors ===
Plant diversity in {{lang|id|pekarangans}} tends to increase as their size increases.{{sfn|Arifin|Sakamoto|Chiba|1996|pp=
Pekarangans at high [[
{{lang|id|Pekarangans}} with better access to water—either by climate or by proximity to water resources—are able to facilitate annual crop cultivation.{{sfn | Soemarwoto | Conway | 1992 | p=107}} Those in West Java, when observed, perform better in accommodating plant diversity when the wet season occurs than in the dry season.{{sfn|Kehlenbeck|Arifin|Maass|2007|pp=
[[Canopy (biology)|Canopy]] in those gardens functions as a protection from intense raindrops
=== Human impact ===
Settlement dynamics affect {{lang|id|pekarangans}} in various ways.
Commercialization, fragmentation, and urbanization are
A case study of home gardens in [[Bada Valley|Napu Valley]], [[Central Sulawesi]], shows that the decrease in soil protection is caused by insufficient soil fertility management, regular [[Weed control|weeding]] and waste burning,
== Uses ==
[[File:Pasar buah lokal.jpg|thumb|left|Warung buah di [[pasar tradisional]]]]
=== Subsistence ===
Products from {{lang|id|pekarangans}} have multiple uses; for example, a coconut tree can provide food, oil, fuel, and building materials, and also be used in rituals and ceremonies.{{sfn | Soemarwoto | Conway | 1992 | p=106}} The gardens' plants are known for their products' nutritional benefits and diversity. While rice is low in vitamins [[Vitamin A|A]] and [[Vitamin C|C]], products from the gardens offer an abundance of them. {{lang|id|Pekarangans}} with more perennial crops tend to create more
Lower-
=== Commercial ===
[[
In urban and suburban areas, major fruit production centers, and tourist destination regions, {{lang|id|pekarangans}} tend to act as an income generator. Income from the gardens is mostly from perennial crops.{{sfn | Soemarwoto | Conway | 1992 | p=105}} Good market access stimulates the cultivation of commercial crops within the gardens.{{sfn | Wiersum | 2006 | p=19}} Other factors that influence their economic significance are their area and the demand for a particular crop.{{sfn|Abdoellah|Parikesit|Gunawan|Hadikusumah|2001|p=141}}
According to a 1991
=== Other uses ===
The ''{{lang|su|buruan}}'' (Sundanese for "front yard"), part of a Sundanese {{lang|id|pekarangan}}, is used as a children's playground and adults' gathering place.{{sfn | Soemarwoto | Conway | 1992 | p=107}} Integrated with local customs and philosophies such as ''{{lang|su|rukun}}'' and ''{{lang|su|tri-hita-karana}}'', the gardens aid other social interactions such as yield-sharing, ceremonies, and religious activities.{{sfn|Soemarwoto|Conway|1992|p=109}}{{sfn|Arifin|2013|pp=
== Sociology and economy ==
{{lang|id|Pekarangans}} are mainly developed by women. Forms of such gardens in matriarchal tribes and societies, e.g. [[Minangkabau people|Minangkabau]], [[Acehnese people|Aceh]], and communities in the 1960s Central Java, are more developed than in tribes that tend to be patriarchal, e.g. [[Batak]]. For the same reason, matriarchal culture around the gardens started to develop, such as the requirement for the permission of a landowner's wife before selling a plot of land they
In a 2004 report, Javanese {{lang|id|pekarangans}} are
== Culture ==
[[file:Proses Pembuatan Gunungan di Keraton Yogyakarta.jpg|thumb|[[Gunungan]] untuk dikirab pada rangkaian [[Sekaten]] disusun dari hasil tani yang bisa ditemukan di pekarangan|alt=|left]]
The philosophy of living harmoniously, referred to as ''{{lang|su|rukun}}'', is followed by the Javanese and Sundanese; offering yields from {{lang|id|pekarangans}} to others is believed to be the medium of such culture. This can be done by offering its products to their neighbors, for example during events such as births, deaths, weddings, and cultural events like the [[Javanese calendar|Javanese new year]] and the [[Mawlid]] (observance of the birthday of [[Muhammad]]). Some offer their products to cure diseases or to protect owners from dangers. Their products are also given during daily life, especially in rural areas. A rural {{lang|id|pekarangan}} owner usually allows others to enter it for any practical reason: taking dead wood for fuel, pulling water from a well for their own use, or even taking its crops, though permission might be restricted or denied if the owner has only a limited yield for his or her own consumption. Requests to take products from the gardens for religious or medicinal purposes are rarely or never denied, but since some people believe asking permission to take medicinal plants in a {{lang|id|pekarangan}} is taboo, they may also be taken without explicit permission.{{sfn | Soemarwoto | Conway | 1992 | p=109}}
Javanese culture interpreted the gardens as {{lang|id|pepek ing karang}}—"a complete design".{{sfn | Soemarwoto | Conway | 1992 | p=103}} It can also be interpreted as {{lang|id|pepek teng karangan}}, which according to the anthropologist Oekan Abdoellah, is a way of thinking, indicating agricultural practices within the gardens are a consequence of thinking about the ways to use their produce and satisfy their needs from them.{{sfn | Christanty | Abdoellah | Marten | Iskandar | 1986 | p=138}} The words within the ''pepek teng karangan'' phrase can also be translated individually: ''pepek'' means 'complete', ''teng'' means 'on', while ''karangan'' means 'idea'. This is similar to the Sundanese breakdown of the word ''pekarangan: pe-'' is a prefix that means 'place', ''karang'' means 'idea', and the combination of these can be loosely translated as 'a place to create ideas'.{{sfn|Pranoto|Pujowati|Ramayana|Turnip|2024|p=62}} Javanese culture, however, takes offense at the gardens' comparison with forests due to the low social value of forest in the culture. ''[[Wayang]]'' puppet plays depict forests as "places where wild animals and evil spirits reign" and its clearing, which is done only by men who are believed to have spiritual powers, is viewed as a respectable deed.{{sfn|Soemarwoto|Conway|1992|p=101}} The backyard of a Sundanese homestead is described as ''{{lang|su|supados sungkur}}'' (to be unseen by others).{{sfn|Christanty|Abdoellah|Marten|Iskandar|1986|p=145}}
[[Plant community|Associations of plants]] in Javanese {{lang|id|pekarangans}} tend to be more complex than those in Sundanese {{lang|id|pekarangans}}. In Javanese gardens, owners also tend to cultivate medicinal plants (''[[jamu]]'') while the Sundanese tend to grow vegetables and ornamental plants.{{sfn | Soemarwoto | Conway | 1992 | p=102}}<div style="{{{style|text-align: center; height: 20%; width: 30%; margin: 0; padding: 1em; border: {{{border|solid 2px gold}}}; letter-spacing: {{{spacing|0px}}}; background-color: {{{bgcolor|black}}}; color: {{{fgcolor|white}}}; font-weight: bold;}}}"><span style="padding-left: {{{spacing|0px}}};">{{{1|{{#if: {{{bot|}}}|(penanda draf suntingan)|(penanda draf suntingan)}}}}}</span></div>The [[Sundanese language]] has names for each part of a {{lang|id|pekarangan}}. The front yard is called ''{{lang|su|buruan}}'', a space for a garden shed, ornamental plants, fruit trees, a children's playground, benches, and crop-drying. The side yard (''{{lang|su|pipir}}'') is used for wood trees, crops, medicinal herbs, a fish pond, well, and a bathroom. The side yard is also a space for cloth-dying. The back yard (''{{lang|su|kebon}}'') is used to cultivate vegetable plants, spice plants, an animal pent, and industrial plants.
{{lang|id|Pekarangans}} in [[Lampung]] have their own elements; alongside plants are feet-washing places used before entering into a house's veranda (
[[File:Balinese house compound.jpg|thumb|upright=1.5|Sebuah rumah tradisional Bali beserta area pekarangannya. Termasuk: area sanggah di sudut atas dan kiri, dan {{lang|id|natah}} di tengah-tengah. Bangunan {{lang|id|bale daja}} terdapat di sisi kiri natah.|alt=|330x330px]]
Balinese {{lang|id|pekarangans}} are influenced by the philosophy of ''[[Tri Hita Karana|tri-hita-karana]]'' that divides spaces into {{lang|id|parahyangan}} (top, head, pure), {{lang|id|pawongan}} (middle, body, neutral), and {{lang|id|palemahan}} (below, feet, impure). The {{lang|id|parahyangan}} area of a Balinese {{lang|id|pekarangan}} faces [[Mount Agung]], which is regarded as a sacred place ({{lang|id|prajan}}) to pray ({{lang|id|sanggah}}). Plants with flowers and leaves that are regularly picked and used for [[Balinese Hinduism]] liturgical purposes are planted in the {{lang|id|parahyangan}} area. The {{lang|id|pawongan}} area is planted with regular flowers, fruits, and leaves. The {{lang|id|palemahan}} area is planted with fruits, stems, leaves, and tubers.{{sfn|Arifin|2013|pp=15–16}} Balinese back yards, which are known in [[Tabanan Regency|Tabanan]] and [[Karangasem Regency|Karangasem]] as {{lang|id|teba}}, are used as a place to cultivate crops and keep livestock for subsistence, commercial, and religious use as offerings.{{sfn|Arifin|2013|p=17}} The Balinese further developed beliefs about what plants should and should not be planted in various parts of their {{lang|id|pekarangans}}, following the teachings from the ''[[Taru Premana]]'' manuscript. As an example, [[nerium]] and [[bougainvillea]] are believed to emit positive [[Aura (paranormal)|auras]] while planted in the {{lang|id|parahyangan/sanggah}} area of a {{lang|id|pekarangan}} while negative auras are believed to appear if they are planted in front of the ''[[bale daja]]'', a building specifically placed in the north part of a dwelling.{{sfn|''Bali Express''|2018}}{{sfn|Saraswati|2009|p=35}}
{{lang|id|Taneyan}}, a [[Madurese people|Madurese]] kind of {{lang|id|pekarangan}}, is used to dry crops and for traditional rituals and family ceremonies.{{sfn|Maningtyas|Gunawan|2017|p=3}}{{sfn|Febrianto|Wulandari|Santosa|2017|p=59}} {{lang|id|Taneyan}} is a part of the traditional dwelling system of ''[[taneyan lanjhang]]–''a multiple-family household'','' whose spatial composition is laid out according to the ''[[bappa, babbhu, guru, rato]]'' (father, mother, teacher, leader) philosophy that shows the order of respected figures in the Madurese culture.{{sfn|Maningtyas|Gunawan|2017|p=3}}
''Pekarangans'' of other ethnic groups in Indonesia have other names, including ''passiring'' and ''terampak benua'' in [[Bugis|Buginese]] culture, as well as ''tarampak'' and ''pa'palakan'' in [[Torajan people|Torajan]] culture.{{sfn|Pranoto|Pujowati|Ramayana|Turnip|2024|p=62}} ''Pekarangans'' are also integrated in local, community-level agroforestry systems, such as ''kaleka'' in [[Dayak people|Dayak]] households of Borneo.{{sfn|Rahu|Hidayat|Ariyadi|Hakim|2013|p=5}}
<div style="{{{style|text-align: center; height: 20%; width: 30%; margin: 0; padding: 1em; border: {{{border|solid 2px gold}}}; letter-spacing: {{{spacing|0px}}}; background-color: {{{bgcolor|black}}}; color: {{{fgcolor|white}}}; font-weight: bold;}}}"><span style="padding-left: {{{spacing|0px}}};">{{{1|{{#if: {{{bot|}}}|(penanda draf suntingan)|(penanda draf suntingan)}}}}}</span></div>
== Sejarah dan perkembangan ==
{{Quote frame|Pada pembentukan atau pendirian sebuah desa atau lahan baru, para calon pemukim akan memastikan untuk menyediakan lahan pekarangan yang cukup di sekitar gubuk mereka untuk ternak, serta untuk kebutuhan sehari-hari keluarga mereka. Hasil dari pekarangan ini adalah murni milik pemukim tersebut, dan dibebaskan dari kontribusi atau beban apa pun, serta di beberapa keresidenan (seperti di [[Keresidenan Kedu|Kedú]], misalnya), lahan tersebut mungkin mencakup sekitar sepersepuluh dari total luas wilayah. Lahan di sekitar tempat tinggal sederhana mereka dianggap sebagai warisan khusus oleh pemukim serta dibudidayakan dengan perhatian khusus. Mereka bekerja keras untuk menanam dan merawat sayuran yang paling berguna bagi keluarga mereka serta semak-semak dan pohon-pohon yang tidak hanya memberikan buah, tetapi juga naungan; dan mereka tidak membuang-buang tenaga di tanah yang tidak subur. Pondok-pondok, atau kumpulan gubuk-gubuk, yang membentuk desa, dengan demikian menjadi sepenuhnya terlindung dari cahaya matahari yang terik, dan begitu tertutup di tengah-tengah dedaunan yang subur, sehingga dari jarak yang agak jauh tidak ada tanda-tanda adanya hunian manusia yang dapat ditemukan, dan tempat tinggal masyarakat yang banyak tersebut hanya tampak seperti hutan hijau atau sekumpulan pohon hijau yang selalu rimbun. Tiada yang dapat melebihi keindahan atau daya tarik yang ditambahkan oleh kumpulan besar tumbuh-tumbuhan yang terpisah-pisah ini, tersebar di seluruh wajah pedesaan, serta menunjukkan tempat tinggal sekelompok pemukim yang bahagia, ke pemandangan yang sudah kaya, baik dilihat di sisi-sisi pegunungan, di lembah-lembah sempit, atau di dataran yang luas.|author=[[Stamford Raffles]]|title=[[The History of Java]]|source=1817 (terjemahan bebas).{{sfn | Raffles | 1817 | pp=81–82}} <br>{{resize|85%|Sebagian kutipan ini juga dikutip oleh Ann Stoler dalam Garden Use and Household Economy in Rural Java, 1978{{sfn|Stoler|1978|p=85}}}}}}
{| class="wikitable" style="float: right; margin:0.5em 0.5em"
! colspan="5" |
|-
!Province
Baris 106 ⟶ 133:
!>300m<sup>2</sup>
|-
|
|52.29%
|25.00%
Baris 112 ⟶ 139:
|8.95%
|-
|[[Jawa Tengah]]
|27.50%
|27.57%
Baris 118 ⟶ 145:
|31.73%
|-
|[[Jawa Timur]]
|34.52%
|25.83%
Baris 124 ⟶ 151:
|31.73%
|-
|[[Daerah Istimewa Yogyakarta|D.I. Yogyakarta]]
|33.51%
|17.48%
Baris 131 ⟶ 157:
|34.40%
|-
| colspan="5" |
|}
Oekan Abdullah dkk. berpendapat bahwa Jawa Tengah dianggap sebagai pusat kelahiran pekarangan. Kemudian, pekarangan menyebar ke Jawa Timur pada abad kedua belas.{{sfn|Abdoellah|Parikesit|Gunawan|Hadikusumah|2001|p=140}}{{sfn|Arifin|Sakamoto|Chiba|1998|p=94}} Soemarwoto dan Conway berpendapat bahwa bentuk awal pekarangan sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu, tetapi catatan pertama yang diketahui tentang pekarangan ini berasal dari sebuah babad Jawa tahun 860.{{sfn|Soemarwoto|Conway|1992|p=100}} Pada [[Hindia Belanda|era penjajahan Belanda]], pekarangan disebut sebagai ''erfcultuur''.{{sfn | Soemarwoto | Soemarwato | Karyono | Soekartadiredja | 1985 | p=44}} Pada abad kedelapan belas, pekarangan suku Jawa telah begitu memengaruhi Jawa Barat, sehingga sebagian masyarakat Jawa Barat (yang sebagian besarnya bersuku Sunda) telah beralih dari membudidayakan talun (bentuk kebun campuran lokal).{{sfn|Wiersum|2006|p=17}} Karena pekarangan mengandung banyak spesies yang waktu matangnya berbeda-beda, pihak-pihak yang memerintah Pulau Jawa sepanjang sejarahnya kesulitan untuk mengenakan pajak secara sistematis bagi pekarangan. Pihak-pihak pemerintah ini termasuk [[Daftar kerajaan yang pernah ada di Nusantara|kerajaan-kerajaan]], pihak kolonial, hingga [[pemerintah Indonesia]]. Pada tahun 1990, kesulitan ini menyebabkan pemerintah Indonesia melarang pengurangan sawah untuk dijadikan pekarangan. Kesulitan semacam ini berpotensi ikut membentuk pekarangan menjadi lebih kompleks seiring waktu. Meskipun demikian, pemerintahan-pemerintahan tersebut tetap berusaha untuk mengenakan pajak pada pekarangan.{{sfn | Dove | 1990 | pp=159–160}}
=== Dampak pertumbuhan ekonomi dan penduduk pada akhir abad ke-20 ===
Sejak tahun 1970-an, Indonesia telah mengalami pertumbuhan ekonomi berkat dorongan [[Rencana Pembangunan Lima Tahun]] (Repelita), yang diluncurkan oleh Presiden [[Soeharto]] pada tahun 1969. Pertumbuhan ekonomi ini membantu meningkatkan jumlah keluarga kelas menengah dan atas, sehingga meningkatkan permintaan akan produk berkualitas. Buah-buahan dan sayuran menjadi salah satu produk berkualitas yang permintaannya meningkat. Pekarangan di perkotaan, pinggiran kota, serta sentra produksi buah berupaya meningkatkan kualitas produknya. Namun, upaya tersebut mengurangi keanekaragaman hayati di pekarangan-pekarangan tersebut, sehingga membuat pekarangan lebih rentan terhadap hama dan penyakit tanaman. Beberapa wabah penyakit di pekarangan komersial terjadi pada tahun 1980-an dan 1990-an, seperti penyakit [[CVPD]] yang merusak banyak pohon jeruk mandalika dan penyebaran jamur [[patogen]] ''[[Phyllosticta]]'' yang menyerang hampir 20% pohon cengkeh di Jawa Barat. Kerentanan ini juga mempengaruhi kondisi ekonomi dan sosial masyarakat. Pemilik pekarangan lebih rentan mengutang, budaya berbagi dalam pekarangan komersial-tradisional menghilang, dan masyarakat miskin menikmati hak yang lebih sedikit dari pekarangan.{{sfn | Soemarwoto | Conway | 1992 | pp=110–111}}
=== Program pemerintah ===
[[file:Sby-pacitan-2-1.jpg|thumb|right|Presiden [[Susilo Bambang Yudhoyono]] saat berpidato di depan Kebun Bibit [[Kayen, Pacitan, Pacitan|Desa Kayen]], salah satu prototipe KRPL di [[Kabupaten Pacitan|Pacitan]], tahun 2012]]Pemerintah Indonesia meluncurkan kampanye Karang Kitri pada Oktober 1951, yang bertujuan untuk mengajak masyarakat untuk menanam pohon di pekarangan rumah dan jenis lahan lainnya. Tidak ada insentif yang diberikan dalam kampanye ini. Kampanye tersebut berakhir pada tahun 1960.{{sfn | Nawir | Murniati | Rumboko | 2007 | p=87}} Penggunaan pekarangan dimasukkan dalam program Diversifikasi Pangan dan Gizi yang dicanangkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1991.{{sfn | Ashari | Saptana | Purwantini |2016| p=16}}
Sejak awal 2010-an, pemerintah Indonesia, melalui [[Kementerian Pertanian Republik Indonesia|Kementerian Pertanian]], menjalankan program pengembangan pekarangan yang bernama Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP), yang berfokus di kawasan perkotaan dan semi-perkotaan. Program ini menerapkan agendanya melalui konsep yang disebut Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL).{{sfn | Saptana | Sunarsih | Friyatno |2013| p=67}}{{sfn | Ashari | Saptana | Purwantini |2016| p=17}} P2KP dilaksanakan berdasarkan Peraturan Presiden Indonesia No. 22 Tahun 2009. Terdapat juga program yang berfokus pada perempuan perkotaan, yang bernama Gerakan Perempuan untuk Optimalisasi Pekarangan (GPOP).{{sfn | Ashari | Saptana | Purwantini |2016| p=17}}
Selain program-program nasional, beberapa daerah di Indonesia telah melaksanakan program penggunaan pekarangan tersendiri. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur meluncurkan program yang disebut Rumah Hijau pada tahun 2010. Pemprov Jawa Timur kemudian bekerja sama dengan Kementerian Pertanian untuk mengembangkan program Rumah Hijau berdasarkan prototipe KRPL di [[Kabupaten Pacitan|Pacitan]], serta membuat program baru bernama Rumah Hijau Plus-Plus.{{sfn | Ashari | Saptana | Purwantini |2016| p=17}}
== Referensi ==
{{reflist|3}}
== Works cited ==
{{refbegin|2|indent=yes}}
* {{cite book | last1=Abdoellah | first1=Oekan Soekotjo | last2=Parikesit | last3=Gunawan | first3=Budhi | last4=Hadikusumah | first4=Herri |editor-last=Watson |editor-first=Jessica W. |editor-last2=Eyzaguirre |editor-first2=Pablo A. |title=Home Gardens and in Situ Conservation of Plant Genetic Resources in Farming Systems |chapter=Home gardens in the Upper Citarum Watershed, West Java: a challenge for in situ conservation of plant genetic resources |chapter-format=doc|pages=140–147|year=2001|publisher=International Plant Genetic Resources Institute|location=Witzenhausen|chapter-url=https://www.bioversityinternational.org/fileadmin/_migrated/uploads/tx_news/Home_gardens_and_in_situ_conservation_of_plant_genetic_resources_in_farming_systems_753.pdf }}
* {{cite book | last=Arifin | first=Hadi Susilo | title=Orasi Ilmiah Guru Besar: Pekarangan Kampung untuk Konservasi Agro-Biodiversitas dalam Mendukung Penganekargaman dan Ketahanan Pangan di Indonesia] | language=id | publisher=IPB Press | location=Bogor | year=2013 | url=https://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/73656}}
* {{cite book | last1=Arifin | first1=Hadi Susilo | last2=Kaswanto | first2=Regan Leonardus | last3=Nakagoshi | first3=Nobukazu | series=Ecological Research Monographs |editor-last=Nakagoshi |editor-first=Nobukazu |editor-last2=Mabuhay |editor-first2=Jhonamie A.|title=Designing Low Carbon Societies in Landscapes | chapter=Low Carbon Society Through Pekarangan, Traditional Agroforestry Practices in Java, Indonesia | publisher=Springer Japan | location=Tokyo | year=2014 |pages=129–143 |isbn=978-4-431-54818-8 | issn=2191-0707 | doi=10.1007/978-4-431-54819-5_8 }}
* {{cite journal |
* {{cite journal | last1=Arifin | first1=Hadi Susilo | last2=Sakamoto | first2=Keiji | last3=Chiba | first3=Kyozo |title=Effects of Urbanization on the Vegetation Structure of Home Gardens in West Java, Indonesia| journal=Japanese Journal of Tropical Agriculture | volume=42 | issue=2 | year=1998 | issn=2185-0259 | doi=10.11248/jsta1957.42.94 | pages=94–102 }}
* {{cite journal | last1=Ashari | last2=Saptana | last3=Purwantini | first3=Tri Bastuti | title=Potensi dan Prospek Pemanfaatan Lahan Pekarangan untuk Mendukung Ketahanan Pangan | journal=Forum Penelitian Agro Ekonomi | volume=30 | issue=1 | year=2016 | issn=2580-2674 | doi=10.21082/fae.v30n1.2012.13-30 | page=13 | doi-broken-date=1 November 2024 | language=id }}
* {{cite book | last1=Christanty | first1=Linda | last2=Abdoellah | first2=Oekan Soekotjo | last3=Marten | first3=Gerald G. | last4=Iskandar | first4=Johan | editor-last=Marten | editor-first=Gerry G. | title=Traditional Agriculture in Southeast Asia: a Human Ecology Perspective | chapter=Traditional Agroforestry in West Java: The Pekarangan (Homegarden) and Kebun-Talun (Annual-Perennial Rotation) Cropping Systems | publisher=Westview Press | location=Boulder, CO | year=1986 | pages=[https://archive.org/details/traditionalagric0000unse/page/132 132–158] | isbn=0813370264 | chapter-url=http://gerrymarten.com/traditional-agriculture/pdfs/Traditional-Agriculture-chapter-06.pdf | url=https://archive.org/details/traditionalagric0000unse/page/132 }}
* {{cite book | author=[Depdikbud] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia | author-link=Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia | title=Peralatan Produksi Tradisional dan Perkembangannya Daerah Lampung | editor-last=Sirat | editor-first=Muhidin | editor2=Miraya Zulaiha B | editor3= Budiono | editor4=Budhiono SK | publisher=Indonesian Department of Education and Culture | location=Jakarta | year=1993 | url=https://books.google.com/books?id=lD_DCgAAQBAJ&pg=PA79 | language=id | ref={{sfnref|Depdikbud|1993}} | access-date=2019-08-02}}
* {{cite journal | last=Dove | first=Michael R. | title=Socio-Political Aspects of Home Gardens in Java | journal=Journal of Southeast Asian Studies | volume=21 | issue=1 | year=1990 | issn=0022-4634 | doi=10.1017/s0022463400002009 | pages=155–163 | s2cid=131567459 }}
* {{cite journal | last1=Febrianto | first1=Redi Sigit | last2=Wulandari | first2=Lisa Dwi | last3=Santosa | first3=Herry | title=Domain Ruang Perempuan Pada Hunian Masyarakat Peladang Desa Juruan Laok Madura Timur | journal=Tesa Arsitektur | volume=15 | issue=1 | year=2017 | issn=2460-6367 | doi=10.24167/tesa.v15i1.1014 | pages=54–63 | s2cid=217305061 | url=http://journal.unika.ac.id/index.php/tesa/article/view/1014 | language=id | access-date=2019-08-04 | doi-access=free }}
* {{cite book | last=Gliessman | first=Stephen R. | title=Agroecology | series=Ecological Studies | editor-last=Gliessman | editor-first=Stephen R. | journal=Ecological Studies: Analysis and Synthesis | volume=78 | pages=160–168 | chapter=Integrating Trees into Agriculture: The Home Garden Agroecosystem as an Example of Agroforestry in the Tropics | publisher=Springer New York | location=New York | year=1990 |isbn=978-1-4612-7934-1 | issn=0070-8356 | doi=10.1007/978-1-4612-3252-0_11 }}
* {{cite web | title=Ini Aura yang Muncul dari Tanaman Pekarangan Berdasarkan Penempatannya | website=Bali Express | year=2018 | url=https://baliexpress.jawapos.com/read/2018/02/05/46345/ini-aura-yang-muncul-dari-tanaman-pekarangan-berdasarkan-penempatannya | language=id | ref={{sfnref | ''Bali Express'' | 2018}} | access-date=2019-08-04}}
* {{cite book | last1=Kaswanto | first1=Regan Leonardus | last2=Nakagoshi | first2=Nobukazu | series=Ecological Research Monographs |editor-last=Nakagoshi |editor-first=Nobukazu |editor-last2=Mabuhay |editor-first2=Jhonamie A.|title=Designing Low Carbon Societies in Landscapes | chapter=Landscape Ecology-Based Approach for Assessing Pekarangan Condition to Preserve Protected Area in West Java | publisher=Springer Japan | location=Tokyo | year=2014 | pages=289–311|isbn=978-4-431-54818-8 | issn=2191-0707 | doi=10.1007/978-4-431-54819-5_17 }}
* {{cite book | last1=Kehlenbeck | first1=Katja | last2=Arifin | first2=Hadi Susilo | last3=Maass | first3=Brigitte L. | series=Environmental Science and Engineering | editor-last=Tscharntke|editor-first=Teja|editor-last2=Leuschner|editor-first2=Christoph|editor-last3=Zeller|editor-first3=Manfred|editor-last4=Guhardja|editor-first4=Edi|editor-last5=Bidin|editor-first5=Arifuddin|title=Stability of Tropical Rainforest Margins | chapter=Plant diversity in homegardens in a socio-economic and agro-ecological context | publisher=Springer Berlin Heidelberg | location=Berlin, Heidelberg | year=2007 | pages=295–317 |isbn=978-3-540-30289-6 | doi=10.1007/978-3-540-30290-2_15 | chapter-url=http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/82260 }}
* {{cite book | last1=Kehlenbeck | first1=Katja | last2=Maass | first2=Brigitte L. | title=Tropical Homegardens | series=Advances in Agroforestry | volume=3 | editor-last=Kumar |editor-first=B. Mohan|editor-last2=Nair|editor-first2=P. K. Ramachandran| url=https://archive.org/details/tropicalhomegard00kuma | url-access=limited | chapter=Are tropical homegardens sustainable? Some evidence from Central Sulawesi, Indonesia | publisher=Springer Netherlands | location=Dordrecht | year=2006 |pages=[https://archive.org/details/tropicalhomegard00kuma/page/n343 339]–354| isbn=978-1-4020-4947-7 | issn=1875-1199 | doi=10.1007/978-1-4020-4948-4_19 }}
* {{cite journal | last1=Maningtyas | first1=Rosyidamayanti Twinsari | last2=Gunawan | first2=Andi | title=Taneyan Lanjhang, Study of Home Garden Design Based Local Culture of Madura | journal=IOP Conference Series: Earth and Environmental Science | volume=91 | issue=12022 | pages=012022 | year=2017 | doi=10.1088/1755-1315/91/1/012022 | bibcode=2017E&ES...91a2022M | s2cid=115662122 | doi-access=free }}
* {{cite report |author-last=Mitchell |author-first=Robert |author-last2=Hanstad |author-first2=Tim| year=2004 |title=Small Homegarden Plots and Sustainable Livelihoods for the Poor |url=http://www.fao.org/tempref/docrep/fao/007/j2545e/j2545e00.pdf |publisher=FAO }}
* {{cite book | last1=Nawir | first1=Ani Adiwinata | last2=Murniati | last3=Rumboko | first3=Lukas | title=Forest rehabilitation in Indonesia: Where to after more than three decades?| url=http://www.cifor.org/publications/pdf_files/Books/BNawir0701.pdf | publisher=[[Center for International Forestry Research]] | location=Jakarta, Indonesia | year=2007 | isbn=978-979-1412-05-6 | oclc=226211357 }}
* {{cite web | title=pekarangan | website=[[Kamus Besar Bahasa Indonesia]] Daring | publisher=[[Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa]], [[Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia|Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia]] | url=https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/pekarangan | language=id | ref={{sfnref|KBBI}} | access-date=2020-01-11}}
* {{cite journal | last1=Prabowo | first1=Walesa Edho | last2=Darras | first2=Kevin | last3=Clough | first3=Yann | last4=Toledo-Hernandez | first4=Manuel | last5=Arlettaz | first5=Raphael | last6=Mulyani | first6=Yeni A. | last7=Tscharntke | first7=Teja | editor-last=Bersier | editor-first=Louis-Felix | title=Bird Responses to Lowland Rainforest Conversion in Sumatran Smallholder Landscapes, Indonesia | journal=PLOS ONE | publisher=Public Library of Science (PLoS) | volume=11 | issue=5 | year=2016 | issn=1932-6203 | doi=10.1371/journal.pone.0154876 | pmid=27224063 | pmc=4880215 | page=e0154876 | bibcode=2016PLoSO..1154876P | doi-access=free }}
* {{cite journal | last1 = Pranoto | first1 = Hadi | last2 = Pujowati | first2 = Penny | last3 = Ramayana | first3 = Syamad | last4 = Turnip | first4 = Guido Narodo | year = 2024 | title = Identification of Homegarden Patterns on Several Etnic in Berau Regency | journal = Jurnal Agroekoteknologi Tropika Lembab | volume = 6 | issue = 2 | pages = 61–67 | url = https://core.ac.uk/download/pdf/599201052.pdf }}
* {{cite journal |
* {{cite book | last=Raffles | first=Thomas Stamford | author-link=Stamford Raffles | title=The History of Java: In Two Volumes | publisher=Black, Parbury, and Allen | year=1817 |location=London| url=https://books.google.com/books?id=_-dCAAAAcAAJ | access-date=2019-08-24}}
* {{cite journal | last1 = Rahu | first1 = Anggie Abban | last2 = Hidayat | first2 = Kliwon | last3 = Ariyadi | first3 = Mahrus | last4 = Hakim | first4 = Luchman | title = Ethnoecology of Kaleka: Dayak's Agroforestry in Kapuas, Central Kalimantan Indonesia | journal = Research Journal of Agriculture and Forestry Sciences | volume = 1 | issue = 8 | pages = 5–12 | url = https://www.isca.me/AGRI_FORESTRY/Archive/v1/i8/2.ISCA-RJAFS-2013-043.pdf | year = 2013}}
* {{cite journal | last1=Roshetko | first1=James M. | last2=Delaney | first2=Matt | last3=Hairiah | first3=Kurniatun | last4=Purnomosidhi | first4=Pratiknyo | title=Carbon stocks in Indonesian homegarden systems: Can smallholder systems be targeted for increased carbon storage? – American Journal of Alternative Agriculture | journal=American Journal of Alternative Agriculture | volume=17 | issue=3 | year=2002 | issn=1478-5498 | doi=10.1079/AJAA200116 | pages=138–148 | url=https://www.cambridge.org/core/journals/american-journal-of-alternative-agriculture/article/carbon-stocks-in-indonesian-homegarden-systems-can-smallholder-systems-be-targeted-for-increased-carbon-storage/45B51C1F60FEBCF91FB7F97885E95EF0 | access-date=2019-08-23}}
* {{cite journal | last=Rostiyati | first=Ani | title=Tipologi Rumah Tradisional Kampung Wana di Lampung Timur | journal= Patanjala | volume=5 | issue=3 | year=2013 | issn=2598-1242 | doi=10.30959/patanjala.v5i3.101 | pages=459–474 | language=id | doi-access=free }}
* {{cite journal | last=Saraswati | first=A.A. Oka | title=Transformasi Arsitektur Bale Daja | journal=DIMENSI (Journal of Architecture and Built Environment) | volume=36 | issue=1 | year=2009 | issn=2338-7858 | pages=35–42 | url=http://dimensi.petra.ac.id/index.php/ars/article/view/16972 | language=id | access-date=2019-08-04}}
* {{cite journal | last1=Saptana | last2=Sunarsih | last3=Friyatno | first3=Supena | title=Prospek Model-Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) Dan Replikasi Pengembangan KRPL | journal=Forum Penelitian Agro Ekonomi | volume=31 | issue=1 | year=2013 | issn=2580-2674 | doi=10.21082/fae.v31n1.2013.67-87 | page=67 | doi-broken-date=1 November 2024 | language=id }}
* {{cite journal | last1=Soemarwoto | first1=Otto |author-link=Otto Soemarwoto | last2=Soemarwato | first2=Idjah | author3=Karyono | last4=Soekartadiredja | first4=E. Momo | last5=Ramlan | first5=Aseng | title=The Javanese Home-Garden as an Integrated Agro-Ecosystem | journal=Food and Nutrition Bulletin | volume=7 | issue=3 | pages=1–4 | year=1985 | issn=1564-8265 | doi=10.1177/156482658500700313 | s2cid=80666398 | doi-access=free }}
* {{cite journal | last1=Soemarwoto | first1=Otto |author-link=Otto Soemarwoto | last2=Conway | first2=Gordon R. |author-link2=Gordon Conway | title=The Javanese homegarden | journal=Journal of Farming Systems Research-Extension | volume=2 | issue=3 | year=1992 | pages=95–118|url=https://ufdc.ufl.edu/UF00071921/00005/97j }}
* {{cite journal | last=Stoler | first=Ann |author-link=Ann Stoler| title=Garden Use and Household Economy in Rural Java | journal=Bulletin of Indonesian Economic Studies | publisher=Informa UK Limited | volume=14 | issue=2 | year=1978 | issn=0007-4918 | doi=10.1080/00074917812331333331 | pages=85–101 }}
* {{cite journal | last=Torquebiau | first=Emmanuel | title=Are tropical agroforestry home gardens sustainable? | journal=Agriculture, Ecosystems & Environment | volume=41 | issue=2 | year=1992 | issn=0167-8809 | doi=10.1016/0167-8809(92)90109-o | pages=189–207 | bibcode=1992AgEE...41..189T }}
* {{cite journal | last=Widyastuti | first=Rahayu | title=Abundance, Biomass and Diversity of Soil Fauna at Different Ecosystems in Jakenan, Pati, Central Java | journal=Jurnal Ilmu Tanah Dan Lingkungan |trans-journal=Journal of Soil Science and Environment| volume=6 | issue=1 | year=2011 | pages=1–6 | issn=2549-2853 | doi=10.29244/jitl.6.1.1-6 | doi-access=free }}
* {{cite book | last=Wiersum | first=K.F. | title=Tropical Homegardens | editor-last=Kumar |editor-first=B. Mohan|editor-last2=Nair|editor-first2=P. K. Ramachandran| volume=3 | pages=13–24 | chapter=Diversity and change in homegarden cultivation in Indonesia | publisher=Springer Netherlands | location=Dordrecht | year=2006 |isbn=978-1-4020-4947-7 | issn=1875-1199 | doi=10.1007/978-1-4020-4948-4_2 | series=Advances in Agroforestry }}
* {{cite journal | last1=Yamamoto | first1=Yoshinori | last2=Kubota | first2=Naohiro | last3=Ogo | first3=Tatsuo | last4=Priyono | title=Changes in the Structure of Homegardens under Different Climatic Conditions in Java Island| journal=Japanese Journal of Tropical Agriculture | volume=35 | issue=2 | year=1991 | issn=2185-0259 | doi=10.11248/jsta1957.35.104 | pages=104–117 }}
{{refend}}
|