Nafsul Ammarah: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Zake dean99 (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
HsfBot (bicara | kontrib)
k v2.04b - Fixed using Wikipedia:ProyekWiki Cek Wikipedia (Kesalahan pranala pipa)
 
(7 revisi perantara oleh 6 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{tone|date=Maret 2016}}
'''A.    Hakikat ''al Nafs al Ammarah bi al-Suu'<nowiki/>'''''
 
        <nowiki> </nowiki>'''Nafsul Ammarah''' adalah [[jiwa]] [[manusia]] yang ingin memenuhi kehendak [[hawa nafsu]] dalam segala bidang [[kehidupan]], sehingga tidak menghiraukan [[kaidah]]-kaidah [[agama]].<ref name="a">Shadily, Hassan (1980).''Ensiklopedia Indonesia''.Jakarta:Ichtiar Baru van Hoeve. Hal 2325</ref> Misalnya saja ber[[sifat]] [[takabur]], [[loba]], [[tamak]], [[kikir]], [[senang]] menyakiti [[orang]] lain, dan lain-lain.
 
[[Nafsu]] ini sering mengajak dan mendorong sese[[orang]] melakukan suatu [[kejahatan]]. [[Nafsul Ammarah|Nafs al 'ammarah bi al suu']] dimiliki oleh setiap orang, baik orang [[mukmin]] yang [[awam]] maupun orang non mukmin ([[kafir]]). Nafsu ini dapat menguasai seluruh [[jiwa]] dan [[raga]] karena adanya dorongan dari [[setan]] sebagaimana yang telah difirmankan [[Tuhan]] dalam [[surat]] [[Yusuf]] [[ayat]][[limapuluh]] [[tiga]], ber[[bunyi]]: ''Karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh pada kejahatan kecuali nafsu yang diberi [[rahmat]] oleh [[Tuhan]]ku.''<ref name="d">Mujieb, Abdul (2009).''Enseklopedi Tasawuf Imam al-Ghazali''.Jakarta:Mizan.Hal 326</ref> Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikatan oleh [[Nabi Yusuf]].<ref name="e">Khalid, Amri (2005).''Jernihkan Hati''.Jakarta:Republika. Hal 71</ref> Kadang bisa dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ''[[Nafsul Ammarah|nafs al-ammarah bi al-su’]]'' adalah ''[[Hawa nafsu|nafs]]'' dalam arti secara umum.<ref>Imam al-Ghazali, ''Membangkitkan Energi Qalbu'', suntingan: Muhammad Nuh, tk., Mitrapress, 2008, hlm. 17</ref> Penggunaan istilah ''[[Hawa nafsu|nafs]]'' sebenarnya dapat disamakan dengan istilah [[jiwa]], meskipun ada pula yang menyamakan istilah [[jiwa]] pada ''[[Roh|ruh]]'', akan tetapi penggunaan istilahnya pada [[jiwa]] lebih populer menggunakan ''[[Hawa nafsu|nafs]]''.<ref>Rosleni Marliany dan Asiyah, ''Psikologi Islam'', Bandung, Pustaka Setia, 2015, hlm. 1</ref> Sedangkan ''[[ammarah]]'' secara ''[[Arti harfiah|harfiyah]]'' artinya adalah banyak memberi perintah.<ref>Shohibun Niam ibn Maulan Al-Tarobani, ''Zadah,'' tk., Al-Aziziyyah Press., 2014,  hlm. 176</ref> Adapun lafadz ''[[nafs]]'' juga mengandung makna kehendak (''[[thaawiyah]]'') dan [[sanubari]] (''[[dhamiir]]''),<ref>Rosleni Marliany dan Asiyah, ''Psikologi Islam,'' ibid., hlm. 11</ref> sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT.:
 
<ref>(Q.S. al-Ra’d: 11)</ref>... '''إِنَّ اللَّهَ لَايُغَيِّرُمَابِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَابِأَنْفُسِهِمْ''' ...
 
Artinya:”... sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu  kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri ...”
 
Adapun istilah ''[[Nafsul Ammarah|nafs al-ammah bi al- suu’]]'' ditemukan pada pemahaman  Lafadz ''nafs'' dalam makna bahan (''[[maahiyah]]'') manusia, bersamaan dengan ''[[Nafsul Lawwamah|nafs lawwamah]],'' dan ''[[Nafsul Mutmainnah|nafs muthmainnah]]''.<ref>Rosleni Marliany dan Asiyah, ''Psikologi Islam,'' ibid.'','' hlm. 12</ref>
 
[[Nafsul Ammarah|Nafsu ammarah]] oleh [[Serat Sasangka Jati]] dianggap berasal dari [[api]] dan bertempat di [[darah]], serta tersebar di seluruh [[tubuh]] [[manusia]]. Ammarah memiliki [[sifat]]: me[[rindu]]kan dengan sangat, lekas [[marah]], [[garang]], juga [[jahat]]. Dr. Sumantri menerangkan bahwa [[Nafsul Ammarah|nafsu ammarah]] ini adalah [[watak]] yag disertai dengan [[gairah]], [[kekuatan]], [[kemauan]], dan bertahan.<ref name="c">Hadiwjono, Harun (2006).''Kebatinan dan Injil''.Jakarta:Gunung Mulia.Hal 81</ref> Para [[ulama]] pada dasarnya sepakat, bahwa manusia itu pada dasarnya dilahirkan dalam keadaan suci atau ''[[Fitrah|fithrah]]. [[Fitrah|Fithrah]]'' yang dimaksud adalah, [[manusia]] ketika dilahirkan adalah dalam kondisi tidak memiliki [[dosa]] sama sekali, bahkan manusia memiliki potensi dasar, yakni ketaatan pada Allah, atau dengan kata lain manusia memiliki kecenderungan pada kebenaran.<ref name=":0">Hasyim Muhammad, ''Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi'', Yogyakarta, Walisongo Press. dan Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 113</ref>
 
Hal ini telah mengindikasikan bahwa [[manusia]] memilki kemampuan untuk dapat membedakan antara kebenaran dan kejahatan. Hanya saja kondisi lingkungan yang melingkupinya suatu saat dapat membelokkan [[manusia]] pada jalan kesesatan yang mengarahkan [[manusia]] pada tindak kejahatan, sehingga keluar dari wujud aslinya, yaitu taat kepada Allah.<ref name=":0" />
 
Dalam buku psikologi agama, karya Wiwik Setiyani, dijelaskan bahwa ''[[Nafsul Ammarah|nafs ammarah]]'' adalah [[jiwa]] yang menyerah dan patuh kepada kemauan [[Syahwat|''[[syahwat'']]'' dan mempertaruhkan ajakan [[setan]], tidak mampu membentengi diri untuk menolak pada perbuatan-perbuatan jahat, karena sesungguhnya pada [[jiwa]] [[manusia]] itu memiliki [[jiwa]] kebinatangan pusatnya perbuatan.<ref>Wiwik Setiyani, ''Psikologi Agama'', Surabaya, IAIN SA Press., 2011, hlm. 53</ref>
 
Jadi, meskipun pada dasarnya manusia itu terlahir dalam keadaan yang suci atau ''[[Fitrah|fithrah]],'' namun ia juga memiliki potensi untuk salah. Untuk itu, agar dapat mengaktualisasikan ''[[Fitrah|fithrah]]-''nya, manusia perlu memahami dan menguasai potensi salah atau kekurangan yang ada pada dirinya. Potensi keunggulan yang dimiliki manusia memberikannya kemampuan pada dirinya untuk dapat membedakan antara kebaikan dan kesalahan atau kekurangan.<ref name=":1">Hasyim Muhammad, ''Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi'', ibid., hlm. 114</ref>
 
Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk mengaktualisasikan diri. Struktur watak yang baik itu dapat menguasai kecenderungan-kecenderungan atau dorongan-dorongan [[emosional]] dan [[biologis]]<nowiki/>nya (''[[Nafsu|nafs]]'').<ref name=":1" />[[Berkas:Anger during a protest by David Shankbone.jpg|thumbjmpl|Marah yang terkendali adalah salah satu contoh dari nafsul ammarah]]
 
Saat seseorang didominasi oleh ''[[Nafsul Ammarah|nafs ammmarah]],'' maka ia akan cenderung pada kebutuhan-kebutuhan atau keinginan-keinginan rendah. Jika dorongan-dorongan atau kecenderungan-kecenderungan tingkat rendah ini tidak terpenuhi atau tidak dikendalikan maka akan menimbulkan penyakit-penyakit [[mental]] dan menjauhkan diri dari proses menuju aktualisasi diri (''[[fitrah]]'').<ref name=":1" />
 
''[[Nafsul Ammarah|Nafs al ammarah]]'' selalu mendorong diri manusia untuk melahirkan perbuatan, sikap, dan tindakan [[kejahatan]] atau [[syahwat]] [[Hewan|hewanihewan]]i dan kesenangan kepada [[kejahatan]]. Paling tidak dorongan [[kejahatan]] itu mengarah kepada tiga hal besar, yaitu:<ref>Hamdani Bakran al Dzakiey, ''Psikologi Kenabian'', ibid., hlm. 110</ref>
# [[Syahwat]] dan kesenangan terhadap [[Harta|harta benda]]; sehingga melahirkan [[kerakusan]], [[perampokan]], [[pencurian]], [[manipulasi]], [[korupsi]], bahkan [[kekerasan fisik]], seperti [[pembunuhan]] dan [[penganiyaan]].
# [[Syahwat]] dari kesenangan terhadap [[sex]]; sehingga melahirkan [[kejahatan]] dan [[kekejian]] berupa [[perzinaan]], [[pemerkosaan]] dan [[penyimpangan seksualitas]] lainnya, bahkan hanya karena soal [[sex]] terjadi [[pembunuhan]] dan [[penganiayaan fisik]].
# [[Syahwat]] dan kesenangan terhadap [[jabatan]] dan [[kedudukan]];  sehingga melahirkan para [[Pejabat Negara|pejabat]] dan [[pemimpin]] yang [[Zalim|dzalim]], [[Tiran|tiranitiran]]i, [[otoriter]], bahkan [[diktator]]. Akhirnya [[menindas]] siapa saja yang akan menghalang-halangi kekuasaannya dengan [[menghalalkan]] berbagai macam cara.
Mengikuti [[Hawa nafsu|hawa ''nafs'']] akan membawa [[manusia]] kepada kerusakan. Akibat dari pemuasan ''[[Nafsu|nafs]]'' jauh lebih mahal ketimbang kenikmatan yang didapat darinya. [[Hawa nafsu|Hawa ''nafs'']] yang tidak dapat dikendalikan juga dapat merusak [[potensi diri]] seseorang. Dalam al Qur’an telah dijelaskan:
 
Baris 33 ⟶ 34:
Artinya:“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’. Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’”
 
Sebenarnya setiap orang diciptakan dengan [[potensi diri]] yang luar biasa, tetapi [[Hawa nafsu|hawa ''nafs'']] dapat menghambat [[Potensi diri|potensi]] itu muncul kepermukaan. [[Potensi diri|Potensi]] yang dimaksud di sini adalah [[Potensi diri|potensi]] untuk menciptakan [[keadilan]], [[Ketenteraman|ketentraman]], [[Aman|keamanan]], [[kesejahteraan]], [[persatuan]] dan hal-hal baik lainnya. Namun karena hambatan ''[[Nafsu|nafs]]'' yang ada pada diri seseorang potensi-potensi tadi tidak dapat muncul kepermukan (dalam realita kehidupan).
 
Maka dari itu mensucikan diri atau mengendalikan [[Hawa nafsu|hawa ''nafs'']] adalah keharusan bagi siapa saja yang menghendaki [[keseimbangan]], [[kebahagian]] dalam hidupnya karena hanya dengan berjalan di jalur-jalur yang benar sajalah manusia dapat mencapai hal-hal tersebut. Antara ''[[Nafsu|nafs]]'' di suatu [[pihak]] dan [[Hati nurani|hati]], [[akal]], serta ''[[Bashiira|bashiirahbashiira]]h'' akan saling tarik menarik dalam mempengaruhi, mewarnai dan menguasai [[jiwa]] seseoarang. ''[[Nafsul Ammarah|Nafs ammarah]]'' dibantu oleh [[setan]] mendorong orang untuk berbuat ''[[fujur]]'' ([[kejahatan]]) dan sebaliknya,  [[Hati nurani|hati]], [[akal]] dan ''[[Bashiira|bashiirahbashiira]]h'' mengajak untuk ber[[taqwa]]. [[Manusia]] diberi kebebasan untuk menentukan pilihan, apakah akan mengikuti [[Hawa nafsu|hawa ''nafs'']]''-''nya atau malah akan mengikuti dorongan [[Hati nurani|hati]]<nowiki/>nya, dalam kehidupan keseharian [[manusia]] itu.<ref name=":2">A. Manan Idris, A. Fuad Effendy, dkk., ''Penyejuk Hati Penjernih Pikiran, 30 Topik Ceramah Keagamaan,'' Malang, Misykat, 2004, hlm. 102</ref>
 
[[Fuad Effendy]] memberikan secara umum [[karakteristik]]  atau ciri-ciri ''[[Nafsul Ammarah|nafs ammarah bi al-suu’]],'' yaitu:<ref name=":2" />
 
1.      Tidak akan pernah mau  berhenti pada suatu titik keadaan, tidak pernah merasa [[puas]], dan selalu merasa kurang.
 
2.      Tidak pernah mau mengalah dan tidak mau bersabar.
 
3.      Tidak pernah serasi dengan [[rasio]] ([[akal]]), [[Hati nurani|hati]], dan ''[[Bashiira|bashiirahbashiira]]h''.
 
4.      Selalu menolak kebenaran ''[[Illahiyah]]'' (bersifat ketuhanan) maupun ''[[insaniyah]]'' (bersifat kemanusiaan)''.''
 
5.      Menghendaki sesuatu yang diinginkan harus tercapai atau diperoleh dengan segera (''[[al ‘ajalah]]'').
 
6.      Mendorong ke arah [[pemikiran]], [[sikap]], [[Perilaku manusia|perilaku]] yang [[Sesat|menyesatkan]].
 
7.      Mendorong pengejaran [[kenikmatan duniawi]].
 
Di antara para [[Ulama]], ada yang merinci lebih [[spesifik]], bahwa ''[[Nafsul Ammarah|nafs ammarah bi al-suu’]]'' itu juga meliputi hal-hal berikut:<ref name=":2" />
 
1.      ''[[Nafs Rubuubiyyah]],'' yaitu ''[[Nafsu|nafs]]'' yang ingin menyamai sifat-sifat yang hanya dimiliki [[Tuhan]], seperti [[Kesombongan|sombong]].
 
2.      ''[[Nafs Bahiimiyyah]],'' yaitu ''[[Nafsu|nafs]]'' yang ingin menyamai sifat-sifat yang hanya dimiliki oleh [[binatang]], seperti [[malas]], memuaskan kebutuhan biologis atau [[sex]].
 
3.      ''[[Nafs Sabuu’iyyah]],'' yaitu ''[[Nafsu|nafs]]'' yang ingin menyamai sifat-sifat yang hanya dimiliki [[binatang]] [[buas]], seperti suka “memakan” orang lain.
 
4.      ''[[Nafs Syaithaniiyyah]],'' yaitu ''[[Nafsu|nafs]]'' yang ingin menyamai sifat-sifat yang hanya dimiliki [[setan]], seperti: [[Iri hati|iri]], [[dengki]], menghasut.
 
Menurut [[Abraham Maslow]], hampir semua orang memiliki kebutuhan dan kecenderungan untuk mengaktualisasikan diri. Meski demikian, kebanyakan orang tidak mengetahui [[Potensi diri|potensi]] yang dimilikinya, buta terhadap kemampuannya sendiri. Mereka tidak menyadari seberapa besar [[prestasi]] yang dapat mereka raih dan seberapa banyak [[ganjaran]] bagi mereka yang mengaktualisasikan diri.<ref>Hasyim Muhammad, ''Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi'', ibid., hlm. 116</ref> Maka pada saat [[manusia]] yang telah di[[Jajahan|jajah]] oleh ''[[Nafsul Ammarah|nafs ammarah]]'' ini, ia tidak sadar bahwa segala perbuatan, sikap dan tindakan yang dilakukan itu akan membahayakan dirinya maupun orang lain. Ia sangat menikmati [[kejahatan]] dan [[kekejian]] yang dilakukannya itu. Batas-batas antara yang ''[[haq]]'' (benar) dan yang ''[[bathil]]'' (salah), [[halal]] dan [[haram]], baik dan buruk, terpuji dan tercela, manfaat dan ''[[madlarat]]'', [[dosa]] dan [[pahala]] sudah kabur dalam kehidupannya. Orang-orang seperti ini dikatakan oleh [[Al-Qur'an|al Qur’an]] sebagai [[makhluk]] yang lebih [[hina]] dari [[binatang]] melata. Sebagaimana firman Allah:
 
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ<ref>(Q.S.  al A’raf: 179)</ref>
 
Artinya:”Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak diperg<ref>Netty Hartati, Zahratun Nihayah, dkk., ''Islam dan Psikologi'', Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 111</ref> unakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tidak digunakan untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.”
 
Sehingga ketika [[manusia]] dapat mengekang dan menahan [[syahwat]]'','' maka [[derajat]] [[manusia]] itu akan naik ke [[derajat]] yang paling [[luhur]] dan berkumpul bersama para [[malaikat]].<ref>Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad Al Ghazali, ''Kitab Asror Al Shaum; Kutipan dari Ihya’ Ulum Al Diin,'' Terj.: Muhammad Musyafa’ ibn Mudzakir Ibn Said, Surabaya, Al Wava Publising, 2010</ref>
Baris 74 ⟶ 75:
 
----Referensi{{reflist}}
 
[[Kategori:Manusia]]
[[Kategori:Sifat]]