Mi Le Da Dao: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Vendyxiao (bicara | kontrib)
Vendyxiao (bicara | kontrib)
 
Baris 26:
Dalam perkembangannya, Chen Boling mengubah kotbah-kotbahnya menjadi sangat terlokalisasi serta mengijinkan para umat-umatnya untuk menerjemahkan istilah-istilah [[bahasa Mandarin]] menjadi [[bahasa Indonesia]]. Pada saat masuk ke dalam [[Orde Baru]], di mana terjadi surpresi terhadap kebudayaan Tionghua, semua vihara yang di bawah kepemimpinan Chen Boling menyesuaikan diri dengan mengubah hampir semua istilah-istilah bahasa mandarin di dalam vihara menjadi bahasa Indonesia.{{Sfn|Billioud|2022|p=224}} Di masa Orde Baru ini, kelompok-kelompok Yiguandao yang lain di Taiwan tidak berani menyebarkan ajaran di Indonesia karena adanya [[Peraturan terhadap orang Tionghoa di Indonesia|kebijakan anti-Tionghua]] yang dijalankan Orde Baru.{{Sfn|Billioud|2022|p=225}} Sementara itu, kalangan Tao yang berada di bawah kepemimpinan Chen Boling ini terus berkembang menjadi salah satu aliran dari [[agama Buddha]] di [[Indonesia]]. Kalangan Tao yang dipimpin Chen Boling juga mulai mengadopsi istilah-istilah bahasa Indonesia dari [[bahasa Sanskerta]] serta mengubah gelar-gelar para [[dewa]] yang disembah dan upacara keagamaan ke dalam [[Bahasa Indonesia]].{{Sfn|Billioud|2022|p=225}} Sebagai contoh, [[Zhang Tianran]], salah satu dari patriark ke-18 I Kuan Tao, diterjemahkan menjadi "Bapak Guru Agung", sementara itu [[Sun Suzhen|Sun Huiming]], diterjemahkan menjadi "Ibu Suci".{{Sfn|Billioud|2022|p=224}} Dan kitab yang penting seperti "Penjelasan dari Jawaban Kebenaran" (性理題釋) diterjemahkan menjadi "Kitab Uraian Metafisika".{{Sfn|Billioud|2022|p=224}} Vihara-vihara pun tercantum kalimat "[[Tuhan]] Maha Esa", dan mulai mengikuti perayaan agama Buddha seperti [[Waisak]], [[Kathina]], dan menggantungkan gambar Buddha [[Siddharta]]. Hal ini merupakan salah satu alasan utama mengapa I Kuan Tao di bawah kepemimpinan Chen berkembang pesat dan dapat bertahan di era Orde Baru.
 
Setelah [[Meninggal|meninggalnya]] Shi Mu di tahun 1975, terjadi kekacauan di kalangan I Kuan Tao di [[Taiwan]]. Wang Hao-te atau di Indonesia juga dikenal sebagai sesepuh Ong mengklaim bahwa dirinya merupakan penerus [[Tianming|Firman Tuhan]] yang diangkat oleh Shi Mu. Para pemimpin kelompok I Kuan Tao menolak klaim tersebut dan tidak lagi mengakui kelompok Wang Hao-te sebagai bagian dari I Kuan Tao, sehingga Wang Hao-te mendirikan kelompok baru yang kemudian dikenal dengan nama Miledadao. Wang Hao-te kemudian menghubungi kalangan I Kuan Tao yang ada di Indonesia, tapi Chen Boling melarang Wang Hao-te untuk mencampuri urusan kalangan Tao di Indonesia dan melarangnya untuk menginjakkan kaki di pulau [[Jawa]].{{Sfn|Billioud|2022|p=226}} Demi urusan ini, Wang Hao-te menjalin komunikasi dengan kalangan Tao yang ada di Medan. Sesepuh yang bertanggung jawab di kalangan Tao Medan, Yang Shuiyuan (楊水源) atau dikenal dengan Prajnamitra, sudah cukup tua sehingga menyerahkan urusan Tao kepada anaknya Yang Qingmu (楊青木), yang kemudian mengakui Firman Tuhan Wang Hao-te dan membuat kalangan Tao di Medan mengikuti petunjuk dari kalangan Miledadao, dan juga membantu Wang Hao-te mengambil alih kalangan-kalangan Tao di vihara lainnya.{{Sfn|Billioud|2022|p=226}} Selanjutnya, Wang Hao-te menetapkan Fu Yuchun (傅玉春) sebagai penerus dari Chen Boling. Tak lama setelah itu, Chen Boling meninggal dunia, dan sebagian besar kalangan Tao di Indonesia sudah masuk ke dalam kalangan Miledadao. Setelah itu, Wang Hao-te mengangkat Fu Yuchun sebagai sesepuh (''qianren''), tapi pada prakteknya, dia tidak memegang kekuasaan secara sebenarnya. Fu sering bepergian ke [[Australia]] demi mengobati penyakitnya dan pada akhirnya memutuskan untuk pindah ke Australia.{{Sfn|Billioud|2022|p=226}} Salah satu pemimpin kalangan Tao di Jakarta, Yang Xiaoqin (楊孝親) tidak mengakui Firman Tuhan Wang Hao-de dan keluar dari kalangan Miledadao, dan sejak itu kalangan Tao-nya secara berlahan mulai habis. Dari sini, dapat dilihat bahwa pada tahun 1970-an dan 1980-an, kalangan Tao di bawah kepimpinan Chen Boling harus menanggung tekanan [[Peraturan terhadap orang Tionghoa di Indonesia|kebijakan anti-Tionghua]] secara eksternal, sementara secara internal, mereka berada dalam kondisi kebingungan dan kekacauan akibat pengakuan dari Wang Hao-te setelah Shi Mu meninggal.{{Sfn|Billioud|2022|p=226}} Pengubahan semua elemen ke dalam bahasa Indonesia menjadi pedang bermata dua, di satu sisi hal tersebut membuat ajaran menjadi mudah diterima di kalangan masyarakat Indonesia dan sesuai dengan kebijakan anti-Tionghua yang dijalankan [[Orde Baru]], di sisi lain hal tersebut membuat para penceramah lokal Indonesia tidak mengetahui asal-usul kalangan Tao induk-nya di Taiwan, sehingga hampir semua kalangan Tao di Indonesia sulit untuk menjalin hubungan dengan kelompok asalnya di Taiwan. Maka secara alami, banyak kalangan I Kuan Tao di Indonesia yang pada akhirnya berubah menjadi Miledadao.{{Sfn|Billioud|2022|p=227}}
 
Miledadao secara resmi diakui di Indonesia setelah mendaftarkan diri ke Kementerian Agama pada tahun 2000 dan membentuk Majelis Pandita Buddha Maitreya [[Indonesia]] (MAPANBUMI) yang bernaung di bawah [[Walubi]].