Ketuhanan dalam Buddhisme: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Faredoka (bicara | kontrib)
-pra=https://en.wiki-indonesia.club/wiki/File:042_Brahma_Sahampati_requests_the_Buddha_to_Teach_despite_his_Reluctance_(9270761017).jpg
HsfBot (bicara | kontrib)
k v2.05b - Perbaikan untuk PW:CW (Hirarki sub-judul)
 
(29 revisi perantara oleh 4 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 2:
{{Buddhisme|dhamma}}
{{Konsep Tuhan}}
'''Ketuhanan dalam Buddhisme''' tidak berdasarkan kepada suatu [[Tuhan personal]] Yang [[Kemahakuasaan|Maha Kuasa]] sebagai [[Tuhan pencipta|pencipta]] dan pengatur [[alam semesta]] ([[Pāli|Pali]]: ''issara;'' [[Sanskerta]]: ''[[Iswara|īśvara]]'').<ref {{efn|name=":02">Nasiman, Nurwito. 2017 (III). Pendidikan Agama Budha dan Budi Pekerti untuk SMA Kelas X. pp. 175-176. ISBN 978-602-427-074-2. nasiman|"Dengan memahami bahwa semua hal yang terjadi di dunia ini semata-mata hasil dari proses hukum kosmis, kita diharapkan dapat meninggalkan konsep yang salah tentang penciptaan bahwa dunia ini diciptakan oleh sosok pencipta yang disebut brahma, Tuhan, atau apa pun sebutannya."<ref name="nurwito"/ref>}} [[Sang Buddha]] menyatakan bahwa pandangan tersebut merupakan suatu [[Pandangan (Buddhisme)|pandangan salah]] (''micchādiṭṭhi'') yang harus dihindari, dan menyampaikan pernyataan yang mirip seperti [[Masalah kejahatan (filsafat)|masalah kejahatan]] dalam [[filsafat agama]]. Meskipun [[Buddhisme]] meyakini eksistensi makhluk-makhluk di alam yang lebih tinggi, seperti [[Dewa (Buddhisme)|dewa]] dan [[Brahma (Buddhisme)|brahma]], mereka tidak diyakini sebagai Tuhan.
 
Sang Buddha sendiri tidak pernah menyebut diri-Nya sebagai Tuhan. Fungsi dari kemunculan seorang Buddha adalah untuk menemukan kembali ajaran yang telah hilang, yang kemudian disebut sebagai Dhamma.<ref name=":11">{{Cite book|last=Kheminda|first=Ashin|date=2017-09-01|url=https://books.google.co.id/books?id=vJEUEAAAQBAJ|title=Manual Abhidhamma: Bab 1 Kesadaran|publisher=Yayasan Dhammavihari|isbn=978-623-94342-6-7|language=id|url-status=live}}</ref> Buddha diyakini sebagai [[guru]] agung umat Buddha yang telah menemukan [[Dhamma]], bukan menciptakan Dhamma.<ref name=":63">{{Cite web|title=Sutta reference for that Buddha discovered the Dhamma, not invented it|url=https://discourse.suttacentral.net/t/sutta-reference-for-that-buddha-discovered-the-dhamma-not-invented-it/26152|website=SuttaCentral Discuss & Discover|access-date=2024-02-08}}</ref> Setelah mengajarkan Dhamma, ajaran yang telah ditemukan-Nya, Beliau memutuskan untuk hanya memberi hormat kepada Dhamma dan bukan suatu makhluk apa pun.
 
[[Komentar (Theravāda)|Kitab-kitab komentar]] Buddhisme [[Theravāda]] merangkum daftar [[Niyāma]] ("Hukum Alam"), yaitu suatu hukum [[Tuhan personal|impersonal]] yang mengatur [[alam semesta]] dan bekerja tanpa pribadi pengatur tertinggi. Niyāma tersebut terdiri atas hukum keteraturan musim (''utu''), benih atau bibit (''bīja''), karma (''kamma''), kesadaran (''citta''), dan segala fenomena (''dhamma''). Daftar ini ditujukkan untuk menggambarkan cakupan universal hukum [[Kemunculan Bersebab]] (''paticcasamuppādapaṭiccasamuppāda''). [[Ledi Sayadaw]] menyatakan bahwa diperkenalkannya istilah "''pañcaniyāma''" dalam [[kitab komentar]] bukanlah untuk meninggikan atau merendahkan hukum [[Karma dalam Buddhisme|karma]], namun untuk menunjukkan ruang lingkup Hukum Alam sebagai alternatiftanggapan terhadap klaim [[teisme]]. Menurut Bhikkhu [[Sri Paññāvaro Mahāthera]], dalam sebuah ceramah, hukum karma (''kamma-niyāma'') dianggap memenuhi pemahaman masyarakat umum terkait Tuhan, jika perlu mencari sesuatu yang berperan seperti Tuhan dalam Buddhisme.
 
Selain itu, beberapa ahli, seperti [[Cornelis Wowor]], menyatakan bahwa [[Nirwana]] sebagai keadaan dan tujuan tertinggi dapat diinterpretasikan sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa. Pendapat ini kemudian digunakan sebagai dasar [[legal]] untuk memenuhi sila pertama [[Pancasila|Pancasila Indonesia]] tersebut. Dasar teks kitab suci yang digunakan berasal dari syair dalam Tatiyanibbāna Sutta ([[Udāna]] 8.3), yaitu "''ajātaṁ abhūtaṁ akataṁ asaṅkhataṁ''" dengan makna:
 
# Yang Tidak Dilahirkan (''ajāta'')
Baris 15:
# Yang Tidak Terkondisi (''asaṅkhata'')
 
Buddha juga mengajarkan pengembangan sifat-sifat luhur yang disebut [[Brahmavihāra]], yaitu cinta kasih (''[[mettā]]''), belas kasih ([[Karuna|''karuṇā'']]), simpati ([[Mudita|''[[mudita'']]''), dan ketenangan ([[Upekkha|''upekkhā'']]).<ref>{{Cite web|last=Tran|first=Alex|date=2016-06-08|title=Brahma-Vihara: The Four Divine States or Four Immeasurables of Buddhism|url=https://seattleyoganews.com/brahma-vihara-the-four-divine-states-or-four-immeasurables-of-buddhism/|website=Seattle Yoga News|language=en-US|access-date=}}</ref> Menurut Handaka Vijjānanda, sifat-sifat luhur ini dapat diinterpretasikan sebagai sifat-sifat Ketuhanan.
 
Di kesempatan lain, Buddha menolak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan cara kerja presisi dari hukum karma dan berbagai spekulasi tentang dunia (''lokacintā''), seperti asal -usul semesta, dengan menyatakan pertanyaan-pertanyaan tersebut sebagai "hal yang tidak terpikirkan" (''acinteyya'') yang, jika dipikirkan, dapat menghasilkan kegilaan atau frustrasi. Selain itu, Buddha juga menjelaskan Nirwana sebagai "hal yang berada di luar jangkauan nalar" (''atakkāvacara'') karena sulit untuk dipahami dengan logika atau alasan oleh seseorang yang belum mencapainya sendiri.
 
Buddhisme tidak menekankan pada keterlibatan pribadi pencipta dunia dalam pemahamannya mengenai iman, berdoa, terbentuknya alam semesta, munculnya manusia, kiamat, hingga keselamatan atau kebebasan.<!--Perbedaan konsep tentang Ketuhanan ini perlu ditekankan di sini, sebab masih banyak umat Buddha yang mencampur-adukkan konsep Ketuhanan menurut agama Buddha dengan konsep Ketuhanan menurut agama-agama lain. Sehingga banyak umat Buddha yang menganggap bahwa konsep Ketuhanan dalam [[Buddhisme|agama Buddha]] adalah sama dengan konsep Ketuhanan dalam agama-agama lain.
Baris 25:
== Theravāda ==
{{Seealso|1=Theravāda}}
{{Theravada}}
 
Menurut beberapa diskursus dalam kitab suci [[Tripitaka Pali]] beserta [[Aṭṭhakathā|kitab-kitab komentarnya]] yang diyakini oleh para pengikut aliran [[Theravāda]], [[Sang Buddha]] menjelaskan beberapa pandangan-Nya atas gagasan tentang Tuhan dan Ketuhanan.
 
Baris 43:
{{Seealso|0=Masalah kejahatan (filsafat)}}
 
<!--Teks-teks kitab Jātaka di sini diterjemahkan dari Wikipedia bahasa Inggris karena terjemahan resmi Lembaga Tipiṭaka Indonesia untuk teks Jātaka belum diterbitkan ke publik.-->Beberapa cerita dalam kitab [[Jātaka (Tripitaka Pali)|Jātaka]] dan [[Majjhima Nikāya]] menguraikan kritik terhadap [[Tuhan pencipta|dewa atau Tuhan pencipta]] yang mirip seperti [[Masalah kejahatan (filsafat)|masalah kejahatan]] dalam [[filsafat agama]].<ref>Harold Netland, Keith Yandell (2009). ''"Buddhism: A Christian Exploration and Appraisal"'', pphlm. 184 - 186. InterVarsity Press.</ref>
 
Dalam Bhūridatta Jātaka ([[Jātaka (Tripitaka Pali)|Ja]] no. 543), Buddha Gotama sewaktu masih menjadi seorang [[Bodhisatwa]] (calon Buddha) berkata:<ref name="Narada Thera 2006 pphlm. 268-269">Narada Thera (2006) ''"The Buddha and His Teachings,"'' pphlm. 268-269, Jaico Publishing House.</ref><ref>{{Cite web|last=Indonesia Tipitaka Center|date=2018-02-16|title=Bhuridatta-Jataka|url=https://samaggi-phala.or.id/tipitaka/bhuridatta-jataka/|website=Samaggi Phala|language=en-USid|access-date=2024-09-19}}</ref>
 
{{Cquote|la yang memiliki mata bisa melihat pemandangan memuakkan;<br>Mengapa [[Brahma]] tidak mengatur makhluk ciptaannya dengan benar?<br>Jika kekuatannya yang luas tanpa batas bisa mengekang;<br>Mengapa tangannya begitu jarang terulur untuk memberkahi?<br>Mengapa makhluk ciptaannya semua tertakdirkan menderita?<br>Mengapa ia tidak memberikan kebahagiaan kepada semuanya?<br>Mengapa kebohongan, dusta, dan kekelirutahuan merajalela?<br>Mengapa kesesatan berjaya, keadilan dan kebenaran kalah?<br>Saya memandang Brahma-mu sebagai yang paling tidak adil di antara semuanya;<br>Yang membuat dunia yang bisa melindungi kekeliruan.}}
 
Dalam Mahābodhi Jātaka ([[Jātaka (Tripitaka Pali)|Ja]] no. 528), [[Bodhisatwa]] Gotama berkata:<ref>Narada Thera (2006) ''"The Buddha and His Teachings,"'' phlm. 271, Jaico Publishing House.</ref><ref>{{Cite web|last=Indonesia Tipitaka Center|date=2011-08-26|title=Mahabodhi Jataka|url=https://samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/mahabodhi-jataka-2/|website=Samaggi Phala|language=en-USid|access-date=2024-09-19}}</ref>
 
{{Cquote|Jika benar ada seorang makhluk kuat yang mahakuasa;<br>untuk memberikan, dalam kehidupan semua makhluk,<br>kebahagiaan atau penderitaan, dan perbuatan baik atau buruk,<br>maka Tuan itu telah ternoda oleh perbuatan buruk;<br>Manusia hanya berbuat atas (sesuai dengan) keinginannya.}}
Baris 62:
{{Seealso|1=Diṭṭhi}}
[[Berkas:Alam_Kehidupan.png|jmpl|313x313px|Loka atau alam kehidupan menurut Buddhisme]]
Umat Buddha menerima keberadaan makhluk hidup di alam yang lebih tinggi, yang dikenal sebagai [[Dewa (Buddhisme)|dewa]]. Dalam [[Kosmologi Buddha|kosmologi Buddhisme]], dewa adalah sebutan untuk makhluk-makhluk yang menempati [[Loka (Buddhisme)#Loka surga dan loka manusia|loka surga]], di dalamnya termasuk [[Loka (Buddhisme)#Loka brahma|loka brahma]] (''brahmaloka''). Dewa digambarkan sebagai makhluk yang tidak setara dengan manusia, memiliki kesaktian, dan berumur panjang. Para dewa yang tinggal di loka brahma (''brahmaloka'') secara spesifik disebut sebagai 'brahma'. Akan tetapi, mereka tetap tunduk pada kematian dan belum tentu lebih bijaksana daripada makhluk lainnya. Mereka bukan Tuhan Yang Maha Kuasa dan tidak Maha Sempurna. Para dewa, layaknya manusia, juga merupakan makhluk yang sedang dalam usaha mencari kesempurnaan hidup. Bahkan, Buddha sering disebut sebagai guru para dewa.<ref {{efn|name=":0">Nasiman, Nurwito. 2017 (III). Pendidikan Agama Budha dan Budi Pekerti untuk SMA Kelas X. pp. 175-176. ISBN 978-602-427-074-2. "Dengan memahami bahwa semua hal yang terjadi di dunia ini semata-mata hasil dari proses hukum kosmis, kita diharapkan dapat meninggalkan konsep yang salah tentang penciptaan bahwa dunia ini diciptakan oleh sosok pencipta yang disebut brahma, Tuhan, atau apa pun sebutannya."</ref>nasiman}}
 
Kendati sama-sama merupakan agama berbasis [[darma]], [[Brahma (Buddhisme)|brahma]] dalam agama Buddha berbeda dengan [[Brahma]] dalam [[agama Hindu]] yang diyakini sebagai pencipta dunia. Mahābrahmā, atau Brahma Agung, disebutkan dalam [[Dīgha Nikāya]] sebagai makhluk yang menempati alam atas.<ref>{{cite book|author=Peter Harvey|year=2013|url=https://books.google.com/books?id=u0sg9LV_rEgC|title=An Introduction to Buddhism: Teachings, History and Practices|publisher=Cambridge University Press|isbn=978-0-521-85942-4|pages=35–36}}</ref> Ia merupakan dewa pemimpin dan penguasa loka brahma.<ref>{{cite book|author1=Richard K. Payne|author2=Taigen Dan Leighton|year=2006|url=https://books.google.com/books?id=fRux5Nc19RMC|title=Discourse and Ideology in Medieval Japanese Buddhism|publisher=Routledge|isbn=978-1-134-24210-8|pages=57–58}}</ref><ref name="edkins224">{{cite book|author=Joseph Edkins|url=https://books.google.com/books?id=TPrOoe2_zsQC&pg=PA224|title=Chinese Buddhism: A Volume of Sketches, Historical, Descriptive and Critical|publisher=Trübner|pages=224–225}}</ref> Brahma, sebagai dewa yang berkedudukan lebih tinggi dalam [[Kosmologi Buddha|kosmologi Buddhisme]], juga bukan merupakan Tuhan Yang Maha Kuasa.
 
Kepercayaan bahwa dunia yang sekarang memiliki awal dan akhir—dengan merenungkan perumpamaan tentang rumah dengan pembangunnya—sering kali sampai pada kesimpulan bahwa dunia pasti memiliki pencipta: Sang Pencipta, Brahma, atau ‘Tuhan’ pada umumnya. Namun, menurut [[Buddhisme]], terjadinya dunia merupakan suatu siklus. Pandangan ini meyakini bahwa banyak dunia yang telah terbentuk dan hancur pada masa lampau. Setelahnya, dunia yang baru akan menggantikan dunia yang sekarang pada masa yang akan datang dan seterusnya.<ref>Nasiman, Nurwito. 2017 (III). Pendidikan Agama Budha dan Budi Pekerti untuk SMA Kelas X. ISBN 978-602-427-074-2. {{efn|"Dalam mencari sebab pertama permulaan dunia, mereka gagal. Namun, dengan merenungkan tentang rumah dan bangunan dengan perancang dan pembangunnya, mereka sampai pada kesimpulan bahwa dunia ini pasti memiliki penciptanya dan ia pastilah Sang Pencipta, mahabrahma, atau ‘Tuhan’'Tuhan'."</ref name="nurwito"><ref>Corneles WoworNasiman, MNurwito.A 2017 (III). "KetuhananPendidikan YangAgama MahaesaBudha Dalamdan AgamaBudi Buddha"Pekerti untuk SMA Kelas X. WebsiteISBN Buddhis978-602-427-074-2.</ref>}}{{efn|"Mereka Samaggiantara Phala.lain:
1. #Helmut von Glasenapp, Buddhism, A Non-Theistic Religion.
2. #Douglas M. Burns, M.D., Buddhism, Science and Atheism.
 
"Mereka antara lain:
1. Helmut von Glasenapp, Buddhism, A Non-Theistic Religion.
2. Douglas M. Burns, M.D., Buddhism, Science and Atheism.
Kedua penulis ini menitikberatkan pengertian atau konsep Ketuhanan seperti konsep Ketuhanan yang ada pada agama lain di luar agama Buddha. Mereka menanggapi dengan serius tentang Maha Brahma sebagai pencipta yang ditolak oleh Sang Buddha. Bila Maha Brahma dilegitimasikan sebagai atau sama dengan Ketuhanan dalam agama tersebut, ini berarti bahwa Ketuhanan dalam agama tersebut pun turun derajatnya menjadi dewa atau manusia! Jelas pandangan seperti ini adalah keliru.
Menurut pandangan Buddhis, Maha Brahma yang disebutkan dalam Brahmajala Sutta adalah mahluk yang belum mencapi tingkat kesucian, dan pada suatu waktu kelak bila karma baik Maha Brahma tersebut untuk hidup di alam Maha Brahma itu telah habis, maka Maha Brahma itu akan terlahir di alam yang lebih rendah yaitu di alam para dewa (devaloka) atau terlahir sebagai manusia. Banyak penulis yang berpandangan seperti di atas, tapi karena terbatasnya waktu maka cukup dua penulis itu yang disinggung di sini."<ref>Corneles Wowor, M.A. "Ketuhanan Yang Mahaesa Dalam Agama Buddha". Website Buddhis Samaggi Phala.</ref>}} Dengan menekankan pada siklus terbentuknya dunia, [[Sang Buddha]] menolak kedudukan Mahābrahmā sebagai Tuhan, Pencipta, Yang Maha Kuasa, Yang Tak Tertaklukkan, Maha Melihat, Yang Termulia, Penguasa, Pengambil Keputusan, Pemberi Perintah, dan sebagainya dalam Brahmajāla Sutta ([[Dīgha Nikāya|DN]] 1).<ref>{{Cite web|last=Anggara|first=Indra|title=DN 1: Brahmajālasutta|url=https://suttacentral.net/dn1/id/anggara|website=SuttaCentral|access-date=2022-09-18}}</ref><ref>Sutta Pitaka, Digha Nikaya I, Proyek Pengadaan Kitab Suci Buddha hal 22-24. {{efn|"Kecuali alam Suddhavasa (Aviha, Atappa, Sudassa, Sudassi dan Akahittha) dari 31 alam ini yaitu 26 alam pernah menjadi tempat kelahiran dari mahluk yang telah menjadi manusia sekarang. Dengan kata lain kita dapat terlahir di 26 alam tersebut, tapi selama kita belum mencapai kesucian atau kebebasan mutlak maka alam kehidupan kita berubah terus. Terlahir kembali menurut pandangan Buddhis yaitu kelahiran seseorang di antara 31 alam kehidupan tersebut. Dalam ungkapan "Bila seorang meninggal dunia maka ia akan langsung terlahir kembali" ini berarti orang tersebut langsung terlahir kembali di salah satu alam dari 31 alam, dan kelahiran ini tergantung dari amal perbuatan selama hidup juga sampai di mana kematangan batinnya. Lima alam Suddhavasa adalah khusus tempat kelahiran para anagami dan dari alam-akam Suddhavasa ini mereka akan parinibbana yang berarti tidak akan terlahir lagi sebagai mahluk di alam mana pun. Nibbana (nirvana) bukan alam tetapi sesuatu keadaan batin yang bebas dari belenggu."<ref>Sutta Pitaka, Digha Nikaya I, Proyek Pengadaan Kitab Suci Buddha hal 22-24.</ref>}}
 
=== Penemu Dhamma ===
Baris 78 ⟶ 77:
 
==== Menemukan Dhamma ====
Fungsi dari kemunculan seorang Buddha adalah untuk menemukan kembali ajaran yang telah hilang, yang kemudian disebut sebagai Dhamma.<ref name=":11" /> Buddha merupakan [[guru]] agung umat Buddha yang telah menemukan [[Dhamma]], bukan menciptakan Dhamma.<ref name=":6">{{Cite web|title=Sutta reference for that Buddha discovered the Dhamma, not invented it|url=https://discourse.suttacentral.net/t/sutta-reference-for-that-buddha-discovered-the-dhamma-not-invented-it/26152|website=SuttaCentral Discuss & Discover|access-date=2024-02-08}}</ref> Fungsi dari kemunculan seorang Buddha adalah untuk menemukan kembali ajaran yang telah hilang.<ref name=":11">{{Cite book|last=Kheminda|first=Ashin|date=2017-09-01|url=https://books.google.co.id/books?id=vJEUEAAAQBAJ|title=Manual Abhidhamma: Bab 1 Kesadaran|publisher=Yayasan Dhammavihari|isbn=978-623-94342-6-7|language=id|url-status=live}}</ref> Setelah menemukan Dhamma, Buddha mengajarkannya kepada semua makhluk agar mereka yang telah siap dapat memperoleh manfaatnya. Dengan demikian, ada atau tidak ada Buddha, hukum abadi tersebut akan tetap ada sepanjang zaman, sebagaimana disabdakan Buddha dalam Uppādā Sutta, [[Aṅguttara Nikāya]] 3.136.<ref>{{Cite web|last=Anggara|first=Indra|title=AN 3.136: Uppādāsutta|url=https://suttacentral.net/an3.136/id/anggara|website=SuttaCentral|access-date=2022-09-18}}</ref>
 
==== Menghormati Dhamma ====
Baris 93 ⟶ 92:
 
==== Hukum Niyāma ====
{{Main|Niyāma}}{{Lihat pula|Kemunculan Bersebab}}
 
Dengan ditolaknya gagasan [[Tuhan personal]] sebagai pencipta dan pengatur alam semesta, [[Aṭṭhakathā|kitab-kitab komentar]] Buddhisme aliran [[Theravāda]] menyatakan bahwa alam semesta dan seluruh isinya diatur oleh [[Niyāma]] ("Hukum Alam"), yaitu lima hukum kepastian atau keteraturan (''pañca-niyāma'') [[Tuhan personal|impersonal]] yang bekerja tanpa pribadi pengatur tertinggi:
 
Baris 102 ⟶ 100:
# '''Citta Niyāma''', hukum kepastian atau keteraturan kesadaran
# '''Dhamma Niyāma''', hukum kepastian atau keteraturan ''dhamma'' (fenomena)
Diperkenalkannya istilah "''pañca-niyāma''" dalam [[kitab komentar]] bukan untuk menggambarkan bahwa alam semesta etis secara intrinsik, namun sebagai daftar yang menunjukkan cakupan universal hukum [[Kemunculan Bersebab]] (''paticcasamuppādapaṭiccasamuppāda''). Tujuan awalnya, menurut [[Ledi Sayadaw]], bukanlah untuk meninggikan atau merendahkan hukum [[Karma dalam Buddhisme|karma]], namun untuk menunjukkan ruang lingkup Hukum Alam sebagai alternatiftanggapan terhadap klaim [[teisme]].<ref>''Manuals of Buddhism''. Bangkok: Mahamakut Press 1978. Niyama-Dipani was trans. (from Pāli) by Beni M. Barua, rev. and ed. C.A.F. Rhys Davids, n.d.</ref> Dalam sebuah ceramah, Bhante [[Sri Paññāvaro Mahāthera]] menyatakan bahwa hukum karma (''kamma-niyāma'') memenuhi pemahaman masyarakat umum terkait Tuhan, jika perlu mencari sesuatu yang berperan seperti Tuhan dalam Buddhisme.<ref>{{Citation|title=Agama Buddha Tak Punya Tuhan Personal, benarkah (Bhante Sri Paññavaro)|url=https://youtu.be/7jNjrsEMbKA?si=tME6_XLBc5JJEauV|date=2018-08-19|accessdate=2024-09-23|last=Gitaswara Tisarana}}</ref>
 
Dengan memahami bahwa semua hal yang terjadi di dunia ini semata-mata hasil dari proses hukum kosmis, penganut Buddhisme meninggalkan pandangan yang salah (''micchādiṭṭhi'') tentang penciptaan bahwa dunia ini diciptakan oleh [[Tuhan personal]] sebagai [[Tuhan pencipta|pencipta]].<ref name=":0nurwito" /><ref>{{Cite book|last=Hansen|first=Upa. Sasanasena Seng|date=September 2008|title=Ikhtisar Ajaran Buddha|location=Yogyakata|publisher=Insight Vidyasena Production|isbn=|pages=|url-status=live}}</ref>
 
==== Interpretasi Nirwana ====
{{Main|Nirwana}}{{Seealso|Nirwana#33 Nama NibbānaNirwana}}
Berdasarkan pendapat beberapa ahli, seperti [[Cornelis Wowor]], yang berasal dari aliran [[Theravāda]] di [[Indonesia]],<ref name=":1">{{Cite book|last=Wowor|first=Cornelis|date=1984|url=https://samaggi-phala.or.id/download/lain/ketuhanan.pdf|title=Ketuhanan Yang Mahaesa Dalam Agama Buddha|location=Jakarta|publisher=Akademi Buddhis Nalanda|url-status=live}}</ref> [[Nirwana]] sebagai keadaan dan tujuan tertinggi dapat diinterpretasikan sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa. Pendapat ini kemudian digunakan sebagai dasar [[legal]] untuk memenuhi sila pertama [[Pancasila|Pancasila Indonesia]] tersebut. Dasar teks kitab suci yang digunakan berasal dari syair dalam Tatiyanibbānapaṭisaṁyutta Sutta atau Tatiyanibbāna Sutta ([[Udāna]] 8.3):<ref>{{Cite web|last=Anggara|first=Indra|title=Ud 8.3: Tatiyanibbānapaṭisaṁyuttasutta|url=https://suttacentral.net/ud8.3/id/anggara|website=SuttaCentral|access-date=2022-09-18}}</ref>
 
{{Verse translation|... Atthi, bhikkhave, ajātaṁ abhūtaṁ akataṁ asaṅkhataṁ. No cetaṁ, bhikkhave, abhavissa ajātaṁ abhūtaṁ akataṁ asaṅkhataṁ, nayidha jātassa bhūtassa katassa saṅkhatassa nissaraṇaṁ paññāyetha. Yasmā ca kho, bhikkhave, atthi ajātaṁ abhūtaṁ akataṁ asaṅkhataṁ, tasmā jātassa bhūtassa katassa saṅkhatassa nissaraṇaṁ paññāyatī”ti. ...|... Ada, para ''bhikkhu'', yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta, tidak terkondisi. Jika, para ''bhikkhu'', tidak ada yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta, tidak terkondisi, maka kalian tidak mungkin mengetahui jalan membebaskan diri dari yang dilahirkan, yang menjelma, yang diciptakan, dan yang terkondisi. Tetapi, karena ada yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta, tidak terkondisi, maka kalian dapat mengetahui jalan membebaskan diri dari yang dilahirkan, yang menjelma, yang diciptakan, dan yang terkondisi. ...}}
Baris 165 ⟶ 163:
# ''[[Mudita]]'': simpati.
# [[Upekkha|''Upekkhā'']]: ketenangan.
Penjelasan demikian digunakan dalam konteks spesifik, yaitu ketika perlu menjelaskan konsep ketuhanan kepada anak-anak dengan asumsi bahwa pemahaman mereka terbatas sehingga penjelasan yang terlalu rinci mungkin saja terdengar membingungkan.

==== Penjelasan untuk anak ====
Dalam beberapa kesempatan lainnya, beberapa [[biksu]] (''bhikkhu'') Theravāda di Indonesia juga berkata demikian:<ref>{{Citation|title=Bhante Abhijato {{!}} Buddhism: Religion or Philosophy of Life {{!}} ASADHA Diskusi Dhamma {{!}} 22/06/2024|url=https://www.youtube.com/watch?v=L1ZWbRrzfyQ|date=2024-06-22|accessdate=2024-07-02|last=Vihara Eka Dharma Loka}}</ref>
 
{{blockquote|... Untuk menjelaskan kepada anak-anak, oleh karena Sang Buddha merupakan sosok yang paling dekat dengan ''Nibbāna'', dapat dijelaskan dengan sederhana bahwa "Tuhan dalam agama Buddha adalah Sang Buddha" agar mudah dipahami. Akan tetapi, pemahamannya adalah karena Sang Buddha telah mencapai ''Nibbāna'' sebagai keadaan dan tujuan tertinggi....|author=Bhante Abhijato}}
Baris 177 ⟶ 178:
{{blockquote|"[Oleh] karena alasan apakah? [Oleh] karena, para ''bhikkhu'', perenungan ini adalah tidak bermanfaat, tidak berhubungan dengan dasar-dasar kehidupan suci, dan tidak menuntun menuju kejijikan, menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna."}}Empat hal yang tidak terpikirkan diidentifikasikan dalam Acinteyya Sutta, [[Aṅguttara Nikāya]] 4.77,<ref name=":7">{{Cite web|last=Anggara|first=Indra|title=AN 4.77: Acinteyyasutta|url=https://suttacentral.net/an4.77/id/anggara|website=SuttaCentral|language=id|access-date=2024-09-19}}</ref> sebagai berikut:{{sfn|Bhikkhu Thanissaro|2010|p=58}}<ref>{{Cite web|last=www.wisdomlib.org|date=2010-06-06|title=Acinteyya: 1 definition|url=https://www.wisdomlib.org/definition/acinteyya|website=www.wisdomlib.org|language=en|access-date=2024-09-19}}</ref>
# Jangkauan [[Kebuddhaan|para Buddha]] (''buddhavisaya''): rentang kekuatan yang dikembangkan oleh seorang Buddha sebagai hasil dari menjadi seorang Buddha;
# Jangkauan seseorang yang berada di dalam ''[[jhāna]]'' (''jhānavisaya'')'':'' rentang kekuatan yang dapat diperoleh seseorang ketika terserap dalam absorpsipenyerapan meditatif atau (''jhāna'');
# [Cara kerja presisi dari] akibat [[Karma dalam Buddhisme|karma]] (''kammavipāka''): berusaha menyatakan sesuatu sebagai sebab dan sesuatu yang lainnya sebagai akibat perbuatan secara presisi;
# Spekulasi tentang dunia (''lokacintā''): asal -usul [[Alam semesta|semesta]], dan lain-lain.
 
Lokacintā Sutta ([[Saṁyutta Nikāya|SN]] 56.41),<ref name=":10" /> Cūḷamālukya Sutta ([[Majjhima Nikāya|MN]] 63),<ref>{{cite web|title=Cula-Malunkyovada Sutta, Translation by Thanissaro Bhikkhu|url=http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/mn/mn.063.than.html|access-date=2014-06-26}}</ref><ref>{{Cite web|last=Anggara|first=Indra|title=MN 63: Cūḷamālukyasutta|url=https://suttacentral.net/mn63/id/anggara|website=SuttaCentral|language=id|access-date=2024-09-19}}</ref> dan Aggivaccha Sutta (MN 72)<ref>{{cite web|title=Aggi-Vacchagotta Sutta, Translation by Thanissaro Bhikkhu|url=http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/mn/mn.072.than.html|access-date=2014-06-26}}</ref><ref name=":8">{{Cite web|last=Anggara|first=Indra|title=MN 72: Aggivacchasutta|url=https://suttacentral.net/mn72/id/anggara|website=SuttaCentral|language=id|access-date=2024-09-19}}</ref>{{sfn|Kalupahanna|1976|p=79}} menjelaskan daftar sepuluh pertanyaan yang tidak dijawab terkait "spekulasi tentang dunia":{{sfn|Buswell|Lopez|2013|p=14}}{{sfn|Buswell|Lopez|2013|p=852}}
Baris 194 ⟶ 195:
# Sang Tathāgata bukan-ada juga bukan-tidak-ada setelah kematian.
 
Sang Buddha (dalam [[Majjhima Nikāya|MN]] 72)<ref name=":8" /> menolak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, menghindari terlibat dalam perdebatan, namun menjawab dengan sebuah perumpamaan (untuk pertanyaan no. 7-10):{{sfn|Buswell|Lopez|2013|p=852}}
 
{{blockquote|"Jika seseorang bertanya kepadamu, Vaccha: ‘Ketika api di depanmu itu padam, ke arah manakah perginya: ke timur, ke barat, ke utara, atau ke selatan?’—jika ditanya demikian, bagaimanakah engkau menjawab?"<br><br>"Itu tidak berlaku, Guru Gotama. Api itu membakar dengan bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu. Ketika bahan bakar itu habis, jika tidak mendapatkan tambahan bahan bakar, karena tanpa bahan bakar, maka itu dikatakan sebagai padam."<br><br>
Baris 210 ⟶ 211:
Konsep-konsep tentang iman, berdoa, terbentuknya alam semesta, terjadinya Bumi, kiamat, dan keselamatan yang dijelaskan di bagian ini utamanya dianut oleh aliran [[Theravāda]] yang didasarkan pada teks-teks dalam kitab suci [[Tripitaka Pāli|Tripitaka Pali]].
 
==== Iman atau keyakinanKeyakinan ====
{{Main|Saddhā}}
 
Meskipun Buddha menolak adanya pribadi pencipta Yang Maha Kuasa, Buddha tetap menekankan pentingnya keyakinan atau iman (''[[saddha|saddhā]]'') terhadap [[Tiratana|Triratna]] (Buddha, Dhamma, [[Sangha|Saṅgha]]), hukum [[Karma dalam Buddhisme|karma]]'','' [[kelahiran kembali]], dan [[Nibbana|Nirwana]].
 
==== Berdoa ====
Baris 233 ⟶ 234:
 
==== Keselamatan atau kebebasan ====
{{Main|NibbānaNirwana|Eskatologi Buddhisme}}<!--Konsep ini pun sangat penting diperhatikan karena salah sebuah ajaran yang terpenting dari agama adalah tentang keselamatan atau kebebasan. Keselamatan atau kebebasan merupakan tujuan dari semua agama. Ada agama yang menjanjikan keselamatan bagi pengikutnya yang akan didapatnya setelah berbuat kebaikan selama hidupnya dan bila pengikut itu meninggal dunia maka di akhirat ia akan mendapat pahalanya hidup di alam surga untuk selama-lamanya dan menikmati kebahagiaan yang tiada taranya. Tetapi bila orang melakukan perbuatan-perbuatan yang salah, buruk dan tidak terpuji, maka sesudah ia meninggal dunia maka orang tersebut akan mendapat ganjaran yang menyedihkan di dalam neraka. Demikianlah ajaran yang umum diketahui oleh masyarakat termasuk umat Buddha.
 
-->
 
KeselamatanKebebasan atau kebebasan dapat dicapai dalam masa kehidupan kita sebagai manusia. Kebebasankeselamatan tertinggi menurut Buddhisme adalah Nibbāna[[Nirwana]]. Kebebasan ini seharusnyadapat diketahui oleh orang yang bersangkutan, seperti yang disabdakan oleh Buddha dalam Parinibbāna Sutta:<blockquote>Mengenai Bhikkhu Salba, O, Ananda, dengan melenyapkan kekotoran-kekotoran batinnya selama hidupnya itu, maka ia telah memperoleh kebebasan batiniah dari noda, telah mendapatkan kebebasan melalui kebijaksanaan, dan hal itu telah dipahami dan disadarinya sendiri.</blockquote>
 
Untuk mencapai kebebasan atau keselamatan ([[Nirwana|Nibbāna]]), Buddhaseseorang telahperlu menunjukkanmelatih jalandiri yangsesuai dapat dilaksanakan oleh setiap orang. Dengan mengikuti jalan ([[Jalan Utama Berunsur Delapan|Jalan Mulia Berunsur Delapan]]) yang telah ditunjukkanditemukan inioleh Sang Buddha. Sebagai puncak dari latihan tersebut, seseorang diyakini dapat mencapai kesucian pada kehidupan sekarang ini juga, seperti yang diuraikan Buddha dalam Mahāsatipaṭṭhāna Sutta, ([[Majjhima Nikāya|MN]] 10).<ref>{{Cite web|last=Anggara|first=Indra|title=MN 10: Mahāsatipaṭṭhānasutta|url=https://suttacentral.net/mn10/id/anggara?reference=none&highlight=false|website=SuttaCentral|access-date=2022-09-18}}</ref><!--
Demikianlah beberapa pokok pembicaraan tentang konsep-konsep agama Buddha yang berbeda dengan konsep-konsep dari agama lain. Tetapi sesungguhnya masih banyak hal lagi yang perlu dibicarakan tentang perbedaan pandangan agama Buddha dengan agama-agama lain maupun persamaan-persamaan agama Buddha dengan agama lain, tapi hal ini nanti dibahas pada kesempatan yang akan datang.
-->
Baris 246 ⟶ 247:
{{Seealso|Mahayana}}
{{Tambah referensi bagian|date=September 2024}}
{{Mahayana}}
Pada dasarnya, aliran Mahāyāna juga meyakini Nibbāna-sebagai-Ketuhanan. Namun, aliran Mahāyāna juga memercayai beberapa paham khusus mengenai hakikat Tuhan Yang Maha Esa, seperti tertera dalam dialog antara Sakyamuni Buddha dengan Mahamati Bodhisattva, yang tercatat dalam kitab suci Lankavatara Sutra sebagai berikut:<blockquote>"...... untuk alasan ini Mahamati, silahkan para Bodhisattva Mahasattva yang sedang mencari pemujaan kebenaran menghasilkan kesucian Tathagatagarba yang dikenal sebagai Alayavijnanam. Mahamati, bila kau berkata bahwa tak ada Tathagatagarba yang dikenal sebagai Alayavijnanam, maka tak ada juga keterbitan maupun penghilangan dalam ketidakhadiran-Nya. Tathagatagarba dikenal juga sebagai Alayavijnanam. (Lankavatara Sutra Hal. 190).
 
Baris 258 ⟶ 260:
Menurut Mahāyāna, di dalam jiwa setiap manusia sesungguhnya terdapat kesadaran yang kekal, yang merupakan percikan-percikan benih Ketuhanan, Tathagatagarba (Alayavijnanam). Akan tetapi, benih Ketuhanan ini tidak akan tumbuh dengan sendirinya tanpa dipelihara dan dirawat. Dalam hal ini adalah tergantung pada kemauan orang tersebut, apakah dia mau merawat, memelihara dengan baik benih-benih Ketuhanan yang ada didalam dirinya sehingga dia dapat manunggal, bersatu dengan kekekalan, atau sebaliknya. Di dalam memelihara dan merawat benih-benih Ketuhanan inilah perlunya manusia beragama dengan melaksanakan jalan Bodhisatta untuk merawat dan memelihara benih-benih Ketuhanan tersebut agar tidak salah dan tidak keliru dalam pelaksanaannya.<ref>2014. Biksu Dutavira Mahasthavira (Koordinator Dewan Sangha Walubi).</ref>
 
==== Sang Hyang Adi Buddha ====
{{Main|Sang Hyang Adi Buddha}}
[[Majelis Buddhayana Indonesia]] menggunakan istilah [[Sang Hyang Adi Buddha]] yang diadaptasi dari konsep [[Adi Buddha]] yang hidup di kalangan [[Buddhisme Esoteris Indonesia]]. Istilah tersebut terdapat dalam beberapa kitab seperti [[Sanghyang Kamahayanikan|Sang Hyang Kamahayanikan]] (kitab Jawa kuno) yang menggunakan [[bahasa Kawi]].<ref>{{cite book|author=R. B. Cribb, Audrey Kahin|date=2004|url=http://books.google.co.uk/books?id=SawyrExg75cC&pg=PA63#v=onepage&q&f=false|title=Historical Dictionary of Indonesia|publisher=Scarecrow Press|isbn=978-0810849358|edition=Second Edition|page=63}} {{en}}</ref><ref>{{cite book|year=2004|url=http://books.google.co.uk/books?id=8g6DhN5FdwMC&pg=PA132#v=onepage&q&f=false|title=Spirited Politics: Religion and Public Life in Contemporary Southeast Asia|publisher=Cornell University Southeast Asia Program|isbn=978-0877277378|editor=Andrew Clinton Willford, Kenneth M. George|page=132}} {{en}}</ref><ref name="siddhi2">Sarjana dan Profesional Buddhis Indonesia. 28 November 2008. [http://www.siddhi-sby.com/index.php/artikel/artikel-dharma/9-konsep-ketuhanan-dalam-agama-buddha Konsep Ketuhanan Dalam Agama Buddha] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20131023063757/http://www.siddhi-sby.com/index.php/artikel/artikel-dharma/9-konsep-ketuhanan-dalam-agama-buddha|date=2013-10-23}}.</ref>
Baris 272 ⟶ 274:
1. Guna Kāraṇḍavyūha Sūtra
 
Teks ini dapat ditemukan dalam [[Tripitaka Taishō]] no. 1050, dan [[Tripitaka Tibet]]: Tohoku no. 116:
 
: "''Sewaktu belum ada apa-apa, Sambhu sudah ada, inilah yang disebut Svayambhu (yang ada dengan sendirinya), dan mendahului segala sesuatu, karena itu disebut juga Sang Adi Buddha.''"
Baris 286 ⟶ 288:
: "''Stupa besar teratas [Borobudur] jang tertutup adalah lambang dari manusia jang telah mentjapai Kebebasan Mutlak (Nibbāna/Nirwana) dan manunggal dengan Sang Adi Buddha. Dalam stupa tersebut dulu terdapat sebuah artja Buddha dalam bentuk kasar dan tak terselesaikan jang menggambarkan Sang Adi Buddha jang tak dapat dibajangkan oleh manusia.''"
 
==== Tiantai, Tendai, Cheontae, dan Nichiren ====
Aliran Tiantai, Tendai, Cheontae, dan Nichiren memercayai adanya "Mystic Law" (Hukum Mistik) berdasarkan Lotus Sutra (''Saddharma Puṇḍarīka Sūtra)'' yang merupakan salah satu sutra Mahayana yang paling populer dan berpengaruh, dasar di mana aliran-aliran ajaran Buddha Tiantai, Tendai, Cheontae, dan Nichiren didirikan. Menurut Paul Williams, "Bagi banyak penganut Buddha Asia Timur sejak masa awal ''Saddharma Pundarika Sutra (Lotus Sutra)'' berisi ajaran terakhir Sang Buddha, lengkap dan cukup untuk keselamatan."<ref>Williams 1989, phlm. 149.</ref>
 
Hukum mistik ini adalah entitas tertinggi atau kebenaran yang menembus semua fenomena di alam semesta, tetapi itu bukan makhluk yang dipersonifikasikan. Ada satu kesatuan tertinggi dari manusia dan hukum tertinggi ini, yaitu tidak ada pemisahan antara manusia (semua manusia) dan gagasan tentang Tuhan ini sebagai Hukum Mistik.
Baris 316 ⟶ 318:
-->
==== Rangtong ====
Rangtong berarti “kosong dari sifat diri sendiri”. Ini adalah istilah filosofis dalam agama Buddha Tibet yang digunakan untuk menyebut tentang sifat ''[[śūnyatā|]]''śūnyatā'']] atau “kekosongan”, yaitu bahwa semua fenomena kosong dari masa lalu dan/atau esensi yang tidak berubah atau “diri”, bahwa kekosongan ini bukanlah kenyataan absolut, melainkan hanya merupakan karakterisasi nominal dari fenomena. Rangtong ingin mengatakan bahwa di dalam realita yang absolut, tiada yang absolut. Hal ini terkait dengan pandangan ''prasangika'', yang berpendapat bahwa tidak ada bentuk penalaran silogisme yang seharusnya digunakan untuk memperdebatkan gagasan keberadaan yang inheren, namun hanya argumen yang menunjukkan implikasi logis dan absurditas posisi berdasarkan eksistensi yang melekat. Pandangan ini merupakan tafsir utama Madhyamaka dari Gelugpa, aliran Buddhisme Vajrayana yang didirikan oleh Lama Tsongkhapa.
 
==== Shentong ====
Shentong, secara harfiah berarti “kekosongan lain”, adalah pandangan minoritas di dalam Madhyamaka Tibet. Aliran ini berpendapat bahwa ''[[śūnyatā|]]''śūnyatā'']] menyetujui kenyataan relatif kosong dari sifat diri sendiri, namun menyatakan bahwa kenyataan absolut itu sendiri tidak kosong dan benar-benar ada. Realitas absolut ini digambarkan dengan istilah positif, sehingga mirip dengan kebenaran tertinggi dalam konsep Hindu. Shentong disistematisasikan dan diartikulasikan oleh Dolpopa Sherab Gyaltsen (1292-1361), seorang lama dari aliran Jonang, yang identik dengan praktik Tantra Kalachakra. Dalam sejarahnya, pandangan Shentong digilas oleh aliran Gelug yang dominan selama beberapa ratus tahun sejak Dalai Lama kelima, karena alasan politis dan doktrin. Pada tahun 1658, penguasa Gelug juga melarang aliran Jonang karena alasan politik, dan mengubah biarawan dan biara aliran itu menjadi Gelug. Ajaran dan kitab-kitab shentong dilarang, sehingga membuat posisi rangtong sangat dominan dalam corak agama Buddha Tibet dan aliran Jonang nyaris musnah. Namun pada abad ke-19 pandangan Shentong bangkit kembali, dan berlanjut dengan gerakan Rimé (nonsektarian). Saat ini pandangan Shentong hadir lagi dan merasuk terutama di aliran Nyingma dan Kagyu. Dengan mengutip kitab Mahāyāna Sūtra Mahāparinirvāṇa, Sūtra Aṅgulimālīya dan Sātra Śrīmālādevī Siṃhanāda, Dolpopa menyebut bahwa Buddha atau diri sejati yang ada di dalam masing-masing pribadi sebagai kebenaran aktual, tidak dikondisikan atau dihasilkan oleh proses sebab-akibat temporal. Interpretasi Shentong tentang doktrin tathāgatagarbha adalah bahwa Buddha di dalam semua makhluk adalah sifat-sifat yang tidak berubah, permanen, tidak terkondisi. Buddha adalah kualitas kebahagiaan, welas asih, kebijaksanaan, kekuatan, dan sebagainya yang dianggap sebagai sesuatu yang sesungguhnya terus ada permanen dan tak terbatas, walau tertutupi oleh keserakahan, kemarahan, dan kebotohan batin manusia.
 
Menurut Shentong, kebenaran tertinggi, yang disebut oleh istilah seperti ''tathāgatagarbha'' (Esensi Buddha), ''dharmadhātu'' (Dimensi Kebenaran), dan ''dharmakāya'' (Tubuh Kebenaran), adalah keadaan permanen atau kekal. Menurutnya, semuanya berkaitan dengan ranah Nirvana, dan menjadi satu dengan sifat Buddha. Menurut Dolpopa, yang diutarakannya ini bukan sekadar pandangan intelektual, tapi pengalaman langsung tentang kebahagiaan dan realitas tertinggi yang telah dialaminya.<ref name=":2">Thera, Nyanaponika. “Buddhism and the God-idea”. The Vision of the Dhamma. Kandy, Sri Lanka: Buddhist Publication Society. (accesstoinsight.org)</ref>
Baris 329 ⟶ 331:
 
Berbeda dari ajaran Hindu, Buddhisme tidak menekankan keberadaan "Tuhan sang Pencipta" sehingga Buddhisme dikategorikan sebagai salah satu aliran ''nāstika'' (heterodoks; secara harfiah berarti "Itu tidak ada") menurut aliran-aliran [[agama darmik]] lainnya, seperti [[Dwaita]]. Kata "''Buddha"'' berarti "Dia yang mendapat [[Bodhi|kecerahan]]" dan dapat mengacu kepada [[Siddhattha Gotama|Buddha Gotama]].
 
== Catatan ==
{{notelist}}
 
== Rujukan ==