Konten dihapus Konten ditambahkan
Ahmadi tb (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
←Mengganti halaman dengan '{{diblok-nama}}'
 
(6 revisi perantara oleh 4 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{diblok-nama}}
 
'''Sejarah'''
 
Sekelompok mahasiswa yang baru kuliah tiga bulan di [[Unpad]] sedang kumpul-kumpul di depan pintu Ruang K-2 di kampus Jalan Dipati Ukur 35 Bandung. Kalau tidak salah waktu itu sore hari di bulan Oktober 1981. Satu-satunya yang senior hanya Kang Soen (mahasiswa Fakultas Publisistik –sekarang Fikom/Fakultas Ilmu Komunikasi– angkatan 76).
 
Acaranya sih hanya kumpul-kumpul biasa seusai kuliah. Namun tidak tahu dari mana awal pembicaraannya, tiba-tiba muncul ide untuk membentuk klub rock climbing. Maklum waktu itu kegiatan rock climbing sedang naik daun.
 
Kang Soen memberi saran. Ini kan lembaga pendidikan tinggi, mengapa harus membuat klub rock climbing? Klub semacam ini terlalu sempit bagi sebuah lembaga pendidikan tinggi seperti Unpad. Apa tidak sebaiknya membuat klub yang lebih luas, yang bidang kegiatannya ada unsur ilmiahnya.
 
Masuk akal juga pendapat tersebut. Setelah ngobrol ngalor-ngidul, akhirnya teman-teman setuju dengan ide mendirikan klub pecinta alam. Kemudian disepakati untuk mengundang teman-teman dari fakultas lain yang seangkatan. Undangan pun dibuat dan disebar untuk pertemuan dengan teman-teman dari fakultas lain.
 
Pertemuan tersebut berlangsung di sebuah ruang kuliah FISIP (apa nama kelasnya ya yang naik tangga depan Menwa?). Banyak juga yang hadir. Seluruh kursi yang ada di ruang hampir terisi. Jumlah yang hadir mungkin sekitar 40-an orang.
 
Dalam pertemuan itu teman-teman sepakat mendirikan klub pecinta alam. Walaupun begitu, teman-teman belum mempunyai gambaran jelas mau seperti apa klub atau kelompok pecinta alam tersebut. Untuk itu dalam pertemuan informal dengan beberapa teman-teman disepakati perlu bertemu dengan beberapa dosen yang memiliki latar belakang kegiatan di alam terbuka dan juga rektor atau pejabat Unpad lainnya.
 
Kang Soen memberikan beberapa nama yang perlu dihubungi. Yang pertama dihubungi adalah Kang Ichary atau Ichary Soekirno. Dosen F-MIPA dan juga dari Pusat Komputer Unpad ini memiliki pengalaman kegiatan di alam terbuka yang sangat panjang, selain juga dia berlatar pendidikan ice climbing dari Inggris.
 
Beberapa kali kami melakukan pertemuan di rumah Kang Ichary, Jl. Ciung No. 17 Bandung. Dalam pertemuan tersebut berkali-kali Kang Ichary berpesan bahwa tujuan utama yang harus dipegang setiap anggota adalah “menyelesaikan kuliah tepat pada waktunya.” Selain itu, dia juga selalu mengatakan pijakan dasar organisasi ini adalah “bina anggota, bina organisasi”. Makna pijakan ini sangat dalam, karena sudah mencakup seluruh aspek yang ingin dicapai organisasi.
 
Sebagai pelaksanaan dari misi tersebut, Kang Ichary mengusulkan agar membuat proposal yang lengkap –termasuk rencana pendidikan dasar– untuk diserahkan kepada pimpinan universitas, Rektor dan Pembantu Rektor III. Proposal tersebut juga diberikan kepada beberapa senior yang diharapkan akan menjadi pembina Palawa Unpad. Misalnya pendaki senior Kang Ekky (Ekky Setyawan, dosen FKG), Pak Pama (Pama S. Widjaja, pembina olahraga di Unpad), Kang Syarief (Syarief A. Barmawi, dosen FH yang juga penerjun dan banyak melakukan kegiatan di alam terbuka), A. Yunus (guru besar F-MIPA). Alhamduillah para senior tersebut –termasuk Kang Ichary dan Kang Soen– bersedia menjadi pembina.
 
Proposal pendirian perhimpunan dan rencana pendidikan dasar –setelah mengalami puluhan kali revisi– akhirnya diajukan ke Pembantu Rektor III Joesoef A. Ma’moen –seorang aktivis yang juga mempunyai hobi di alam terbuka. Pada dasarnya, menurut PR III, pihak universitas tidak keberatan lahirnya organisasi pecinta alam. Memang secara lisan, karena tidak pernah keluar sepucuk surat resmi tentang kehadiran perhimpunan ini.
 
Pada kesempatan itu Rektor dan PR III bersedia menjadi pelindung. Sedangkan dalam kaitannya dengan pendidikan dasar, untuk sementara pihak Unpad belum bisa memberi sumbangan apa-apa
 
Teman-teman tidak terkejut dengan pernyataan tersebut, karena sejak awal perhimpunan ini tidak mau memberatkan pihak universitas. Teman-teman ingin mandiri, karena dengan kemandirian mudah-mudahan perhimpunan ini menjadi kuat dan siap menghadapi kondisi paling buruk sekalipun.***
 
 
'''Dikltadas I'''
 
Setelah Pak Joesoef (PR III) merestui kelahiran perhimpunan pecinta alam ini serta memberi izin untuk menyelenggarakan pendidikan dan latihan dasar (diklatdas), maka teman-teman mulai sibuk mengundang teman-teman peserta Muper I dan yang pernah bertemu di kelas punya FISIP. Sekretariat “berjalan” mulai beroperasi, yakni sekretariat yang peralatan kantornya ada di dalam ransel kuliah Maklum belum punya sekretariat permanen.
 
Kadang-kadang surat yang akan ditandatangani ada di ransel teman yang lain yang keberadaannya entah di mana. Jadi surat baru bisa ditandatangani setelah teman tersebut datang. Ada sekitar 40 undangan tersebar ke seluruh fakultas yang isinya mengajak teman-teman menjadi peserta pendidikan dasar.
 
Sampai batas waktu yang ditentukan ada sekitar 26 orang yang bersedia mengikuti diklatdas. Setelah teman-teman berembug, maka disepakati untuk diklatdas ini setiap orang bersedia menyumbang Rp 30 ribu. Tentu saja untuk menentukan jumlah sebanyak itu setelah melalui perhitungan yang mendalam –walaupun dalam pelaksanaannya melenceng jauh .
 
Untuk menjadi peserta diklatdas angkatan pendiri tentu saja tidak ada tes apa-apa, teman-teman yang 26 orang mau ikut saja sudah syukur. Apalagi beberapa hari menjelang diklatdas akan dimulai, dua orang teman mengundurkan diri. Sehingga yang tersisa hanya 24 orang.
 
Lalu di mana pendidikan ini akan diselenggarakan? Setelah mencari berbagai pilihan, akhirnya Kang Ichary mengusulkan sebuah tempat di Lembang. Setelah disurvey ternyata tempat itu cocok untuk diklatdas angkatan pertama yang serba “kekurangan.”
 
Tugas selanjutnya adalah menghubungi Kang Soen –yang ketika itu menjadi Danlat. Kang Soen bilang oke nggak apa 24 orang dan yang 24 orang ini besok (1 Oktober 1982) kumpul di kampus siang hari sudah lengkap dengan ransel dan isinya. Wah… wah… mendadak sekali? Tapi Kang Soen bilang pokoknya bawa saja seadanya.
 
Mobil punya peserta pendidikan dasar Dedi terpaksa “diambil” panitia untuk mengangkut berbagai keperluan. Ya lumayan juga mobil Toyota hardtop bisa untuk memperlancar tugas-tugas danlat dan timnya. Sedangkan uang “sumbangan” dikumpulkan di peserta “ibu-ibu dharma wanita” untuk keperluan belanja dan kebutuhan lainnya di lokasi pendidikan dasar.***
 
 
'''Jalan Kaki ke Lembang'''
 
Walaupun rencana keberangkatan ke lokasi diklatdas siang hari, tapi sampai menjelang sore hari masih belum beringsut juga dari kampus Jl. Dipati Ukur. Teman-teman belum tahu bagaimana teknis keberangkatan ke lokasi, apakah naik kendaraan umum atau sewa mobil.
 
Sekitar pukul 4.30 sore (1 Oktober 1982) Danlat mengumpulkan semua peserta diklatdas. Semua peserta berbaris. Danlat memberi tahu segala hal yang berkaitan dengan keberangkatan ke lokasi pendidikan dasar. Tidak ada kendaraan yang akan peserta tumpangi. Balik kanan, tim danlat –antara lain ada Kang Igoen, Kang Wawan, Kang Yusuf Iman, Kang Septhoni– membawa semua siswa (bolehlah sekarang pakai nama siswa, karena pendidikan dasarnya sudah dimulai) menyeberang kampus dan mulai menapaki jalan-jalan kampung di seberang kampus. Siswa yang jalan kaki hanya 23 orang, karena siswa Ronald diangkut mobil Dedi (maklum kaki Ronald baru sembuh setelah dirawat sekian bulan di rumah sakit).
 
Para siswa diajak menelusuri wilayah tak berpenghuni, sepi, dan hari sudah mulai gelap. Berjalan di kegelapan malam dengan ransel berat di punggung sungguh merupakan pengalaman luar biasa. Napas “234″ (jisamsu) terengah-engah dan butiran keringat berlomba-lomba ke luar dari tubuh yang mulai lunglai. Para siswa yang merangkap panitia ini sama sekali tidak tahu tujuan perjalanan ini.
 
Sekitar pukul 9 malam, siswa sudah tiba di lokasi yang dikenali sebagai vila yang pernah disurvey beberapa hari sebelumnya. Kami semua lega ketika mulai memasuki pintu gerbang vila di Lembang, utara Bandung.
 
Acara yang dilakukan siswa (dan tim danlat tentunya) adalah meluruskan kaki sambil tiduran di lantai halaman vila. Setelah itu Mulai pembagian tempat untuk tidur di mana siswa pria tidur dengan menggelar tikar di ruang tamu, sementara siswa putri di kamar. Kemudian Danlat mengumpulkan semua siswa di ruang keluarga yang sudah disulap menjadi kelas.***
 
 
'''Vila Pager Wangi'''
 
Malam pertama di vila di daerah Pager Wangi diisi pengantar pendidikan dasar dan beberapa materi oleh Danlat dan timnya. Pembekalan teori selama pendidikan dasar diisi oleh para pembina serta pelatih dari luar, seperti Kang Iwan Abdurrachman. Hari pertama pendidikan dasar ini berjalan begitu saja tanpa ada pembukaan resmi dari pimpinan Unpad, karena Rektor sedang sibuk.
 
Kalau tidak salah pembukaan resmi dilakukan pada hari ke-3 oleh Pembantu Rektor III Unpad Joesoef A. Ma’moen. Pembukaan ini dilakukan sore hari di halaman vila. Satu hal membanggakan, seusai membuka pendidikan dasar, Pak Joesoef menyerahkan uang dari Unpad sebesar Rp 150 ribu untuk biaya pendidikan dasar. Bagi teman2, ini merupakan pengakuan de facto dari Unpad bahwa perhimpunan ini ada.
 
Seperti layaknya pembekalan teori pendidikan dasar, maka selama di vila kami menerima berbagai teori dasar kepecintaalaman. Karena ini merupakan pendidikan dasar angkatan pertama, maka kegiatannya dilakukan secara kekeluargaan –begitu setidaknya anggapan kami ketika masih di vila. Buktinya, terkadang siswa yang membangunkan pelatih ketika akan olahraga pagi.
 
“Kang bangun kang, kita olahraga,” begitu kalau seorang siswa membangunkan pelatihnya.
 
Suasana di vila turut mempererat kekeluargaan para siswa angkatan pertama. Ini merupakan satu poin penting mengingat para siswa berasal dari berbagai faskultas. Tidak hanya itu, para siswa adalah para mahasiswa baru yang ketika di SMA memiliki latar belakang berbeda. Ada yang semasa di SMA-nya sudah mengenal pecinta alam, ada juga yang belum mengenal pecinta alam. Ada yang ketika di SMA tidak pernah berorganisasi, tapi ada juga yang sudah terbiasa berorganisasi. Dengan demikian satu sama lain para siswa selalu saling ingin tahu, sehingga kondisi demikian ikut mempererat hubungan personalnya.
 
Setelah mendapatkan beberapa teori di kelas, beberapa materi diuji di lapangan. Misalnya kegiatan membaca peta, kompas, dan orienteering di malam hari yang dilakukan di lokasi sekitar vila untuk menemukan suatu obyek. Para siswa dibagi dalam beberapa kelompok, kemudian dibawa ke suatu tempat yang jauh dari vila. Setelah itu dilepas dengan dibekali titik koordinat yang harus dituju. Belakang tahu titik koordinat tersebut adalah vila yang selalu dirindukan, karena tempatnya menyejukkan.
 
Yang tidak kalah serunya ketika masih di vila adalah “ibu-ibu dharma wanita” yang harus mengatur menu makanan. Pendidikan dasar ini memang unik. Ketika pembekalan teori sedang berlangsung, seorang siswi angkat tangan sambil mengatakan, “Mohon izin, saya mau menyiapkan makan malam.” Ya mau tidak mau pelatih harus mengizinkan, sebab kalau tidak, maka pelatih pun tidak bisa makan malam.
 
Atau seorang siswa sama juga minta izin. “Mohon izin, mau beli minyak.” Kalau tidak diizinkan bisa-bisa seluruh vila gelap total, karena genset-nya kehabisan minyak diesel.***
 
 
'''Dari Vila Pindah Ke Hutan'''
 
Selama tinggal di vila memang menyenangkan. Walaupun ada pelajaran fisik, tapi tidak terlalu membebani diri. Semua masih bisa diatasi. Walaupun begitu tetap saja diri kami masing-masing menyimpan sebuah pertanyaan besar: semudah inikah sebuah pendidikan dan latihan dasar, walaupun untuk angkatan pendiri?
 
Tanda-tanda bakal adanya perubahan mulai terlihat. Pada suatu sore semua siswa dikumpulkan Danlat. Danlat memerintahkan semua siswa untuk mengumpulkan semua sisa makanan yang ada di dalam ransel, termasuk rokok dan uang. Ada apa ini, pikir kami dalam hati. Sedemikian tegakah Danlat dan stafnya –yang notabene teman sendiri di kampus– “merampas” Ji Sam Soe atau Silver Queen kesayangan?
 
Beberapa barang yang dianggap tidak layak bawa diperintahkan dikumpulkan dalam satu tempat dan dimasukkan ke dalam mobil. Setelah semua selesai, Danlat mulai memimpin acara “meninggalkan” vila tersayang. Secara beriringan para siswa jalan kaki menuju tempat yang kami sendiri tidak tahu arahnya. Sementara hari sudah gelap.
 
Benar saja para siswa mulai menghadapi kondisi yang sama sekali bertolak belakang dengan beberapa hari sebelumnya. Bangunan vila sudah lama tidak terlihat lagi. Walaupun membelalakkan mata, cahaya lampu vila tidak lagi nampak. Di kanan-kiri teman-teman sibuk berbisik-bisik,”Kita mau dibawa ke mana sih?”
 
Malam semakin larut. Mungkin –kami tidak tahu– kami sudah berada jauh di dalam hutan. Hujan rintik-rintik mulai turun. Tiba-tiba ada aba-aba agar seluruh siswa berhenti. Berhenti adalah kata yang selalu kami harapkan dari tadi. Dalam kondisi gelap kelam memang lebih baik berhenti daripada jalan selalu tersandung-sandung.
 
Semua siswa diperintahkan mengeluarkan ponco dan membuat bivak. Ini artinya –sesuai teori– semua siswa harus menginap di hutan yang gelap dan hujan deras. Sepatu dan kaos kaki basah. Baju dan celana juga. “Apakah kami bisa tidur dalam kondisi seperti ini?” pikir kami masing-masing. Akhirnya para siswa masuk ke bivak masing-masing, ngarengkol biar tidak terlalu dingin. Oh nasib…. ***
 
 
'''Muper I'''
 
Setelah bertemu dengan para senior dan pimpinan Unpad, maka program jangka pendek perhimpunan yang belum mempunyai nama ini adalah mengadakan pertemuan seluruh anggota yang selama ini merintis pembentukan perhimpunan ini dan menyelenggarakan diklatdas.
 
Muper adalah pertemuan seluruh anggota untuk membicarakan masa depan perhimpunan. Mau dibawa ke mana perhimpunan yang belum punya nama ini? Apa hak dan kewajiban anggota? Perlu punya seragam nggak? Bagaimana dengan lambang dan bendera? Siapa yang menjadi ketuanya? Pokoknya semua itu harus dibicarakan dan sedapat mungkin ada peraturan tertulis agar perhimpunan bisa berjalan sesuai misinya dan para anggotanya mempunyai pedoman dalam menjalankan organisasi.
 
Teman-teman mulai merancang pertemuan yang kemudian disebut Musyawarah Perhimpunan (Muper) I. Selain soal apa yang akan dibahas dalam acara tersebut, juga teman-teman diminta kerelaannya (again) mengumpulkan uang untuk keperluan acara tersebut, antara lain untuk konsumsi. Pihak Unpad meminjamkan aula asrama wanita Wisma Rengganis di Jalan Dago.
 
Sebelum pertemuan diselenggarakan, teman-teman bertemu beberapa kali –baik di kampus maupun di rumah anggota– untuk membicarakan bahan-bahan yang akan dibahas dalam Muper. Bahan tersebut antara lain AD/ART, nama, lambang, dan seragam. Aneka ide muncul, mulai dari yang lucu sampai yang sangat serius.
 
Pertemuan yang berlangsung akhir Maret 1982 ini kemudian dijadikan hari jari Palawa Unpad (24 Maret 1982). Tanpa disadari tanggal tersebut juga bertepatan dengan Hari Bandung Lautan Api.
 
Muper yang dibuka anggota Dewan Pembina itu bisa dikatakan pertemuan yang sangat seru. Waktu yang tadinya dijadwalkan dua hari akhirnya harus ditambah satu hari. Malah kalau keuangan masih memungkinkan, acara ini bisa berlangsung empat hari lebih
 
Memang pertemuan ini seru. Sekumpulan mahasiswa baru yang berasal dari latar belakang berbeda bertemu di satu meja. Pasti seru.***
 
 
'''AD/ART'''
 
Pembahasan AD/ART sangat alot karena masing-masing anggota ingin meng-goal-kan ide dan karyanya. Saking alotnya membahas AD/ART akhirnya waktu Muper yang pada awalnya dijadwalkan dua hari akhirnya menjadi tiga hari. Walaupun suasananya sempat tegang di beberapa bagian pembahasan materi tapi toh akhirnya teman-teman bisa menerima hasil voting.
 
Acara yang berlangsung di asrama putri Wisma Rengganis, Dago, Bandung itu membahas segala aspek yang ada dalam draft AD/ART. Konsep AD/ART yang dibawa dalam Muper itu sebelumnya pernah dibahas dalam beberapa pertemuan di rumah teman-teman.
 
Soal isinya, teman-teman berusaha menggabungkan beberapa isi AD/ART organisasi sejenis maupun organisasi lainnya. Pasal per pasal dibahas. Walaupun sudah dibahas sebelumnya, tapi adu pendapat di Muper tidak bisa dihindari.
 
Pemimpin sidang beberapa kali men-skors sidang dan meminta peserta Muper untuk melobi pihak-pihak yang masih “keukeuh sureukeuh” mempertahankan pendapatnya. Ternyata lobi ini ini efektif untuk mencegah sebuah permasalahan menghadapi deadlock.***
 
 
'''Nama Perhimpunan'''
 
Jauh sebelum acara Muper berlangsung, teman-teman sudah melakukan beberapa kali pertemuan untuk membahas berbagai hal yang ada dalam AD/ART. Salah satunya adalah nama perhimpunan. Beberapa teman-teman sudah siap dengan berbagai ide dan argumentasinya. Ada misalnya yang mengusulkan nama Semut. Nama ini singkatan dari Sekumpulan Manusia Utan. Ada juga yang mengusulkan nama ….
 
Sementara itu ada juga yang mengusulkan nama Palawa sebagai kependekan dari Pecinta Alam Mahasiswa. Namun hasil Muper I menjatuhkan pilihan pada Palawa Unpad. Palawa bukan singkatan, tapi sebagai huruf Pallawa [sejarah Pallawa sudah ada, tapi masih dicari di mana ya ].
 
Di depan nama Palawa Unpad disepakati menggunakan kata-kata Mahasiswa Pecinta (bukan Pencinta) Alam. Sehingga lengkapnya menjadi Mahasiswa Pecinta Alam Palawa Unpad.***
 
 
Rujukan:
1. http://djandjan.com/