Nini Gugundik: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Cakkavatti (bicara | kontrib) |
Chalistaaa (bicara | kontrib) Tidak ada ringkasan suntingan Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Tugas pengguna baru Tugas pengguna baru: pranala |
||
(17 revisi perantara oleh 7 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{Underlinked|date=Maret 2016}}
{{unreferenced|date=Maret 2016}}
'''Nini Gugundik''' atau '''Nenek Gundik''' atau '''Nini Pangeuyeuk''' adalah [[perempuan]] yang bertugas sebagai pengasuh bagi [[Pengantin perempuan|pengantin]] wanita dalam sebuah upacara adat [[perkawinan]] dalam [[Suku Sunda]].
== Tugas ==
Pada dasarnya nini gugundik secara [[adat]] adalah "peracik sirih" dari pihak pengantin wanita untuk menyambut keluarga pengantin pria pada acara seserahan.
Tetapi seiring perkembangan tugas seorang nini gugundik adalah [[Tata rias wajah|merias]] pengantin dan kamar pengantin, juga memimpin ritual ''sungkeman'' dan Upacara Ngeuyeuk Seureuh di posesi pernikahan dan kamar pengantin.{{cn}}
== Proses Upacara ==
==Asal==▼
Seorang nini gugundik tidaklah harus berasal dari desa setempat, tetapi biasanya ia sudah biasa menjalankan tugas sebagai nini gugundik di berbagai tempat. Orang yang dipilih sebagai nini gugundik dipilih atas dasar kehendak si pengantin wanita.▼
[[Pernikahan]] tradisional tidak akan terasa lengkap tanpa mengikuti setiap tata cara dan [[ritual]] yang ada. Meskipun begitu, sebagian orang mulai meninggalkan upacara adat, padahal di balik ritual upacara ini tersimpan pesona kultur yang sarat makna sakral. Kali ini, kami akan membahas upacara menjelang pernikahan berdasarkan adat Sunda, Ngeuyeuk Seureuh.
==Referensi==▼
[[Kategori:Adat]]▼
[[Kategori:Budaya]]▼
Kata Ngeuyeuk Seureuh berasal dari bahasa sunda 'ngaheuyeuk' yang berarti mengolah. Upacara ini dilakukan untuk meminta restu kepada orang tua kedua calon pengantin di rumah pihak wanita. Biasanya upacara ini dilakukan satu hari sebelum [[akad nikah]], dan bersamaan dengan prosesi seserahan. Upacara ini juga dipenuhi dengan nasihat berumah tangga dan tidak jarang mengandung edukasi seks.
Upacara dipimpin oleh seorang Nini Pangeuyeuk, atau wanita yang telah paham akan upacara ini dan sering kali juga merupakan juru rias adat Sunda. Tidak semua orang boleh hadir dalam upacara ini, hanya calon pengantin, keluarga terdekat dan orang tua yang memiliki peran khusus. Tak hanya itu, seorang gadis, anak remaja yang belum mengalami pubertas, dan wanita dewasa yang belum pernah menikah juga tidak diizinkan menghadiri upacara ini.
Melalui ritual ini, calon pengantin diharapkan dapat mewujudkan filosofi 'Kawas Gula Jeung Peuet' yang secara harfiah berarti 'bagaikan gula dengan nira yang sudah matang'. [[Peribahasa]] ini menggambarkan hidup yang rukun, saling menyayangi dan sebisa mungkin menghindari perselisihan.
Untuk lebih jelasnya, berikut langkah-langkah upacara Ngeuyeuk Seureuh dan makna yang terkandung di dalamnya:
1. Untuk memulai upacara ini, nini pangeuyeuk akan memberikan tujuh helai benang kanteh ([[Benang|benang tenun]]) sepanjang dua jengkal kepada kedua calon pengantin. Kedua calon pengantin kemudian saling memegang ujung benang sebagai tanda cinta kasih sambil duduk menghadap orang tua untuk meminta doa restu. Setelah mendapat ijin dan restu, orang tua akan memotong benang yang dipegang oleh kedua calon pengantin sebagai tanda bahwa upacara akan dimulai.
2. Nini Pangeuyeuk kemudian akan membawakan kidung atau [[syair]] yang berisi permohonan dan doa kepada Tuhan sambil menaburkan beras kepada kedua calon pengantin, yang melambangkan hidup sejahtera bagi keduanya.
3.Kedua calon pengantin kemudian 'dikeprak' atau dipukul secara pelan dengan sapu lidi, sambil diberikan nasihat terkait hidup berumah tangga. Hal ini ditujukan agar mereka bisa memupuk kasih sayang antara satu sama lain dan mau bekerja keras demi kesejahteraan keluarga.
4. Kain putih yang menutupi 'pangeuyeukan' kemudian dibuka, melambangkan rumah tangga yang dimulai tanpa cela. Kedua calon pengantin lalu mengangkat dua buah pakaian di atas kain pelekat ([[sarung]]), yang melambangkan kerja sama suami dan istri dalam mengelola rumah tangga.
5. Kedua pakaian yang telah diangkat kemudian dibawa ke kamar pengantin, yang menandakan penggabungan harta kekayaan yang harus dijaga bersama, termasuk harta kekayaan nonmaterial seperti orang tua. Calon pengantin pria ikut masuk ke dalam kamar calon pengantin wanita, menandakan bahwa hanya ialah pria yang boleh masuk ke kamar itu.
6.Calon pengantin pria selanjutnya membelah mayang jambe dengan hati-hati, agar tidak rusak atau patah. Mayang jambe ini menandakan kelembutan hati wanita, sehingga seorang suami harus memperlakukan istrinya dengan kesabaran dan kebijaksanaan.
7. Setelah itu, mempelai pria akan dipersilahkan untuk membelah pinang menjadi dua, yang melambangkan bahwa pasangan suami istri harus seperti peribahasa 'Bagai pinang yang dibelah dua'. Hal ini juga menggambarkan tiga sifat utama pandangan hidup orang sunda, yaitu 'Silih Asih, Silih Asuh, dan Silih Asah,' yang berarti saling menyayangi, menjaga dan mengajari. Calon pengantin pria kemudian diminta untuk menumbuk alu ke dalam lumping yang dipegang oleh calon pengantin wanita.
8. Kedua calon pengantin kemudian diminta untuk membuat lungkun, yaitu dua lembar daun sirih bertangkai berhadapan yang digulung memanjang menjadi satu dan diikat dengan benang kanteh. Hal ini dilakukan oleh kedua calon pengantin dan setiap orang tua yang hadir, sebagai lambang kerukunan. Sisa sirih yang ada lalu dibagikan kepada orang-orang yang hadir. Hal ini berarti jika dikemudian hari kedua calon pengantin memiliki rejeki berlebih, mereka harus selalu berbagi dengan keluarga yang membutuhkan.
9. Kedua calon pengantin dan para tamu kemudian akan berlomba mengambil uang yang ada di bawah tikar, sesuai dengan aba-aba Nini Pangeuyeuk. Hal ini menandakan bahwa pasangan suami istri mau bekerja keras untuk mencari rejeki demi kesejahteraan rumah tangga dan agar dikasihi oleh sanak saudara.
10. Sisa-sisa Ngeuyeuk Seureuh kemudian akan dibuang ke persimpangan jalan oleh kedua calon pengantin dan para tetua. Setelah membuang sisa-sisa ini, mereka tidak diperbolehkan menoleh kebelakang. Hal ini melambangkan bahwa calon pengantin sudah membuang hal-hal yang buruk dan mengharapkan kebahagiaan dalam menempuh hidup baru. Sisa-sisa Ngeuyeuk Seureuh ini dibuang di persimpangan jalan agar segala keburukan dari keempat penjuru angin tidak datang.
11. Prosesi yang terakhir adalah menyalakan tujuh buah lilin. Hal ini diambil dari kosmologi Sunda akan jumlah hari yang diterangi matahari, sehingga melambangkan harapan akan kejujuran dalam membina kehidupan rumah tangga.
▲== Asal ==
▲Seorang nini gugundik tidaklah harus berasal dari [[desa]] setempat, tetapi biasanya ia sudah biasa menjalankan tugas sebagai nini gugundik di berbagai tempat. Orang yang dipilih sebagai nini gugundik
▲== Referensi ==
* https://www.weddingku.com/blog/prosesi-adat-pernikahan-sunda
* https://www.bridestory.com/id/blog/makna-tersirat-di-balik-upacara-ngeuyeuk-seureuh
* https://id.linkedin.com/pulse/ritual-ngeyeuk-seureuh-makna-dan-tata-caranya-veponid-indonesia
* https://salangit.wordpress.com/adat-istiadat-3/susunan-tata-cara-upacara-nikah-adat-sunda/
{{budaya-stub}}
▲[[Kategori:Adat]]
▲[[Kategori:Budaya]]
[[Kategori:Pernikahan]]
|