Lim Joey Thay: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
Raksasabonga (bicara | kontrib)
 
(28 revisi perantara oleh 15 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Infobox person
| honorific_prefix = [[Prof.]] [[dr.]]
| name = Arif Budianto
| honorific_suffix =
| native_name = Lim Joey Thay
| native_name_lang =
| image = Dr. Lim Joey Thay alias dr. Arif Budianto (foto dokumen Jakarta Beat).jpg
| image_size = 280px
| alt =
| caption = Lim Joey Thay (difoto 2009 pada usia 83 tahun) dan Liu Yang Siang (kini hijrah ke Amerika Serikat) yang masih hidup merupakan dua dari lima dokter yang memeriksa jenazah [[Pahlawan Revolusi]]
| birth_name =
| birth_date = {{birthBirth date |1926|012|01}}
| birth_place = {{bendera|[[Batavia]], [[Hindia Belanda}}]]
| disappeared_date =
| disappeared_place =
| disappeared_status =
| death_date = {{Death date and age|2011|10|11|1926|12|1}}
| death_place = [[Jakarta]], [[Indonesia]]
| death_cause =
| body_discovered =
| resting_place =
| resting_place_coordinates =
| monuments =
| residence =
| nationality = {{INA}}[[Indonesia]]
| other_names =
| ethnicity =
| citizenship =
| education =
| alma_mater =
| occupation = Dokter, pengajar, lektor [[Ilmu Kedokteran]] Kehakiman [[Fakultas Kedokteran]] [[Universitas Indonesia]] (FK-UI)
| years_active =1957 - 1991 (dosen)
| employer =
| organization =
| agent =
| known_for = Dokter visumforensik [[Pahlawan Revolusi]] korban [[Gerakan 30 September]]
| notable_works =
| style =
| influences =dr. Robert Houseman (Texas, Amerika Serikat) dan dr. Keith Simpson (London, Inggris).
| influenced =
| home_town =
| salary =
| net_worth =
| height = <!-- {{height|m=}} -->
| weight = <!-- {{convert|weight in kg|kg|lb}} -->
| television =
| title =
| term =
| predecessor =
| successor =
| party =
| movement =
| opponents =
| boards =
| religion =
| denomination = <!-- Penulisan denominasi harus didukung bukti catatan kaki dari sumber yang reliabel -->
| criminal_charge = <!-- Penulisan kriminalitas harus didukung bukti catatan kaki dari sumber yang reliabel -->
| criminal_penalty =
| criminal_status =
| spouse =
| partner =
| children =
| parents =
| relatives =
| callsign =
| awards =
| signature =
| signature_alt =
| signature_size =
| module =
| module2 =
| module3 =
| module4 =
| module5 =
| module6 =
| twitter =
| website = <!-- {{URL|www.example.com}} -->
| footnotes =
| box_width =
}}
'''Prof. dr. Lim Joey Thay''' alias '''dr. Arif Budianto''' ({{lahirmati|[[Hindia Belanda]]|01|012|1926|[[Jakarta]]|11|10|2011}}) adalah seorang dokter yang merupakansekaligus lektor [[Ilmu Kedokteran Kehakiman]] [[Fakultas Kedokteran]] [[Universitas Indonesia]] (FK-UI), danserta merupakan salah satu dari lima dokter yang melakukan visum terhadap [[Pahlawan Revolusi]] yang menjadi korban peristiwa [[G30S/PKI|Gerakan 30 September]]. <ref name="visumg30s">{{cite web|url=http://www.jakartabeat.net/kolom/konten/lim-joey-thay-dan-hasil-visum-para-pahlawan-revolusi-bagian-1-dari-2-tulisan|title=Lim Joey Thay dan Hasil Visum Para Pahlawan Revolusi (Bagian 1 dari 2 Tulisan)|authors=Teguh Santosa|publisher=jakartabeat.net|date=2 April 2009|accessdate=24 September 2015|archiveurl=https://web.archive.org/web/20150924055227/http://www.jakartabeat.net/kolom/konten/lim-joey-thay-dan-hasil-visum-para-pahlawan-revolusi-bagian-1-dari-2-tulisan|archivedate= September 24, 2015}}</ref><ref>{{cite web|url=http://www.jakartabeat.net/kolom/konten/lim-joey-thay-dan-hasil-visum-para-pahlawan-revolusi-bagian-2-dari-2-tulisan|title=Lim Joey Thay dan Hasil Visum Para Pahlawan Revolusi (Bagian 2 dari 2 Tulisan)|authors=Teguh Santosa|publisher=jakartabeat.net|date=2 April 2009|accessdate=24 September 2015|archiveurl=https://web.archive.org/web/20140209131251/http://jakartabeat.net/kolom/konten/lim-joey-thay-dan-hasil-visum-para-pahlawan-revolusi-bagian-2-dari-2-tulisan|archivedate=February 9, 2014}}</ref><ref>{{cite web|url=http://www.rakyatmerdekaonline.com/read/2011/11/25/46833/Saksi-Mata-Mayat-Korban-G30S-Itu-Meninggal-Dunia|title=Saksi Mata Mayat Korban G30S Itu Meninggal Dunia|authors= Teguh Santosa|publisher=rakyatmerdekaonline.com|date=Jum'at, 25 November 2011 , 09:14:00 WIB|accessdate=24 September 2015|archiveurl=https://web.archive.org/web/20150924225515/http://www.rakyatmerdekaonline.com/read/2011/11/25/46833/Saksi-Mata-Mayat-Korban-G30S-Itu-Meninggal-Dunia|archivedate=September 24, 2015 10:55:15 PM UTC}}</ref>
 
Lim Joe Thay belajar dari dua pakar forensik dunia di masa itu, yakni dr. Robert Houseman dari Texas, Amerika Serikat dan dr. Keith Simpson dari London, Inggris. Ia menyelesaikan pendidikannya di luar negeri pada tahun 1960.
==Sejarah==
[[Berkas:Visum et repertum Pahlawan Revolusi (foto dokumen Jakarta Beat).jpg|thumb|left|280px|Berkas salinan forensik visum et repertum [[Pahlawan Revolusi]]]]
Setelah malapetaka [[Gerakan 30 September]] terjadi, otoritas yang berwenang pada saat itu membentuk tim yang dibentuk berdasarkan perintah Panglima Kostrad selau Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban kepada Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat di Jakarta, tanggal 4 Oktober. Selanjutnya Kepala RSP-AD meneruskan perintah itu kepada kelima ahli forensik.
 
== Sejarah ==
Dokter dalam tim ini adalah dr. Brigjen [[Roebiono Kertopati]], perwira tinggi yang diperbantukan di RSP Angkatan Darat; dr. Kolonel [[Frans Pattiasina]], perwira kesehatan RSP Angkatan Darat; dr. [[Sutomo Tjokronegoro]], ahli Ilmu Urai Sakit Dalam dan ahli Kedokteran Kehakiman, juga profesor di FK-UI; serta dr. [[Liau Yan Siang]], rekan Lim Joey Thay di Ilmu Kedokteran Kehakiman FK-UI. {{refn|group=note|name=dokter|Kini dari lima anggota tim otopsi itu, tinggal Lim Joey Thay dan Liu Yang Siang yang masih hidup. Lim Joey Thay kini sakit-sakitan, sementara sejak beberapa tahun lalu, Liu Yan Siang menetap di Amerika Serikat dan tidak diketahu pasti kabar beritanya.}}
Setelah malapetaka [[Gerakan 30 September]] terjadi, otoritas yang berwenang pada saat itu membentuk tim yang dibentuk berdasarkan perintah Panglima Kostrad selauselaku Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban kepada Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat di Jakarta, tanggal 4 Oktober. Selanjutnya Kepala RSP-AD meneruskan perintah itu kepada kelima ahli forensik.
 
Surat perintah bernomor PRIN-03/10-1965 itu ditandatangani Panglima Kostrad yang juga Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Mayjen Soeharto. Selanjutnya Kepala RSP-AD meneruskan perintah itu kepada kelima ahli forensik.
Pagi hari 4 Oktober 1965 pasukan yang dipimpin Pangkostrad Mayjen Soeharto menemukan tujuh mayat perwira Angkatan Darat yang diculik dan dibunuh Gerakan 30 September tiga hari sebelumnya. Ketujuh perwira naas itu adalah Menteri Panglima Angkatan Darat Letjen [[Ahmad Yani]], Deputi II Menpangad Mayjen [[R. Soeprapto]], Deputi III Menpangad Mayjen [[Mas Tirtodarmo Harjono]], Deputi IV Menpangad Brigjen [[Panjaitan|Donald Isaac Pandjaitan]], Oditur Jenderal/Inspektur Kehakiman AD Brigjen [[Sutoyo Siswomiharjo]], Asisten I Menpangad Mayjen [[S. Parman|Siswondo Parman]], dan Lettu [[Pierre Tendean]] (Ajudan Menko Hankam/KASAB Jenderal [[AH Nasution|Abdul Haris Nasution]]).
 
Dokter dalam tim ini adalah dr. Brigjen [[Roebiono Kertopati]], perwira tinggi yang diperbantukan di RSP Angkatan Darat; dr. Kolonel [[Frans Pattiasina]], perwira kesehatan RSP Angkatan Darat; dr. [[Sutomo Tjokronegoro]], ahli Ilmu Urai Sakit Dalam dan ahli Kedokteran Kehakiman, juga profesor di FK-UI; serta dr. [[Liau Yan Siang]], rekan Lim Joey Thay di Ilmu Kedokteran Kehakiman FK-UI. {{refn|group=note|name=dokter|Kini dari lima anggota tim otopsi itu, tinggal Lim Joey Thay dan Liu Yang Siang yang masih hidup. Lim Joey Thay kini sakit-sakitan, sementara sejak beberapa tahun lalu, Liu Yan Siang menetap di Amerika Serikat dan tidak diketahu pasti kabar beritanya.}}
Sesuai dengan mandat, kelima dokter tersebut berpacu dengan waktu dan proses pembusukan, mereka bekerja keras selama delapan jam, dari pukul 4.30 sore tanggal 4 Oktober, hingga pukul 12.30 tengah malam 5 Oktober, di kamar mayat RSP Angkatan Darat.
 
PagiPada haritanggal 4 Oktober 1965, pasukan yang dipimpin Pangkostrad Mayjen Soeharto menemukan tujuh mayat perwira Angkatan Darat yang diculik dan dibunuh saat Gerakan 30 September tiga hari sebelumnya. Ketujuh perwira naas itu adalahialah Menteri Panglima Angkatan Darat, Letjen [[Ahmad Yani]],; Deputi II Menpangad, Mayjen [[R. Soeprapto]],; Deputi III Menpangad, Mayjen [[Mas Tirtodarmo Harjono]],; Deputi IV Menpangad, Brigjen [[Panjaitan|Donald Isaac Pandjaitan]],; Oditur Jenderal/Inspektur Kehakiman AD, Brigjen [[Sutoyo Siswomiharjo]],; Asisten I Menpangad, Mayjen [[S. Parman|Siswondo Parman]],; danserta Lettu [[Pierre Tendean]] (Ajudan Menko Hankam/KASAB Jenderal [[AH Nasution|Abdul Haris Nasution]]).
{{cquote|Hasil otopsi yang dilakukan dr. Lim Joey Thay dan teman-temannya sama sekali tidak menemukan tanda-tanda rusaknya jenazah seperti yang dilaporkan media massa yang dikuasai [[Angkatan Darat]], yaitu [[Angkatan Bersendjata]] dan [[Berita Yudha]], dan beberapa media cetak lain yang diperbolehkan beredar selagi mengikuti aturan main dan kemauan pihak militer. Sumber berita lain di masa itu adalah [[RRI]], [[TVRI]] dan Kantor Berita [[Antara]].<ref name="visumg30s"/>}}
 
Sesuai dengan mandat, kelima dokter tersebut berpacu dengan waktu dan proses pembusukan, mereka bekerja keras selama delapan jam, dari pukul 4.30 sore tanggal 4 Oktober, hingga pukul 12.30 tengah malam 5 Oktober, di kamar mayat RSP Angkatan Darat.
[[Berkas:Sukarno dan Suharto.JPG|thumb|left|280px|Sukarno menyatakan bahwa [[Surat Perintah Sebelas Maret]] kepada [[Soeharto]] adalah surat kuasa untuk, diantaranya, mengamankan situasi dan kondisi keamanan, menjaga kewibawaan presiden, bukan surat transfer kekuasaan. Pasca 1 Oktober 1965, Mayjen [[Soeharto]] sebagai Panglima Kostrad dan Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban menemukan jenazah perwira yang ditemukan dalam satu Lubang Buaya. Dengan legitimasi [[Supersemar]], gejolak ekonomi-politik, demo mahasiswa yang ditunggangi Pangkostrad, Soeharto menggantikan Soekarno sebagai Pejabat Presiden pada 12 Maret 1967. Hingga Indonesia modern, peristiwa Gerakan 1 Oktober masih berkabut misteri tentang siapa sebenarnya dalang yang harus ditunjuk pada peristiwa berdarah tersebut. Pun, narasi ''komunis adalah atheis'' pada era reformasi dan abad informasi tetap menjadi komoditas sebagian caleg dan ajang kontestasi pemilihan umum]]
 
{{cquote|Hasil otopsi yang dilakukan dr. Lim Joey Thay dan teman-temannya sama sekali tidak menemukan tanda-tanda rusaknya jenazah seperti yang dilaporkan media massa yang dikuasai [[Angkatan Darat]], yaitu [[Angkatan Bersendjata]] dan [[Berita Yudha]], dan beberapa media cetak lain yang diperbolehkan beredar selagi mengikuti aturan main dan kemauan pihak militer. Sumber berita lain di masa itu adalah [[RRI]], [[TVRI]] dan Kantor Berita [[Antara]].<ref name="visumg30s"/><ref>{{Cite news|url=http://news.detik.com/berita/1775233/lim-joe-thay-dokter-yang-memvisum-jasad-pahlawan-revolusi-itu-telah-tiada|title=Lim Joe Thay, Dokter yang Memvisum Jasad Pahlawan Revolusi Itu Telah Tiada|authors=(ahy/irw)|date=Jumat 25 Nov 2011, 01:09 WIB|accessdate=September 24, 2015|archiveurl=https://web.archive.org/web/20150924224345/http://news.detik.com/berita/1775233/lim-joe-thay-dokter-yang-memvisum-jasad-pahlawan-revolusi-itu-telah-tiada|archivedate=September 24, 2015|work=[[Detik.com|detikcom]]}}</ref>}}
Hari-hari kemudian pasca peristiwa Gerakan 30 September atau Gerakan 1 Oktober adalah masa kritis politik dan stabilitas Republik Indonesia. Kabar simpang siur, suasana genting, pers yang sebelumnya liberal dan menjadi afiliasi orientasi politik tertentu ditutup pihak militer. Hanya beberapa yang diizinkan beredar. Mata Jenderal Ahmad Yani dicungkil, tulis Angkatan Bersendjata edisi 6 Oktober. Sehari kemudian, media ini mempublikasikan cerita tentang detail pembunuhan Brigjen Panjaitan di depan rumahnya. Setelah dihujani tembakan, mayat Brigjen Panjaitan dilemparkan ke dalam truk yang kemudian membawanya ke Lubang Buaya. Sebegitu mengerikannya kekuatan pasukan penculik Panjaitan ini, sampai-sampai deru mesin kendaraan yang mereka pakai saja seperti “suara harimau yang haus darah.”
 
Hari-Beberapa hari kemudian pasca peristiwa Gerakan 30 September atau Gerakan 1 Oktober adalahmenjadi masa kritis politik dan stabilitas Republik Indonesia. Kabar simpang siur, suasana genting, pers yang sebelumnya liberal dan menjadi afiliasi orientasi politik tertentu ditutup pihak militer. Hanya beberapa yang diizinkan beredar. Mata Jenderal Ahmad Yani dicungkil, tulis Angkatan Bersendjata edisi 6 Oktober. Sehari kemudian, media ini mempublikasikan cerita tentang detail pembunuhan Brigjen Panjaitan di depan rumahnya. Setelah dihujani tembakan, mayat Brigjen Panjaitan dilemparkan ke dalam truk yang kemudian membawanya ke Lubang Buaya. Sebegitu mengerikannya kekuatan pasukan penculik Panjaitan ini, sampai-sampai deru mesin kendaraan yang mereka pakai saja seperti “suara harimau yang haus darah.”
Berita Yudha, 8 Oktober, menegaskan kembali soal pencungkilan mata dan menambahkan bahwa para perwira Angkatan Darat ditemukan terbungkus kain hitam. Sementara, walaupun wajah Suprapto dan tengkoraknya dihantam oleh “penteror-penteror biadab” namun dia masih dapat dikenali, edisi 9 Oktober. Sehari kemudian koran yang sama menurunkan berita yang disebut bersumber dari saksi mata yang berada di lokasi pembantaian. Menurut pengakuan saksi ini, biji mata beberapa korban dicungkil keluar, sementara kemaluan beberapa lainnya dipotong. Edisi 11 Oktober Angkatan Bersendjata menuliskan laporan yang lebih detil tentang pembunuhan Lettu Tendean. Ajudan Jenderal Nasution ini disebutkan menjadi sasaran latihan tembak anggota Gerwani.
 
Berita Yudha, 8 Oktober, menegaskan kembali soal pencungkilan mata dan menambahkan bahwa para perwira Angkatan Darat ditemukan terbungkus kain hitam. Sementara, walaupun wajah Suprapto dan tengkoraknya dihantam oleh “penteror-penteror biadab” namun dia masih dapat dikenali, edisi 9 Oktober. Sehari kemudian koran yang sama menurunkan berita yang disebut bersumber dari saksi mata yang berada di lokasi pembantaian. Menurut pengakuan saksi ini, biji mata beberapa korban dicungkil keluar, sementara kemaluan beberapa lainnya dipotong. Edisi 11 Oktober Angkatan Bersendjata menuliskan laporan yang lebih detildetail tentang pembunuhan Lettu Tendean. Ajudan Jenderal Nasution ini disebutkan menjadi sasaran latihan tembak anggota Gerwani.
Presiden Soekarno menyatakan, “Saya pada waktu itu memakai saya punya ''gezond verstand''{{refn|group=note|name=gez|''Gezond verstand'' adalah bahasa Belanda untuk ''common sense'' atau akal sehat.}}, Saudara-saudara. Dan dengan memakai saya punya ''gezond verstand'', itu saya ''betwiffelen'', ragukan kebenaran kabar ini. Tetapi saya melihat akibat daripada pembakaran yang sedemikian ini. Akibatnya ialah, masyarakat seperti dibakar. Kebencian menyala-nyala, sehingga di kalangan rakyat menjadi gontok-gontokkan, yang kemudian malahan menjadi sembelih-sembelihan.”
 
Presiden Soekarno pada 13 Desember 1965 menyatakan, “Saya pada waktu itu memakai saya punya ''gezond verstand''{{refn|group=note|name=gez|''Gezond verstand'' adalah bahasa Belanda untuk ''common sense'' atau akal sehat.}}, Saudara-saudara. Dan dengan memakai saya punya ''gezond verstand'', itu saya ''betwiffelen'', ragukan kebenaran kabar ini. Tetapi saya melihat akibat daripada pembakaran yang sedemikian ini. Akibatnya ialah, masyarakat seperti dibakar. Kebencian menyala-nyala, sehingga di kalangan rakyat menjadi gontok-gontokkan, yang kemudian malahan menjadi sembelih-sembelihan.”
 
“Nah, Saudara-saudara, waktu belakangan ini saya dapat bukti, bahwa memang benar sangkaan saya itu, bahwa jenderal-jenderal yang dimasukkan semua ke Lubang Buaya tidak ada satu orang pun yang kemaluannya dipotong. Saya dapat buktinya darimana? Visum repertum daripada team dokter-dokter yang menerima jenazah-jenazah daripada jenderal-jenderal yang dimasukkan ke dalam sumur Lubang Buaya itu.”
 
{{cquote|“Soeharto dan kelompoknya telah menerima hasil otopsi detail yang dilakukan ahli forensik sipil dan militer terhadap tubuh korban, para jenderal yang dibunuh 1 Oktober. Laporan itu memperjelas bahwa para jenderal ditembak mati dan mayat mereka dibuang ke sebuah sumur dalam di Lubang Buaya. Tetapi tanggal 6 Oktober, media massa yang dikontrol Soeharto melancarkan sebuah kampanye yang menyebutkan bahwa mata para jenderal dicongkel dan alat kelamin mereka dipotong,” tulis Ben Anderson dalam artikelnya tahun 1999, ''Indonesian Nationalism Today and in the Future.''<ref>{{cite web|url=http://teguhtimur.com/2011/11/25/hasil-autopsi-pahlawan-revolusi-dimasukkan-ke-dalam-laci/|title=Hasil Autopsi Pahlawan Revolusi Dimasukkan ke Dalam Laci|authors=Teguh Santosa|publisher=|date=25 November 2011|accessdate=24 September 2015|archiveurl=https://web.archive.org/web/20150925064617/http://teguhtimur.com/2011/11/25/hasil-autopsi-pahlawan-revolusi-dimasukkan-ke-dalam-laci/|archivedate=2015-09-25|dead-url=unfit}}</ref>
Akses komunikasi dan Informasi dekade 60-an masih terbatas. Paska kematian para perwira [[Pahlawan Revolusi]] menyebabkan gejolak di masyarakat. Perkembangan faksi militer pun bergulir, pemegang otoritas Pangkostrad Soeharto bergerak puncaknya legitimasi [[Supersemar|Surat Perintah Sebelas Maret]] melakukan manuver yang diklaimnya sebagai upaya stabilisasi keamanan, [[Sarwo Edhie Wibowo]] dengan [[Resimen Para Komando Angkatan Darat]] menguasai Ibu Kota Negara termasuk Istana Negara {{refn|group=note|name=g30s|Ben Anderson dalam tulisannya ''Exit Soeharto: Obituary for a Mediocre Tyrant'', menyatakan, “On his deathbed, the by-then marginalized General Sarwo Edhie, who led the Red Berets in 1965-66, even said he had been responsible for the death of three million people.”}}, benturan massa basis ideologi agama dan politik memanas.
}}
 
Akses komunikasi dan Informasi dekade 60-an masih terbatas. Paska kematian para perwira [[Pahlawan Revolusi]] menyebabkan gejolak di masyarakat. Perkembangan faksi militer pun bergulir, pemegang otoritas Pangkostrad Soeharto bergerak puncaknya legitimasi [[Supersemar|Surat Perintah Sebelas Maret]] melakukan manuver yang diklaimnya sebagai upaya stabilisasi keamanan, [[Sarwo Edhie Wibowo]] dengan [[Resimen Para Komando Angkatan Darat]] menguasai Ibu Kota Negara termasuk Istana Negara {{refn|group=note|name=g30s|Ben Anderson dalam tulisannya ''Exit Soeharto: Obituary for a Mediocre Tyrant'', menyatakan, “On his deathbed, the by-then marginalized General Sarwo Edhie, who led the Red Berets in 1965-66, even said he had been responsible for the death of three million people.”}}, benturan massa basis ideologi agama dan politik memanas.
 
== Lihat juga ==
 
==Lihat juga==
* [[Gerakan 30 September]]
* [[Pahlawan Revolusi]]
 
== Bacaan ==
 
* Anderson, Ben. (2008). Exit Soeharto: Obituary for a Mediocre Tyrant.
* Roosa, John. (2006). Pretext for mass murder.
 
==Catatan Pranala luar ==
* {{cite web|url=http://teguhtimur.com/2011/11/25/saksi-mata-mayat-korban-g30s-itu-meninggal-dunia/|title=Saksi Mata Mayat Korban G30S Itu Meninggal Dunia|authors=Teguh Santosa|publisher=|date=25 November 2015|accessdate=24 September 2015|archiveurl=https://web.archive.org/web/20111230134225/http://teguhtimur.com/2011/11/25/saksi-mata-mayat-korban-g30s-itu-meninggal-dunia/|archivedate=30 Dec 11}}
 
== Catatan ==
{{reflist|group=note|2}}
 
== Referensi ==
 
{{reflist}}
 
{{Authority control}}
 
[[Kategori:Dokter Indonesia]]
[[Kategori:Gerakan 30 September]]
[[Kategori:Ilmuwan Indonesia]]
[[Kategori:Forensik]]
[[Kategori:Tionghoa-Indonesia]]
[[Kategori:Marga Lin]]