Zainal Sabaruddin Nasution: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
beri tag sebagai peringatan |
Wikify, tone Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
||
(12 revisi perantara oleh 10 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{Nama Mandailing|[[Suku Mandailing|Mandailing]]|[[Nasution]]}}
{{nofootnotes}}▼
▲{{nofootnotes}}{{wikify}}{{tone}}
'''Zainal Sabaruddin Nasution''' atau '''Mayor Sabaruddin''' (lahir di [[Kotaraja]], [[Aceh]], [[Indonesia]] pada tahun [[1922]] - meninggal di [[Madiun]], [[Indonesia]] pada [[24 November]] [[1949]]) adalah seorang pejuang kemerdekaan [[Indonesia]] yang ditakuti karena terkenal kejam dan bengis. Sabarudin pernah mengeksekusi secara terbuka seorang bernama Suryo yang dituduh sebagai mata-mata Belanda. Padahal, Suryo merupakan sesama bekas anggota PETA. Eksekusi itu ternyata di latar belakangi dendam pribadi terkait asmara. Antara Sabarudin dan Suryo pernah terlibat persaingan memperebutkan putri Bupati Sidoarjo yang terkenal cantik. Meski kejam, Sabarudin memiliki ratusan pendukung fanatik. Dia ditakuti, tetapi sekaligus dihormati dan dipuja anak buahnya
== Dari Jurutulis, PETA, Hingga Menjadi Mayor ==
Zainal Sabaruddin Nasution lahir di Kotaraja, Aceh, pada 1922. Bapaknya seorang jaksa. Ibunya menikah lagi setelah menjanda dengan seorang Belanda bernama Knoop. Mayor Sabaruddin dengan kakak laki-lakinya yang setahun lebih tua, Djalaluddin, tumbuh bersama bapak tirinya. Sesudah menamatkan sekolah menengah pertama (MULO), dia bekerja sebagai jurutulis di kantor Kabupaten Sidoarjo dan sebagai pemegang buku suatu perkebunan tebu. Ada kesaksian yang mengatakan bahwa sesungguhnya Sabaruddin muda sebelum perang kemerdekaan adalah sosok yang pemalu dan penakut. Namun saat Jepang menduduki Indonesia,
Usai proklamasi, Mayor Sabaruddin ditunjuk menjadi komandan Polisi Tentara Keamanan Rakyat (PTKR) karasidenan Surabaya. Mula-mula berpangkat kapten, kemudian mayor. Dia bertugas mengawasi tawanan Jepang, orang-orang Belanda yang meninggalkan kamp dan datang ke Surabaya, serta orang Indonesia yang jadi tahanan.
== Doyan Fitnah dan Awal Kegilaan Mayor Sabaruddin ==
Disinilah dimulai semuanya. Kekejaman Mayor Sabaruddin melegenda. Kepada para tawanan yang tak disukainya, Mayor Sabaruddin berlaku brutal. Para penentangnya disiksa dan dibunuh, bahkan dengan cara eksekusi yang keji. Menurut Jasin, Mayor Sabaruddin tega “mengikat orang yang ditangkap pada dua ekor kuda yang kemudian dilarikan ke arah berlawanan. Akibatnya, badan orang itu terputus menjadi dua dan mati. Ada pula yang disirami dengan bensin dan dibakar habis.” Hampir semua orang di Surabaya dan Sidoarjo yang hidup pada zaman revolusi pernah mendengar kisah kebengisannya. Dia sewenang-wenang memperlakukan musuh-musuhnya, tawanan perang, bahkan rekan sendiri. Demi menghabisi lawan-lawannya, dia tak ragu melontar fitnah, termasuk kepada Soerjo.
Ketika itu, Mayor Sabaruddin menuduhnya dengan bukti selembar foto yang menampilkan Soerjo bersanding dengan Ratu Wilhelmina, sebagai spion Belanda. Tetapi, Soerjo kemudian dibebaskan lantaran pernah membantu perjuangan Badan Keamanan Rakyat (BKR) pimpinan Moestopo mengambil mitraliur berat kaliber 12,7
Soerjo memang pernah berfoto bersama Ratu Wilhelmina. Namun foto itu diambil semasa dia sebagai anggota Kelompok Kepanduan Hindia Belanda atau
Kembali dengan alasan mata-mata, Mayor Sabaruddin pernah menangkap sejumlah tokoh pejuang,
Semua ini secara tidak sengaja terungkap oleh Inspektur Polisi M. Jasin, komandan Pasukan Polisi Perjuangan (P3) cikal bakal Brigade Mobil (Brimob). Sekitar akhir November 1945,
Meskipun kejam, Mayor Sabaruddin tetap memiliki ratusan pendukung fanatik. Dia ditakuti, tetapi sekaligus dihormati dan dipuja anak buahnya, sehingga menjadikan pasukannya kompak dan sangat efektif. Rahasia kepemimpinannya adalah, dia mampu menghadapi dan memenuhi kebutuhan anak buahnya, meskipun untuk itu bila perlu ditempuh lewat cara yang ilegal.
== Penculikan Mayjen Mohammad Mangundiprojo, Bendahara BKR Jawa Timur ==
Disinilah dia makin menjadi.
Pada awalnya Mayor Jenderal Mohamad Mangundiprojo diam saja. Namun, begitu mendengar Bupati Sidoarjo dan Mojokerto juga ikut disekap oleh Mayor Sabaruddin, kesabarannya pun habis. Dia menilai tingkah laku Mayor Sabaruddin itu sudah kelewat batas dan berbahaya. Bukan saja berbahaya bagi dirinya, melainkan juga berbahaya bagi ketahanan pertahanan garis depan. Sebagai ketua DPRI (Dewan Pertahanan Rakyat Indonesia), Mayor Jenderal Mohamad Mangundiprojo membuat surat perintah penangkapan Mayor Sabaruddin. Alih-alih, Oleh Mayor Sabaruddin Surat Perintah itu lalu dibawa ke MBT untuk dilaporkan kepada Letjen Oerip Soemohardjo, yang kemudian menelepon Mayjen Mohamad, meminta agar mencabut kembali perintah penangkapannya. Namun Mayjen Mohammad menjawab, selaku tentara ia memang wajib menaati perintah Pak Oerip selaku atasan, tetapi sebagai ketua DPRI yang bertanggung jawab atas pertahanan Surabaya, ia terpaksa menolak perintah tersebut. Pak Oerip kemudian memerintahkan Mohamad dan Mayor Sabaruddin agar segera datang ke Yogyakarta guna menjelaskan dan mempertanggungjawabkan tindakannya. Merasa gemas, Mayjen Mohammad langsung berangkat ke Yogyakarta hari itu juga.
Namun, ternyata Mayor Sabaruddin lebih dulu tiba di markas MBT dengan membawa 11 truk pasukan lengkap. Dengan cerdik, cepat dan rapi, Mayor Sabaruddin langsung menyebar pasukannya di markas MBT, dan melucuti para penjaganya. Saking hebat dan kompaknya pasukan Mayor Sabaruddin, Jenderal Soedirman dan Letjen Oerip Soemohardjo yang sedang mengikuti rapat dengan para staff nya tidak menyadari kalau markas MBT sedang di take over oleh pasukan Mayor Sabaruddin. Mayjen Mohammad yang baru datang dan sedang menunggu giliran untuk menghadap, dihampiri oleh 3 anak buah Mayor Sabaruddin. Sempat menolak untuk angkat tangan ketika ditodong anak buah Mayor Sabaruddin, Mayjen Mohammad dikeroyok serta dipukuli. Ketika sudah tidak berdaya,
Letjen [[Oerip Soemohardjo]] dan para perwira yang lain baru menyadari akan kejadian penculikan ini, ketika ada letusan senjata beberapa kali, yang bahkan salah satunya nyaris mengenai Jenderal Soedirman, yang secara sigap langsung tiarap. Ketika situasi reda, para perwira berlarian menuju halaman depan MBT,
== Operasi Pembebasan ==
Berita penculikan di markas MBT ini sampai di telinga Presiden Soekarno,
Sadar telah masuk perangkap, mau tak mau Mayor Sabaruddin beserta pasukannya berhenti, dan diajak dialog oleh Kolonel Soediro beserta staff nya. Dalam perundingan itu semula Mayor Sabaruddin bersikeras tidak mau menyerahkan Mohamad, dengan alasan, katanya, Mayjen Mohamad telah meninggal. Kolonel Soediro menegaskan bahwa dia ditugaskan MBT membebaskan Mohamad baik hidup ataupun mati. Melihat situasi yang tidak menguntungkan pasukannya, Mayor Sabaruddin akhirnya terpaksa menyerahkan Mohamad. Tetapi ia tetap mengancam, bahwa suatu hari nanti, dia akan menangkapnya lagi. Akhirnya rombongan pasukan pembebasan balik kanan menuju Kediri, membawa Mayjen Mohammad ke Kediri untuk diobati, sedangkan Mayor Sabaruddin dan pasukannya kembali ke markasnya.
Baris 40 ⟶ 42:
Mayor Sabaruddin dan pihak yang berdiri di belakang peristiwa penculikan Mayjen Mohamad, mungkin tidak menyadari dan tidak membayangkan bahwa kasus penculikan tersebut akan berekor panjang dan berakibat buruk bagi mereka semua.
== Operasi penangkapan dan Pengadilan Mayor Sabaruddin ==
Akibat peristiwa penculikan ini, pusat tidak tinggal diam. DPRI mengerahkan pasukan gabungan untuk menyerang markas Mayor Sabaruddin di Mojokerto. Pasukan gabungan ini terdiri dari Pasukan Perjuangan Polisi (P3) yang langsung mendapat perintah dari Jenderal [[Soedirman]], Pesindo, Hizbullah dan Laskar Minyak. Walaupun sempat terkepung, Mayor Sabaruddin sempat lolos dengan wakilnya, Ali Umar menggunakan mobil,
Inspektur M. Jasin yang dalam penyergapannya tersebut, menemukan 8 wanita eropa dan indo-belanda yang ternyata sedang hamil di bungalow indah yang terletak di lereng utara [[Gunung Arjuno]], bekas peninggalan Belanda. Mayor Sabaruddin ternyata doyan mengumpulkan wanita-wanita eropa untuk dijadikan harem. Selain itu ditemukan juga sejumlah empat karung/besek penuh yang berisi emas batangan, perhiasan, dan berlian. Benda-benda tersebut diperkirakan dirampas oleh Mayor Sabaruddin dari kamp-kamp tahanan Eropa yang masih tersisa sejak ditinggalkan oleh Jepang. Menurut cerita, tidak ada satupun di antara benda-benda berharga tadi yang dikutip oleh Inspektur M. Jasin. Padahal perintah Jenderal Soedirman hanya meminta untuk melucuti persenjataan dan menangkap komplotan Sabaruddin, bukan termasuk mengumpulkan barang-barang bukti hasil kejahatan.
Sejalan dengan reorganisasi TRI menjadi tentara yang lebih teratur maka tata disiplin tentara dan hukum tentara mulai ditegakkan.
Semasa dia di penjara, pada 21 Juli 1947, Belanda melakukan Agresi Militer yang pertama, dan menduduki Ambarawa. Mayor Sabaruddin memanfaatkan situasi gawat ini dengan membujuk Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta supaya dibebaskan, dan dikabulkan. Dia bahkan ditugaskan membentuk laskar dengan syarat mau ditempatkan di Jawa Barat. Dalam waktu tak lama dia berhasil mengumpulkan kembali sekira 1 kompi yang sebagian besar bekas anak buahnya. Tapi bukannya pergi ke Jawa Barat, Mayor Sabaruddin malah kembali ke Jawa Timur dan mendirikan Laskar Rencong. Dinamakan Laskar Rencong, karena saat dibentuk, persenjataan mereka hanyalah senjata tajam, dan satu buah pistol yang dipegang langsung oleh Mayor Sabaruddin.
== Menumpas Gerombolan PKI Madiun 1948 ==
Pecahnya peristiwa pemberontakan PKI 1948 di Madiun membuat pemerintahan pusat memperkuat militernya, dan membutuhkan semua sumber yang ada. Adalah Kabinet Hatta yang mencoba memberi Mayor Sabaruddin untuk mendapat peluang baru. Mengetahui Mayor Sabaruddin adalah kawan karib Tan Malaka dan sama-sama membenci PKI, Laskar Rencong Mayor Sabaruddin termasuk yang ikut direhabilitasi. Kesatuannya diakui sebagai Batalyon 38 di dalam sebuah brigade yang dipimpin Letkol Surachmad, dia diangkat menjadi komandan Batalyon 38 dan kembali mendapatkan pangkat Mayor nya. Dalam kedudukan itu bersama kesatuan TNI lainnya mereka aktif beroperasi menumpas pemberontakan PKI di Madiun dari sebelah timur, menjepit salah satu kekuatan PKI, Brigade 29 pimpinan Letkol Dachlan, yang pada saat itu mulai frustasi menghadapi tekanan pasukan Siliwangi dari arah barat.
Termakan gertakan Mayor Sabaruddin, Brigade 29 akhirnya menyerah bulat-bulat kepada pasukan Mayor Sabaruddin, lebih dikarenakan karena merasa lebih baik menyerah kepada pasukan yang dia kenal, daripada menyerah kepada pasukan Siliwangi yang dia tidak kenal sama sekali. Ratusan senjata dan perlengkapannya, mereka serahkan pada Mayor Sabaruddin. Sedang Letkol Dachlan sendiri bersama perwira stafnya seperti Mayor Koesnandar dan Mayor Mustafa ditawan Mayor Sabaruddin. Sejak itu persenjataan pasukan Mayor Sabaruddin pulih kembali kekuatannya. Muncul rumor bahwa pada akhirnya Letkol Dachlan dan staff nya dieksekusi mati di Ngantang, Kediri,
Selesai operasi penumpasan PKI 1948, Mayor Sabaruddin menjalin hubungan yang lebih akrab dengan Tan Malaka, sahabat barunya yang dia kenal sewaktu mereka berdua sama-sama dipenjara di Ambarawa. Tan Malaka membutuhkan dukungan di kalangan militer sehingga mengira mampu memperoleh peluang pula melalui tokoh Mayor Sabaruddin. Begitu pula Mayor Sabaruddin, Perasaan senasib dalam penjara, menyebabkan dia dengan mudah jatuh
== Kembali membuat onar ==
Ketika Agresi Militer Belanda yang kedua pecah, Yogyakarta diduduki, dan Soekarno Hatta ditawan. Tan Malaka mencoba untuk mengambil kesempatan untuk mengambil alih pimpinan perjuangan melawan Belanda dengan mencoba menyiarkan kampanye anti Soekarno Hatta melalui radio diwaktu bergerilya bersama Mayor Sabaruddin didaerah [[Gunung Wilis]]. [[Hario Jonosewojo|Mayor Yonosewoyo]], salah satu perwira yang terlibat penculikan Mayjen Mohammad yang ikut ditangkap dan diadili sewaktu peristiwa tersebut, mengaku pernah diajak oleh Mayor Sabaruddin untuk mengikuti rapat rahasia dengan Tan Malaka di Belimbing, dan dijanjikan posisi Menteri Pertahanan, sedangkan Mayor Sabaruddin sebagai Panglima besarnya. Yonosewoyo yang sudah insyaf, menganggap rencana ini sebagai makar, dan secara diam-diam mengadukan rencana tersebut kepada Letkol Surachmad yang langsung diteruskan kepada Komandan Divisi dan Gubernur Militer, Kolonel Sungkono. Walaupun para pendukung Tan Malaka menuduh rencana itu hanyalah hasil rekayasa Yonosewoyo dan Surachmad, tanggal 17 Februari 1949 Kolonel Sungkono selaku Gubernur Militer memutuskan untuk membubarkan Batalyon 38 dan membebaskan Mayor Sabaruddin dari tanggung jawab komandan Batalyon.
Namun bukan Mayor Sabaruddin namanya, kalau dia menerima perintah tersebut. Ditolak mentah-mentahnya keputusan tersebut. Sehingga tidak ada jalan lain, jalan kekerasan untuk meringkus Mayor Sabaruddin dimulai. Dipagi hari tanggal 19 Februari 1949, kompi 45 “Macan Kerah” pimpinan Kapten Sampurno mengepung markas Mayor Sabaruddin di Belimbing, Kediri arah utara, dari 4 penjuru. Pengepungan mendadak itu berhasil mengunci dan menjebak pasukan Mayor Sabaruddin. Tan Malaka dan sekitar kurang lebih 100 pasukannya berhasil dilucuti.
Dalam perjalanan menggiring para tawanan, Kompi 45 mendadak diserang oleh pasukan Mayor Sabaruddin yang lain, pimpinan Kapten Achmad Ismail didaerah Nganjuk. Akibat serangan itu, para tawanan berhasil meloloskan diri, mereka terbagi dalam 3 rombongan, dua rombongan bersama Mayor Sabaruddin bergerak ke timur menyeberangi [[Kali Brantas]], sedang rombongan yang lain termasuk Tan Malaka bergerak ke selatan menuju ke Trenggalek. Waktu rombongan Tan Malaka tiba di desa Mojo, kurang lebih 10
== Akhir Petualangan ==
Kematian Banuredjo menambah murka Surachmad dan para komandan brigade di Jawa Timur lainnya. Dan Mayor Sabaruddin, meski berhasil meloloskan diri, makin terdesak oleh tentara yang terus mengejarnya. November 1949 pasukannya terjepit di Kawi Selatan, Malang. Kolonel Soengkono, panglima dan gubernur militer di Jawa Timur, membujuk Mayor Sabaruddin lewat surat. Isi surat tersebut ialah perintah supaya Mayor Sabaruddin menghadap Soengkono di Surabaya, hendak diajak membahas upaya perundingan gencatan senjata antara TNI-Belanda. Kali ini Mayor Sabaruddin melunak. Dengan menunggang kuda, Mayor Sabaruddin turun gunung menuju Surabaya. Tapi sesampainya di Surabaya, Soengkono sudah bertolak ke Nganjuk, tempat dilangsungkannya perundingan gencatan senjata itu.
Baris 76 ⟶ 78:
Usai perundingan, Kolonel Soengkono mengajak Mayor Sabaruddin menuju markasnya di Ngluyu, juga di kabupaten yang sama. Pada kesempatan itu beberapa pengikutnya yang masih bersimpati turut memohon kepada Soengkono supaya Mayor Sabaruddin dimaafkan. Namun, Soengkono sudah mengambil keputusan. Mayor Sabaruddin ditahan.
Surachmad yang masih menyimpan dendam kepada Mayor Sabaruddin turut mendengar bahwa Mayor Sabaruddin hendak dihukum tahanan. Dia menganggap hukuman itu tak tak cukup setimpal. Ketika Letkol Surachmad mendengar kejadian tersebut, ia memerintahkan CPM (Corps [[Polisi Militer]]) yang di bawah komandonya untuk mengambil Mayor Sabaruddin dan membawanya ke Madiun untuk diadili.
Sekitar 24 November 1949, sesuai kehendak Surachmad, anggota CPM menyeret Mayor Sabaruddin ke Madiun. Dalam perjalanan menuju Madiun, di Wilangan, Mayor Sabaruddin dieksekusi sesudah pengadilan militer di medan perang menjatuhkan hukuman mati. Berakhirlah petualangan Mayor Sabaruddin.
Ada versi lain yang mengatakan bahwa sebenarnya Kolonel Sungkono tidak memberikan perintah seperti itu kepada Mayor Sabaruddin, berdasarkan pernyataan H. Abdul Wahab, salah seorang perwira bawahan Mayor Sabaruddin. Sewaktu bergerilya di Malang Selatan, ia pernah diperintahkan Mayor Sabaruddin untuk turun ke Surabaya untuk mengurus sesuatu, dan bertemu dengan seorang perwira utusan Kolonel Sungkono, yang justru membawa pesan untuk Mayor Sabaruddin agar jangan turun ke kota, apabila dilanggar, tahu sendiri akibatnya. Abdul Wahab segera menemui Mayor Sabaruddin di Malang Selatan, menyampaikan pesan tadi. Tetapi reaksi Mayor Sabaruddin justru berbuat sebaliknya. Mula-mula ia turun ke kota Malang terus ke Surabaya. Sebagai seorang “Mayor TNI” ia diperlakukan dengan hormat oleh pihak tentara Belanda, ia ditempatkan di Hotel Oranje dan diberi fasilitas kendaraan mobil sedan segala. Waktu diselenggarakan perundingan gencatan senjata di Gondang Nganjuk, antara militer Belanda dengan TNI, Mayor Sabaruddin turut datang bersama delegasi militer Belanda. Sungkono yang hadir dalam perundingan tersebut, terkejut melihat kedatangan Mayor Sabaruddin yang tak diduga-duga itu. Selesai perundingan, Mayor Sabaruddin mengikuti Sungkono pulang ke Nglayu, Nganjuk markas gerilya Sungkono. Di Nglayu itulah riwayat hidup Mayor Sabaruddin berakhir seperti telah dikisahkan di depan. Menurut penilaian Abdul Wahab dan Letkol Purn. Suradji, ajudan Sungkono tahun 1946-1952, terjadinya eksekusi terhadap Mayor Sabaruddin itu rupanya berada di luar kontrol dan kemauan Kolonel Sungkono. Ia memang memerintahkan penangkapan atas diri Mayor Sabaruddin, tetapi hal itu tak berarti harus mengeksekusinya. Mungkin ia bermaksud menyelesaikannya kasus Mayor Sabaruddin melalui jalur hukum, sebagaimana mestinya. Tetapi anak buah Sungkono yang mengeksekusi Mayor Sabaruddin menilai hukuman tersebut sudah setimpal dengan perbuatan dan dosa Mayor Sabaruddin di masa lampau.
==Sumber==▼
▲== Sumber ==
* http://www.merdeka.com/peristiwa/mayor-sabarudin-dan-noda-hitam-perjuangan-kemerdekaan.html
* http://historia.id/persona/berebut-perempuan-berbuntut-kekejaman
|