Wikipedia:Tahukah Anda/21 Maret: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
DNA, CONGEK, DAN KARYA SENI "NEW MEDIA ART"
OrophinBot (bicara | kontrib)
Impor artikel automatis *** menimpa teks yang ada ***
 
(15 revisi perantara oleh 12 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
#ALIH [[Templat:Tahukah Anda/Maret]]
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0601/24/jogja/20176.htm
 
DNA, CONGEK, DAN KARYA SENI "NEW MEDIA ART"
 
Oleh Agnes Rita Sulistyawaty
 
Oswald Avery, sekitar tahun 1940, merebus seketel bakteri, kemudian mengendapkannya dan mengambil ekstraknya. Ekstrak itu dimasukkan dalam mesin pemutar atau mesin sentrifugal. Hasil dari mesin itu dianalisis terus-menerus, dan didapat sedikit sekali bahan genetik murni.
 
Genetik murni itulah yang merupakan cikal bakal Deoxyribonucleic Acid atau DNA. Penemuan itu dikembangkan sejumlah ilmuwan, termasuk James Watson dan Francis Crick (1952), dan terus berkembang hingga kini.
 
Terungkapnya identitas sejumlah teroris, juga dibantu dengan adanya analisis DNA. Begitu pula sejumlah selebritis atau anak yang hendak mengetahui asal-usul orangtuanya, memanfaatkan analisis DNA untuk mendapatkan kepastian.
 
Sayangnya, sebagian orang dan pejabat di Indonesia masih memilih analisis DNA di luar Indonesia. Kemampuan analisis dan ketersediaan alat pengetes DNA, seakan masih merupakan teknologi yang belum dapat disentuh oleh akademisi Indonesia.
 
Padahal, sejumlah kampus sudah memiliki teknologi ini, termasuk Universitas Gadjah Mada (UGM). Terdorong keinginan untuk memopulerkan analisis DNA ini, sejumlah akademisi di Laboratorium Pusat Antarstudi Bioteknologi UGM, dokter, dan seniman new media art, bergabung mengadakan "DNA Project", sepanjang tahun 2005.
 
Kerja sama ini juga ingin mendobrak kebiasaan para ahli, yang masih sering bekerja di satu disiplin ilmu saja. Dalam kolaborasi ini, mereka meneliti penyakit congek (Otitis Media Supuratifa Kronika Benigna) aktif.
 
Penyakit ini diderita sekitar 60 persen dari penduduk dunia. Di RS Dr Sardjito, 25 persen dari seluruh pasien yang berobat di Poliklinik Telinga Hidung Tenggorokan (THT) sepanjang tahun 2004, adalah penderita congek.
 
Dr Anton Christanto, dokter yang sedang menjalani pendidikan spesialis THT, menerangkan penyakit congek yang tidak ganas bisa disembuhkan dengan obat tetes, tetapi sebagian penyakit congek tidak sembuh dengan obat tetes yang mengandung antibiotik itu.
 
Salah satu penyebabnya, tidak terdeteksinya bakteri yang menyebabkan penyakit congek itu, karena karakter bakteri penyebab congek itu berbeda antara satu pasien dengan pasien lainnya.
 
Karena itu, untuk memperoleh banyak bakteri, kami mencoba mendeteksi lebih banyak bakteri lagi dengan metode uji molekuler atau PCR (Polymerase Chain Reaction), yang dapat memperbanyak DNA dengan enzim tertentu.
 
"Dengan cara ini, bakteri yang terdeksi akan lebih beragam sehingga bisa dilanjutkan dengan langkah penyembuhan yang lebih tepat," kata Anton.
 
Identifikasi bakteri juga bisa dilakukan sampai pada tingkat spesies bakteri, dengan menggunakan proses sequencing. Tapi, penelitian kali ini dibatasi sampai pada ekstraksi DNA dari kuman yang ada di penyakit congek itu.
 
Proses sequencing, menurut Jaka Widada PhD, selaku asisten profesor di Laboratorium Pusat Antarstudi Bioteknologi dan Laboratorium Tanah dan Mikrobiologi Lingkungan UGM, memerlukan dana sekitar Rp 150.000, untuk tiap sampel bakteri.
 
Untuk mendapatkan analisis nama seluruh bakteri, tentu membutuhkan dana sampai jutaan rupiah. Hasil dari PCR, jenis bakteri congek terlihat dari garis-garis atau pita-pita DNA, yang bisa dideteksi di bawah lampu ultraviolet.
 
Ketebalan garis menunjukkan jumlah bakteri. Garis yang tampak paling dominan menunjukkan bakteri yang paling banyak terdapat di penyakit tersebut. Warna-warni garis yang merupakan hasil dari tes PCR ini dilihat sebagai sebuah seni bagi seniman new media art, Venzha Christiawan.
 
"Saya yakin pengembangan di bidang rekayasa genetika akan terus berjalan sangat cepat sesuai dengan kebutuhan manusia untuk memenuhi rasa keingintahuannya," ucap Venzha tentang alasannya mengikuti seluruh rangkaian penelitian.
 
Ia mengambil sejumlah contoh video dari sejumlah gerakan koloni bakteri dan dipadukan dengan sejumlah penyakit yang diakibatkan oleh bakteri.
 
Dari riset ini, ia akan mengembangkannya untuk sejumlah kegiatan seni lainnya. Upaya itu sekaligus menjadi sebuah publikasi penyakit lewat karya seni. Lewat kolaborasi ini, diharapkan penelitian PCR yang sesungguhnya mempunyai manfaat yang besar, bisa makin berkembang di Indonesia, terutama Yogyakarta sebagai kota pelajar.